Вы находитесь на странице: 1из 15

Tugas Makalah Etika

Sekolah Pascasarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Mt. Kuliah : Falsafah Sains (PPS 702)
Dosen : Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
ETIKA LINGKUNGAN
Faizal Rumagia
C262140011
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
I.

PENDAHULUAN
Saat ini modernisasi sering dianggap sebagai sebuah keharusan yang tidak bisa

ditahan oleh sebuah bangsa, sehingga gelombang modernisasi telah merambah ke


berbagai pelosok negeri; sekalipun dalam modernisasi tersebut harus mengabaikan aspek
lain, seperti aspek geografis, aspek lingkungan, dan sebagainya. Oleh karea itu, dalam
rangka meningkatkan harmonisasi berbagai aspek, harmonisasi harus dihadapi melalui
strategi yang arif dan bijaksana. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam melakukan
pembangunan dan modernisasi, sering kali ada anggapan yang sangat instan yang
mengatakan bahwa pengelolaan lingkungan dapat menghalangi pembangunan, sehingga
aspek lingkungan sering kali dipertentangkan dengan pembangunan. Hal ini terjadi
karena manusia yang bersifat serakah dan egois sering kali hanya berpikir jangka pendek
dan berpikir secara instan, serta hanya mementingkan keuntungan sesaat tanpa
memikirkan kejadian yang mungkin akan menimpa pada masa yang akan datang. Lebih
ekstrimnya, dapat dikatakan bahwa manusia modern selalu menggunakan materi dan
energi, bahkan sadar atau tidak sadar etika manusia modern juga hampir selalu
menggunakan orang yang mempunyai materi dan energi yang berllimpah, sehingga
secara tidak sadar pada akhirnya kita sudah menuhankan materi dan energi. Hal tersebut
dapat diamati pada kebiasaan yang hampir melanda semua golongan masyarakat di
berbagai belahan bumi bahwa kepemilikan materi yang berlimpah merupakan suatu
kebanggaan, walau materi tersebut didapatkan dengan cara yang amoral (Riani 2012).
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung
dari pengelolaan lingkungan hidup yang nir-etik. Artinya, manusia melakukan
pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar
dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma
kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan
dan kepentingannya sendiri.
Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan hati nurani. Alam
begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi
penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies
dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan
alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
manusia. Kiranya tidak salah jika manusia dipandang sebagai kunci pokok dalam
kelestarian maupun kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Cara pandang dan sikap
manusia terhadap lingkungan hidupnya menyangkut mentalitas manusia itu sendiri yang
mempertanyakan eksistensinya di jaman modern ini dalam kaitannya dengan waktu,
tujuan hidup, arti materi dan yang ada di atas materi.
Hampir semua masyarakat memiliki norma. Norma lebih spesifik daripada nilai.
Norma akan mengarahkan seseorang tentang perilaku yang diterima dan yang tidak
diterima. Norma adalah aturan masyarakat tentang sikap baik dan buruk, tindakan yang
boleh dan tidak boleh. Ada tiga jenis norma, yaitu kebiasaan (custom), larangan (mores),
dan konvensi (Sumarwan 2002). Norma personal digambarkan sebagai bentuk etika
moral maupun kewajiban terhadap sesuatu yang menyangkut orientasi dalam
memperlakukan sesuatu. pendekatan etis dalam menyikapi masalah lingkungan hidup
sungguh sangat diperlukan. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk menentukan sikap,
tindakan dan perspektif etis serta manejemen perawatan lingkungan hidup dan seluruh
anggota ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika saat ini
dikembangkan etika lingkungan hidup dengan opsi ramah terhadap lingkungan hidup
(Parwiyanto 2010).
Dengan demikian masalah lingkungan hidup tak lain adalah soal bagaimana
mengembangkan falsafah hidup yang dapat mengatur dan mengembangkan eksistensi
manusia dalam hubungannya dengan alam. Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan
persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui
sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan
perusakan.

Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan, perhatian kita pada isu lingkungan ini
juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan
generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Kita akan menyadari bahwa
relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya
ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada
kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut
utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh
apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan
mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang
etika lingkungan dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.
II.

