Вы находитесь на странице: 1из 10

BAB 2

Tinjauan Pustaka
2.1 LANSIA
2.1.1 Definisi Lansia
Pengertian usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau
lebih.Belum ada kesepakatan tentang batasan umur lanjut usia disebabkan terlalu
banyak pendapat tentang batasan umur lanjut usia.16
2.1.2 Batasan-batasan lansia
Batasan lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (middle age) antara
45-49 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut tua (Old) antara
75-90 tahun, serta usia sangat tua (Very Old) diatas 90 tahun.
Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu
pertengahan umur usia lanjut/virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut
dini/prasenium yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
kelompok usia lanjut/senium usia 65tahun keatas dan usia lanjut yang dengan resiko
tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal dipanti, menderita penyakit berat atau cacat.
2.1.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia
Adapun beberapa faktor yang dihadapi lansia yang sangat mempengaruhi
kesehatan jiwa mereka adalah perubahan kondisi fisik, perubahan fungsi dan potensi
seksual, perubahan aspek psikosial, perubahan yang berkaitan dengan perkerjaan, dan
perubahan peran sosial dimasyrakat.
a.Perubahan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis, misalnya tenaga yang sudah mulai berkurang,
kulit yang semakin keriput, gigi yang sudah mulai rontok,tulang yang makin rapuh,

berkurangnya fungsi indra pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya


maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia misalnya badan
menjadi bungkuk, pendengaran berkurang, penglihatan kabur, sehingga menimbulkan
keterasingan.
b.Perubahan Fungsi dan Potensi Seksual
Perubahan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti gangguan jantung, gangguan metabolisme,
kekurangan gizi(karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan berkurang),
penggunaan obat-obatan tertentu (anti hipertensi, golongan steroid, transquilizer), dan
faktor psikologis yang menyertai lansia seperti rasa malu bila mempertahankan
kehidupan seksual pada lansia, sikap keluarga dan masyarakat yang kurang
menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya, kelelahan atau kebosanan karena
kurang variasi dalam hidupnya, pasangan hidup telah meninggal dunia, dan disfungsi
seksual karena perubahan hormonal.
c. Perubahan yang Berkaitan dengan perkejaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pension. Meskipun tujuan
ideal pension adalah agar lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua,
namun dalan kenyataannya sering diartikan sebaliknya karena pension sering
diartikan kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan,status, dan
harga diri.

d. Perubahan dam Peran Sosial di Masyarakat


Akibat berkurangnya fungsi indre pendengaran, penglihatan, gerak fisik, dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia.
Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengarannya berkurang, penglihatan
menjadi kabur, dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang
bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Jika
keterasingan terjadi, lansia akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang

lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis,
mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek
bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperta anak kecil.
2.1.4 Masalah kesehatan pada lansia
adapun beberapa masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda
dari orang dewasa, yang menurut Kane & Ouslander sering disebut dengan istilah 14I,
antara lain yaitu Immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak
stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil atau buang air besar),
Intellectual impairment (gangguan intelektual,dementia), impairment of vision and
hearing, taste, smell, communication, convalescence, inanition (kurang gizi),
impectunity ( tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obatobatan),immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun).
2.1.5 Fungsi Kognitif
Kognitif merupakan suatu proses pekerjaan pikiran yang dengannya kita
mrnjadi waspada akan objek pikrian atau persepsi,mencakup semua aspek
pengamatan,pemikiran dan ingatan.

Aspek-Aspek Kognitif
Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut, anatara lain :
1.Orientasi
Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu. Orientasi
terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri ketika ditanya)
menunjukkan informasi yang overlearned. Kegagalan dalam menyebutkan
namanya sendiri sering merefleksikan negatifisme, distraksi, gangguan pendengaran
atau gangguan penerimaan bahasa.
Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan Negara, provinsi, kota, gedung, dan
lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan menanyakan tahun,
musim, bulan, hari dan tanggal. Karena perubahan waktu lebih sering daripada

tempat, maka waktu dijadikan indeks yang paling sensitive untuk disorientasi.
2.Bahasa
Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4 parameter, yaitu kelancaran,
pemahaman, pengulangan, dan naming.
-

Kelancaran
Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan
panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode yang dapat membantu
menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau
berbicara secara spontan

Pemahaman
Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau
perintah, dibuktikan dengan mempunyai seseorang untuk melakukan perintah
tersebut.

Pengulangan
Kemampuan seseoran untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang
diucapkan seseorang.

Naming
Naming merujuk pada kemampuan sesorang untuk merespon stimulus spesifik
dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar lingkungannya.

