Вы находитесь на странице: 1из 3

DASAR TEORI

Arthritis rematoid adalah suatu penyakit radang sendi yang ditimbulkan oleh
suatukelainan

pada

proses

regulasi

imun

(immune

regulation)

yang

kelainan

imunopatologisnyadisebabkan oleh kegagalan dalam koordinasi dari beberapa fungsi imunitas


mediasi seluler (cell mediated immunity) terhadap suatu antigen di dalam sendi(intra-arthicular)
yang berasal dari luar.
Antigen yang masuk kedalam sendi akan diproses oleh beberapa sel imunokompeten dari
sinovia sendi sehingga merangsang pembentukan antibodi terhadap antigen x tersebut.Antibodi
yang dibentuk dalam beberapa sendi ini terutama dari kelas lgG walaupun kelas dari Ab yang
lain juga terbentuk. Pada beberapa penderita dengan arthritis rematoid, secara genetik,
didapatkan adanya kelainan dari sel limfosit T-Suppressor-nya sehingga tidak dapat menekan sel
limposit T-Helper. Dengan akibat timbulnya rangsangan yang berlebihan pada sel plasma
sehingga terjadi pembentukan antibodi yang berlebihan pula. Dalam jangka waktu yang lama hal
ini akan menyebabkan gangguan glikosilasi IgG sehingga terbentuk IgG yang abnormal, dan
menimbulkan pembentukan auto-antibodi yang dikenal sebagai faktor rematoid. lgG yang
abnormal tersebut akan difagositosis oleh makrofag atau APC yang lain (Anonim, 2010).
Pada umumnya faktor rematoid baru terbentuk setelah penderita menderita penyakit lebih
dari 6 bulan, tetapi dapat pula terjadi lebih awal. Dalam tahap selanjutnya antibodi
tersebut(terutama IgG) akan mengadakan ikatan dengan antigen tersebut dalam bentuk kompleks
IgG-antigen atau dengan IgG sendiri dalam bentuk kompleks IgG-IgG. Kompleks imun yang
terjadi akan mengaktifkan komplemen, dan menimbulkan kemotaksin yang menarik
leukositPMN ke tempat proses. PMN ini akan mengadakan fagositosis kompleks imun tersebut,
dan mengalami kerusakan atau mati dengan akibat pengeluaran enzim lysosin yang
dapatmerusak tulang rawan sendi. Pengendapan kompleks imun disertai komplomen pada
dindingsendi juga dapat menyebabkan kerusakan sendiPada tahap yang lebih lanjut, RA dapat
dikarakterisasi juga dengan adanya nodul-nodul rheumatoid, konsentrasi rheumatoid factor (RF)
yang abnormal dan perubahan radiografi yang meliputi erosi tulang.
Faktor reumatoid (rheumatoid factor, RF) adalah immunoglobulin yang bereaksi dengan
molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam serum, maka RF termasuk
autoantibodi. Faktor penyebab timbulnya RF ini belum diketahui pasti, walaupun aktivasi
komplemen akibat adanya interaksi RF dengan IgG memegang peranan yang penting pada

rematik artritis (rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain dengan RF positif.
Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga berupa IgG atau IgA (Widmann, 1995).
RF positif ditemukan pada 80% penderita rematik artritis. Kadar RF yang sangat tinggi
menandakan prognosis yang buruk dengan kelainan sendi yang berat dan kemungkinan
komplikasi sistemik. RF sering dijumpai pada penyakit autoimun lain, seperti LE, scleroderma,
dermatomiositis, tetapi kadarnya biasanya lebih rendah dibanding kadar RF pada rematik
arthritis. Kadar RF yang rendah juga dijumpai pada penyakit non-imunologis dan orang tua (di
atas 65 tahun).
Uji RF tidak digunakan untuk pemantauan pengobatan karena hasil tes sering dijumpai
tetap positif, walaupun telah terjadi pemulihan klinis. Selain itu, diperlukan waktu sekitar 6 bulan
untuk peningkatan titer yang signifikan. Untuk diagnosis dan evaluasi RA sering digunakan tes
CRP dan ANA. Uji RF untuk serum penderita diperiksa dengan menggunakan metode latex
aglutinasi atau nephelometry (Riswanto, 2009).
Faktor rematoid dalam darah diukur dengan 2 cara yaitu:
1. Tes Aglutinasi
Suatu metode aglutinasi ,dimana darah dicampurkan dengan partikel lateks yang
dilapisi oleh antibody IgG manusia. Jika darah tersebut mengandung faktor rematoid,
larutan lateks tersebut akan membentuk gumpalan atau aglutinasi. Metode ini baik
digunakan sebagai tes pertama atau penyaring. Jenis tes aglutinasi lain yaitu dengan
menggunakan reagen dari darah domba yang di lapisi oleh antibodi kelinci. Jika sampel
mengandung RF, maka akan terbentuk aglutinasi. Metode ini biasanya digunakan untuk
tes konfirmasi.
2. Tes Nephelometry
Pada metode ini, darah yang telah di tes dicampur dengan antibody reagent. saat
sinar laser melalui kuvet yang mengandung campuran tersebut, akan terukur berapa
banyak cahaya yang dapat di halangi oleh sampel dalam kuvet. makin tinggi kadar Rf,
makin banyak gumpalan yang terbentuk, sehingga sampel menjadi keruh, sehingga lebih
sedikit cahaya yang dapat melalui kuvet. Gejala klinik dari RA antara lain nyeri sendi,
pembengkakan sendi, pergerakan terbatas,kekakuan sendi, dan cepat lelah. Diagnosa RA
dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari 6 kriteria dibawah ini: 1) nyeri sendi pada pagi
hari, 2) artritis pada 3 sendi atau lebih, 3) artritis pada sendi tangan, 4) artritis yang

bersifat simetris, 5)serum RF positif, 6) perubahan radiologi pada sendi. Indikasi tes RF
terutama digunakan untuk membantu mendiagnosis arthritis rematoid. Walaupun Rf tidak
sensitive ataupun spesifik untuk RA, tetapi 80% pasien arthritis rheumatoid memiliki RF
yang positif (Sarliyanti, 2012).
Peningkatan kadar RF ditemukan pada

rematik arthritis, LE, dermatomiositis,

scleroderma, mononucleosis infeksiosa, leukemia, tuberculosis, sarkoidosis, sirosis hati,


hepatitis, sifilis, infeksi kronis, lansia.
Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :

Hasil uji RF sering tetap didapati positif, tanpa terpengaruh apakah telah terjadi
pemulihan klinis.

Hasil uji RF bisa positif pada berbagai masalah klinis, seperti penyakit kolagen, kanker,
sirosis hati.

Lansia dapat mengalami peningkatan titer RF, tanpa menderita penyakit apapun.

Akibat keanekaragaman dalam sensitivitas dan spesifisitas uji skrining ini, temuan positif
harus diinterpretasikan berdasarkan bukti yang terdapat dalam status klinis pasien
(Riswanto, 2009).

Daftar Pustaka
Riswanto. 2009. Faktor Reumatoid. Online. http://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/faktorreumatoid.html. diakses pada 11 November 2014
Sarliyanti,

Merlin.

2012.

Pemeriksaan

Reumatoid

Faktor.

http://merlinsarliyanti.blogspot.com/2012/06. diakses pada 11 November 2014


Widmann. F.K. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC

Online.

Вам также может понравиться