ETIKA
Etika (Bertens 1997) berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan

atau adat. Etika identik dengan kata moral yang berasal dari kata latin mos, yang dalam
bentuk jamaknya mores yang juga berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral artinya
sama, namum dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang ada. Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran
moral adalah ajaran wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber langsung
ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan agama, dan tulisan para bijak. Etika
merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan
atau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat dengan konsep individu atau
kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah
dilakukan. Sedangkan Etiket adalah suatu sikap seperti sopan santun atau aturan lainnya
yang mengatur hubungan antara kelompok manusia yang beradab dalam pergaulan
(Anonymous a 2014 dalam Sutrisno 2014).
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno dari kata ethos (dalam bentuk tunggal) ta etha
(dalam bentuk jamak) yang berarti adat kebiasaan. Dari arti teakhir inilah menjadi latar
belakang bagi terbentuknya etika yang oleh Aristoteles (384-322 S.M) sebagai ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Wirdayanti 2012)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika dapat juga dipakai dalam tiga
pengertian:
1. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya;
2. Kumpulan asas atau nilai moral atau dapat disebut sebagai kode etik;
3. Ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika menjadi ilmu apabila asas-asas dan nilai
nilai tentang yang dianggap baik dan buruk digunakan menjadi bahan refleksi bagi
suatu penelitian sistematis dan modis, sehingga menjadi filsafat moral.
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak
secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk
mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita
pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan
kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek
atau sisi kehidupan manusianya (Bertens 1997).
Etika merupakan sebuah konsep aksi, bukanlah sesuatu yang dapat dipikirkan secara
sederhana dan dapat dirasionalkan. Etika melibatkan tindakan dan perilaku. Etika
membutuhkan karakter dan keberanian untuk menghadapi tantangan ketika melakukan
hal yang benar melebihi dari apa yang akan diterima. Terkadang etika dianggap sama
dengan moral. Saat ini, istilah moral lebih sering digunakan untuk menggambarkan adat
dan tradisi perihal benar dan salah, yang terkadang berasosiasi dengan nilai personal
dalam hal jenis kelamin, kebutuhan dasar, peruntungan, dan agama. Moral dapat berubah
sejalan dengan waktu dan perkembangan teknologi. Etika adalah bagaimana moral
seseorang harus berlaku (Taback & Ramanan 2014)
III.

ETIKA LINGKUNGAN
Etika lingkungan, yang merupakan bagian dari konsep bioetik, merupakan cara untuk

menghargai alam atau lingkungan dan berlangsung secara berkelanjutan dalam


keharmonisan hidup dengan alam dan memerlukan penghargaan tersendiri yang bukan
hanya dari umat manusia tetapi dari seluruh makhluk ciptaan tuhan. Bentuk etika ini
menkaji tentang hubungan antara manusia dan alam dari sudut pandang moral (Huiying
2004 dalam Saka et al. 2009). Fungsi tertinggi dari etika lingkungan adalah untuk

