Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Acara
PJ
Keterangan
Peralatan
dibutuhkan
yang
Registrasi, Pembagian Seminar Siapa yang Form Tracer Studies bisa langsung dimasukan ke
Kit, dan pengisian Form Tracer jaga
buku http://antropologi.fib.ugm.ac.id/alumni/pendaftaran- 4 Komputer untuk
Studies
tamu?
alumni
mengisi
form
tracer
studies
online
3
Rangkap
Absensi
(untuk
Seminar,
Launching buku,
talkshow)
4 Meja buku tamu
07.50
08.00
4 taplak meja
buku tamu
Kursi untuk buku
tamu
Soundsystem
untuk akustik
Mic
Bangku
08.00
08.05
08.0508.20
08.2008.35
08.3508.50
08.5009.05
09.0509.10
Standing
mic
untuk MC
4 Clip on untuk
pembicara
dan
moderator
Dekorasi Ruangan
LCD dan White
Screen
Peralatan
untuk
Home Band
2 mic wireless
untuk sesi tanya
jawab.
Madeh
(2012)
Madeh
(2012)
Madeh
(2012)
Mba Suzie
-Penyerahan
Kenang- Olga (2012)
kenangan untuk moderator dan Anin (2012)
pembicara
-MC
mempersilahkan
pembicara
dan
moderator
untuk duduk kembali di bangku
audiens
-MC
Mengumumkan
acara
selanjutnya: Bedah buku
MC memberikan keterangan
Bunga-bungaan
Stand banner di
kiri-kanan
set
meja pembicara
Baki
untuk
menyerahkan
konsumsi
sekaligus
untuk
menyerahkan
kenang-kenangan
09.30
09.40
09.40
09.50
Sesi
Tanya
Jawab,
Pak
Riwanto boleh ikut menjawab
09.50
10.00
Pembahasan
Antropologi
10.00
10.10
10.10
10.15
Buku
Jurusan Mas
Brewok
Coffee break
10.15
Homeband memainkan 34 lagu
10.30
Talkshow: Berkarya dengan Antropologi, Berkontribusi Pada Masyarakat
10.25
MC
mulai
mempersilahkan
audiens untuk masuk ke dalam
ruangan
MC
menerangkan
acara
10.30
selanjutnya
10.35
Mengundang
mas
Dewo
sebagai Host untuk maju ke
depan
Mas
Dewo
memberikan
keterangan singkat mengenai
talkshow:
Moderator
memberikan
Yang diperlukan:
10.35
pengantar sedikit ttg Mbak
CV mbak Harsiwi
10.45
Harsiwi dan profesinya, lulusan
tahun berapa.
Tanya jawab dgn mbak harsiwi
mengenai
Penerapan
ilmu
antropologi
dalam
industri
hiburan,
berdasarkan
pengalaman mbak harsiwi
Moderator memanggil
Mas
Yang diperlukan:
10.45
Sutta,
memperkenalkan
sedikit
CV mas sutta
10.55
latar belakangnya.
Tanya
jawab
mengenai
penerapan ilmu antropologi
dalam jurnalistk
CV Mas Tejo
11.15
11.20
Moderator memanggil
Mas
Tejo, memperkenalkan latar
belakangnya,
Tanya
jawab
mengenai
penerapan Ilmu Antropologi
dalam CSR
Mas
Dewo
memberikan
keterangan
bahwa
lulusan
antropologi, selain jadi PNS
atau Dosen, juga bekerja dalam
beragam profesi. Ada yang
fotografer, pemain teater,
Tanya jawab dengan Mas Agus
Suprapto
11.20
11.25
11.25
11.30
10.55
11.05
11.10
11.15
11.30
11.40
11.4011.50
Mas
Djaduk Confirmed
11.55
12.05
12.05
12.15
12.15
12.20
Closing Statement
12.20
12.30
Pemberian Kenang-kenangan
dan foto bersama.
