Вы находитесь на странице: 1из 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pertanggungjawaban Hukum
2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Hukum
Dalam

kamus

hukum

ada

dua

istilah

yang

menunjuk

pada

pertanggungjawaban, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah


hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter resiko atau tanggung
jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter
hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan
meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang
dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.15
Tanggung jawab merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pihak yang berbuat dan dari sisi yang
kepentingan pihak lain. Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dipikul
sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat.
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatu. Tanggung jawab merupakan segala sesuatu
yang menjadi kewajiban atau keharusan untuk dilaksanakan. Dengan demikian
apabila terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib
menanggung segala sesuatunya.16

15

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Edisi Revisi. ( PT. Gramedia


Widiasaran Indonesia, Jakarta, 2006) hal. 57.
16
Daryanto. S.S. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. (Apollo, Surabaya. 1997).

13

14

Bentuk tanggung jawab tersebut ialah berupa ganti kerugian sebagai akibat
dari penggunaan/pemakaian produk. Kerugian yang dapat dituntut dari produsen,
menurut Pasal 19 UUPK terdiri dari:
a. Kerugian atas kerusakan;
b. Kerugian atas pencemaran; dan/atau
c. Kerugian konsumen sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Pada dasarnya, bentuk atau wujud ganti kerugian yang lazim dipergunakan
ialah uang, yang oleh para ahli hukum ataupun yurisprudensi dianggap paling
praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa.
Bentuk lain adalah benda ( in natura ). Pasal 19 ayat (2) UUPK memberikan
pedoman tentang jumlah, bentuk, atau wujud ganti kerugian yaitu:
a. Pengembalian uang;
b. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau sejenis nilainya;
c. Perawatan kesehatan; dan/atau
d. Pemberian santunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Selain pedoman-pedoman diatas, yurisprudensi memberi pedoman lain
dalam menentukan besarnya ganti rugi, yaitu faktor kelayakan atau kepantasan.
2.1.2 Hubungan Hukum para Pihak
Dalam hal terjadi pengalihan barang dari satu pihak satu ke pihak lain,
maka secara garis besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu:17
Pada kelompok pertama, kelompok penyediaan barang atau penyelenggara
jasa, pada umumnya pihak ini berlaku sebagai:
1. Penyediaan dana untuk keperluan para penyediaan barang dan/atau jasa
(investor);
2. Penghasil atau pembuat barang dan/jasa (produsen);
3. Penyalur barang dan/atau jasa.
17

hal. 18-19.

Nasution, AZ. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, (Diadit Media, Jakarta, 1988)

15

Sedangkan pada kelompok kedua terdapat:


1. Pemakai atau pengguna (konsumen); barang atau jasa dengan tujuan
memproduksi (membuat) barang atau jasa lain; atau mendapatkan barang
atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial); dan
2. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (bukan untuk
tujuan komersial).
Dalam literatur ekonomi kelompok pertama disebut sebagai penggusaha
(dalam hukum perlindungan konsumen umumnya disebut produsen), sedangkan
kelompok kedua disebut sebagai konsumen, walaupun demikian apabila
dicermati, maka kelompok kedua sub (1) pada dasarnya adalah pengusaha juga
karena barang/jasa yang mereka peroleh ditujukan untuk membuat barang/jasa
lain dan/atau untuk diperdagangkan, kecuali bilamana barang yang dimaksud
adalah barang yang dipergunakan sebagai alat produksi bukan sebagai bahan
baku.
1. Hubungan Langsung
Hubungan langsung yang dimaksud pada bagian ini adalah hubungan
antara produsen dengan konsumen yang terikat secara langsung dengan
pearjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjianperjanjian lainnya, pengalihan
barang dari produsen kepada konsumen, pada umumnya dilakukan dengan
perjanjian jualbeli, baik dilakukan secara lisan maupun tertulis. Salah satu
bentuk perjanjian tertulis yang banyak dikenal adalah perjanjian baku, yaitu
bentuk perjanjian yang dipergunakan jika salah satu pihak saling berhadapan
dengan pihak lain dalam jumlah yang banyak dan memiliki kepentingan yang
sama.
Perjanjian baku yang banyak ditemukan dalam praktek pada dasarnya
dilakukan berdasarkan azas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata, yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah,
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan
pengertian sah adalah telah memenuhi syarat sahnya pearjanjian berdasarkan
Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebabai berikut:

16

1. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri;


2. Adanya kecakapan untuk mengadakan perikatan;
3. Mengenai suatu objek tertentu; dan
4. Mengenai causa yang dibolehkan.
Namun demikian dipenuhi keempat syarat diatas belum menjamin
sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada ketuntuan lain yang
harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian tersebut sah tanpa ada
alasan

pembatalan,

sehingga

perjanjian

tersebut

mengikat

sebagaimana

mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang dimaksud adalah kesempurnaan


kata sepakat, karena apabila kata sepakat diberikan dengan adanya paksaan,
kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga
masih ada kemungkinan dibatalkan.18 Perjanjian demikian biasa disebut perjanjian
yang mengandung cacat.

2. Hubungan tidak Langsung


Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah antara
produsen dan konsumen yang tidak secara langsung terkait dengan perjanjian,
karena adanya pihak diantara pihak konsumen dengan produsen. Ketiadaan
hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan
konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak
menuntut ganti kerugian pada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan
perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan
(merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan,
yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber perikatan yang berupa undangundang ini masih dapat dibagi lagi dalam undang-undang saja dan undang-undang
karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum.
Perbuatan melanggar hukum dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1365,
yaitu sebagai berikut:

18

hal. 34-35.