mengatur hubungan antara manusia dan alam. Etika lingkungan tidak didasarkan pada
hubungan darah, tetapi pada kenyataan, ilmu pengerahuan, dan hubungan antara manusia
dan alam (Saka et al. 2009).
Keraf (2005) memberikan suatu pengertian tentang etika lingkungan hidup adalah
berbagai prinsip moral lingkungan. Etika lingkungan tidak hanya dipahami dalam
pengertian yang sama dengan pengertian moralitas. Etika lingkungan hidup lebih
dipahami sebagai sebuah kritik atas etika yang selama ini dianut oleh manusia, yang
dibatasi pada komunitas sosial manusia. Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan
moralitas tersebut diberlakukan juga bagi komunitas biotis dan komunitas ekologis.
Etika lingkungan hidup sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha
untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang
dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem
alam dan lingkungan sekitarnya. Paling tidak pendekatan etika lingkungan hidup dapat
dikategorikan dalam dua tipe yaitu tipe pendekatan human-centered (berpusat pada
manusia atau antroposentris) dan tipe pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan
atau biosentris). Teori etika human-centered mendukung kewajiban moral manusia untuk
menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai
manusia. Sedangkan teori etika life-centered adalah teori etika yang berpendapat bahwa
kewajiban manusia terhadap alam tidak berasal dari kewajiban yang dimiliki terhadap
manusia. Dengan kata lain, etika lingkungan bukanlah subdivisi dari etika humancentered (Parwiyanto 2010).
Prinsip dasar dari etika lingkungan adalah antroposentrisme (anthropocentrism),
biosentrisme (biocentrism) dan ekosentrisme (ecocentrism) (Anemiya & Macer 1999
dalam Saka et al. 2009). Para peneliti mengemukakan bahwa perhatian terhadap
lingkungan berkaitan erat dengan orientasi nilai dan keuntungan dari kepentingan sosial
(social-altruistic), egoistik (egoistic) dan biospherik (biospheric) (Stern, Dietz & Kalof
1993 dalam Saka et al. 2009). Orang yang berpandangan tentang kerusakan lingkungan
terjadi karena akibat dari lingkungan itu sendiri, mencerminkan diri sebagai orang yang
bersifat egoistik; sedangkan orang yang bersifat socioaltruistic memiliki pandangan
bahwa akibat dari kerusakan lingkungan akan berpengaruh pada kehidupan manusia;
sementara orang yang berpandangan biospheric memiliki pandangan bahwa akibat dari
kerusakan lingkungan akan berdampak kepada hewan, tumbuhan dan ekosistem.

Pandangan egoistik dan socioaltruistic akan membentuk satu pandangan yang


menyatakan bahwa manusia merupakan pusat dari kerterkaitan antara manusia dan alam,
yang dikenal dengan istilah antroposentis (anthropocentric) (Amerigo et al. 2007 dalam
Saka et al. 2009). Sedangkan menurut Thompson dan Barton (1994) dalam Saka et al.
(2009), terdapat dua sifat yang berkaitan dengan etika lingkungan, yakni ekosentik
(ecocentric) dan antroposentrik (anthropocentric).
Kata lingkungan menggambarkan berbagai hal yang berkaitan dengan
pengetahuan tentang alam dan kondisinya. Akan tetapi, terdapat pemahaman yang lebih
tentang lingkungan sebagai sistem yang dinamis dan berkembang dari alam dan faktor
manusia, dimana terdapat aktifitas organisme hidup atau aktifitas manusia, dan memiliki
dampak langsung atau tidak langsung, pengaruh jangka pendek atau jangka panjang,
terhadap makhluk hidup itu sendiri pada waktu tertentu, dan pada lokasi tertentu
(Vaillancourt 1995 dalam Kulkarni 2000).
Hubungan manusia dan lingkungan hidupnya dipengaruhi oleh bagaimana manusia
memandang alam semesta dari segi agama, filsafat, nilai-nilai, serta tradisi pemikiran dan
ilmu pengetahuan. Sepanjang peradaban manusia boleh dikatakan telah berkembang tiga
teori etika lingkungan. Etika yang tumbuh awal, yaitu Etika Lingkungan Dangkal
(Shallow Environmental Ethics) atau yang dikenal sebagai antroposentrisme, yaitu etika
lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta dan etika
ini dianggap sebagai penyebab krisis ekologi karena dari etika ini lahir sikap dan perilaku
eksploitatif yang tidak peduli sama sekali terhadap keberlanjutan alam. Pada pertengahan
abad 20 muncul Etika Lingkungan Medium (Intermediate Environmental Ethics) atau
dikenal sebagai biosentrisme yang merupakan kritikan terhadap antroposentrisme. Etika
ini berpandangan alam juga mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri terlepas
dari kepentingan manusia. Awal 1970an, etika biosentrisme ini diperluas menjadi Etika
Lingkungan Dalam (Deep Environmental Ethics) atau yang dikenal sebagai ekosentrisme
yang berangkat dari pemahaman bahwa secara ekologis makhluk hidup dan lingkungan
abiotiknya satu sama lain saling terkait, tidak dapat dipisahkan. Kewajiban dan tanggung
jawab moral manusia tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup, melainkan juga berlaku
kepada semua realita ekologi (Keraf 2005).

