Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Industri penyamakan kulit


Industri penyamakan kulit merupakan industri yang mengolah kulit mentah

menjadi kulit samak. Kulit samak adalah kulit yang dikerjakan sedemikian rupa
sehingga bersifat lebih permanen, dengan kadar air tertentu yang tidak
memungkinkan

tumbuhnya

mikroorganisme.

Bahan

mentah

dari

industri

penyamakan kulit adalah kulit hewan, terutama kulit dari hewan-hewan mamalia
seperti kambing, sapi dan domba. Kulit dari hewan-hewan mamalia tersebut
memiliki nilai ekonomis yang cukup potensial. Kulit samak banyak digunakan
sebagai bahan baku pembuatan jaket, sepatu, sarung tangan, dan sebagainya.
Kulit samak terbentuk dari reaksi serat kolagen di dalam kulit hewan dengan
zat penyamak yang diberikan. Pengawetan kulit perlu dilakukan untuk menciptakan
kondisi yang tidak memungkinkan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan
mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan mengurangi kadar air
dalam kulit. Secara garis besar, proses produksi pada industri penyamakan kulit
terdiri atas proses pra penyamakan, penyamakan dan pasca penyamakan.
Industri penyamakan kulit yang ada di Indonesia biasanya memproses dua
jenis bahan baku, yaitu kulit sapi atau kulit kambing. Namun, biasanya industri ini
tidak melakukan proses pengawetan sendiri karena bahan baku yang datang sudah
dalam keadaan diawetkan. Untuk satu lembar kulit kambing biasanya digunakan 1
kg garam giling (garam halus) untuk mengawetkannya, sedangkan untuk satu
lembar kulit sapi biasanya menghabiskan 5 kg garam giling.
Proses yang dilakukan setelah pengawetan adalah perendaman (soaking) yang
terdiri atas pre-soaking dan main soaking. Proses pre-soaking dikerjakan dalam
sebuah mesin yang dinamakan molen. Mesin ini berupa tong besar dengan kapasitas
1,5 ton dan berputar dengan kecepatan yang rendah (sekitar 4 rpm). Kulit yang
sudah diawetkan dan ditimbang beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam molen
yang secara kontinyu diisi dengan air hingga jumlahnya mencapai 300% dari berat
kulit yang masuk. Kemudian antibakteri dimasukkan sebanyak 0.1% dan degreaser
0.1% lalu diputar selama 2.5 jam. Setelah diputar, air dalam molen tersebut dibuang
sampai habis.
Setelah proses pre-soaking, molen diisi dengan air sebanyak 200%,
magnesium 0.75%, sabun degreasing 0.1% dan antibakteri 0.1% secara bersamaan,
kemudian diputar selama 18 jam atau semalam. Molen tidak secara terus menerus

berputar, tetapi setiap 1 jam hanya diputar selama 5 menit. Setelah semalam
direndam, air rendaman dibuang lalu dilakukan proses pencucian dengan
memasukkan air sebesar 200%. Tujuan dari perendaman ini adalah mengembalikan
kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya
kembali seperti sebelum diawetkan (mendekati kadar air kulit segar). Proses ini
dinamakan main soaking.
Proses selanjutnya adalah pengapuran (liming). Kapur yang diberikan akan
membuka tenunan kulit sehingga bahan penyamak akan mudah meresap ke dalam
kulit. Kapur juga menyebabkan kulit menjadi bengkak sehingga memudahkan
proses pembuangan daging (fleshing). Pada proses ini kulit dalam molen diberi
input air sebanyak 70% dan anti ringkel 1% lalu diputar selama 20-30 menit.
Setelah itu, dimasukkan natrium sulfida 3% dan kapur 4% dari jumlah kulit.
Natrium sulfida berfungsi merontokan bulu. Kapur dimasukkan dengan dua kali
pemasukkan secara bertahap (masing-masing 2%) dengan selang waktu 30 menit.
Setelah kapur yang kedua dimasukkan dan molen diputar selama 30 menit, air baru
sebanyak 30% dimasukkan ke dalam molen lalu diputar selama 1 jam. Setelah itu,
molen diputar selama 18 jam atau semalam dengan putaran setiap 1 jam hanya 5
menit. Setelah diputar semalam, air dibuang dan dimasukkan kembali air baru
sebesar 200% untuk mencuci ulang.