3, Atensi
Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon stimulus spesifik dengan
mengabaikan stimulus yang lain diluar lingkungannya.
-

Mengingan segera
Aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengingat sejumlah
kecil informasi selama <30 detik dan mampu untuk mengeluarkannya kembali

Konsentrasi
Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan seseorang untuk
memusatkan perhatiannya pada satu hal. Fungsi ini dapat dinilai dengan
meminta orang tersebut untuk mengurungkan 7 secara berturut-turut dimulai
dari angka 100 atau dengan memintanya mengeja kata secara terbalik.

4. Memori
Memori verbal, yaitu kekmampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi
yang diperolehnya.
a. Memori baru
Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya
pada beberapa menit atau hari yang lalu
b. Memori lama
Kemampuan untuk mengingat informasi yang diperolehnya pada beberapa
minggu atau bertahun-tahun yang lalu.
Memori visual, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali
informasi berupa gambar.
5. Fungsi konstruksi
Aspek ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk membangun dengan sempurna.
Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk menyalin gambar,
memanipulasi balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang telah
dirusak sebelumnya.
6. Kalkulasi
Suatu kemampuan seseorang untuk menghitung angka
7.Penalaran
Kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruknya suatu hal, serta berpikir
abstrak.
Perubahan kognitif yang terjadi pada geriatric, meliputi berkurangnya
kemampuan meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi transmisi saraf
di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi yang hilang
selama transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dari
memori, serta kemampuan menginat kejadian masa lalu lebih baik.
2.1.6 Status Kesehatan pada Lansia Indonesia

Membicarakan mengenai status kesehatan para lansia, penyakit atau keluhan


yang umum diderita adalah penyakit rematik, hipertensi, penyakit jantung, penyakit
paru-paru (bronchitis/dyspnea), diabetes mellitus, jatuh, paralisis/lumpuh separuh
badan, TBC paru, patah tulang dan kanker.
2.2 DEPRESI
2.2.1 Definisi
Depresi merupakan suatu gangguan mood. Mood adalah suasana perasaan
yang meresap dan menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi
perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Sadock & Sadock, 2007)
Depresi ialah suasana perasaan tertekan (depressed mood) yang dapat
merupakan suatu diagnosis penyakit atau sebagai sebuah gejala atau respons dari
kondisi penyakit lain dan stres terhadap lingkungan. Depresi pada lansia adalah
depresi sesuai kriteria DSM-IV. Depresi mayor pada lansia adalah didiagnosa ketika
lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua gejala inti (mood terdepresi dan
kehilangan minat terhadap suatu hal atau kesenangan) bersama dengan empat atau
lebih gejala-gejala berikut selama minimal 2 minggu: perasaan diri tidak berguna atau
perasaan bersalah, berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau membuat
keputusan, kelelahan, agitasi atau retardasi psikomotor, insomnia atau hipersomnia,
perubahan signifikan pada berat badan atau selera makan, dan pemikiran berulang
tentang kematian atau gagasan tentang bunuh diri (American Psychiatric
Association/APA, 2003).
2.2.2 Etiologi
Etiologi diajukan para ahli mengenai depresi pada usia lanjut (Damping, 2003)
adalah:
1. Polifarmasi Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi,
antara lain: analgetika, obat antiinflamasi nonsteroid, antihipertensi,
antipsikotik, antikanker, ansiolitika, dan lain-lain.
2. Kondisi medis umum
Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi adalah gangguan
endokrin, neoplasma, gangguan neurologis, dan lain- lain.
3. Teori neurobiologi Para ahli sepakat bahwa faktor genetik berperan pada depresi
lansia. Pada beberapa penelitian juga ditemukan adanya perubahan
neurotransmiter pada depresi lansia, seperti menurunnya konsentrasi
serotonin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, serta meningkatnya konsentrasi
monoamin oksidase otak akibat proses penuaan. Atrofi otak juga diperkirakan
berperan pada depresi lansia.
4. Teori psikodinamik Elaborasi Freud pada teori Karl Abraham tentang proses