Slide Show
Lampiran 1
Yusak Adrian Panca Pangeran Hutapea (1967-1999) merupakan pionir pendidikan modern bagi Orang Rimba bersama Komunitas
Konservasi Indonesia WARSI di Jambi. Putra pasangan Wp. Hutapea dan Rusni Simatupang ini adalah anak kelima dari delapan
bersaudara. Ia lahir di Palembang, 1 Juni 1967. Sejak kecil ia sudah hidup berkecukupan. Ayahnya bekerja sebagai pegawai
Pertamina. Kondisi itu pula yang memberi kemudahan baginya menimba pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi.
Pendidikan formalnya dimulai pada 1973 di TK Patra Pertamina, Rawamangun, Jakarta. Kemudian melanjutkan ke jenjang
berikutnya di SD Tarakanita V, Jakarta, pada 1974. Tamat SD dilanjutkan ke SMP Tarakanita IV pada 1980. Pendidikan menengah
ia tempuh di SMAN 3, Jl. Setiabudi II, Jakarta, pada 1983.
Lulus SMAN 3 Yusak merantau ke Yogyakarta. Ia mendaftarkan diri kuliah di Fakultas Teknologi Mineral, Jurusan Teknik
Pertambangan, Universitas UPN Veteran Yogyakarta pada 1986. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 1988 ia mendaftar kuliah di
UGM Yogyakarta, Jurusan Antropologi. Ia berhasil lulus dari UGM pada 1997, sementara kuliah Teknik Pertambangan di UPN
Veteran tidak diselesaikan.
Selama kuliah, ia aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan. Ia juga tercatat sebagai anggota Mahameru, lembaga
mahasiswa pencinta alam di UPN Veteran. Selain itu, ia juga banyak mendapatkan penghargaan selama masih berstatus
mahasiswa. Bahkan, sejak kuliah ia mulai berusaha hidup mandiri dengan bekerja di sejumlah tempat.
Setelah lulus kuliah, pada 24 Januari 1998, Yusak bergabung dengan Komunitas Konservasi Indonesia WARSI sebagai
Fasilitator Pendidikan Budaya dan Lingkungan (PBL). Yusak bergabung dengan WARSI karena sangat tertarik melihat kehidupan
Orang Rimba. Rasa kemanusiaannya tersentuh melihat kondisi Orang Rimba yang masih tidak berdaya dengan perubahan yang
berlangsung di sekitar mereka, dan sering menjadi korban pembohongan, karena ketidakpahaman Orang Rimba dengan aksara
dan angka-angka. Di sisi lain Orang Rimba merupakan komunitas adat yang unik, menganut paham berkebalikan dengan sistem
kehidupan Melayu. Semua yang berlaku di dalam kehidupan Melayu merupakan pantangan bagi Orang Rimba termasuk soal
pendidikan.
Berangkat dari sinilah WARSI memulai kegiatan pendampingan pada Orang Rimba, yang di fokuskan pada pengakuan
kawasan hidup, pendidikan, layanan kesehatan dan pengembangan ekonomi.
Yusak terpilih sebagai fasilitator pendidikan WARSI pertama. Tiga bulan pertama bergabung dengan WARSI Yusak lebih
banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari komunitas ini, hidup dan tinggal bersama Orang Rimba di belantara Jambi.
Untuk menentukan motode dan sistem pengajaran yang tepat untuk Orang Rimba, Yusak melakukan kunjungan ke sekolah
alternatif yang di gagas Romo Mangun untuk anak jalanan di Yogyakarta. Sepulang dari Yogya inilah Yusak melakukan studi awal
pilot projek pendidikan pada 15 Juni hingga 15 Juli 1998. Kemudian dilanjutkan pada 25 Juli hingga 2 Agustus 1998. Fokus studi
dilakukan di daerah Makekal Hulu dan Makekal Hilir.
