Вы находитесь на странице: 1из 10

Langit biru berhiaskan awan-awan putih, itu pandangan lukisan Tuhan

yang kulihat. Sambil terduduk diatas Batu yang lumayan besar dan merasakan
angin sepoi-sepoi.
Tiba-tiba. Aku melihat segerombolan sapi yang sedang istirahat,
sepertinya terlihat senang bersama. Aku terpikir bahwa pada kodratnya mereka
lahir untuk alasan Tuhan. Aku merenung dan terus merenung. Apakah mungkin
ada alasan lain atau alasan yang sama mengapa aku di dunia ini? Dalam benakku.
Tapi aku tetap bingung memikirkannya, sibuk dengan pikirankanku yang
tiada akhir. Tiba-tiba...
Yaahh, aku kaget langsung jatuh dari atas Batu. Kenapa aku bisa jatuh?
kata pertama yang aku ucapkan ketika aku bangun dari jatuhku. Namun aku
melihat seorang temanku, yang lagi tertawa terbahak-bahak sambil mengarahkan
telunjuknya padaku. Siapa lagi kalau bukan sahabat sejatiku sejak kecil.
Yah apa boleh buat namanya juga teman, main-main kan hal yang biasa.
Tapi aku mau bilang rasa sakit jatuh dari Batu tadi. Kalau diumpamakan, yang
pernah rasakan sakit gigi, sebelas dua belas dengan rasa sakit tadi.
Dengan muka agak kusut. Untuk apa kau kesini?
Yah, cuma keluar rumah saja, jalan-jalan, eh ketemu kamu. Ungkap
Badu, dengan rasa biasa saja, Aku lihat kamu sedang melamun, apa yang kamu
pikirkan?
Tersenyum aku. Aku dari tadi berpikir apa tujuan kita diciptakan
Tuhan?

Badu tertawa dengan bahagianya. Kamu ini, kan sudah jelas bahwa kita
hanya menyembahnya tapi diantaranya ada yang nasibnya bagus dan diatas seperti
presiden, pengusaha sukses, peneliti, penemu alat-alat canggih. Kenapa kamu
tanya, apa amnesia? kata Badu.
Tidak, hanya tanya. Eehhm, Badu menurutmu aku bisa menjadi orangorang yang diatas itu? dengan rasa percaya diri.
Muka Badu menjadi aneh, seperti mengejekku dengan logatnya. Kamu
ini aneh, kita ini orang desa, hanya beruntung bisa sekolah bagus dikota walau
pun jaraknya sangat jauh.
Wajahku tambah kusut. Tapi, suatu saat aku ingin menjadi orang-orang
yang diatas yang kamu bilang tadi, tapi aku mau jadi dokter saja.
Dengan muka-muka tidak percaya, Badu mengajakku pulang. Diperjalan
menuju rumah aku berpikir lagi, dengan modal juara kelas, mungkin aku bisa.
Namun dengan rasa percaya diri aku tetap berpikir positif apa yang akan terjadi.
Kemudian di rumahku, di kamarku, aku terbaring diatas ranjang yang
terlihat kusam, walau ranjang yang kusam dan rumah berdinding kayu, aku tetap
bersyukur terhadap tuhan. Namun beberapa saat, ayahku datang dan langsung
berada di kamarku. Tiba-tiba aku diberi buku, aku yang tidak tahu buku apa itu,
menerima saja dengan tidak tahu apa-apa.
Ini buku yang bagus untuk kamu baca, karena hari kamu ulang tahunmu.
Dengan senyum yang membahagiakan.
Terima kasih, yah. Aku seperti menangis menerimanya.