Soetojo. R. Dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan. (Bina Ilmu. Surabaya. 1984).

17

Tiap perbuatan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian kepada


seseorang lain, mewajibkan karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Berdasar ketentuan diatas, maka bagi konsumen yang dirugikan karena
mengonsumsi suatu produk tertentu, tidak perlu harus terikat perjanjian untuk
dapat menuntut ganti kerugian, akan tetapi dapat juga dapat menuntut dengan
alasan bahwa produsen melakukan perbuatan melanggar hukum, dan dasar
tanggung gugat produsen adalah tanggung gugat yang didasarkan pada adanya
kesalahan produsen.19

2.2

Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia terdapat beberapa

azas dan tujuan guna memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adanya
azas dan tujuan yang jelas, Hukum Perlindungan Konsumen memiliki dasar dan
pijakan yang kuat.
2.2.1

Azas Perlindungan Konsumen

Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang,


biasanya dikenal sejumlah azas atau prinsip yang mendasari diterbitkan undangundang itu. Azas-azas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya. Bila azas-azas dikesempingkan, maka runtuhlah
bangunan

undang-undang

itu

dan

seganap

peraturan

pelaksanaannya.

Mertokusumo memberikan ulasan azas hukum sebagai berikut:


...bahwa azas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap
sistem-sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan
dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam konkrit
tersebut.

19

Ahmadi Miru, Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. (PT. Raja Grafindo.
Jakarta. 2011) hal. 36.

18

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang


selanjutnya disebut UUPK, terdapat lima azas perlindungan konsumen yaitu:
a. Azas manfaat
Azas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan;
b. Azas keadilan
Azas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil;
c. Azas keseimbangan
Azas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil ataupun spiritual;
d. Azas keamanan dan keselamatan konsumen
Azas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan jasa yang di konsumsi atau di gunakan.
e. Azas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam pelenggraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang di sebutkan dalam pasal tersebut, jika di perhatikan
substansinya, maka dapat di bagi menjadi tiga asas, yaitu:
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen:
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3. Asas kepastian hukum
2.2.2 Tujuan Perlindungan Konsumen
Konsumen merupakan pihak yang sangat rentan terhadap perilaku
merugikan yang di lakukan oleh pelaku usaha, sehingga konsumen perlu
mendapat perlindungan. Dengan adanya perlindungan konsumen maka di
harapkan tindakan sewenang-wenang pelaku usaha yang merugikan konsumen
dapat ditiadakan.

19

Adapun tujuan yang ingin di capai dari perlindungan konsumen, di muat dalam
Pasal 3 UUPK, yang menyatakan bahwa:
Perlindungan konsumen bertujuan:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanngung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyaamaan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.3

Perlindungan Hukum Konsumen


Konsep perlindungan hukum atas suatu kepentingan tertentu, merupakan

manifestasi dari prasyarat untuk masuk dalam phase walfare state (Negara
Kesejahteraan). Fenomena negara kesejahteraan merupakan fenomena penting
diakhir abad ke-19 dengan gagasan bahwa negara didorong untuk semakin
meningkatkan perannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat,

termasuk

masalah-masalah

perekonomian

yang

dalam

tradisiliberalisme sebelumnya cenderung dianggap sebagai urusan masyarakat


sendiri.20
Dihubungkan dengan konsep negara kesejahteraan yang dianut oleh
bangsa Indonesia, maka seluruh warga negara berhak untuk memperoleh hidup
yang layak bagi kemanusiaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan
kecerdasan yang kemudian diwujudkan dengan adanya kebutuhan akan
perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai konsumen (customer) yang kelak
20

Jimly Asshiddiqie. Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legeslatif & Eksekutif.


(Jakarta: Universitas Indonesia), hal. 97.

20

akan menggunakan jasa atau produk dalam jumlah yang cukup, kualitas
pelayanan yang baik dan penyediaan fasilitas yang memadai untuk masyarakat,
sehingga apa yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri yakni adalah
kesejahteraan dapat dicapai dengan baik, salah satunya dengan jalan
pemberdayaan dan perlindungan hukum. Perlindungan hukum berasal dari bahasa
Belanda yang berbunyi rechtbercherming van de bergers tegen de overhead.21
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, perlindungan hukum adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa konsumen dan pengusaha
memiliki hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban serta timbal balik.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja yang dikutip oleh Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo,22 pengertian perlindungan hukum adalah perlindungan yang di
berikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,
yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Undang-undang perlindungan konsumen
mengatur lebih luas mengenai subjek yang dapat di gugat untuk mengganti
kerugian.
Perlindungan hukum sangat penting dikembangkan dalam rangka
menjamin hak masyarakat untuk mendapat perlindungan hukum menurut undangundang. Indonesia merupakan Negara Hukum yang mengenal dua macam
perlindungan hukum. Menurut Hadjhon, perlindungan hukum bagi rakyat
meliputu dua hal, yaitu Perlindungan Hukum Preventif dan Perlindungan Hukum
Represif.23

21

Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. (Surabaya: Bina


Ilmu. 1987),mhal. 85.
22
Ibid., hal. 48.
23
Sri Soemantri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. (Bandung: Alumni.
1992), hal. 15.

21

2.3.1

Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana


kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum

suatu

keputusan

pemerintah

mendapat

bentuk

yang definitif.

