Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pertanggungjawaban Hukum
2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Hukum
Dalam
kamus
hukum
ada
dua
istilah
yang
menunjuk
pada
15
13
14
Bentuk tanggung jawab tersebut ialah berupa ganti kerugian sebagai akibat
dari penggunaan/pemakaian produk. Kerugian yang dapat dituntut dari produsen,
menurut Pasal 19 UUPK terdiri dari:
a. Kerugian atas kerusakan;
b. Kerugian atas pencemaran; dan/atau
c. Kerugian konsumen sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Pada dasarnya, bentuk atau wujud ganti kerugian yang lazim dipergunakan
ialah uang, yang oleh para ahli hukum ataupun yurisprudensi dianggap paling
praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa.
Bentuk lain adalah benda ( in natura ). Pasal 19 ayat (2) UUPK memberikan
pedoman tentang jumlah, bentuk, atau wujud ganti kerugian yaitu:
a. Pengembalian uang;
b. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau sejenis nilainya;
c. Perawatan kesehatan; dan/atau
d. Pemberian santunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Selain pedoman-pedoman diatas, yurisprudensi memberi pedoman lain
dalam menentukan besarnya ganti rugi, yaitu faktor kelayakan atau kepantasan.
2.1.2 Hubungan Hukum para Pihak
Dalam hal terjadi pengalihan barang dari satu pihak satu ke pihak lain,
maka secara garis besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu:17
Pada kelompok pertama, kelompok penyediaan barang atau penyelenggara
jasa, pada umumnya pihak ini berlaku sebagai:
1. Penyediaan dana untuk keperluan para penyediaan barang dan/atau jasa
(investor);
2. Penghasil atau pembuat barang dan/jasa (produsen);
3. Penyalur barang dan/atau jasa.
17
hal. 18-19.
Nasution, AZ. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, (Diadit Media, Jakarta, 1988)
15
16
pembatalan,
sehingga
perjanjian
tersebut
mengikat
sebagaimana
18
hal. 34-35.
Soetojo. R. Dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan. (Bina Ilmu. Surabaya. 1984).
17
2.2
azas dan tujuan guna memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adanya
azas dan tujuan yang jelas, Hukum Perlindungan Konsumen memiliki dasar dan
pijakan yang kuat.
2.2.1
undang-undang
itu
dan
seganap
peraturan
pelaksanaannya.
19
Ahmadi Miru, Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. (PT. Raja Grafindo.
Jakarta. 2011) hal. 36.
18
19
Adapun tujuan yang ingin di capai dari perlindungan konsumen, di muat dalam
Pasal 3 UUPK, yang menyatakan bahwa:
Perlindungan konsumen bertujuan:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanngung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyaamaan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.3
manifestasi dari prasyarat untuk masuk dalam phase walfare state (Negara
Kesejahteraan). Fenomena negara kesejahteraan merupakan fenomena penting
diakhir abad ke-19 dengan gagasan bahwa negara didorong untuk semakin
meningkatkan perannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat,
termasuk
masalah-masalah
perekonomian
yang
dalam
20
akan menggunakan jasa atau produk dalam jumlah yang cukup, kualitas
pelayanan yang baik dan penyediaan fasilitas yang memadai untuk masyarakat,
sehingga apa yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri yakni adalah
kesejahteraan dapat dicapai dengan baik, salah satunya dengan jalan
pemberdayaan dan perlindungan hukum. Perlindungan hukum berasal dari bahasa
Belanda yang berbunyi rechtbercherming van de bergers tegen de overhead.21
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, perlindungan hukum adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa konsumen dan pengusaha
memiliki hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban serta timbal balik.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja yang dikutip oleh Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo,22 pengertian perlindungan hukum adalah perlindungan yang di
berikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,
yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Undang-undang perlindungan konsumen
mengatur lebih luas mengenai subjek yang dapat di gugat untuk mengganti
kerugian.
