Вы находитесь на странице: 1из 13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pola Adaptasi Sosial


Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian
ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat
berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1991:55).
Menurut Karta Sapoetra adaptasi mempunyai dua arti. Adaptasi yang pertama disebut
penyesuaian diri yang autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk),
sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis (allo
artinya yang lain, palstis artinya bentuk). Jadi adaptasi ada yang artinya pasif yang
mana kegiatan pribadi di tentukan oleh lingkungan. Dan ada yang artinya aktif,
yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan (Karta Sapoetra,1987:50).
Menurut Suparlan (Suparlan,1993:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya
adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan
kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:
1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk
menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam
hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya).
2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari
perasaan takut, keterpencilan gelisah).

Universitas Sumatera Utara

3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat


melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai
kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh).
Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan
pengertian dari adaptasi sosial, yakni:
1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan
dan sistem.
6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan
proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial
terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.
Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa
penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin, 2000: 38), di
antaranya:
a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
b. Menyalurkan ketegangan sosial.
c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial.
d. Bertahan hidup.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan


lingkungan. Menurut Suyono (1985), pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang
sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal
menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas,
pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur-unsur yang sudah menetap
dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adatistiadat kebudayaan yang ada. Proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan
waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat,
lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan.
Bagi manusia, lingkungan yang paling dekat dan nyata adalah alam fisioorganik. Baik lokasi fisik geografis sebagai tempat pemukiman yang sedikit
banyaknya mempengaruhi ciri-ciri psikologisnya, maupun kebutuhan biologis yang
harus dipenuhinya, keduanya merupakan lingkungan alam fisio-organik tempat
manusia beradaptasi untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Alam fisio organik
disebut juga lingkungan eksternal. Adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan
eksternal merupakan fungsi kultural dan fungsi sosial dalam mengorganisasikan
kemampuan manusia yang disebut teknologi. Keseluruhan prosedur adaptasi dan
campur tangan terhadap lingkungan eksternal, termasuk keterampilan, keahlian
teknik, dan peralatan mulai dari alat primitif samapai kepada komputer elektronis
yang secara bersama-sama memungkinkan pengendalian aktif dan mengubah objek
fisik serta lingkungan biologis untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup
manusia. (Alimandan, 1995:56).

Universitas Sumatera Utara

Stategi adaptasi yang dilakukan dalam masyarakat pasca bencana alam dapat
dilakukan dengan penanggulangan bencana alam yang tepat, agar masyarakat bisa
aktif kembali pasca bencana alam. Besarnya potensi ancaman bencana alam yang
setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang,
perlu disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan
risiko bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sejauh ini telah
tersedia perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun
2007 yang memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana,
tanggap darurat, dan pascabencana. Aktivitas penanggulangan bencana yang menjadi
prioritas utama meliputi: mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
1.

Mitigasi yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah apa yang akan
terjadi terutama berdampak negatif pada lingkungan akibat bencana alam.

2.

Rehabilitasi yaitu pemulihan kembali yang dilakukan terhadap kerusakankerusakan berupa fisik dan infrastruktur akibat bencana alam.

3.

Rekontruksi yaitu membangun kembali dari kerusakan kerusakan yang


terjadi akibat bencana alam.

Penaggulangan bencana yang telah ditetpakan pemerintah dibuat guna membangun


kembali daerah yang terkena bencana menggingat indonesia rawan akan bencana
alam.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Perubahan Sosial


Setiap kehidupan manusia akan mengalami perubahan. Perubahan itu dapat
mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola prilaku, perekonomian, lapisanlapisan sosial dalam masyarakat, interaksi sosial dan yang lainya. Perubahan sosial
terjadi pada semua masyarakat dalam setiap proses dan waktu, dampak perubahan
tersebut dapat berakibat positif dan negatif. Terjadinya perubahan merupakan gejala
yang wajar dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena setiap manusia
mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Perubahan sosial adalah proses sosial
yang dialami masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial,
dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara suka rela atau di pengaruhi oleh
unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial
yang baru. Perubahan sosial terjadi pada dasarnya karena ada anggota masyarakat
pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan kehidupanya yang lama
dan menganggap sudah tidak puas lagi atau tidak memadai untuk memenuhi
kehidupan yang baru.
Menurut Gillin dan Gillin (Abdulsyani,2002:163) perubahan-perubahan sosial
sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi

maupun karena

adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Selain itu, Selo
Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan
pada

lembaga-lembaga

kemasyarakatan

didalam

suatu

masyarakat,

yang

memepengaruhi sistem sosial lainya, termasuk didalam nilai-nilai, sikap, dan pola

Universitas Sumatera Utara

prilaku

antara

kelompok-kelompok

dalam

masyarakat.