Gambar 1. Molen tempat proses soaking dan liming (Sumber: Alihniar, 2011)

Selanjutnya dilakukan proses pembuangan daging (fleshing). Proses ini


bertujuan menghilangkan daging yang masih menempel pada kulit. Pada proses ini
digunakan sejumlah air mengalir untuk membantu pembuangan daging. Air masuk
secara kontinyu dengan volume yang kecil selama kulit diselipkan diantara roller.
Proses pembuangan daging ini dilakukan satu per satu secara manual. Bersihnya
kulit dari sisa daging akan memudahkan masuknya bahan penyamak ke dalam kulit.

Gambar 2. Mesin pembuang daging (Sumber: Alihniar, 2011)

Kulit tanpa daging ini kemudian masuk ke dalam proses selanjutnya yaitu
pembuangan kapur (deliming). Untuk menghilangkan kulit dari sisa-sisa kapur
digunakan air 100%, ZA 2%, sodium metabisulfit 0.3%, oropon 2% , dan degreaser
0.1% dari berat kulit yang masuk. Oropon berfungsi membuka pori-pori kulit agar
kapur yang terikat didalamnya dapat keluar. Dengan terbukanya pori-pori tersebut,
kulit akan menjadi lemas/lentur. Setelah diputar, kulit kembali dicuci dengan air
sebanyak 200%.
Agar kulit siap menerima bahan penyamak krom, maka kulit harus
dikondisikan menjadi asam. Ini untuk menyesuaikan dengan kondisi bahan
penyamak krom yang mempunyai pH 3. Kondisi kulit yang asam akan
memperlambat reaktifitas bahan penyamak krom terhadap protein kulit, sehingga
proses penyamakan dapat berlangsung dengan baik. Proses pengasaman (pickling)
dilakukan dengan menambahkan air 100%, asam (asam semut 0.5% dan asam sulfat
1%) dan garam 10% dari berat kulit yang masuk. Fungsi garam pada pengasaman
ini sebagai buffer bagi kulit agar tidak bengkak akibat pengaruh asam. Pengasaman
memerlukan waktu perendaman 2 jam sampai pH kulit 2-2,5.
Tahap selanjutnya adalah penyamakan (tanning). Proses ini bertujuan
mengubah sifat kulit mentah yang tidak stabil menjadi kulit samak yang stabil.
Bahan penyamak yang digunakan adalah krom. Kelebihan bahan penyamak ini
dibandingkan bahan penyamak nabati antara lain memiliki daya tarik tinggi, lebih
tahan terhadap perlakuan panas atau suhu tinggi. Pada proses ini ditambahkan air
90%, krom 6% - 8% dan natrium bikarbonat 1.5%. Pemasukkan krom dilakukan
secara bertahap sebanyak 3 kali dengan selang waktu pemasukkan 30 menit sekali.
Natrium bikarbonat diberikan untuk menaikan pH dari 3 menjadi 4. Kulit yang

sudah disamak dinamakan wet blue. Kulit ini masih mengandung banyak air
sehingga perlu proses pengurangan kadar air.
Setelah kulit sudah berkurang kadar airnya, dilakukan perataan dan
penyerutan sesuai dengan permintaan konsumen. Penyerutan dilakukan secara
manual. Proses selanjutnya adalah penyamakan ulang (retanning). Pada proses ini
digunakan air 400% yang dimasukkan secara bertahap, krom syntan 3%, sodium
format 1%, dan natrium bikarbonat 2%. Krom syntan pada penyamakan ulang
bertujuan mengisi bagian kulit yang kosong sehingga memperbaiki sifat fisik kulit
samak.