Perlindungan Hukum Preventif dapat dilakukan melalui:


a. Pembinaan
1. Diadakannya seminar kecantikan;
2. Badan POM mengeluarkan website mengenai pengumuman atau
pembinaan mengenai kosmetik yang tidak memiliki izin edar dan
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya;
3. Artikel-artikel mengenai kosmetik pada majalah wanita.
b. Pengawasan
1. Badan POM bekerja sama dengan Menteri Komunikasi dan
Informatika, untuk mengawasi peredaran kosmetik di website yang
tidak resmi;
2. Badan POM bekerja sama dengan beacukai, untuk peredaran
kosmetik dari luar negeri.
c. Peraturan perundang-undanngan
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen;
2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Badan POM mengeluarkan surat edaran mengenai daftar kosmetik
berbahaya.
2.3.2

Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana


lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa. Perlindungan Hukum Represif dapat
dilakukan melalui:
a. Penindakan
b. Pemberian Sanksi
1. Keperdataan (ganti rugi)

22

Perikatan yang timbul karena undang-undang, dapat timbul karena


undang-undang, baik karena undang-undang maupun sebagai
akibat dari perbuatan seseorang. Dalam perikatan yang timbul
karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya butir-butir
perjanjian

itu,

setelah

dipenuhinya

syarat

tertentu,

dapat

mengakibatkan terjadinya cedera janji (wanprestasi). Perbuatan


cedera janji ini memberikan hak pada pihak yang dicederai janji
untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian dan bunga.24
2. Pidana
Ketentuan Pasal 61 UUPK, yang berbunyi Penuntutan Pidana
dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya,
sudah jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban
pidana yang tidak saja dikenakan kepada pengurus tetapi juga
kepada perusahaan. Hal ini merupakan upaya bertujuan untuk
menciptakan sistem bagi perlindungan konsumen.25
3. Administrasi
Tindakan administratif oleh pejabat yang berwenang ditujukan
terhadap izin usaha, izin praktek dan izin lain yang diberikan, serta
penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.26
2.4

Tinjauan tentang Pelaku Usaha


2.4.1

Pengertian Pelaku Usaha

Istilah pelaku usaha merupakan pengertian yuridis dari istilah produsen.27


Menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberikan pengertian pelaku usaha sebagai berikut:

24

Nasution, AZ. Op.Cit., hal. 90.


Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 276.
26
Nasution, AZ. Op.Cit., hal. 140.
27
N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,
Cet.1, (Bogor: Grafika Mardi Yuana,2005) hal. 24.
25

23

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1 Angka 3 UUPK ini,
memiliki cakupan yang luas karena mencakup penjual grosir, leveransir sampai
pada pengecer. Namun dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah
mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negri, karena UUPK membatasi
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. 28
Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan
konsumen yang menjadi korban untuk menuntut kerugian. Konsumen yang
dirugikan akibat penggunaan produk, tidak kesulitan dalam menemukan kepada
siapa tuntutan akan diajuakan, karena banyak pihak yang dapat digugat.29 Namun
akan lebih baik, dan memudahkan konsumen, seandainya UUPK juga
memberikan urutan/rincian untuk mentukan siapa yang akan dituntut jika dia
dirugikan akibat penggunaan produk.
Sementara itu, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengelompokkan
pelaku usaha menjadi:
a) Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai
kepentingan;
b) Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan atau jasa dari barang-barang dan atau jasa-jasa lain;
c) Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang dan atau jasa tersebut kepada masyarakat,
seperti pedagang kaki lima, warung, supermarket, dan usaha
angkutan.30
28

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal. 9.


Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008) hal. 67-68.
30
Az Nasution (b), aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU No. 8
Tahun 1999, www.pemantauperadilan.com. Diakses pada tanggal 2 Februari 2013, pukul 21.40
WIB.
29

24

2.4.2 Hak-Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha


Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada pelaku
usaha diberikan beberapa hak. Hak-hak pelaku usaha dalam UUPK diatur dalam
Pasal 6, yang menyatakan bahwa hak pelaku usaha terdiri atas:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
c. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang
diperdagangkan;
d. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik; dan
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainya.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak konsumen, maka pada pelaku usaha
dibebani kewajiban-kewajiban. Pasal 7 UUPK menyatakan bahwa kewajiban dari
pelaku usaha, antara lain:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasar ketentuan standart mutu barang dan atau jasa
yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau
mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau
garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang diperdagangkan; dan
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila
barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesaui
dengan perjanjian.

25

Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku
usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,
sehingga diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai
sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya
konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya
kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang/diproduksi oleh produsen (pelaku
usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen
mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.31

2.4.3

Tanggung Jawab Pelaku Usaha

1. Tanggung Jawab Publik


Dalam setiap perjanjian, ada sejumlah janji (term of condition) yang harus
dipenuhi oleh para pihak. Janji itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh pihak yang berjanji dan sekaligus merupakan hak bagi pihak lawan untuk
menuntut pemenuhannya.
Apabila janji tidak dipenuhi tentu akan menimbulkan kerugian di pihak
lawan, yang akhirnya keadaan tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi, breach
of contract) itu, menimbulkan hak bagi pihak lawan untuk menuntut penggantian
kerugian.32
Dalam jual beli, seseorang penjual mempunyai kewajiban utama untuk:
1. Menyerahkan kebendaan yang dijualnya kepada pembeli;
2. Bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya
termasuk segala kerugian yang diderita oleh si pembeli sehubungan
dengan tercapainya perjanjian jual beli sekedar itu telah dikeluarkan oleh
pembeli. Jika ternya penjual telah mengetahui adanya cacat itu, ia
diwajibkan pula, selain tersebut diatas, untuk mengganti seluruh kerugian
yang ditimbulkan oleh cacat tersebut;
31

Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 54.


