Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/tenaga
kesehatanan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi
kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering
dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan
rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat.
Oleh karena itu diperlukan tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan yang bagus
dalam mengaplikasikan asuhan pengkajian gawat darurat untuk mengatasi berbagai
permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau
terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi
lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.
Asuhan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek pengkajian gawat darurat
yang diberikan kepada klien oleh tenaga kesehatan yang berkompeten di ruang gawat
darurat. Asuhan pengkajianyang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien
baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan pengkajian gawat darurat, yaitu : kondisi
kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang
ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu,
adanya saling
ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang
gawat darurat, pengkajian diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar
yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan yang
tinggi (Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar
pada kasus gawat darurat, maka setiap tenaga kesehatan gawat darurat harus
berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan
terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam
melakukan pengkajian awal yang akan menentukan bentuk pertolongan yang akan
diberikan kepada pasien. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula
dapat dilakukan pengkajian awal sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat
pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah
yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan
pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga
jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan
mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi
disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure,
enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
Tenaga kesehatanan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa,
pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan
dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung
memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap
pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care
A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada
primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
1. Airway maintenance dengan cervical spine protection
2. Breathing dan oxygenation
3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya
dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota
tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah
dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk tenaga kesehatanan trauma yang baik adalah
penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai
serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention,
reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
DSouza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
1. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
a. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
c. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
a. Pemberian terapi oksigen
b. Bag-Valve Masker
c. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
d. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh
karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang
cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1. Menentukan ada atau tidaknya
2. Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3. Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
5
4. Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
2. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
3. dimengerti
4. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
5. awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
6. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
2. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil
atau kritis.
(Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009)
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012).
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012).
B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
8
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
a. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya
lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda
lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
b. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
c. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
d. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada
nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
e. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen
Nilai normal
Keterangan
Suhu
36,5-37,5
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter
arteri pulmonal, kateter
urin, esophageal probe,
atau monitor tekanan
intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan,
kondisi penyakit, infeksi
dan injury.
Nadi
60-100x/menit
Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi
12-20x/menit
Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas,
dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari
10
Saturasi oksigen
>95%
Tekanan darah
120/80mmHg
Berat badan
peningkatan usah
abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1
kalimat penuh.
Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan
respirasi, penurunan
kesadaran, penyakit serius
dan tanda vital yang
abnormal. Pengukurna
dapat dilakukan di jari
tangan atau kaki.
Tekana darah mewakili
dari gambaran
kontraktilitas jantung,
frekuensi jantung, volume
sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan
cardiac output, seberapa
besar dan seberapa kuat
darah itu dipompakan.
Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan penting
diketahui di UGD karena
berhubungan dengan
keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung
dengan berat badan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
11
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata
: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung
:periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga
:periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas
: periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut
dan faring: inspeksi pada bagian
mucosa terhadap tekstur,
warna,kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya
deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi
trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway,
pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi
: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
12
rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat
pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya
kemerahan, edema, ruam, lesi,
gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,
paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill
(pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot
dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal
dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya
dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap
bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang
muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi
syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita
mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet,
luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan
14
dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.
Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat
imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan
leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.
Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma
kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi
penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan
epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori
C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada
area pengkajiangawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary
survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif
(Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused
assessment ini dalam pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa
Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused
Assessment tetapi dengan istilah Definitive Assessment (Okeefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan.
Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan
penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan
segera dapat dilakukan tindakan definitif.
D. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat
darurat adalah :
Komponen
Pertimbangan
Airway
Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask
Airway , maupun Endotracheal Tube
(salah satu dari peralatan airway) tetap
efektif untuk menjamin kelancaran jalan
napas. Pertimbangkan penggunaaan
peralatan dengan manfaat yang optimal
15
Circulation
Disability
Exposure
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan
16
1)
2)
3)
4)
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan
kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor,
gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah
yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat
menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan
berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa,
Syaharudin, 2011)
5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada,
abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative,
metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam
membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi
adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan
ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan
berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
6) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan
pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya
emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah
prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah
sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki
pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran
(Widjaya,2002).
18
BAB III
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di
rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik
meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik
segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
a. Kondisi gaduh gelisah.
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi
informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau
inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi
dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak
dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan
status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan
penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter
di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah,
suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi
bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi,
demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan
besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima
hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
19
21
25
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan
obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata
per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2
menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk
penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan
benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan
respon yang baik dengan pemberian -blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan
Gitayanti Hadisukanto, 2010)
C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
26
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan
dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009). Ada
macam-macam
pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih
dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan
dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi
social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih
sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: Hara-kiri: di Jepang, puputan di Bali
beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside
macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang
menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri
pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam
pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga
lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:
1.
Kematian sebagai pelepasan pembalasan (Death as retaliatory
abandonment).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut
akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan
dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2.
Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (Death as
retroflexed murder).
27
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti
kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk
bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan
emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3.
Kematian sebagai penyatuan kembali (Death as reunion).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan
bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (Death as self punishment).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita,
akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya
sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum
diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa
berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia
menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
a.
Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan
tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan
metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat
dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis
obat-obatan atau menggunakan racun.
b.
Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang
melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
c.
Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras
kulit hitam.
d.
Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.
Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian
meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal
juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
e.
Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial
yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki
resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko
tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki
resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen
asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh
diri.
28
f.
Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam
6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien
hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
g.
Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki
gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%,
dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental,
25% kecanduan juga kepada alkohol.
h.
Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien
bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien
kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau
pasangan dalam satu tahun terakhir.
i.
Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga
merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga
dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah
dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor
kontribusi tadi.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a.
Pasien pernah mencoba bunuh diri
b.
Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau
berupa ancaman: kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi (sering dikatakan
pada keluarga)
c.
Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d.
Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan
lain-lain)
e.
Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan
serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang
miliknya.
f.
Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
a. Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
b. Mulailah dengan menanyakan:
1. Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
2. Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
29
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot yang nyata
sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah
yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat
menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain
dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari
pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10
hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi
pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis
yang meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika
terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala
berikut:
a.
Diaforesis
b.
Disfagia
c.
Tremor
d.
Inkontinensia
e.
Penurunan kesadaran
f.
Mutism
g.
Takikardia
h.
Tekanan darah yang meningkat atau labil
i.
Leukositosis
j.
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya
sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan
hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan
gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan
kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas.
Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan
pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot
Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,
kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol,
pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini
dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni
dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu
dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga
dan teman-temannya.
Evaluasi dan Penatalaksanaan
31
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach.
Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and
Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses
dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.
Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6 th edition.
St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
32
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams &
Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
34