Gambar 3. Mesin perataan dan penyerutan (Sumber: Alihniar, 2011)

Tahap berikutnya adalah pewarnaan dasar. Warna yang ditambahkan


tergantung pada permintaan konsumen. Pada proses pewarnaan dasar, kulit
ditambahkan cat dasar, air, akrilik, mimosa, dan amonia. Masing-masing sebesar
3%, 150%, 2%, 2%, dan 2%. Semua bahan tersebut dimasukkan secara bersamaan,
kemudian molen diputar selama 1 jam atau sampai warnanya sudah tembus ke kulit.
Kulit yang disamak krom pada umumnya memiliki serat-serat yang lebih
rapat sehingga keadaannya menjadi kering dan kaku. Oleh karena itu, perlu
dilakukan peminyakan (fat liquoring) dengan menambahkan minyak 8% dan air
50% lalu diputar selama 1 jam. Setelah itu dilakukan proses fiksasi yang bertujuan
memecahkan emulsi minyak dan air sehingga airnya mudah menguap pada saat
dikeringkan dan bahan lain terikat kuat dalam kulit. Pada proses fiksasi ini
digunakan air 150% dan asam semut 3%.
Kulit yang sudah difiksasi kemudian disimpan pada hot plate untuk divakum.
Setelah itu, kulit digantung selama 24 jam. Penggantungan dilakukan dengan kering
angin. Keesokannya kulit dijemur dibawah panas matahari sampai kering. Setelah

pengeringan dilakukan proses perenggangan. Setelah direnggangkan, kulit


mengalami proses spraying untuk memberi warna akhir pada kulit. Pemberian
warna menggunakan cat kulit sesuai permintaan konsumen. Setelah itu, kulit
mengalami proses penyetrikaan.

Gambar 4. Proses spraying (Sumber: Alihniar, 2011)

Gambar 5. Proses penyetrikaan (Sumber: Alihniar, 2011)

Tahap terakhir adalah proses pengukuran dan penyortiran sesuai standar


permintaan konsumen. Apabila ada kulit yang tidak sesuai dengan standar
permintaaan konsumen maka produk akan dijual ke konsumen dengan standar kulit
yang lebih rendah atau dinyatakan sebagai produk gagal (reject). Pengukuran
bertujuan menentukan luas kulit dalam satuan kaki karena harga jual kulit dihitung
per satuan kaki.

2.1.1 Kulit

Komoditas kulit digolongkan menjadi dua golongan yaitu : (1) kulit yang
berasal dari binatang besar (hide) seperti kulit sapi, kulit kerbau, kulit kuda,
kulit banteng, kulit badak, kulit harimau, dan lain-lain, (2) kulit yang berasal
dari binatang kecil (skin) seperti kulit domba, kulit kambing, kulit rusa, kulit
babi dan kulit reptil (biawak, buaya, ular, komodo, dan lain-lain) (Purnomo,
1987).
Menurut Judoamidjojo (1981), secara topografis kulit dibagi menjadi 3
bagian yaitu:
a. Daerah krupon, merupakan daerah terpenting yang meliputi kira-kira 55%
dari seluruh kulit dan memiliki jaringan kuat dan rapat serta merata dan
padat.
b. Daerah leher dan kepala meliputi 3% bagian dari seluruh kulit. Ukurannya
lebih tebal dari daerah krupon dan jaringannya bersifat longgar serta
sangat kuat.
c. Daerah perut, paha, dan ekor meliputi 22% dari seluruh luas kulit. Bagian
tersebut paling tipis dan longgar.