berkabung menghasilkan pendapat bahwa hilangnya objek cinta


diintrojeksikan ke dalam individu tersebut sehingga menyatu atau merupakan
bagian dari individu itu. Kemarahan terhadap objek yang hilang tersebut
ditujukan kepada diri sendiri. Akibatnya terjadi perasaan bersalah atau
menyalahkan diri sendiri, merasa diri tidak berguna, dan sebagainya.
5. Teori kognitif dan perilaku Konsep Seligman tentang learned helplessness
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kehilangan yang tidak dapat
dihindari akibat proses penuaan seperti keadaan tubuh, fungsi seksual, dan
sebagainya dengan sensasi passive helplessness pada pasien usia lanjut.
6. Teori psikoedukatif Hal-hal yang dipelajari atau diamati individu pada orang tua
usia lanjut misalnya ketidakberdayaan mereka, pengisolasian oleh keluarga,
tiadanya sanak saudara ataupun perubahan-perubahan fisik yang diakibatkan
oleh proses penuaan dapat memicu terjadinya depresi pada usia lanjut.
Dukungan sosial yang buruk dan kegiatan religius yang kurang dihubungkan dengan
terjadinya depresi pada lansia. Suatu penelitian komunitas di Hongkong menunjukkan
hubungan antara dukungan sosial yang buruk dengan depresi. Kegiatan religius
dihubungkan dengan depresi yang lebih rendah pada lansia di Eropa. Religious
coping berhubungan dengan kesehatan emosional dan fisik yang lebih baik.
Religious coping berhubungan dengan berkurangnya gejala-gejala depresif
tertentu, yaitu kehilangan ketertarikan, perasaan tidak berguna, penarikan diri dari
interaksi sosial, kehilangan harapan, dan gejala-gejala kognitif lain pada depresi
(Blazer, 2003).
2.2.3 Gambaran Klinik
Ciri-ciri pokok untuk episode depresifmayor adalah suatu periode paling sedikit 2
minggu yang mana selama masa tersebut terdapat mood terdepresi atau kehilangan
ketertarikan atau kesenangan dalam hampir semua aktivitas. Individu dengan depresi
juga harus mengalami paling sedikit empat gejala tambahan yang ditarik dari suatu
daftar yang meliputi perubahan-perubahan dalam nafsu makan atau berat badan, tidur,
dan aktivitas psikomotorik; energi yang berkurang; perasaan tidak berharga atau
bersalah; kesulitan dalam berpikir, berkonsentrasi, atau membuat keputusan; atau
pemikiran-pemikiran berulang tentang kematian atau pemikiran, rencana-rencana,
atau usaha untuk bunuh diri (American Psychiatric Association).
Dalam Gallo & Gonzales (2001) disebutkan gejala-gejala depresi lain pada lanjut
usia:

1. kecemasan dan kekhawatiran


2. keputusasaan dan keadaan tidak berdaya
3 .masalah-masalah somatik yang tidak dapat dijelaskan

4. iritabilitas
5. kepatuhan yang rendah terhadap terapi medis atau diet
6.psikosis
Manifestasi depresi pada lansia berbeda dengan depresi pada pasien yang lebih muda.
Gejala-gejala depresi sering berbaur dengan keluhan somatik. Keluhan somatik
cenderung lebih dominan dibandingkan dengan mood depresi. Gejala fisik yang dapat
menyertai depresi dapat bermacam-macam seperti sakit kepala, berdebar-debar, sakit
pinggang, gangguan gastrointestinal, dan sebagainya (Mudjaddid, 2003). Penyakit
fisik yang diderita lansia sering mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah
lelah dan penurunan berat badan (Soejono, Probosuseno, dan Sari, 2006). Inilah yang
menyebabkan depresi pada lansia sering tidak terdiagnosa maupun diterapi dengan
baik.
Penyebab lain kesulitan dalam mengenal depresi pada lansia adalah baik lansia
maupun keluarga biasanya tidak memperdulikan gejala-gejala depresif. Mereka
menganggap bahwa gejala-gejala tersebut normal bagi orang yang telah mencapai
usia tua. Lansia sendiri sering gagal mengenali depresi yang terjadi pada dirinya
(Hoyer & Roodin, 2003). Dalam Gallo & Gonzales (2001) disebutkan bahwa Lehman
dan Rabbins melaporkan bahwa sampai sepertiga lansia yang menderita depresi
mayor tidak menggambarkan mood mereka sebagai mood terdepresi. Selain itu lansia
sering menutupi rasa sedihnya dengan justru menunjukkan dia lebih aktif (Soejono,
Probosuseno, dan Sari, 2006). Para klinisi juga mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi depresi pada lansia dengan menggunakan kriteria pada DSM-IV.
Kriteria diagnostik tersebut tidak disesuaikan dengan golongan usia. Seringkali terjadi
kesulitan dalam memisahkan depresi dari perubahan fisik khas yang terkait usia,
penyakit, dan gejala-gejala yang terjadi di masa tua (Hoyer & Roodin, 2003).
2.2.4 Skrining Depresi pada Lansia dengan Geriatric Depression Scale
Skrining depresi pada lansia pada layanan kesehatan primer sangat penting.
Hal ini penting karena frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri pada
lansia adalah tinggi (Blazer, 2003). Skrining juga perlu dilakukan untuk membantu
edukasi pasien dan pemberi perawatan tentang depresi, dan untuk mengikuti
perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu (Gallo & Gonzales, 2003).
Skrining tidak ditujukan untuk membuat diagnosis depresi mayor, namun untuk
mendokumentasikan gejala-gejala depresi sedang sampai berat pada lansia apapun
penyebabnya.
Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan tersendiri. Gejala-gejala depresi
seperti kesulitan-kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan libido yang menurun
secara umum ditemukan pada lansia yang tidak mengalami depresi. Pemikiran tentang
kematian dan keputusasaan akan masa depan mempunyai makna yang berbeda bagi
mereka yang berada pada fase terakhir kehidupan. Lagipula, kondisi medik kronik
lebih umum pada pasien geriatri dan dapat berhubungan dengan retardasi motorik dan
tingkat aktivitas yang berkurang. Komorbiditas dengan demensia dapat
mempengaruhi konsentrasi dan proses kognitif.