Perlindungan hukum sangat penting dikembangkan dalam rangka
menjamin hak masyarakat untuk mendapat perlindungan hukum menurut undangundang. Indonesia merupakan Negara Hukum yang mengenal dua macam
perlindungan hukum. Menurut Hadjhon, perlindungan hukum bagi rakyat
meliputu dua hal, yaitu Perlindungan Hukum Preventif dan Perlindungan Hukum
Represif.23
21
21
2.3.1
suatu
keputusan
pemerintah
mendapat
bentuk
yang definitif.
22
itu,
setelah
dipenuhinya
syarat
tertentu,
dapat
24
23
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1 Angka 3 UUPK ini,
memiliki cakupan yang luas karena mencakup penjual grosir, leveransir sampai
pada pengecer. Namun dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah
mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negri, karena UUPK membatasi
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. 28
Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan
konsumen yang menjadi korban untuk menuntut kerugian. Konsumen yang
dirugikan akibat penggunaan produk, tidak kesulitan dalam menemukan kepada
siapa tuntutan akan diajuakan, karena banyak pihak yang dapat digugat.29 Namun
akan lebih baik, dan memudahkan konsumen, seandainya UUPK juga
memberikan urutan/rincian untuk mentukan siapa yang akan dituntut jika dia
dirugikan akibat penggunaan produk.
Sementara itu, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengelompokkan
pelaku usaha menjadi:
a) Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai
kepentingan;
b) Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan atau jasa dari barang-barang dan atau jasa-jasa lain;
c) Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang dan atau jasa tersebut kepada masyarakat,
seperti pedagang kaki lima, warung, supermarket, dan usaha
angkutan.30
28
24
25
Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku
usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,
sehingga diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai
sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya
konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya
kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang/diproduksi oleh produsen (pelaku
usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen
mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.31
2.4.3
26
dengan biaya,
peronsokan yang nyata-nyata yang sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh wanprestasi debitur. Dan bunga adalah keuntungan yang
diharapkan
akan
diperoleh kreditur
kemudian hari
seandainya
debitur
apa
kriterianya.
Tampaknya
pembuat
undang-undang
bermaksud
27
28
peristiwa yang
36
37
29
Pengertian Konsumen
38
30
42
43
Ibid., hal. 8.
Ahmadi Miru dan Suratman Yudo, Op.Cit., hal 5.
31
konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk
dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.44
UUPK tidak mengakui badan hukum (seperti yayasan dan perseroan
terbatas)
sebagai
konsumen.45
Menurut
Yusuf
Shofie,
alasan
yang
Perlindungan
hukum yang diberikan oleh UUPK hanya bagi individu konsumen akhir bukan
konsumen antara (pelaku usaha yang berbentuk badan hukum).
2.5.2
harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh mereka. Jika terjadi pelanggaran akan
hak-hak konsumen atau konsumen mengalami kerugian sebagai akibat pelaku
usaha yang tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, maka konsumen
dapat menuntut pelaku usaha untuk bertanggung jawab. Sebaliknya, konsumen
tidak dapat menuntut pelaku usaha untuk bertanggung jawab jika konsumen tidak
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Secara umum, terdapat empat hak dasar konsumen yang mengacu pada
President Kennedys 1962 Cosumers Bill of Right. Keempat hak tersebut yaitu:
1.
2.
3.
4.
Ibid,. Hal. 6
Anisa Dita Muliasari, Analisa Yuridis terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Layanan
Short Message Service (sms) ditinjau UU No.8 tahun 1999, (Depok: FHUI, 2009), hal. 18.
46
Yusuf Shofie (b), Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan
Penegakan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hal. 13.
47
Ahmadi Miru dan Suratman Yudo, Op.Cit,. hal. 39.
45
32
48
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis; Menata Bisnis Modern di Era Global,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 228.
49
Ibid., hal. 40.