Perhatian etika terhadap lingkungan dapat didasarkan pada pandangan bahwa


lingkungan alamiah merupakan nilai instrumen bagi manusia, atau pada pandangan
bahwa lingkungan alamiah memiliki nilai non-instrumen, yang berarti bahwa alam
memiliki nilai tersendiri bagi mereka secara alamiah dan tidak tergantung pada perhatian
manusia. Jika lingkungan semata-mata bernilai sebagai instrument, maka secara tidak
langsung akan menjadi objek dari perhatian ekologi ketika terjadi kerusakan lingkungan
yang disebabkan oleh manusia, bahkan oleh generasi yang akan datang. Esensi dari
perilaku etika dalam konteks ini adalah keinginan dari individu untuk melindungi
keberadaan dan kesejahteraan dari yang lainnya untuk kepentingannya sendiri. Pada
konteks ini, manusia menjadi objek dari kepedulian moral, sedangkan lingkungan
menjadi subjek kepedulian moral karena sifatnya sebagai instrument bagi kesejahteraan
manusia. Alam dilindungi pada keadaan ini oleh individu manusia demi nilai
instrumentasinya, bukan karena nilai lain dari alam itu sendiri (Booth 1994).
Perhatian terhadap lingkungan memberikan gagasan yang umumnya melibatkan
berbagai dimensi lingkungan, seperti perhatian terhadap konservasi, popilasi, polusi, dan
sebagainya. Perhatian terhadap konservasi menggambarkan efisiensi terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam. Perhatian terhadap populasi mengindikasikan bahwa
peningkatan populasi yang berlebihan dapat menjadi penghambat bagi sumberdaya alam.
Sedangkan perhatian pada polusi melibatkan masukan dari produksi manusia yang
bersifat sintetis ke dalam udara, tanah atau air dalam jumlah yang berlebihan dan
membahayakan rantai kehidupan di alam (Kulkarni 2000).
Sebagaimana yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir bahwa
keberfungsian lingkungan semakin menurun dan tidak nyaman di kalangan masyarakat.
Faktor Intensi atau maksud perilaku pro lingkungan mencakup kesadaran, norma
personal, dan peranan tanggung jawab dari masing-masing individu dalam menjalankan
fungsi sosialnya dalam menjaga kelestarian pro lingkungan (Garling et al. 2001).
Dalam intensi perilaku pro lingkungan, Schwartz (1977) mengembangkan teori NAT
(Norm-Activation Theory) atau teori tindakan norma untuk menjelaskan perilaku
altruistik. Nilai suatu objek lingkungan dapat dihargai berdasarkan norma harapan diri
(normative self-expectation) yaitu norma personal sebagai bentuk konsekuensi dari
kesadaran dan tanggung jawab pribadi. Kesatuan antara kesadaran, tanggung jawab, dan

norma personal mempengaruhi intensi dan perilaku individu dalam pro lingkungan (Wall
et al. 2007).
Perkembangan dari teori sikap dan perilaku lingkungan, teori intensi dalam NAM
(Norm Activation Theory) yang menjelaskan bahwa NAM sebagai model pengaruh dalam
faktor penentu intensi perilaku. Norma personal adalah sebagai penengah antara
hubungan tanggung jawab dengan perilaku, sedangkan tanggung jawab sendiri adalah
penengah hubungan antara kesadaran dan norma personal, yang akhirnya kesadaran
sebagai penengah antara orientasi nilai dengan tanggung jawab. Secara keseluruhan
NAM sebagai model pengengah mencontohkan dalam penelitian (Eriksson, Garvill &
Nordlund 2006) mengenai pengurangan bahan bakar kendaraan bahwa intensi sebagai
faktor penentu dalam implementasi pemecahan masalah dan polusi lingkungan (De Groot
et al. 2007).
Keraf (2005) berpendapat bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi
sekarang ini baik pada lingkup global maupun nasional, sebagian besar bersumber dari
perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan, seperti di laut, hutan,
atmosfer, air, tanah, dapat bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung
jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab
utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan. Berkaitan dengan keinginan manusia,
keinginan yang mendominasi masalah lingkungan dapat dibagi dalam beberapa pola.
Pola-pola keinginan ini didasarkan pada potensinya dalam mempengaruhi keseimbangan
tata ekologi, yaitu sebagai berikut:
1. Pola individual, tergolong lagi ke dalam faktor-faktor yang berupa faktor tidak adanya
perangkat-perangkat norma yang mengatur interaksi-interaksi individu pada
lingkungannya, faktor tidak adanya sarana-sarana pembinaan lingkungan, faktor
egoisme atau mementingkan diri sendiri, serta faktor pengawasan dan penegakan
hukum
2. Pola politik pembangunan, pola ini meliputi ambisi yang tidak pernah memuaskan dan
politik pembangunan versus politik lingkungan

3. Pola negara-negara industri, meliputi ketidakjujuran negara-negara maju dan negara


berkembang yang haus pembangunan.