Janus Sidabolok, Hukum Perlindungan Konsumen, (PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
2006) hal. 102.
32

26

3. Memenuhi segala apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan


perjanjian, seperti janji-janji, jaminan-jaminan dan sebagainya.33
Mengenai kerugian dalam konteks hukum perjanjian, menurut Pasal 1224,
Pasal 1245, dan Pasal 1246 KUHPerdata dirinci dalam tiga unsur, yaitu biaya,
rugi, dan bunga. Yang dimaksud

dengan biaya,

segala pengeluaran atau

peronsokan yang nyata-nyata yang sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh wanprestasi debitur. Dan bunga adalah keuntungan yang
diharapkan

akan

diperoleh kreditur

kemudian hari

seandainya

debitur

melaksanakan kewajibannya dengan baik.


2. Tanggung Jawab Privat (Keperdataan)
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, tiap-tiap perbuatan melawan hukum,
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kemudian,
dalam Pasal 1367 KUHPerdata diatur mengenai pertanggungjawaban khusus
sehubungan dengan perbuatan melawan hukum, yaitu pertanggungjawaban atas
barang sebagai berikut: seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barangbarng yang berada dibawah pengawasannya.
Pasal diatas tidak menyebutkan arti perbuatan melawan hukum itu dan
juga

apa

kriterianya.

Tampaknya

pembuat

undang-undang

bermaksud

menyerahkan pengertian perbuatan melawan hukum itu pada perkembangan


hukum dan masyarakat. Semula perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai
perbuatan yang bertentangan denga undang-undang (hukum tertulis). Namun
sejak Ducker Arrest dalam perkara Cohen dan Lindabaum, perbuatan melanggar
hukum diartikan sebagai perbuatan yang:
1. Melanggar hak orang lain;
33

Ibid., hal. 103.

27

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;


3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Tidak sesuai dengan kepantasan dalam masyarakat perihal memperhatikan
kepentingan orang lain.34
Untuk dapat menuntut kerugian atas dasar melawan perbuatan hukum
maka harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Ada suatu perbuatan melawan hukum;


Ada kesalahan;
Ada kerugian; dan
Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan.35

3. Tanggung Jawab karena Pelanggaran Janji (Wanprestasi)


Mencari dan menemukan ada tidaknya hubungan kontraktual antara
produsen dengan konsumen terkadang tidak mudah untuk dilakukan. Apabila
ternyata ada perjanjian/kontrak, baik dalam bentuk yang sederhana sekalipun
antara produsen dan konsumen, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa mereka
terikat secara kontraktual. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak selalu demikian.
Maka langkah berikutnya adalah mencari atau mengumpulkan fakta-fakta sekitar
terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian itu lalu merekontruksikannya
menjadi sebuah kontrak/perjanjian. Untuk dapat dimasukkan kedalam saluran
perjanjian kontrak, maka harus dipenuhi syarat-syarat minimal dari kontrak
sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan.
Setelah dipastikan orang yang diperoleh melalui jual beli, yang berarti ada
hubungan kontraktual antara produsen-produsen dan konsumen-pembeli, maka
dicarilah bagian-bagian mana dari perjanjian/kontrak jual beli itu yang tidak
dipenuhi oleh produsen. Untuk ini perlu diperhatikan kewajiban-kewajiban
penjual sebagaimana terdapat di dalam undang-undang dan perjanjian/kontrak
serta segala macam garansi atau jaminan yang ada. Mungkin di dalam kontrak
tidak jelas disebutkan apa saja yang menjadi kewajiban penjual. Apabila
demikian, ketentuan undang-undanglah yang berlaku. Sebaliknya, mungkin juga
34
35

Jinaus Sidabolak. Op. Cit., hal. 107


Ibid., hal. 107.

28

didalam kontrak dikemukakan beberapa hal yang mengecualikan kewajiban


penjual dari ketentuan undang-undang. Maka dalam hal seperti ini diberlakukan
isi kontrak itu. Apabila ada kewajiban yang tidak dipenuhi, baik menurut kontrak
atau undang-undang, dapat dikatakan bahwa penjual telah wanprestasi.36
4. Tanggung Jawab atas Dasar Perbuatan Melawan Hukum (Tort
Law)
Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, khususnya menentukan
tanggung jawab produsen kepada konsumen yang menderita kerugian karena
produk cacat, maka konsumen sebagai penggugat harus dapat membuktikan
adanya suatu perbuatan yang sedemikian rupa bentuknya sehingga dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, artinya harus dapat
ditunjukkan bahwa perbuatan produsen adalah perbuatan melanggar hukum, baik
itu berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, atau produsen telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam menjalankan
usahanya, khususnya kepatuatan daalm hal berproduksi dan mengedarkan
produknya.
Misalnya, dalam kasus keracunan pangan, apakah peristiwa itu termasuk
dalam katagori melawan hukum, maka harus diperiksa apakah memenuhi unsurunsur perbuatan melawan hukum sebagaimana diterangkan diatas. Artinya, perlu
diperhatikan fakta-fakta dan kemudian diterjemahkan dalam unsur-unsur tadi.37
Akan tatapi konsumen sebagai penggugat juga harus dapat membuktikan adanya
kesalahan produsen sebagai tergugat dalam hal terjadinya

peristiwa yang

menimbulkan kerugian itu, yaitu kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan


maupun kelalaian, dalam membuat/memproduksi hingga memasarkan produknya
sehingga produk mengandung cacat, yang pada akhirnya cacat itu menimbulkan
kerugian pada konsumen setelah mengonsumsinya.