Ayahku pun keluar dari kamarku. Langsung aku baca buku yang tadi Aku
diberikan. Baca,baca, dan baca...
Wah, hebat sekali. Bukunya bagus sekali, buku tentang biografi orang
yang berpengaruh di dunia. Orang yang berada dibuku tadi yang kubaca, orang
yang pada awalnya seperti aku, orang dengan kemampuan ekonomi yang pas pas
dengan mimpi setinggi langit, tapi diceritakan, bahwa orang ini ingin menjadi
dokter karena ketika itu banyak orang yang mati karena penyakit.
Aku mulai terbayangkan jika aku menjadi seperti dia, mungkin aku dapat
mengulangi takdir tuhan yang diberikan kepadanya. Super nova terjadi dalam
tubuhku, serasa tak ada sesuatu yang dapat menghentikannya, kecuali tubuh yang
malas yang mampu menggorogoti masa depanku.
Dengan motivasi tadi aku terasa bangkit. Apa yang menjadi penghalang
untuk mencapai mimpi, aku mulai mempelajarinya, agar mimpi yang selama ini
kubayangkan dapat aku genggam.
Aku tulis semua mimpi-mimpiku disebuah buku, yang aku anggap seperti
dream book. Kata-kata mutiara dari motivator seperti makan siangku setiap hari.
Tidur malamku mulai tersita. Namun itu bukan masalah untuk mencapai semua
mimpiku di langit. Dan terlebih lagi dari setiap kesibukan yang aku alami, aku tak
pernah lupa untuk menyembah Tuhan yang selalu memberiku nikmat yang tak
akan bisa ditulis satu per satu.
Dan dipagi hari...

Terbangun dari tidur panjangku, melihat pagi yang cerah, seperti akan ada
sesuatu yang baik akan terjadi. Aku lupakan firasatku tadi, aku mulai bersiap ke
sekolah. Sekolahku akan menjadi saksi siapa pemilik masa depan.
Sesampainya di sekolah dan dimulainya pembelajaran. Aku kaget yang
dikatan Bu guru, Sekarang ulangan, naikkan kertas selembar! dengan nada
lantang.
Namun aku tidak gentar, pemelajaran tadi malam adalah alat perangku
menjawab. Setelah ulangan dan kembali pulang, tapi aku terhenti sebentar ketika
aku mendangarkan suara di ruang guru. Aku menguping sedikit, aku dengar,
Bagaimana dengan beasiswa sarjana ke Amerika Serikat, sesuai permintaan pak
Gubernur?
Mendengarnya dengan samar-samar, membuatku berpikir dalam hati,
Wow. Amerika Serikat, hebat sekali. Jika aku anak desa bisa ke Amerika Serikat.
Mungkin aku bisa menjadi orang hebat, bila aku selesai menuntut ilmu disana.
Aku langsung cepat bergegas, kalau aku dilihat entar aku dijuluki si
Penguping. Dalam hati yang paling dalam aku harus yang menjadi orang terpilih
itu, karena aku orang serba kekurangan dan tiba-tiba turun durian jatuh. Bila aku
lulus disana pasti aku jadi orang hebat dan langsung tajir. Secara Amerika Serikat,
negara dengan julukan Super Power.
Tapi pikir-pikir, mungkin aku salah dengar. Mana mungkin pak gubernur
mau memberikan beasiswa, apalagi sampai ke luar negeri.

Setiap tingkah laku di rumah, semua seperti ada yang salah, hingga Ayah
Ibu datang dan Ibu bertanya dengan penuh kasih sayang, Kenapa anak Ibu ini,
sampai di rumah kelihatan murung?
Wajahku bagaikan orang lesu, Tidak bu, hanya ada sedikit masalah.
Dengan nada pelan, Coba cerita sama ibu, mungkin ibu bisa bantu.
Tidak bu, hanya persoalan disekolah. Cuma soal pelajaran. Aku dengan
biasa-biasa saja.
Dengan lembut Ibu menjawab, Ya sudah. Tapi ingat nak, lakukan yang
kamu bisa sisanya urusan tuhan.
Mendengarnya aku termotivasi, hingga malamnya aku terus belajar dan
belajar. Walau pun tadi aku tidak mendengar dengan jelas, tapi jika itu benar. Jadi
aku belajar saja, bukan masalah jika aku salah dengar.
Hingga esok pagi ketika apel pagi di sekolah.
Kepala sekolah dengan wibawanya berbicara, Anak-anakku sekalian,
sesuai dengan permintaan Pak Gubernur sehubung dengan beasiswa ke Amerika
Serikat di Harvard University. Perlu diketahui, mereka yang terpilih adalah orang
kebanggan sekolah kita. Dan mereka akan menetap disana dengan biaya
ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Alhamdulillah, aku tidak salah dengar. Apalagi di Harvard, universitas
terbaik di dunia. Kemudian usai upacara dan dimulainya belajar di kelas.
Ditengah suasana serius, Bu guru berkata pada Badu, Badu, kemungkinan
besar, kamu yang akan wakili sekolah ke Amerika Serikat, kan kamu pernah juara