Geriatric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes untuk skrining
depresi yang mudah untuk dinilai dan dikelola (Rush, et al, 2003). Geriatric
Depression Scale memiliki format yang sederhana, dengan pertanyaan- pertanyaan
dan respon yang mudah dibaca. Geriatric Depression Scale telah divalidasi pada
berbagai populasi lanjut usia, termasuk di Indonesia. Selain GDS, screening scale lain
yang telah terstandardisasi adalah Center for Epidemiologic Studies Depression Scale,
Revised (CES-D-R). Selain GDS dan CES-D-R, masih ada instrumen skrining lain
seperti Hamilton Rating Scale for Depression, Zung Self-Rating Depression Scale,
Montgomery-Asberg Depression Rating Scale (Holroyd dan Clayton, 2004), namun
kedua instrumen inilah yang paling sering digunakan (Blazer, 2006).
Geriatric Depression Scale terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang sebagai suatu
self-administered test, walaupun telah digunakan juga dalam format observeradministered test. Geriatric Depression Scale dirancang untuk mengeliminasi hal-hal
somatik, seperti gangguan tidur yang mungkin tidak spesifik untuk depresi pada
lansia (Gallo & Gonzales, 2001). Skor 11 pada GDS mengindikasikan adanya depresi
yang signifikan secara klinis, dengan nilai sensitivitas 90,11 % dan nilai spesifisitas
83,67% (Nasrun, 2009). Terdapat juga GDS versi pendek yang terdiri dari 15
pertanyaan saja. Pada GDS versi pendek ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan
depresi yang signifikan secara klinis.
Geriatric Depression Scale menjadi tidak valid bila digunakan pada lansia dengan
gangguan kognitif. Status kognitif harus terlebih dahulu dinilai dengan Mini Mental
State Examination (MMSE), karena kemungkinan yang besar dari komorbiditas
depresi dan fungsi kognitif (Blazer, 2003).
Mini Mental State Examination adalah suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin
yang dikelompokkan menjadi tujuh kategori: orientasi tempat, orientasi waktu,
registrasi, atensi dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan konstruksi visual.
Mini Mental State Examination didesain untuk mendeteksi dan menjejaki kemajuan
dari gangguan kognitif yang terkait dengan gangguan neurodegenerative seperti
penyakit Alzheimer. Mini Mental State Examination telah terbukti merupakan
instrumen yang valid dan sangat dapat dipercaya (Rush, et al, 2000). Nilai MMSE 016 menunjukkan suatu definite gangguan kognitif.
2.3.Kualitas Hidup
2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup mendeskripsikan istilah yang merujuk pada emosional, sosial dan
kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam
kehidupan sehari-hari (Donald, 2003).
Kualitas hidup merupakan persepsi individu dari posisi laki-laki/wanita dalam hidup
ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana laki-laki/wanita itu tinggal, dan
berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal
ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan
fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan
mereka kepada karakteristik lingkungan mereka (WHO, 1994).

Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang menikmati


kemungkinan dalam hidupnya, kenikmatan tersebut memiliki dua komponen yaitu
pengalaman, kepuasan dan kepemilikan atau pencapaian beberapa karakteristik dan
kemungkinan-kemungkinan tersebut merupakan hasil dari kesempatan dan
keterbatasan setiap orang dalam hidupnya dan merefleksikan interaksi faktor personal
lingkungan (Chang, Viktor, & Weissman, 2004).
2.3.2 Ruang lingkup kualitas hidup
Secara umum terdapat 5 bidang yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup
berdasarkan kuisioner yang dikembangkan oleh WHO (World Health Organization),
lima bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan
aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci, bidang bidang
yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikutv:
1. Kesehatan fisik (physical health); kesehatan umum, nyeri, energy dan
vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat
2. Kesehatan psikologis (physicological health): cara berpikir, belajar,
memori dan konsentrasi.
3. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari-hari,
komunikasi, kemampuan kerja.
4. Hubungan sosial (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial
5. Lingkungan (environment), keamanan,lingkungan rumah, kepuasan kerja.

Вам также может понравиться