36
37

Janus Sidabolak. Op. Cit., hal. 112.


Ibid., hal. 114.

29

2.5 Tinjauan tentang Konsumen


2.5.1

Pengertian Konsumen

Konsumen merupakan pihak yang memiliki peran penting dalam transaksi


penjualan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam melakukan produksi,
pendistribusian maupun pemasaran suatu produk barang dan/atau jasa,
mempunyai suatu sasaran yaitu agar dapat menarik pihak konsumen supaya mau
membeli produk yang ditawarkannya.38
Sekalipun pada umumnya masyarakat Indonesia sudah memahami siapa
yang dimaksud dengan konsumen, tetapi hukum positif Indonesia sampai tanggal
20 April 1999 mengenalnya, baik hukum positif warisan dari masa penjajahan
yang masih berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan
baru karya hasil bangsa.39
yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau
pembutuh.40 Menurut Az. Nasution, juga mengemukakan itu beberapa batasan
mengenai konsumen, yaitu:
a. Konsumen Istilah Konsumen merupakan suatu istilah yang tidak
asing dan telah memasyarakat. Banyak litelatur yang mendefinisikan
istilah ini. Istilah konsumen berasal dari kata cunsumer atau
cosument, yang secara harfiah adalah orang dalam arti umum adalah
setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk
tujuan tertentu;
b. Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapat barang dan/atau
jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau
untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
c. Konsumen-akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.41

38

Anonoim, http://www.doktercantik.go.id/daftar kosmetik berbahaya. diakses tanggal 14


Februari 2013.
39
Az. Nasution (a), Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengntar.,(Jakarta: Diadit
Media, 2006) hal. 36.
40
N.H.T Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet. 1,
(Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005), hal. 23.
41
Az. Nasution (a), Op.Cit., hal. 36.

30

Unsur memperoleh atau mendapatkan digunakan dalam batasan ini karena


perolehan barang atau jasa itu oleh konsumen tidak saja karena hubungn hukum
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-pakai, jasa angkutan perbankan, kontruksi
asuransi dan sebagainya, tetapi dapat juga pemberian sumbangan, hadiah-hadiah,
baik berkaitan dengan hubungan komersial (pemasaran, promosi barang/jasa
tertentu) maupun dalam hubungan lain-lainnya.42
UUPK juga memberikan pengertian mengenai konsumen, sebagaimana
yang termuat pada Pasal 1 angka (2) dan Penjelasannya. Pasal 1 angka (2) UUPK
menyatakan bahwa:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia di masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain. Maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Disamping itu penjelasan Pasal 1 angka (2) menyatakan bahwa:
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir
dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari suatu proses produksi
sustu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang
Perlindungan ini adalah konsumen akhir.
Pengertian konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan
dengan dua rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen lainnya, yaitu
pertama dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa:
Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain
yang tidak untuk diperdagangkan kembali.43
Sedangkan yang kedua, dalam naskah final Rancangan Akademik
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas
Hukum Universitas Indonesoia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI, menentukan bahwa,

42
43

Ibid., hal. 8.
Ahmadi Miru dan Suratman Yudo, Op.Cit., hal 5.

31

konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk
dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.44
UUPK tidak mengakui badan hukum (seperti yayasan dan perseroan
terbatas)

sebagai

konsumen.45

Menurut

Yusuf

Shofie,

alasan

yang

melatarbelakangi badan hukum tidak diakui sebagai konsumen dalam UUPK


adalah dikarenakan jika badan hukum diakui sebagai konsumen, maka esensi
perlindungan hukum yang diberikan UUPK menjadi kabur.46

Perlindungan

hukum yang diberikan oleh UUPK hanya bagi individu konsumen akhir bukan
konsumen antara (pelaku usaha yang berbentuk badan hukum).

2.5.2

Hak-hak dan Kewajiban Konsumen


Baik konsumen maupun pelaku usaha, memiliki hak dan kewajiban yang

harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh mereka. Jika terjadi pelanggaran akan
hak-hak konsumen atau konsumen mengalami kerugian sebagai akibat pelaku
usaha yang tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, maka konsumen
dapat menuntut pelaku usaha untuk bertanggung jawab. Sebaliknya, konsumen
tidak dapat menuntut pelaku usaha untuk bertanggung jawab jika konsumen tidak
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Secara umum, terdapat empat hak dasar konsumen yang mengacu pada
President Kennedys 1962 Cosumers Bill of Right. Keempat hak tersebut yaitu:
1.
2.
3.
4.

Hak untuk memperoleh keamanan (the right to sefety);


Hak untuk mendapat informasi (the right to be informed);
Hak untuk memilih (the right to choose);
Hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar yang dikemukakan oleh Jhon F. Kennedy tersebut


merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh
PBB.47 Selain dari empat empat hak dasar yang dikemukakan di atas, dalam
literatur hukum, terkadang hak-hak dasar tersebut digandeng dengan hak untuk
44

Ibid,. Hal. 6
Anisa Dita Muliasari, Analisa Yuridis terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Layanan
Short Message Service (sms) ditinjau UU No.8 tahun 1999, (Depok: FHUI, 2009), hal. 18.
46
Yusuf Shofie (b), Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan
Penegakan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hal. 13.
47
Ahmadi Miru dan Suratman Yudo, Op.Cit,. hal. 39.
45