Masalah lingkungan hidup merupakan suatu fenomena besar yang memerlukan


perhatian khusus dari kita semua. Setiap orang diharapkan berpartisipasi dan bertanggung
jawab untuk mengatasinya (Harun 2009). Menurut Siahaan (2004) asas baru dalam
hukum lingkungan adalah asas tanggung jawab yang bersifat khusus yang disebut dengan
strict liability. Asas ini oleh sarjana-sarjana hukum lingkungan disebut sebagai asas
tanggung jawab langsung dan seketika.
Asas baru tersebut termuat dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang bunyi lengkapnya
adalah Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan
bahan berbahaya dan beracun, dan/atau mungkin menghasilkan limbah berbahaya atau
beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Siahaan 2004).
Kesadaran menurut Sartre berifat itensional dan tidak dapat dipisahkan di dunia.
Kesadaran selalu terarah pada etre en sio (ada begitu saja) atau berhadapan dengannya.
Kesadaran sebagai keadaan sadar, bukan merupakan keadaan yang pasif melainkan suatu
proses aktif yang terdiri dari dua hal hakiki, yaitu diferensiasi dan integrasi. Meskipun
secara kronologis perkembangan kesadaran manusia berlangsung pada tiga tahap, yaitu
sensansi (pengindraan), perseptual (pemahaman), dan konseptual (pengertian). Secara
epistemology dasar dari segala pengetahuan manusia adalah tahap perseptual, yaitu
kesadaran yang terdiskreminasi pada tingkatan persepsi dimana manusia memahami fakta
dan memahami realitas. Kesadaran lingkungan di dalam Revolusi dari Belgrade
International Conference an Enviromental Education (1875) adalah kepekaan terhadap
lingkungan secara keseluruhan termasuk permasalahan-permasalahan yang terkait di
dalamnya (Rahman 2007).
Peningkatan kesadaran lingkungan dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain
pendidikan dalam arti memberi arahan pada sistem nilai dan sikap hidup untuk mampu
memelihara keseimbangan antara pemenuhan kepentingan pribadi, kepentingan
lingkungan sosial, dan kepentingan alam. Kedua, memiliki solidaritas sosial dan
solidaritas alam yang besar mengingat tindakan pribadi berpengaruh kepada lingkungan
sosial dan lingkungan alam. Kegiatan karya wisata di alam bebas merupakan salah satu
program yang mendekatkan generasi muda dengan lingkungan, sekaligus cinta akan