Gambar 6. Topografi kulit hewan secara umum (Sumber: Fahidin dan Muslich, 1999)

Kulit yang baru lepas dari tubuh hewan disebut dengan kulit mentah
segar. Kulit ini mudah rusak bila terkena bahan-bahan kimia seperti asam kuat,
basa kuat, atau mikroorganisme. Kulit mentah segar sebagian besar tersusun
dari air (65%), lemak (1.5%), mineral (0.5%), dan protein (33%) (Purnomo,
1987).
Kandungan air pada tiap bagian kulit tidaklah sama. Bagian yang paling
sedikit mengandung air adalah krupon (bagian punggung), selanjutnya berturutturut adalah bagian leher dan perut (Purnomo, 1985). Kadar air berbanding

terbalik terhadap kadar lemak. Jika kadar lemaknya tinggi maka kadar airnya
rendah (Purnomo, 1985). Tabel dibawah akan menunjukkan komposisi kimia
kulit mentah segar pada domba. Oleh karena keadaan kulit mentah segar yang
mudah rusak, maka kulit harus mengalami proses pengawetan terlebih dahulu.
Komponen

Presentase (%)

Air

64

Protein

33

Protein fibrous
-

Elastin

0,3

Kolagen

29

Keratin

Protein globular
-

Albumin

Globulin

0,7

Mucin, Mucoid

Lemak

Garam mineral

0,5

Zat lain

0,5

Tabel 1. Komposisi substansi kimia kulit domba mentah segar (Sumber: Sharphouse, 1978)

Pengawetan sebenarnya bukanlah termasuk dalam proses penyamakan


kulit, namun memegang peranan penting karena bertujuan mencegah serta
membatasi pertumbuhan bakteri pembusuk yang secara langsung akan
mempengaruhi mutu kulit. Pengawetan yang tidak benar menyebabkan kulit
berbau busuk dan warnanya tidak merata. Pengawetan kulit dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya : (1) pengawetan dengan racun/obat
antiseptik, (2) pengawetan dengan garam basah, (3) pengawetan dengan garam
kering, dan (4) pengawetan dengan asam (Purnomo, 1987).
Penggaraman merupakan metode pengawetan yang paling mudah dan
efektif. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga
tingkat kondisi yang tidak memungkinkan pertumbuhan bakteri.
Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan.
Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan
tertentu (bahan penyamak) kedalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga

terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo,
1987).
Menurut Fahidin dan Muslich (1999), teknik penyamakan kulit
dikelompokan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra penyamakan, penyamakan,
dan pasca penyamakan.
1. Pra penyamakan: Proses pra penyamakan (Beam House Operation) meliputi
perendaman,

pengapuran,

pembuangan

daging,

pembuangan

kapur,

pengikisan protein, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1987).


a.

Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses


penyamakan yang bertujuan mengembalikan kadar air kulit yang
hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya mendekati
kadar air kulit segar.

b.

Pengapuran bertujuan menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar


keringat dan lemak, serta menghilangkan semua zat-zat yang bukan
kolagen. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses
penyamakan.

c.

Pembuangan daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa


daging yang masih melekat pada kulit dan menghilangkan lapisan
subkutis (lapisan antara daging dan kutis). Proses pembuangan bulu
(scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang
masih tertinggalpada kulit (Fahidin dan Muslich, 1999).

d.

Pembuangan kapur (deliming) bertujuan menghilangkan kapur dan


menetralkan kulit dari suasana basa akibat pengapuran, menghindari
pengerutan kulit ketika pengasaman, serta menghindari timbulnya
endapan kapur yang dapat bereaksi dengan bahan penyamak. Proses
pembuangan kapur biasanya menggunakan garam ammonium sulfat
(ZA) yang nantinya dicampur dengan asam sulfat.

e.

Pengikisan protein (bating) bertujuan melanjutkan pembuangan semua


zat-zat bukan kolagen yang belum terhilangkan dalam proses
pengapuran. Pengikisan protein ini dilakukan oleh enzim protease.
Pengikisan ini diutamakan untuk globular protein yang terdapat diantara
serat kulit dan elastin. Dengan terurainya protein ini maka akan terdapat
banyak ruang kosong diantara serat- serat kulit sehingga kulit samakan
menjadi lebih lunak dan lemas. Waktu bating yang berlebihan dapat

menyebabkan kulit menjadi menipis karena banyak protein yang


terhidrolisis mengakibatkan kekuatan tarik menjadi rendah, sedangkan
waktu bating yang terlalu singkat menyebabkan terjadinya pemisahan
serat-serat fibril yang tidak sempurna dan penetrasi bahan penyamak
kurang merata.
f.