olimpiade tingkat kota. Apa lagi ulangan semester minggu depan, tunjukan pada
sekolah
Semua orang seperti stroke, mungkin termasuk aku juga. Badu yang
gembira-gembira saja dipuji Bu guru, bukan musuhku tapi temanku. Walau pun
dia yang dapat kemungkinan besar, tapi itu hanya pendapat Bu guru. Aku tidak
boleh membeci Badu, walau rasa iri itu ada di hatiku.
Sepulang sekoah aku mengajak Badu pulang. Di tengah perjalanan aku
bilang, Selamat ya, kamu yang ke Harvard pasti senang.
Badu dengan bahagia, Sebenarnya, aku belum tentu, itukan hanya
kemungkinan. Tapi mungkin kamu yang terpilih, kamu kan giat belajar.
Aku terharu mendengarnya, rasa iri tadi habis tak bersisa. Padahal aku
yang mungkin pertama kali punya dendam padanya. Temanku Badu tak akan
kulupakan, hatimu mungkin tercipta dari intan permata. Bila aku berhasil nanti
orang pertama yang aku ingat setelah Ayah Ibuku adalah kamu Badu.
Sesampainya di rumah aku menulis semua mimpi-mimpiku dan semua
tindakan aku harus lakukan untuk mencapai mimpiku. Menurut penelitian, orang
yang melakukannya pasti diantaranya ada yang terwujud.
Salah satunya aku menulis, Juara 1 adalah harga mati. Aku belajar dari
buku yang diberikan ayah, aku mengutip sebuah kalimat dari Norman Vincent
Peale, Kau bisa jika kau berpikir kau bisa.
Muncul rasa dalan hatiku, ada gejolak semesta dalam tubuhku. Aliran
darahku bagai sungai tak pernah berhenti mengalir deras. Belajar dan belajar di

rumah atau pun di sekolah adalah kunci sukses, namun tak pernah aku lupakan
sang penciptaku yang memberi cahaya dalam hatiku.
Ulangan semester yang menjadi penentu masa depanku pun tiba. Aku
lakukan yang bisa aku lakukan dan sisanya semua aku berikan pada tuhan.
Terserah mau Tuhan bagaimana memberiku sebuah jawaban tapi aku tetap sabar
dan lapang dada menerima semuanya.
Usai ujian, dan 1 minggu pun berlalu. Pengumuman masa depanku akan
dibacakan. Namun tiba-tiba aku sakit, serasa dunia malamku tak berbintang lagi.
Tapi Ayahku yang ke sekolah mengambil raporku pergi dengan doa agar aku bisa
juara 1 dan bisa mewujudkan yang aku mau.
Aku yang terbaring lemas tak berdaya, memiliki harapan unruk mencapai
yang nomor satu. Detik- detik berlalu seperti setiap detik dibom waktu.
Pemikiranku seperti komputer eror. Namun bila aku tidak mendapat 1 kursi di
Harvard, Bagaimana hidupku selanjutnya?
Setibanya Ayahku dari sekolah, dengan muka murung ayah datang duduk
disampingku aku diberi tahu bahwa aku juara 2. Aku sudah dipastikan tidak ikut
ke Amerika Serikat. Belajarku selama ini, apakah kurang?. Putus semua
harapanku. Semua lembaran putih yang kulukis dengan mimpiku, apakah hanya
sebuah karangan bebas?. Aku serasa seperti mau menjadi daun kering yang jatuh
ke tanah.
Tiba-tiba Wali kelasku datang menjengukku. Aku tidak percaya, guruku
yang langsung jenguk aku. Ya, aku bangga saja melihat guruku datang. Namun