lingkungan yang serasi dan asri. Pendidikan lingkungan secara informal dalam keluarga
dapat dikaitkan dengan pembinaan disiplin anak-anak atas tanggung jawab dan
kewajibannya dalam menata rumah dan pekarangan (Harun 2009). Sementara itu,
Wibowo (2009) menyatakan bahwa individu yang memiliki pengetahuan, keterampilan,
mempunyai sikap positif terhadap lingkungan serta terhadap perilaku pro lingkungan,
biasanya memiliki intensi untuk mewujudkan tindakan perilaku bertanggung jawab.
Perhatian terhadap lingkungan perlu ditumbuhkan untuk meningkatkan pengenalan
terhadap hubungan antar berbagai sistem. Perubahan terhadap lingkungan alami
seringkali dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang lebih baik. Tiap
keluarga mempunyai kontribusi penting dalam melestarikan dan memelihara lingkungan,
karena keluarga yang biasanya memilih lahan untuk pemukiman (Guhardja et al. 1989).
Manusia bersama lingkungan hidupnya berada dalam suatu ekosistem. Kedudukan
manusia di dalam kesatuan ekosistem adalah sebagai bagian penting yang tidak mungkin
dipisahkan, karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada kelestarian
ekosistemnya. Agar kelestarian ekosistem tersebut dapat terjamin, maka manusia harus
menjaga keserasian hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Jika
keserasian hubungan manusia dengan lingkungannya terganggu, maka terganggu pula
kesejahteraannya. Jadi manusia dan lingkungannya merupakan ikatan yang tidak dapat
dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi (Natsir 1986).
Tingkah laku manusia selalu mempengaruhi keharmonisan dan keseimbangan
lingkungannya, karena itu manusia akan berusaha untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidupnya untuk mempertahankan keseimbangan tersebut. Manusia
berkeyakinan semakin tinggi kualitas lingkungan, maka semakin banyak pula manusia
dapat mengambil keuntungan dan semakin besar pula daya dukung hidupnya (Wardana
1999).
Prinsip etika lingkungan hidup dirumuskan dengan tujuan untuk dapat dipakai
sebagai pegangan dan tuntunan bagi perilaku manusia dalam berhadapan dengan alam,
baik perilaku terhadap alam secara langsung maupun perilaku terhadap sesama manusia
yang berakibat tertentu terhadap alam. Serta secara lebih luas, dapat dipakai sebagai
pedoman dalam pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan hidup berkelanjutan.
Keraf (2005) memberikan minimal ada sembilan prinsip dalam etika lingkungan hidup.
Pertama adalah sikap hormat terhadap alam atau respect for nature. Alam mempunyai

hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung pada alam. Tetapi
terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian integral dari alam.
Manusia anggota komunitas ekologis. Manusia merupakan makhluk yang mempunyai
kedudukan paling tinggi, mempunyai kewajiban menghargai hak semua mahkluk hidup
untuk berada, hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan
penciptanya. Maka sebagai perwujudan nyata dari penghargaan itu, manusia perlu
memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan alam beserta seluruh
isinya. Manusia tidak diperbolehkan merusak, menghancurkan, dan sejenisnya bagi alam
beserta seluruh isinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara moral.
Kedua, prinsip tangungg jawab atau moral responsibility for nature. Prinsip
tanggung jawab disini bukan saja secara individu tetapi juga secara berkelompok atau
kolektif. Prinsip tanggung jawab bersama ini setiap orang dituntut dan terpanggil untuk
bertanggung jawab memelihara alam semesta ini sebagai milik bersama dengan cara
memiliki yang tinggi, seakan merupakan milik pribadinya. Tangung jawab ini akan
muncul seandainya pandangan dan sikap moral yang dimiliki adalah bahwa alam dilihat
tidak sekadar demi kepentingan manusia, milik bersama lalu diekploitasi tanpa rasa
tanggung jawab. Sebaliknya kalau alam dihargai sebagai bernilai pada dirinya sendiri
maka rasa tanggung jawab akan muncul dengan sendirinya dalam diri manusia, kendati
yang dihadapi sebuah milik bersama.
Ketiga, solidaritas kosmis atau cosmic solidarity. Solidaritas kosmis mendorong
manusia untuk menyelamatkan lingkungan, untuk menyelamatkan semua kehidupan di
alam. Alam dan semua kehidupan di dalamnya mempunyai nilai yang sama dengan
kehidupan manusia. Solidaritas kosmis juga mencegah manusia untuk tidak merusak dan
mencermati alam dan seluruh kehidupan di dalamnya, sama seperti manusia tidak akan
merusak kehidupannya serta rumah tangganya sendiri. Solidaritas kosmis berfungsi untuk
mengontrol perilaku manusia dalam batas-batas keseimbangan kosmis, serta mendorong
manusia untuk mengambil kebijakan yang pro alam, pro lingkungan atau tidak setuju
setiap tindakan yang merusak alam.
Keempat, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam atau caring for nature.
Prinsip kasih sayang dan kepedulian merupakan prinsip moral satu arah, artinya tanpa
mengharapkan untuk balasan. Serta tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan
pribadi tetapi semata-mata untuk kepentingan alam. Diharapkan semakin mencintai dan