Pengasaman (pickling) berfungsi mengasamkan kulit sampai pH tertentu


untuk menyesuaikan dengan penyamak krom yang mempunyai pH 2.5 3. Selain itu, pengasaman juga dilakukan untuk menghilangkan noda
hitam pada kulit akibat proses sebelumnya, menghilangkan unsur besi
pada kulit serta menghilangkan noda putih karena pengendapan CaCO3
yang menyebabkan cat dasar tidak merata (Purnomo, 1987).

2. Penyamakan : Penyamakan bertujuan mengubah kulit mentah yang mudah


rusak oleh aktivitas mikroorganisme, kimia maupun fisik menjadi kulit
tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Bahan
penyamak dapat berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan), mineral, dan
minyak. Bahan penyamak nabati dapat berasal dari kulit akasia, manggis,
buah pinang, gambir dan lain-lain. Bahan penyamak mineral adalah garamgaram yang berasal dari logam-logam aluminium, zirkonium, dan kromium.
Bahan penyamak dari minyak dapat berasal dari minyak ikan hiu atau ikan
lainnya. Penggunaan bahan penyamak akan mempengaruhi sifat fisik dari
kulit, seperti kelemasan, ketahanan terhadap panas/dingin, terhadap gesekan,
dan lain-lain (Purnomo, 1987).
Kulit yang disamak dengan penyamak nabati akan berwarna seperti
warna bahan penyamaknya, mempunyai ketahanan fisik yang kurang baik
terhadap panas. Sifat dari kulit yang disamak yaitu agak kaku tetapi empuk,
cocok untuk bahan dasar ikat pinggang dan tas. Mekanisme pada
penyamakan nabati yaitu mereaksikan gugus-gugus hidroksil yang terdapat
dalam zat penyamak dengan struktur kolagen kulit dan membuat reaksi
ikatan dari molekul zat penyamak dengan molekul zat penyamak lainnya
hingga seluruh ruang kosong yang terdapat diantara rantai kolagen terisi
seluruhnya. Proses penyamakan akan berlangsung sempurna jika kolagen
telah menyerap kira-kira separuh dari berat zat penyamak yang digunakan.
Dalam penyamakan nabati, pH dan kepekatan dari larutan bahan
penyamaknya harus diatur. Pada pH tinggi, bahan penyamak nabati