dengan muka senyum, SELAMAT, kamu satu-satunya siswa yang mewakili


sekolah ke Amerika Serikat bersama Badu.
Dengan muka polos dan tak percaya, Serius Bu, kenapa bisa aku kan
juara 2, masih ada yang juara 1 di kelas lain?
Bu guru tersenyum, Memang kamu juara 2, tapi motivasi kamu belajar
membuat sekolah memilihmu.
Dengan rasa senang aku mencium tangan guruku. Pasti Badu sangat
senang, karena Harvard menunggunya. Apalagi dia sangat pesimis berada di
puncak
Alhasil ke Amerika Serikat. Asyik, dunia masa depanku mungkin berubah
sejak ini. Perjuanganku menggema hingga Tuhan menjadi pendengarnya. Aku tak
sekali-kali pun melupakan Tuhanku.
Seminggu telah berlalu aku pun berangkat. Aku pun pamit dengan kedua
orang tuaku. Persiapanku dimulai saat ini. Perjuangan akan dimulai. Doa ayah ibu
menjadi kiblat hidupku.
Ditengah perjalanan yang panjang aku berpikir, Wah asyik juga naik
pesawat. Maklum pertama kali. Kalau Badu sudah pernah, kan anak olimpiade.
Mendarata dengan selamat, aku pun berada dalam bandara, melihatnya
saja aku pikir Hotel+Bandara, bagaimana tidak, Kebiasaan manusia desa muncul
lagi.
Sesampainya di hotel. Berdiri didepan hotel, bukan main hotelnya tinggi
sekali, mungkin sudah menyentuh langit ke-7. Apa mungkin aku yang terlalu
ndeso?

Mulai belajar di Harvard. Aku fakultas kedokteran, kalo Badu fakultas


Teknik jurusan Komputer. Aku dan Badu mulai kenalan dengan mahasiswa lain,
lumayan ilmu bahasa inggrisku. Tapi gunakan komputer masih diajar sama Badu.
Secara, Badu kan punya laptop, aku tidak.
Seminggu, sebulan, setahun. Aku tambah kangen orang tua disana. Aku
ingin cepat lulus dan berkumpul lagi dengan mereka di Indonesia. Namun disini
dan di Indonesia beda sekali dari makanan, cara belajar, pakaian, hingga cara
hidup. Tapi aku dan Badu bisa beradaptasi, kaya bunglon.
3,5 tahun di Harvard. Aku dan Badu pun di wisuda, serasa semua kerja
kerasku bisa dibalas Tuhan. Dan tak lupa rasa syukur pada tuhan. Apalagi dengan
nilai sangat memuaskan. Perasaanku mungkin bagaikan bunga yang mekar. Aku
sangat bangga S1 di Harvard dengan fakultas kedokteran karena hanya orangorang pilihan tuhan yang bisa mengikuti jejakku.
Aku pun sangat senang juga, apalagi ayah ibuku di rumah mendoakanku.
Sebulan berlalu, aku dan Badu kembali ke Indonesia, namun hanya sehari. Karena
aku dan Badupunya pekerjaan lain. Aku menjadi dokter di Madrid, Spanyol dan
sekaligus menjalani kontrak dengan Real Madrid, sebagai dokter club. Kalo Badu
jadi Maneger perusahaannya sendiri, katanya berjalan dibidang komunikasi,
otomotif dan peralatan canggih lainnya, tapi dia mau uji coba robot untuk
mencoba ke planet lain. Hingga planet lain, dia mungkin punya sesuatu yang dia
cari. Tapi hebat sekali dia.
Hanya satu yang bisa aku berikan pada orang-orang yang mengikuti
jejakku.

Mencapai cita-cita bukan melompat melewati samudra, tapi berjalan


setapak demi setapak menuju puncak.

Вам также может понравиться