Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Prevalensi
Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu
pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan
lamanya penyakit. Menghitung prevalensi dilakukan dengan membagi sampel yang
positif terdapat telur dengan total jumlah sampel yang diperiksa dikalikan 100%
(Ridwan dkk, 2011).
dan larva miracidium yang bersilia dibebaskan. Cacing dewasa Fasciola sp.
berbentuk pipih, seperti daun tanpa rongga tubuh. (Noble dan Noble, 1989).
Tubuh Fasciola gigantica relatif lebih bundar dimana bagian posteriornya
terlihat lebih mengecil dan ukuran telurnya lebih besar dibandingkan Fasciola
hepatica (Adiwinata, 1955). Menurut Brown (1979) cacing dewasa dapat
dibedakan dari Fasciola hepatica karena lebih panjang, kerucut kepala lebih
pendek, alat reproduksi terletak lebih anterior, batil isap perut lebih besar.
Fasciola hepatica mempunyai ciri-ciri: batil isap mulut dan kepala yang letaknya
berdekatan, divertikulum usus, alat kelamin jantan (testis) yang bercabang-cabang
dan berlobus. Sedangkan alat kelamin betina mempunyai kelenjar vitellaria yang
memenuhi sisi lateral tubuh. Memiliki sebuah pharing dan oesphagus yang
pendek, uterus pendek dan bercabang-cabang (Soulsby, 1986). Di Indonesia
cacing hati yang selalu terdeteksi adalah yang berspesies Fasciola gigantica,
sedangkan Fasciola hepatica umumnya dapat ditemukan dari ternak-ternak yang
diimpor ke Indonesia (Kusumamihardja, 1992). Kedua cacing ini secara morfologi
mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan diantara keduanya terletak pada daya
tahan hidup terhadap lingkungan dan inang perantara (Lymnea sp), (Soulsby,
1986).
Metabolisme Fasciola hepatica secara anaerob, mendapat makanan dari
sekresi empedu dan dapat hidup selama 10 tahun (Brown 1979). Fasciola
hepatica dewasa berukuran 20 mm sampai 50 mm (Noble dan Noble.1989).
Sedangkan Fasciola gigantica mempunyai ukuran yang lebih besar dari Fasciola
hepatica, yaitu 20 mm sampai 75 mm (Soulsby, 1986). Di Indonesia Fasciola
gigantica dewasa panjangnya 14 mm sampai 54 mm. Sisi kiri dan kanan hampir
sejajar, bahu kurang jelas, alat penghisap ventral sejajar dengan bahu, besarnya
hampir sama dengan alat penghisap mulut, kutikula dilengkapi dengan sisik. Usus
buntunya bercabang - cabang sejajar dengan sumbu badan, sirus tumbuh
sempurna dan kantung sirus mangandung kelenjar prostat serta kantong semen,
ovarium bercabang terletak di sebelah kanan garis median, kelenjar vitelin
mengisi bagian lateral tubuh (Kusumamiharja 1992).
Gambar 1. Morfologi telur dan cacing dewasa cacing hati (Anonim, 2006)
kemarau. Fasciolosis akut tidak tampak gejala klinis yang jelas, ternak mati
mendadak karena perdarahan akibat rusaknya jaringan parenkim hati (Soulsby,
1986).
Fasciolosis subakut terjadi pada akhir musim gugur sampai musim semi
(Mitchell, 2007). Pada kasus ini ditemukan cacing dewasa sebanyak 500-1500
ekor di dalam buluh empedu dan telur cacing di dalam tinja kurang dari 100
(Matthews, 1999). Kejadian subakut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa
ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta
perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby, 1986).
Fasciolosis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing
dewasa di dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati.
Kejadian ini muncul pada musim dingin dan musim semi (Mitchell, 2007) dengan
jumlah cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja
mencapai 100 (Matthews, 1999). Fasciolosis kronis ditandai dengan penurunan
nafsu makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw,
cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu (Soulsby, 1986). Pada daerah tropis seperti Indonesia
kejadian fasciolosis banyak terjadi di awal musim hujan dan di awal musim
kemarau. Hal ini terjadi karena pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium
terjadi pada awal musim hujan dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai
tahap yang lengkap pada akhir musim hujan. Kemudian pelepasan serkaria terjadi
pada awal musim kering saat curah hujan masih cukup tinggi dan menurun seiring
dengan penurunan curah hujan.
2.6. Epidemiologi
Pada umumnya infeksi Fasciola sp. menyerang sapi, domba dan kambing.