Ia mengawali studi dengan mengunjungi pinggir Sungai Pengelaworon dan Sungai Sako Rempon di Makekal Hulu. Orang
Rimba di daerah ini dipimpin oleh Mangku Tuha dengan anggota kelompok 98 jiwa. Kemudian ia melanjutkan studi ke daerah
Pangarukan yang saat itu dipimpin Menti Bepak Pengusai. Jumlah Orang Rimba disini hanya 22 jiwa. Yusak juga mengunjungi
kelompok Tumenggung Mirak di Sungai Sako Talun yang memiliki anggota kelompok sebanyak 24 jiwa.
Sedangkan di Makekal Hilir, ia mengunjungi kelompok Bedinding Besi, kelompok Nitip (Bepak Bepiun), dan kelompok
Mensemabh (Bepak Sijangkang). Ketiga kelompok ini memiliki jumlah anggota sebanyak 83 jiwa.
Awalnya, upaya advokasi ini tidak langsung berjalan mulus. Rupanya memberikan pendidikan bagi Orang Rimba tidak
mudah. Orang Rimba berkeyakinan bahwa semua yang datang dari budaya luar akan mengubah adat dan budaya mereka.
Pendidikan dipandang sebagai sumber malapetaka jika mereka ikut mempelajari.
Namun, penolakan itu tak membuatnya menyerah. Meski banyak penolakan, ia terus berusaha. Setelah melakukan evaluasi
dan diskusi dengan rekan-rekannya, ia kemudian mencoba pendekatan baru. Yaitu dengan mendekati orangtua dan memberikan
pemahaman terkait pentingnya memiliki pendidikan. Untuk lebih mengakrabkan diri, ia juga mengikuti aktivitas sehari-hari Orang
Rimba. Ketika mereka berburu, Yusak pun ikut berburu. Saat Orang Rimba mencari ikan, ia pun tak segan turun ke sungai.
Kerja keras dan semangat Yusak untuk mengajar Orang Rimba menampakkan hasil ketika beberapa orangtua di daerah
Makekal Hulu bisa diyakinkan bahwa mereka butuh pendidikan agar tidak selalu dibodohi oleh orang luar. Pada 27 Juli 1998,
enam anak rimba duduk melingkar di sebuah pondok darurat. Terenong, Pengusai, Beseling, Grip, Mendawai, dan Ngentepi,
menjadi murid pertama yang akan mengikuti pelajaran di Pengeloworon,. Perjuangan keras yang ia lakukan selama berbulanbulan mulai membuahkan hasil.
Sejak memiliki murid, hari-hari Yusak disibukkan dengan mengajar. Bahkan, ia kurang memedulikan kesehatan diri sendiri.
Deman karena serangan malaria memang merupakan penyakit langganan bagi staf lapangan WARSI. Termasuk Yusak mengidap
demam yang disebabkan gigitan nyamuk ini, hingga pada maret 1999, ketika Yusak mengajar murid-muridnya, dia merasakan
Eman tinggi. Namun semangat muridnya yang menggebu untuk belajar, membuat Yusak tidak mau cepat beranjak keluar rimba
mencari pengobatan. Dua hari demam di rimba, barulah ia kembali ke Bangko, kota yang menjadi Base WARSI kala itu.
Sesampainya di Mess yang menjadi markas staf lapangan WARSI Yusak masih sempat bermain gitar dengan lagu-lagu
kegemarannya, ajakan untuk segera berobat oleh staf WARSI di tolaknya, dia meyakinkan dirinya hanya butuh istirahat dan akan
ke dokter sore harinya. Namun apa daya, hanya beberapa jam setelah itu, ia mengalami kejang dan ketika dilarikan ke rumah
sakit, nyawanya sudah tak tertolong. 25 Maret 1999, Yusak pergi meninggalkan dunia, meninggalkan murid-muridnya yang belum
seberapa, membawa duka dan air mata untuk keluarga, sahabat dan rimba belantara tempat muridnya berada. Namun semangat
dan pengorbanan Yusak menjadi penyemangat generasi berikutnya untuk melanjutkan kiprah sang pemula. Kini pendidikan
sudah menjadi tren baru bagi anak-anak rimba. (Komunitas Konservasi Indonesia WARSI)