33
sejarah arkeologi sudah dikenal sejak jaman babilonia dan mesir kuno. Dalam
sejarah kosmetik dan kosmotologi, ilmu kedokteran pun ikut mengambil peranan
sejak jaman kuno. Data yang diperoleh dari hasil penyelidikan antropologi,
arkeologi, dan etnologi di Mesir dan India membuktikan adanya pemakaian
ramuan seperti bahan pengawet mayat dan saleo aromatik yang dapat dianggap
sebagai bentuk awal dari kosmetik yang kita kenal sekarang. Adanya bahan-bahan
tersebut, menunjukkan telah berkembangnya suatu keahlian khusus dibidang
kosmetik.
Keberadaan kosmetik di Indonesia diperkirakan sudah dikenal sejak
kepulauan ini dihuni oleh manusia. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
penggalan cara periasan tradisional seperti memakan kapur sirih untuk pemerah
bibir, serta ramuan kosmetik tradisional lainnya yang tetap terkenal dan digemari
34
oleh semua lapisan hingga saat ini. Semula kosmetik dibuat dengan bahan alami,
dengan proses yang sangat sederhana, hal ini merupakan catatan kuno warisan
nenek moyang kita yang perlu dilestarikan pembuatan kosmetik pada waktu itu
memakai bahan-bahan alami yang dipilih dari bahan terbaik, diramu dengan cara
tertentu, kemudian dikemas dalam bentuk yang menarik. Hal tersebut mngandung
pengertian bahwa nenek moyang kita telah mengenal persyaratan bahan baku,
persyaratan produksi dan persyaratan bentuk fisik sediaan.
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ikut
mempengaruhi bidang kosmetik. Kosmetik umumnya dibuat dari paduan bahan
kimia, dijadikan dalam bentuk fisik sediaan tertentu, sesuai dengan yang
diinginkan. Ramuan dengan formulasi tertentu akan menentukan manfaat dan
kegunaan kosmetik itu.
2.6.1
Dalam
Pengertian Kosmetik
bahasa yunani kosmetikos berarti keterampilan menghias,
sedang kosmos berarti hiasan.50 Definisi tersebut menurut Federal Food dan
Cosmetic Act (1938) sama dengan definisi dalam Peraturan Mentri Kesehatan RI
No. 220/Men.kes/Per/IX/76 sebagai berikut:
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
diletakkan, dituangkan, dipercikan atau disemprotkan pada, dimasukkan
dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan
maksut untuk membersihkan, memelihara menambah daya tarik atau
mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak
boleh mengganggu faal kulit atau tubuh manusia.
Definisi tersebut jelas menjukkan bahwa kosmetik bukan suatu obat yang
dipakai untuk diagnosis, pengobatan maupun pencegahan penyakit. Obat bekerja
lebih kuat dan dalam, sehingga dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh.51
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kosmetik adalah obat (bahan) untuk
mempercantik wajah, kulit, rambut dan sebagainya seperti bedak dan pemerah
50
hal. 26-27.
51
35
bibir. Sedangkan kosmetika adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik
wajah, kulit, dan rambut.52
Dakam keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.00.05.4.1747 tentang kosmetik (untuk selanjutnya disebut
Keputusan Kepala Badan POM) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kosmetik adalah:
Bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian
luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital
bagian luar) atau gigi atau mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan
atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.53
Masyarakat awam sering menggunakan istilah yang sama untuk produk
seperti bedak, pemerah bibir dan sebagainya dengan sebutan kosmetik atau
kosmetika. Sedangkan dalam skripsi ini istilah yang digunakan produk yang
dimaksud seperti bedak, pemerah bibir, pelembab dan sebagainya adalah
kosmetik. Istilah ini mengacu pada Keputusan Kepala Badan POM.
2.6.2
Penggolongan Kosmetik
Saat ini terdapat ribuan produk kosmetik yang beredar di pasar bebas, baik
kosmetik import maupun kosmetik lokal. Di Indonesia tercatat lebih dari 300
pabrik kosmetik yang terdaftar secara resmi yang merupakan usaha rumah tangga
maupun salon kecantikan.54 Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan adanya
penggolongan kosmetik yang bertujuan untuk penyederhanaan kosmetik baik
untuk pengaturan maupun pemakaian.