Selain itu juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing, rusa, kelinci,
marmot, kuda, bahkan infeksinya pernah ditemukan pada manusia di Cuba,
Prancis Selatan, Inggris dan Aljazair (Brown, 1979).
Tingkat prevalensi Fasciola sp. berkisar antara 50-80% untuk sapi dan
kerbau di pulau Jawa dan dibawah 10% untuk pulau Sumba (Muchlis, 1985).
10
Kejadian infeksi cacing hati di Indonesia, dari dataran rendah sampai ketinggian
2000 m tetap ditemukan Fasciola gigantica. Hal ini karena Lymnaea rubiginosa
merupakan satu-satunya siput yang menjadi hospes antara mampu hidup baik di
dataran rendah maupun dataran tinggi.
Siput dapat ditemukan dalam air yang mengalir dengan kecepatan dibawah
20 cm tiap detik. Dalam air yang tergenang dan air yang keruh tidak ditemukan,
hal ini dimungkinkan kandungan oksigen yang rendah dan lebih tinggi pada air
jernih dan bergerak (Brotowijoyo, 1987). Lymnaea rubiginosa tidak tahan
kekeringan, tanpa makan dalam lumpur yang memiliki kelembaban 35 % siput 10
mati dalam waktu 2-14 hari, kelembaban 76 % mati dalam 4-16 hari dan dalam
kelembaban 80% mati dalam 8-16 hari. Kelangsungan hidup cacing hati
tergantung pada kehadiran siput serta kecocokan toleransi siput dan fase hidup
bebas cacing, terutama suhu dan pH air (Kusumamiharja, 1992).
2.7. Diagnosis.
Penegakan diagnosa berdasarkan gejala klinis yang diperkuat dengan
penemuan telur cacing dalam tinja (Kusumamiharja, 1992). Telur Fasciola sp.
bentuk ovoid dan memiliki operkulum di salah satu kutubnya. Telur cacing ini
memiliki kerabang telur yang tipis. Di dalam telur dapat ditemukan blastomer
yang memenuhi rongga telur (Gambar 3).
b
.
c
a
.
c
.
Gambar 3. Telur Fasciola sp. (a) Operkulum, (b) Kerabang telur, (c) Blastomer
(CDC/ Melvin, dkk. 1959)
Telur cacing trematoda mempunyai kecenderungan tenggelam ke dasar
dari pada terapung ke permukaan pada preparat apung, sehingga tehnik
sedimentasi lebih tepat untuk diagnosis (Levine, 1990).
11
2.8.Pengendalian
Pencegahan yang efektif terhadap infeksi Fasciola sp. sulit dilakukan
karena sulit untuk menghindarkan sapi dari sawah atau daerah basah yang
merupakan habitat siput, mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan
sehabis panen untuk memberantas siput (Kusumamiharja, 1992). Pencegahan
jangka panjang tergantung eradikasi penyakit pada binatang herbivora,
pengobatan untuk binatang peliharaan mungkin dapat diberikan, tetapi untuk
binatang liar tidak memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi dapat
dicegah dengan tidak makan sayuran mentah (Brown, 1979). Menurut Suweta
(1982), upaya pengendalian penyebarluasan penyakit dapat dilaksanakan dengan
memutuskan siklus hidup cacing, yaitu dengan memberantas siput yang hidup di
air persawahan dan lainnya dengan cara :
1. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga siputsiput mati kekeringan
2. Dengan zat kimia, antara lain perusi (CuSO4) yang ditaburkan ke dalam lahan
berair. Cara ini tidak dianjurkan, karena menimbulkan pencemaran
lingkungan.
3. Dengan menggalakan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena bebek
akan memakan siput-siput yang menjadi tempat berkembangbiak larva cacing
hati.
Ngurah dan Putra, 1997 menerangkan juga bahwa untuk mengendalikan
infeksi cacing Fasciola sp. ada tiga jalan, yaitu mengendalikan atau memberantas
induk semang antara (siput), memperbaiki manajemen dan memberikan obat
antelmentik secara periodik. Untuk mengendalikan populasi siput dapat digunakan
berbagai zat kimia (molluscicida) atau dikendalikan secara biologis dengan
menggunakan predator, misalnya dengan memelihara itik. Hindari penggunaan
pupuk kandang (di sawah) dalam keadaan basah, sebab sebagian telur cacing
Fasciola sp. mungkin masih mampu menetas bila dalam keadaan lembab.
Menurut Lubis (1983) pencegahan infeksi cacing hati dapat dilakukan dengan
pemberian ransum yang baik sangat perlu diperhatikan untuk menambah daya
12
13