32

mendapatkan lingkungan hidup yang bersih sehingga kelima-limanya disebut


dengan Panca Hak Konsumen.48 Dalam perkembangannya, organisasi
Konsumen Sedunia (Internationa Organization of Consumers Union - IOCU)
menambahkan beberapa hak konsumen lainnya, yaitu hak memperoleh kebutuhan
hidup, hak memperoleh ganti rugi, hak memperoleh pendidikan konsumen, dan
hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Dalam rancanngan akademik UUPK yang dikeluarkan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan, dikemukakan enam hak
konsumen, yaitu enam hak dasar yang disebut pertama, ditambah dengan hak
untuk mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya, dan hak untuk mendapat penyelesaian hukum yang patut.49
Hak dan kewajiban dari konsumen diatur dalam ketentuan Pasal 4 dan
Pasal 5 UUPK. Pasal 4 UUPK menetapkan bahwa konsumen memiliki hak-hak
sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan
atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa
yang di gunakan;
e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
g. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila
barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
sebagaimana mestinya; dan

48

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis; Menata Bisnis Modern di Era Global,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 228.
49
Ibid., hal. 40.

33

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan


lainnya.
Selain hak, tentunya juga memiliki kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi. Pasal 5 UUPK menetapkan kewajiban konsumen sebagai berikut:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keaman dan keselamatan;
b. Beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keselamatan
dan keamanan merupakan hal penting yang perlu diatur, karena pelaku usaha
sering menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, tetapi konsumen
tidak membaca peringatan yang telah disampaikan padanya. Dengan pengaturan
kewajiban ini memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab
apabila konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan
kewajiban tersebut.
2.6

Tinjauan tentang Kosmetik


Kosmetik yang digunakan untuk riasan dan perawatan, menurut catatan

sejarah arkeologi sudah dikenal sejak jaman babilonia dan mesir kuno. Dalam
sejarah kosmetik dan kosmotologi, ilmu kedokteran pun ikut mengambil peranan
sejak jaman kuno. Data yang diperoleh dari hasil penyelidikan antropologi,
arkeologi, dan etnologi di Mesir dan India membuktikan adanya pemakaian
ramuan seperti bahan pengawet mayat dan saleo aromatik yang dapat dianggap
sebagai bentuk awal dari kosmetik yang kita kenal sekarang. Adanya bahan-bahan
tersebut, menunjukkan telah berkembangnya suatu keahlian khusus dibidang
kosmetik.
Keberadaan kosmetik di Indonesia diperkirakan sudah dikenal sejak
kepulauan ini dihuni oleh manusia. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
penggalan cara periasan tradisional seperti memakan kapur sirih untuk pemerah
bibir, serta ramuan kosmetik tradisional lainnya yang tetap terkenal dan digemari

34

oleh semua lapisan hingga saat ini. Semula kosmetik dibuat dengan bahan alami,
dengan proses yang sangat sederhana, hal ini merupakan catatan kuno warisan
nenek moyang kita yang perlu dilestarikan pembuatan kosmetik pada waktu itu
memakai bahan-bahan alami yang dipilih dari bahan terbaik, diramu dengan cara
tertentu, kemudian dikemas dalam bentuk yang menarik. Hal tersebut mngandung
pengertian bahwa nenek moyang kita telah mengenal persyaratan bahan baku,
persyaratan produksi dan persyaratan bentuk fisik sediaan.
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ikut
mempengaruhi bidang kosmetik. Kosmetik umumnya dibuat dari paduan bahan
kimia, dijadikan dalam bentuk fisik sediaan tertentu, sesuai dengan yang
diinginkan. Ramuan dengan formulasi tertentu akan menentukan manfaat dan
kegunaan kosmetik itu.
2.6.1
Dalam

Pengertian Kosmetik
bahasa yunani kosmetikos berarti keterampilan menghias,

sedang kosmos berarti hiasan.50 Definisi tersebut menurut Federal Food dan
Cosmetic Act (1938) sama dengan definisi dalam Peraturan Mentri Kesehatan RI
No. 220/Men.kes/Per/IX/76 sebagai berikut:
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
diletakkan, dituangkan, dipercikan atau disemprotkan pada, dimasukkan
dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan
maksut untuk membersihkan, memelihara menambah daya tarik atau
mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak
boleh mengganggu faal kulit atau tubuh manusia.
Definisi tersebut jelas menjukkan bahwa kosmetik bukan suatu obat yang
dipakai untuk diagnosis, pengobatan maupun pencegahan penyakit. Obat bekerja
lebih kuat dan dalam, sehingga dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh.51
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kosmetik adalah obat (bahan) untuk
mempercantik wajah, kulit, rambut dan sebagainya seperti bedak dan pemerah

50

Syarif M. Wasitaatmadja. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. (Depok: UI Press, 1997),

hal. 26-27.
51

Ibid. hal. 26-27.