Menurut Jelinek, penggolongan kosmetik dapat digolongkan menjadi
pembersih, deodorant, dan anti prespirasi, protektif, efek dalam, seperficial,
dekoratif dan untuk kesenangan.55 Wels FV dan Lubowe II mengelompokkan
kosmetik menjadi preparat untuk kulit muka, preparat untuk higienis mulut,
preparat untuk tangan dan kaki, kosmetik badan, preparat untuk rambut, kosmetik
52
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembanan Bahasa. Kamus Besar
bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).
53
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Republik Indonesia
No. HK. 00.05.4.1745 tentang kosmetik., pasal 1 butir 1.
54
Syarif M. Wasitaatmadja, Op. Cit.,. hal. 29.
55
Ibid, hal. 29.
36
untuk pria dan lainnya. Breur EW dan Principles of Cosmetic for Dermatologist
membuat klasifikasi sebagai berikut:
a. Toiletries: sabun, shampo, pengkilap rambut, kondisioner rambut, penata,
pewarna, pengerinting / pengelurus rambut, deodorant, anti prespirasi dan
tabir surya.
b. Skin Care: pencukur, pembersih, toner, pelembab, masker, krem malam
dan siang, dan bahan untuk mandi.
c. Make up: foundation, eye make up, lipstick, blusher, enamel kuku.
d. Fragnance: parfumes, colonges, toilet water, body silk, bath powder, dan
after shave agents.56
Sub bagian kosmetik medik bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, membagi kosmetik atas:
a. Kosmetik pemeliharaan dan perawatan yang terdiri dari kosmetik
pembersih, kosmetik pelembab, kosmetik pelindung dan kosmetik
penipis.
b. Kosmetik rias/dekoratif yang terdiri atas kosmetik rias kulit terutama
wajah, kosmetik rias rambut, kosmetik rias kuku, kosmetik rias bibir, dan
kosmetik rias mata.
c. Kosmetik pewangi/parfum yang terdiri dari deodorant, after shavwe
lotion, parfum dan eau de toilette.57
Menurut Pasal 3 Keputusan Badann POM, berdasarkan bahan dan
penggunaanya serta untuk maksud evaluasi, prodok kosmetik dibagi menjadi dua
golongan:
a. Kosmetik golongan I adalah:
1) Kosmetik yang digunakan bayi;
2) Kosmetik yang di gunakan sekitar mata, rongga mulut dan mukosa
lainnya;
3) Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar
penandaan;
4) Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim
serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.
b. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk kosmetik
golongan I.58
56
37
Pemanfaatan Kosmetik
59
60
38
Kompisisi paduan bahan kimia yang tidak sesuai, jelas dapat menimbulkan
kerugian yang tidak dikehendaki bagi pemakai kosmetik. Keamanan penggunaan
kosmetik tidak hanya ditentukan oleh paduan dan kemurnian bahan kimia yang
digunakan, tetapi juga disebabkan oleh bentuk fisik sediaan. Emulsi termasuk
krim, jeli, larutan dan suspensi merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri paktogen. Mengingat ada
sebagian mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam segala kondisi, maka tidaklah
berlebihan jika bentuk fisik sediaan kosmetik seperti bubuk, bubuk padat, krayon
atau stik dan pasta juga dapat menjadi media pertumbuhan mikroorganisme.