(Soerjono

Soekanto,2007:263).
Soerjono Soekanto (2000:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial
primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis,
teknologis dan geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan
pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan
bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menghasilkan
perubahan-perubahan sosial.
Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial itu sendiri antara lain:
a. Perubahan sosial terjadi secara terus menerus
b. Perubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya
c. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi
yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian diri
d. Setiap masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis)
Faktor Penyebab Perubahan Sosial:
Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi

berpendapat bahwa perubahan sosial dapat bersumber dari dalam

masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat (eksternal).

1.

Faktor internal

Universitas Sumatera Utara

Perubahan sosial dapat disebakan oleh perubahan-perubahan yang berasal dari


masyarakat itu sendiri. Adapun faktor tersebut antara lain:
1.

Perkembangan ilmu pengetahuan, Penemuan-penemuan baru akibat


perkembangan ilmu pengetahuan, baik berupa teknologi maupun berupa
gagasan-gagasan

menyebar

kemasyarakat,

dikenal,

diakui,

dan

selanjutnya diterima serta menimbulkan perubahan sosial.


2.

Kependudukan, faktor ini berkaitan erat dengan bertambah dan


berkurangnya jumlah penduduk.

3.

Penemuan baru untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk


mencoba hal-hal yang baru. Pada suatu saat orang akan menemukan suatu
yang baru baik berupa ide maupun benda. Penemuan baru sering
berpengaruh terhadap bidang atau aspek lain.

4.

Konflik dalam masyarakat, adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat


dapat menyebabkan perubahan sosial dan budaya, pertentangan antara
indvidu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok sebenarnya
didasari oleh perbedaan kepentingan.

2.

Faktor eksternal
Perubahan sosial disebabkan oleh perubahan-perubahan dari luar masyarakat itu

sendiri seperti:
1.

Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, Adanya interaksi langsung (tatap


muka) antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya akan
menyebabkan saling berpengaruh. Disamping itu, pengaruh dapat

Universitas Sumatera Utara

berlangsung melalui komunikasi satu arah, yakni komunikasi masyarakat


dengan media-media massa.
2.

Peperangan, Terjadinya perang antar suku atau antar negara akan


berakibat munculnya perubahan-perubahan pada suku atau negara yang
kalah. Pada umumnya mereka akan memaksakan kebiasaan-kebiasaan
yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya, ataupun kebudayaan yang
dimilikinya kepada suku atau negara yang mengalami kekalahan.

3.

Perubahan dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia,


terjadinya gempa bumi, topan, banjir besar, gunung meletus dan lain-lain
mungkin menyebabkan masyarakat-masyarakat yang mendiami daerahdaerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan
kemungkinan masih bertahan di daerahnya tersebut. Hal tersebut akan
mengakibatkan

terjadinya

perubahan-perubahan

pada

lembaga

kemasyarakatanya karena masyarakatnya harus memulai kehidupan baru


kembali. Sebab yang bersuber dari lingkungan alam fisik kadang-kadang
ditimbulkan oleh tindakan para warga masyarakat itu sendiri.

2.3 Mobilitas Sosial


Didalam sosiologi, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status
sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial

Universitas Sumatera Utara

yang lebih rendah itulah yang disebut mobilitas sosial. Dengan demikian, jika kita
berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak terlalu diartikan sebagai bentuk
perpindahan dari tingkat yang lebih rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi karena
mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagaian orang
berhasil mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang mengalami kegagalan, dan
selebihnya tetap tinggal pada ststus yang dimiliki orang tua mereka.
Menurut horton dan hunt (1987), lembaga sosial dapat diartikan sebagai suatu
gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainya. Mobilitas sosial bisa
berupa peningkatkan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk
juga segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh
keseluruhan anggota kelompok.
Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda.
Masyarakat yang sistem kelas sosialnya terbuka maka mobilitas sosial masyarakatnya
akan cenderung tinggi. Tetapi sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup seperti
masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga
masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan
sama sekali tidak ada.