mempunyai zarah-zarah yang lebih halus dibanding pada pH rendah. Pada


kepekatan rendah, penyamak nabati mempunyai ukuran zarah yang lebih
kecil dibanding pada kepekatan tinggi. Dengan demikian, kondisi yang
diberlakukan pada penyamakan nabati adalah dimulai dengan pH tinggi dan
kepekatan rendah kemudian diakhiri dengan pH rendah dan kepekatan tinggi
(Purnomo, 1987).
Bahan penyamak mineral yang paling banyak digunakan yaitu krom.
Hal ini karena krom memiliki sifat-sifat khusus yang berhubungan dengan
struktur molekul bahan krom itu sendiri. Penyamakan menggunakan krom
menghasilkan kulit dengan tekstur yang lebih lemas dibanding penyamak
nabati, tahan terhadap panas yang tinggi, daya tarik tinggi dan
memungkinkan hasil yang lebih baik bila dilakukan pengecatan. Kulit ini
cocok untuk kulit atasan sepatu, baju, sarung tangan, dan lain-lain.
Mekanisme dari penyamakan krom yaitu membentuk ikatan dengan asamasam amino dalam struktur protein kolagen yang reaktif. Besar kecilnya
molekul krom akan berpengaruh terhadap daya penetrasinya. Hal ini erat
kaitannya dengan basisitas dari krom. Proses penyamakan diawali dengan
basisitas yang rendah (sekitar 33%) dan diakhiri dengan basisitas yang tinggi
(sekitar 66%). Pada basisitas rendah, krom mempunyai daya penetrasi yang
baik terhadap jaringan kulit walaupun daya ikatnya terhadap kulit lemah.
Pada basisitas tinggi, daya penetrasi krom rendah namun daya ikatnya tinggi
sehingga krom mampu berikatan dengan jaringan kulit secara sempurna
(Purnomo, 1987).
3. Pasca penyamakan: Pasca penyamakan bertujuan membentuk sifat-sifat
tertentu pada kulit terutama berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan
warna kulit. Proses tersebut terdiri atas netralisasi, pewarnaan, perminyakan,
pengecatan, pengeringan, pelembaban, dan pelemasan (Fahidin dan Muslich,
1999).
a. Penetralan (neutralization) bertujuan mengurangi kadar asam dari kulit
yang disamak menggunakan krom agar tidak menghambat proses
pengecatan dasar dan perminyakan (Purnomo, 1985).
b. Pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada
kulit tersamak seperti yang diinginkan. Pemberian warna disesuaikan
dengan bentuk produk akhir yang direncanakan.

c. Peminyakan (fat liquoring) bertujuan melicinkan serat kulit sehingga


lebih tahan terhadap gaya tarikan, menjaga serat kulit agar tidak lengket
sehingga lebih lunak dan lemas, dan memperkecil daya serap, serta
membuat kulit lebih fleksibel (mudah dilekuk dan tidak mudah sobek).
d. Pengecetan bertujuan memenuhi selera konsumen. Pengecatan zat
warna hanya melekat di permukaan dalam media bahan perekat yang
fungsinya melekatkan warna dan memperbaiki permukaan kulit.
e. Pengeringan bertujuan menghentikan semua reaksi kimia di dalam kulit.
f. Pelembaban biasanya dilakukan selama 1-3 hari pada udara biasa agar
kulit menyesuaikan dengan kelembaban udara disekitarnya. Proses ini
menyebabkan jumlah air bebas atau air tidak terikat di dalam kulit
meningkat sehingga kulit siap menerima perlakuan fisik pada proses
pelemasan.
g. Pelemasan

dilakukan

dengan

tujuan

melemaskan

kulit

dan

mengembalikan luas kulit yang hilang (mengkerut) selama proses


pengeringan.
Mutu kulit samak (leather) selain dipengaruhi oleh proses yang dilakukan
di industri penyamakan kulit, juga sangat bergantung pada mutu kulit mentah
sebagai bahan dasarnya. Sementara itu, mutu kulit mentah dipengaruhi oleh
kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan hidup, pemotongan, dan
pengawetan. Purnomo (1985), membagi kerusahan kulit mentah menjadi:

Kerusakan antemoterm, yaitu kerusakan yang terjadi pada hewan hidup.

Kerusakan postmortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada waktu


pengulitan, pengawetan, penyimpanan, dan transportasi.
Selain kerusakan tersebut, mutu kulit juga dipengaruhi oleh bangsa, jenis

kelamin, dan umur ternak waktu dipotong. Pada setiap spesies terdapat
perbedaan antara kulit hewan jantan dan betina. Kulit hewan betina mempunyai
rajah yang lebih halus dan bobot rata-rata lebih ringan daripada kulit hewan
jantan, tetapi mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar dibanding
jantan.
Perbedaan yang dipengaruhi oleh umur hewan dapat menurunkan mutu
kulit samak. Kulit hewan muda pada umumnya mempunyai struktur yang halus
dan kompak, tetapi kurang tahan terhadap pengaruh dari luar. Pada hewan tua,

lapisan rajah makin kuat dan kasar.