Efek Kosmetik terhadap Kulit merupakan sasaran utama dalam menerima
berbagai pengaruh dari penggunaan kosmetika. Ada dua efek atau pengaruh
kosmetika terhadap kulit, yaitu efek positif dan efek negatif. Tentu saja yang
diharapkan adalah efek positifnya, sedangkan efek negatifnya tidak diinginkan
karena dapat menyebabkan kelainan-kelainan kulit. Pemakaian kosmetika yang
sesuai dengan jenis kulit akan berdampak positif terhadap kulit sedangkan
pemakaian kosmetika yang tidak sesuai dengan jenis kulit akan berdampak negatif
bagi kulit. Usaha yang dapat dilakukan dalam menghindari efek samping dari
pemakaian kosmetika tersebut diantaranya adalah mencoba terlebih dahulu jenis
produk baru yang akan digunakan untuk melihat cocok tidaknya produk tersebut
bagi kulit kita. Setiap pemakaian produk kosmetika diharapkan dapat berkhasiat
sesuai dengan jenis produk yang kita gunakan, akan tetapi sering kali pemakaian
produk kosmetika tersebut justru membawa petaka bagi pemakainya.61
Efek-efek negatif yang sering kali timbul dari pemakaian kosmetika yang
salah adalah kelainan kulit berupa kemerahan, gatal, atau noda-noda hitam. Ada
empat faktor yang mempengaruhi efek kosmetika terhadap kulit yaitu faktor
manusia pemakainya, faktor lingkungan alam pemakai, faktor kosmetika dan
gabungan dari ketiganya.
61
39
a) Faktor manusia
Perbedaan warna kulit dan jenis kulit dapat menyebabkan perbedaan reaksi
kulit terhadap kosmetika, karena struktur dan jenis pigmen melaminnya
berbeda.
b) Faktor iklim
Setiap iklim memberikan pengaruh tersendiri terhadap kulit, sehingga
kosmetika untuk daerah tropis dan sub tropis seharusnya berbeda.
c) Faktor kosmetika
Kosmetika yang dibuat dengan bahan berkualitas rendah atau bahan yang
berbahaya bagi kulit dan cara pengolahannya yang kurang baik, dapat
menimbulkan reaksi negatif atau kerusakan kulit seperti alergi atau iritasi
kulit.
d) Faktor gabungan dari ketiganya
Apabila bahan yang digunakan kualitasnya kurang baik, cara
pengolahannya kurang baik dan diformulasikan tidak sesuai dengan
manusia dan lingkungan pemakai maka akan dapat menimbulkan
kerusakan kulit, seperti timbulnya reaksi alergi, gatal-gatal, panas dan
bahkan terjadi pengelupasan.
Kosmetik memiliki efek terhadap kulit yaitu efek negatif dan efek positif.
Demikian juga untuk kosmetika pemutih yang mempunyai efek positif yaitu
menjadikan kulit lebih cerah atau putih seperti yang diinginkan dan mempunyai
efek negatif yang berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti
kulit meradang atau terkelupas apabila penggunaannya kurang berhati-hati atau
tidak sesuai dengan petunjuk penggunannya.
Bahan alami yang digunakan hendaknya diupayakan yang telah lama dan
bisa digunakan sebagai kosmetik secara turun-temurun, sehingga secara tidak
langsung sebenarnya telah teruji keamanan penggunaannya. Sedangkan untuk
bahan-bahan kimia tertentu, harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
buku resmi yang diterbitkan oleh departemen kesehatan, seperti Kode Kosmetik
Indonesia, Materi Medika dan Farmakope Indonesia.
40
2.6.4
Tidak semua orang mampu membuat produk kosmetik yang baik, dalam
artian kosmetik tersebut memenuhi standart mutu atau kualitas dan aman. Oleh
karena itu, pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI telah menyusun
berbagai undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan masalah
pembuatan kosmetik. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain, adalah:
1. Keputusan Kepala Badan POM Republik Indonesia No. HK. 00. 05. 4.
1745 tentang Kosmetik;
2. Peraturan Menteri Kesehatan No.220/Menkes/Per/XI/1976 tentang
Produksi dan Peredaran Kosmetik;
3. Peraturan Menteri Kesehatan No.96/Menkes/V/1977 tentang Wadah,
Pembungkus, penadaan Produk Kosmetik;
4. Peraturan Menteri Kesehatan No.236/Menkes/XI/1977 tentang Izin
Produksi;
5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.85/Menkes/SK/1981 tentang
Penggunaan Kode Kosmetik Indonesia sebagai Persyaratan Mutu Bahan
Kosmetik;
6. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan;
7. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsemen;
8. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasaan Penyelenggara Perlindungan Konsumen;
9. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;