Jenis mobilitas sosial


Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial
vertikal dan mobilitas sosial horizontal.
1. mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari
kedudukan

sosial

kekedudukan

sosial

lainya

yang

tidak

sederajat

Universitas Sumatera Utara

(sukato,1982:244). Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis


mobilitas sosial vertikal , yakni:
a. Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak
perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas
sosial yang lebih tinggi.
b. Gerak sosial yang menurun (social sinking) yakni gerak perpindahan
anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain kebih
rendah posisinya.
Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan
mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan
struktur sosial dimana orang itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal
pendidikan yang tinggi bergelar doktor atau MBA, misalnya hidup di
lingkungan masyrakat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan
akan lebih mudah menembus batasan-batasan lapisan sosial dan naik pada
kedudukan lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Berbeda
dengan mobilitas sosial vertikal yang berarti perpindahan dalam jenjang status
yang berbeda,
2. mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek-objek
sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial
lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial horizontal tidak terjadi
perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Mobilitas sosial memungkinkan orang untuk menduduki jabatan yang sesuai


dengan keinginannya, tetapi terdapat juga beberapa kerugian disamping manfaatnya.
Beberapa kerugian akibat adanya mobilitas sosial antara lain adalah memungkinkan
terjadinya ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan di benak seseorang karena impian
yang didambakan tidak semuanya dapat dicapai dengan mudah.
Secara rinci horton dan hunt (1987), mencatat beberapa konsekuensi negatif dari
mobilitas sosial vertikal seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila
terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status
jabatan yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang
semula karena seseorang bepindah ke status yang lebih tinggi atau status yang lebih
rendah. Mobilitas sosial dapat merenggangkan ikatan sosial yang sudah lama terjalin,
sehingga memungkinkan pula terjadinya keterasingan di antara warga masyarakat.
Perubahan mobilitas yang terjadi dalam masyarakat dapat diterima masyarakat bila
telah melakukan penyesuaian atau adaptasi.(Suyanto 2010: 207-213)

2.4 Human capaital dalam mengatasi kemiskinan akibat bencana alam.


Teori human capital adalah suatu pemikiran yang menganggap bahwa
manusia merupakan suatu bentuk capital atau barang modal sebagaimana barangbarang modal lainnya, seperti tanah, gedung, mesin, dan sebagainya. Menurut
Moskowitz, R. and Warwick D(1996) berpendapat, bahwa human capital

yang

mengacu kepada pengetahuan, pendidikan, latihan dan keahlian masyarakat.


(http://infohumancapital.blogspot.com/2010/03/pengertian-dan-pengukuran-humancapital.html diakses 25 mei 2011 pukul 12.32wib)

Universitas Sumatera Utara

Akibat perkembangan dan perubahan yang semakian pesat human capital,


bukanlah lagi

memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga

seolah-olah manusia sama dengan mesin, sebagaimana teori human capital terdahulu.
Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu
pengambil

keputusan

untuk

memfokuskan

pembangunan

manusia

dengan

menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka


peningkatan mutu organisasi sebagai bagian pembangunan bangsa. Penanganan SDM
sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih
tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.
Investasi

tersebut

(human

capital) dilakukan

dengan

tujuan

untuk

memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Walaupun
kontroversi mengenai diperlakukannya human resources sebagai human capital
belum terselesaikan, namun beberapa ekonom klasik dan neo-klasik seperti Adam
Smith, Von Threnen, dan Alfred Marshall sependapat bahwa human capital terdiri
dari kecakapan-kecakapan yang diperoleh melalui pendidikan dan berguna bagi
semua anggota masyarakat. Kecakapan-kecakapan tersebut merupakan kekuatan
utama bagi pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan modal manusia diyakini tidak hanya dapat meningkatkan
pembangunan produktivitas dan pertumbuhan, namun juga berperan sentral dalam
mempengaruhi distribusi pendapatan disuatu perekonomian. Dengan demikian,
pembangunan modal manusia berdampak pada pengentasan kemiskinan. Modal
manusia tidak hanya diidentifikasi sebagai kontributor kunci dalam pertumbuhan dan
pengurangan kemiskian, sehingga kurangnya investasi dalam perkembangan ilmu

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan (human knowldage) dapat berdampak pada rendahnya kemampuan


masyarakat

untuk

berkreativitas

dan

meningkatkan

kreativitasnya.

(http://www.Prosiding_diskusi_intellectual_capital_dan_pembangunan.pdf diakses25
mei 2011,pukul13.03wib)
Rendahnya kualitas SDM Indonesia diperburuk oleh fakta kemiskinan yang
dihadapi masyarakat indonesia. Masih rendahnya SDM menjadi tantangan dan
kendala yang sangat serius dalam pembangunan di Indonesia, dapat dilihat dari
tingkat pendidikan dan keterampilan yang masih sangat rendah pada masyarakat.
Jika hal ini terus terjadi maka semakin banyak masyarakat miskin di Indonesia.
Dalam hal ini pemerintah maupun masyarakat perlu berupaya dan melakukan
pemberdayaan untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Sumber daya manusia dapat dikembangkan melalui pembangunan maupun
pelatihan yang diberikan pada masyarakat agar bisa bertahan hidup. Ketika terjadi
bencana alam human capital sangat berperan penting dan besar dalam masyarakat
agar tetap bisa bertahan hidup.

Universitas Sumatera Utara

Вам также может понравиться