Gambar 7. Tahapan proses penyamakan kulit dan limbah yang dihasilkan (Sumber: Fahidin dan
Muslich, 1999)

2.1.2 Potensi produksi kulit di Indonesia


Produksi penyamakan kulit di dalam negeri pada tahun 2014 mencapai 5
juta lembar per tahun, seperti dikatakan oleh Sutanto Haryono, Ketua Asosiasi
Penyamak Kulit Indonesia (APKI).. Pasokan baru beranjak naik saat momen

Idul Adha atau hari raya kurban. Ekspor kulit Indonesia mencapai lebih dari
Rp. 3,5 miliar pada 2014, karena industri kulit menjadi basis untuk sepatu dan
barang-barang kulit di mana dalam 5 tahun terakhir ekspornya meningkat dua
kali lipat.
Besarnya potensi pengembangan industri kulit di Indonesia didukung
oleh beberapa faktor seperti ketersediaan bahan baku dan teknologi baik dalam
hal proses maupun disain. Ditargetkan, ekspor kulit Indonesia pada tahun
selanjutnya bisa dua kali capaian ekspor yang ada tahun ini. Saat ini saingan
terberat Indonesia dalam mengekspor kulit adalah Vietnam, Brasil, dan China.

2.1.3 Potensi industri penyamakan kulit di Indonesia


Indonesia dinilai memiliki potensi besar di sektor industri penyamakan
kulit dengan produk olahan wet blue (kulit yang diwarnai dengan krom). Ketua
Umum Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Lany Sulaiman mengatakan
produk wet blue Indonesia merupakan yang terbaik di dunia. Keunggulannya
terletak pada bintik-bintik (tick mark) yang relatif sedikit dibandingkan dengan
kulit asal Amerika Serikat.
Wet blue Indonesia memang hanya memiliki bentangan (hide) lebih
sempit yakni 25 square feet (SF), sedangkan Amerika Serikat 60 SF. Namun,
bagian kulit yang terdapat tick mark akan dibuang, tidak dapat digunakan untuk
industri. Karenanya, proses produksi akan menjadi lebih efisien dengan
memakai wet blue dari Indonesia. Keunggulan lain yakni kulitnya juga
mempunyai serat yang lebih halus dan lentur.
Rata-rata industri penyamakan kulit di Indonesia menggunakan kulit
kambing dan kulit sapi sebagai bahan baku utamanya. Sebagai contoh, diambil
satu sampel industri penyamakan kulit di sekitar daerah Bogor. Industri
penyamakan kulit ini merupakan industri yang dirintis oleh keluarga Haji Ali
Ahmad, terletak di Desa Cibuluh, Kecamatan Bogor Utara. Industri ini sudah
berdiri sejak 30 tahun yang lalu. Pada mulanya industri ini hanya menjadi
pengumpul (gudang) dari kulit mentah yang akan disamak. Namun sekitar
tahun 1989, industri ini melakukan proses produksi sendiri hingga saat ini.
Industri penyamakan kulit Haji Ali termasuk ke dalam industri menengah
karena memiliki tenaga kerja sekitar 35 orang.
Industri penyamakan kulit Haji Ali hanya menggunakan bahan baku dari

kulit sapi atau kulit kambing. Sekarang ini kulit sapi sudah sulit didapatkan.
Oleh karena itu, pabrik lebih sering mengolah kulit kambing untuk dijadikan
kulit samak. Pasokan bahan baku sangat dipengaruhi oleh waktu (sifatnya
kondisional). Pasokan kulit akan meningkat pada hari-hari tertentu seperti hari
Raya Idul Adha. Pasokan kulit kambing biasanya berasal dari rumah potong
hewan, yang sebelumnya sudah dikumpulkan oleh pengumpul lalu dijual ke
pabrik. Selain itu, pabrik juga menerima kulit mentah dari pedagang yang
dijual secara eceran. Rata-rata jumlah kulit mentah yang diolah setiap bulannya
adalah 4,000 lembar kulit kambing dan atau 2 ton kulit sapi.

Вам также может понравиться