peduli terhadap alam manusia semakin berkembang menjadi mnusia yang matang,
sebagai pribadi dengan identitas yang kuat. Alam tidak hanya memberikan penghidupan
dalam pengertian fisik saja, melainkan juga dalam pengertian mental dan spiritual.
Kelima, prinsip tidak merugikan atau no harm, merupakan prinsip tidak merugikan
alam secara tidak perlu. Bentuk minimal berupa tidak perlu melakukan tindakan yang
merugikan atau mengancam eksistensi mahkluk hidup lain di alam semesta. Manusia
tidak dibenarkan melakukan tindakan yang merugikan sesama manusia. Pada masyarakat
tradisional yang menjujung tinggi adat dan kepercayaan, kewajiban minimal ini biasanya
dipertahankan dan dihayati melalui beberapa bentuk tabu-tabu. Misalnya pada
masyarakat perdesasan yang masih percaya dan melakukan ritual di tempat tertentu,
seperti sendang (jawa) yaitu suatu lokasi keluarnya sumber air secara alami, dipercayai
memiliki nilai ritual tidak boleh setiap orang membuang sesuatu, tidak diperkenankan
melakukan kegiatan secara sembarangan, dan setiap hari-hari tertentu dilaksanakan ritual.
Siapa saja yang melakukan dipercayai akan mendapatkan sesuatu yang kurang baik
bahkan kutukan.
Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Prinsip ini menekankan
pada nilai, kualitas, cara hidup, dan bukan kekayaan, sarana, standart material. Bukan
rakus dan tamak mengumpulkan harta dan memiliki sebanyak banyaknya,
mengeksploitasi alam, tetapi yang lebih penting adalah mutu kehidupan yang baik. Pola
konsumsi dan produksi pada manusia modern yang bermewah-mewah dalam kelimpahan
dan berlebihan, yang berakibat pada saling berlomba mengejar kekayaan harus ditinjau
kembali. Hal ini menyangkut gaya hidup bersama, apabila dibiarkan dapat menyebabkan
materialistis, konsumtif, dan eksploitatif. Prinsip moral hidup sederhana harus dapat
diterima oleh semua pihak sebagai prinsip pola hidup yang baru. Selama tidak dapat
menerima, kita sulit berhasil menyelamatkan lingkungan hidup.
Ketujuh, prinsip keadilan. Prinsip keadilan sangat berbeda dengan prinsip-prinsip
sebelumnya. Prinsip keadilan lebih ditekankan pada bagaimana manusia harus
berperilaku satu terhadap yang lain dalam keterkaitan dengan alam semesta dan
bagaimana sistem sosial harus diatur agar berdampak positip pada kelestarian lingkungan
hidup. Prinsip keadilan terutama berbicara tentang peluang dan akses yang sama bagi
semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut menikmati pemanfatannya.