35

bibir. Sedangkan kosmetika adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik
wajah, kulit, dan rambut.52
Dakam keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.00.05.4.1747 tentang kosmetik (untuk selanjutnya disebut
Keputusan Kepala Badan POM) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kosmetik adalah:
Bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian
luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital
bagian luar) atau gigi atau mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan
atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.53
Masyarakat awam sering menggunakan istilah yang sama untuk produk
seperti bedak, pemerah bibir dan sebagainya dengan sebutan kosmetik atau
kosmetika. Sedangkan dalam skripsi ini istilah yang digunakan produk yang
dimaksud seperti bedak, pemerah bibir, pelembab dan sebagainya adalah
kosmetik. Istilah ini mengacu pada Keputusan Kepala Badan POM.
2.6.2

Penggolongan Kosmetik

Saat ini terdapat ribuan produk kosmetik yang beredar di pasar bebas, baik
kosmetik import maupun kosmetik lokal. Di Indonesia tercatat lebih dari 300
pabrik kosmetik yang terdaftar secara resmi yang merupakan usaha rumah tangga
maupun salon kecantikan.54 Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan adanya
penggolongan kosmetik yang bertujuan untuk penyederhanaan kosmetik baik
untuk pengaturan maupun pemakaian.
Menurut Jelinek, penggolongan kosmetik dapat digolongkan menjadi
pembersih, deodorant, dan anti prespirasi, protektif, efek dalam, seperficial,
dekoratif dan untuk kesenangan.55 Wels FV dan Lubowe II mengelompokkan
kosmetik menjadi preparat untuk kulit muka, preparat untuk higienis mulut,
preparat untuk tangan dan kaki, kosmetik badan, preparat untuk rambut, kosmetik
52

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembanan Bahasa. Kamus Besar
bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).
53
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Republik Indonesia
No. HK. 00.05.4.1745 tentang kosmetik., pasal 1 butir 1.
54
Syarif M. Wasitaatmadja, Op. Cit.,. hal. 29.
55
Ibid, hal. 29.

36

untuk pria dan lainnya. Breur EW dan Principles of Cosmetic for Dermatologist
membuat klasifikasi sebagai berikut:
a. Toiletries: sabun, shampo, pengkilap rambut, kondisioner rambut, penata,
pewarna, pengerinting / pengelurus rambut, deodorant, anti prespirasi dan
tabir surya.
b. Skin Care: pencukur, pembersih, toner, pelembab, masker, krem malam
dan siang, dan bahan untuk mandi.
c. Make up: foundation, eye make up, lipstick, blusher, enamel kuku.
d. Fragnance: parfumes, colonges, toilet water, body silk, bath powder, dan
after shave agents.56
Sub bagian kosmetik medik bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, membagi kosmetik atas:
a. Kosmetik pemeliharaan dan perawatan yang terdiri dari kosmetik
pembersih, kosmetik pelembab, kosmetik pelindung dan kosmetik
penipis.
b. Kosmetik rias/dekoratif yang terdiri atas kosmetik rias kulit terutama
wajah, kosmetik rias rambut, kosmetik rias kuku, kosmetik rias bibir, dan
kosmetik rias mata.
c. Kosmetik pewangi/parfum yang terdiri dari deodorant, after shavwe
lotion, parfum dan eau de toilette.57
Menurut Pasal 3 Keputusan Badann POM, berdasarkan bahan dan
penggunaanya serta untuk maksud evaluasi, prodok kosmetik dibagi menjadi dua
golongan:
a. Kosmetik golongan I adalah:
1) Kosmetik yang digunakan bayi;
2) Kosmetik yang di gunakan sekitar mata, rongga mulut dan mukosa
lainnya;
3) Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar
penandaan;
4) Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim
serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.
b. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk kosmetik
golongan I.58

56

Ibid, hal. 29.


Ibid, hal. 30.
58
Keputusan Kepala Badan POM, Op. Cit., Pasal. 3.
57

37

Dengan adanya penggolongan sederhana ini setiap jenis kosmetik akan


dapat dikenal kegunaannya dan menjadi bahan acuan bagi konsumen di dalam
bidang kosmetik. Penggolongan ini juga akan menampung setiap jenis sediaan
kosmetik (bedak, cairan, krim, pasta, semprotan dan lainnya) dan setiap tempat
pemakaian kosmetik (kulit, mata, kuku, rambut, seluruh badan, alat kelamin dan
sebagainya).59 Penggolongan menjadi bahan acuan di Indonesia merujuk pada
Keputusan Kepala Badan POM.
2.6.3

Pemanfaatan Kosmetik

Kosmetik dimanfaatkan oleh konsumen sebagai pembersih, pelembab,


pelindung, penipisan, rias atau dekoratif dan wangi-wangian. Parfum misalnya,
diperlukan untuk menambah penampilan dan menutupi bau badan yang mungkin
kurang sedap untuk orang lain.
Berdasarkan kegunaannya, maka kosmetik dapat dibagi menjadi:
a. Kosmetik perawatan kulit (skin care cosmetik)
Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk
didalamnya adalah kosmetik untuk membersihkan kulit, melindungi dan
melembabkan kulit dan untuk menipiskan kulit (peeling).
b. Kosmetik riasan/dekoratif (make up)
Jenis ini diperlukan untuk merias, menutup cacat sehingga menimbulkan
penampilan yang lebih menarik dan menimbulkan efek psikologis yang
baik, disini peran zat pewarna dan pewangi sangat besar.
Kosmetik adalah bahan dan campuran bahan yang dikenakan pada kulit
manusia untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik serta mengubah
rupa. Oleh karena terjadi kontak antara kosmetik dengan kulit, maka ada
kemungkinan kosmetik diserap oleh kulit dan masuk ke bagian yang lebih dalam
dari tubuh. Jumlah kosmetik yang terserap kulit tergantung pada beberapa faktor,
misalnya keadaan kulit pemakai. Kontak kosmetik dengan kulit menimbulkan
akibat positif berupa manfaat kosmetik dan dapat pula berakibat negatif atau
merugikan yang merupakan efek samping kosmetik.60

59
60

Syarif M. Wasitaatmadja, Op. Cit.,. hal. 30.


Ibid,. hal. 30.