Kedelapan, prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi sangat terkait dengan hahikat alam.
Alam semesta sangat beraneka ragam. Keanekaragaman dan pluralitas adalah hakikat
alam, hakikat kehidupan itu sendiri. Artinya, setiap kecenderungan reduksionistis dan
antikeanekaragaman serta antipluralitas bertentangan dengan alam dan anti kehidupan.
Demokrasi justru memberi tempat seluas-luasnya bagi perbedaan, keanekaragaman,
pluralitas. Oleh karena itu setiap orang yang peduli terhadap lingkungan adalah orang
yang demokratis, sebaliknya orang yang demokratis sangat mungkin seorang pemerhati
lingkungan. Pemerhati lingkungan dapat berupa multikulturalisme, diversifikasi pola
tanam, diversifiaki pola makan, keanekaragaman hayati, dan sebagainya.
Kesembilan, prinsip integritas moral. Prinsip integritas moral terutama dimaksudkan
untuk pejabat publik. Prinsip ini menuntut pejabat publik agar mempunyai sikap dan
perilaku yang terhormat serta memegang teguh prinsip-prinsip moral yang mengamankan
kepentingan publik. Dituntut berperilaku sedemikian rupa sebagai orang yang bersih dan
disegani oleh publik karena mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan
terutama kepentingan masyarakat. Misalnya orang yang diberi kepercayaan untuk
melakukan Analisisi Mengenai dampak Lingkungan (Amdal) merupakan orang-orang
yang memiliki dedikasi moral yang tinggi. Karena diharapkan dapat menggunakan akses
kepercayaan yang diberikan dalam melaksanakan tugasnya dan tidak merugikan
lingkungan hidup fisik dan non fisik atau manusia.
Kesembilan prinsip etika lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi filter atau
pedoman untuk berperilaku arif bagi setiap orang dalam berinteraksi dengan lingkungan
hidup sebagai bentuk mewujudkan pembangunan di segala bidang. Baik pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup atau pembangunan berwawasan lingkungan
hidup berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Bertens K. 1997. Etika. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Booth DE. 1994. Ethics and the limits of environmental economics. Ecological
Economics, 9: 241-252.
De Groot JIM, Steg L, Dicke M. 2007. Morality and Reducing Car Use: Testing the
Norm Activation Model of Prosocial Behavior. In F. Columbus (Ed.),
Transportation Research Trends (in press), NOVA Publishers.
Garling T, Fujii S, Garling A, Jakobsson C. 2001. Moderating Effect of Social Value
Orientation on Determinants of Proenviromental Behaviour Intention.
Environmental Psychology 23(7):1-9.
Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Saharia. 1989. Diktat Manajemen Sumberdaya
Keluarga. Bogor (ID): GMSK Faperta, IPB.
Hakim LN. 2013. Etika Lingkungan Hidup. http://blulukz.blogspot.com/2013/03/etikalingkungan-hidup.html. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
Harun
R.
2009.
Peningkatan
Kesadaran
Lingkungan
Hidup.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Peningkatan+Kesadaran+Li
ngkungan+Hidup&dn=20090409154317. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
Keraf AS. 2005. Etika Lingkungan. Jakarta (ID). Penerbit Buku Kompas.
Kulkarni SP. 2000. Environmental Ethics and Information Asymmetry among
Organizational Stakeholders. Journal of Business Ethics, 27: 215228.
Natsir A. 1986. Peranserta Masyarakat dalam Penanggulangan Penyakit Schistosomiasis
di Sulawesi Tengah. Tesis. Jakarta (ID): Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Parwiyanto H. 2010. Masalah Lingkungan dalam Kajian Etika dan Moral.
http://meandmyheart.files.wordpress.com/2009/05/masalah-lingkungan-dlmkajian-etika-dan-moral.pdf. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2014.
Rahman NT. 2007. Evaluasi Pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Dalam Pendidikan Lingkungan Hidup di SMA Insan Kamil. Skripsi. Bogor (ID):
Departemen , Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Riani E. 2012. Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik: Dampak pada
Bioakumulasi Bahan Berbahaya dan Beracun & Reproduksi. Bogor (ID): PT.
Penerbit IPB Press.
Saka M, Srmeli H, ztuna A. 2009. Which attitudes preservice teaachers have towards
environmental ethics. Procedia Social and Behavioral Sciences, 1; 2475-2479.
Siahaan NHT. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta (ID):
Erlangga.
Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya Dalam Pemasaran.
Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.
Suseno FM. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Sutrisno IF. 2014. Etika Lingkungan Hidup terhadap Illegal Logging. Tugas Kelompok
Makalah Etika Profesi. Minat Hama dan Penyakit Tumuhan, Program Studi
Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
https://www.scribd.com/doc/225235312/Makalah-Etika-Lingkungan-Hidup.pdf.
Diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
Taback H, Ramanan R. 2014. Environmental Ethics and Sustainability: A Casebook for
Environmental Professionals. New York (US): CRC Press.
Wall R, Wright PD, Mill GA. 2007. Comparing and Combining Theories to Explain
Proenvironmental Intentions. Environment and Behaviour 39(6):731-753.
Wardana WA. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Jakarta (ID): Andi Offset..
Wibowo I. 2009. Pola Perilaku Kebersihan: Studi Psikologi Lingkungan Tentang
Penanggulangan Sampah Perkotaan. Makara, Sosial Humaniora 13(1):37-27.
Wirdayanti
A.
2012.
Etika
dalam
Ilmu
Pengetahuan.
http://agneswirdayanti.blogspot.com/2012/01/etika-dalam-ilmu-pengetahuan.html.
Diakses pada tanggal 31 Oktober 2014.

Вам также может понравиться