38

Kompisisi paduan bahan kimia yang tidak sesuai, jelas dapat menimbulkan
kerugian yang tidak dikehendaki bagi pemakai kosmetik. Keamanan penggunaan
kosmetik tidak hanya ditentukan oleh paduan dan kemurnian bahan kimia yang
digunakan, tetapi juga disebabkan oleh bentuk fisik sediaan. Emulsi termasuk
krim, jeli, larutan dan suspensi merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri paktogen. Mengingat ada
sebagian mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam segala kondisi, maka tidaklah
berlebihan jika bentuk fisik sediaan kosmetik seperti bubuk, bubuk padat, krayon
atau stik dan pasta juga dapat menjadi media pertumbuhan mikroorganisme.
Efek Kosmetik terhadap Kulit merupakan sasaran utama dalam menerima
berbagai pengaruh dari penggunaan kosmetika. Ada dua efek atau pengaruh
kosmetika terhadap kulit, yaitu efek positif dan efek negatif. Tentu saja yang
diharapkan adalah efek positifnya, sedangkan efek negatifnya tidak diinginkan
karena dapat menyebabkan kelainan-kelainan kulit. Pemakaian kosmetika yang
sesuai dengan jenis kulit akan berdampak positif terhadap kulit sedangkan
pemakaian kosmetika yang tidak sesuai dengan jenis kulit akan berdampak negatif
bagi kulit. Usaha yang dapat dilakukan dalam menghindari efek samping dari
pemakaian kosmetika tersebut diantaranya adalah mencoba terlebih dahulu jenis
produk baru yang akan digunakan untuk melihat cocok tidaknya produk tersebut
bagi kulit kita. Setiap pemakaian produk kosmetika diharapkan dapat berkhasiat
sesuai dengan jenis produk yang kita gunakan, akan tetapi sering kali pemakaian
produk kosmetika tersebut justru membawa petaka bagi pemakainya.61
Efek-efek negatif yang sering kali timbul dari pemakaian kosmetika yang
salah adalah kelainan kulit berupa kemerahan, gatal, atau noda-noda hitam. Ada
empat faktor yang mempengaruhi efek kosmetika terhadap kulit yaitu faktor
manusia pemakainya, faktor lingkungan alam pemakai, faktor kosmetika dan
gabungan dari ketiganya.

61

Anonim, 2011, http://makalahcentre.blogspot.com/2011/01/dampak-kosmetikterhadap-kesehatan.htm. Diakses tanggal 15 Mei 2013.

39

a) Faktor manusia
Perbedaan warna kulit dan jenis kulit dapat menyebabkan perbedaan reaksi
kulit terhadap kosmetika, karena struktur dan jenis pigmen melaminnya
berbeda.
b) Faktor iklim
Setiap iklim memberikan pengaruh tersendiri terhadap kulit, sehingga
kosmetika untuk daerah tropis dan sub tropis seharusnya berbeda.
c) Faktor kosmetika
Kosmetika yang dibuat dengan bahan berkualitas rendah atau bahan yang
berbahaya bagi kulit dan cara pengolahannya yang kurang baik, dapat
menimbulkan reaksi negatif atau kerusakan kulit seperti alergi atau iritasi
kulit.
d) Faktor gabungan dari ketiganya
Apabila bahan yang digunakan kualitasnya kurang baik, cara
pengolahannya kurang baik dan diformulasikan tidak sesuai dengan
manusia dan lingkungan pemakai maka akan dapat menimbulkan
kerusakan kulit, seperti timbulnya reaksi alergi, gatal-gatal, panas dan
bahkan terjadi pengelupasan.
Kosmetik memiliki efek terhadap kulit yaitu efek negatif dan efek positif.
Demikian juga untuk kosmetika pemutih yang mempunyai efek positif yaitu
menjadikan kulit lebih cerah atau putih seperti yang diinginkan dan mempunyai
efek negatif yang berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti
kulit meradang atau terkelupas apabila penggunaannya kurang berhati-hati atau
tidak sesuai dengan petunjuk penggunannya.
Bahan alami yang digunakan hendaknya diupayakan yang telah lama dan
bisa digunakan sebagai kosmetik secara turun-temurun, sehingga secara tidak
langsung sebenarnya telah teruji keamanan penggunaannya. Sedangkan untuk
bahan-bahan kimia tertentu, harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
buku resmi yang diterbitkan oleh departemen kesehatan, seperti Kode Kosmetik
Indonesia, Materi Medika dan Farmakope Indonesia.

40

2.6.4

Peraturan di Bidang Kosmetik

Tidak semua orang mampu membuat produk kosmetik yang baik, dalam
artian kosmetik tersebut memenuhi standart mutu atau kualitas dan aman. Oleh
karena itu, pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI telah menyusun
berbagai undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan masalah
pembuatan kosmetik. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain, adalah:
1. Keputusan Kepala Badan POM Republik Indonesia No. HK. 00. 05. 4.
1745 tentang Kosmetik;
2. Peraturan Menteri Kesehatan No.220/Menkes/Per/XI/1976 tentang
Produksi dan Peredaran Kosmetik;
3. Peraturan Menteri Kesehatan No.96/Menkes/V/1977 tentang Wadah,
Pembungkus, penadaan Produk Kosmetik;
4. Peraturan Menteri Kesehatan No.236/Menkes/XI/1977 tentang Izin
Produksi;
5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.85/Menkes/SK/1981 tentang
Penggunaan Kode Kosmetik Indonesia sebagai Persyaratan Mutu Bahan
Kosmetik;
6. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan;
7. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsemen;
8. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasaan Penyelenggara Perlindungan Konsumen;
9. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

Вам также может понравиться