Вы находитесь на странице: 1из 22

I.

1.

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak
membaik pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya
gejala muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti
pajananterhadap alergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin.
Seringnya,pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi. Pasien biasanya
mengeluh rasaberat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering dan mengi
danpenggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi)
sampai hitungan menit.
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinofil,
dan limfositT terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea,
wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan
terjadi secaraepisodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001).
Status asmatikus bervariasi dariyang ringan sampai ke yang berat,yaitu
bronkospasme, inflamasi salur pernafasan, dan sumbatan oleh mukus yang
menyebabkan gangguan pernafasan; retensikarbon dioksida; hipoksemia; dan
gagal nafas. Tanda klinis yang biasa adalah wheezing persisten dengan retraksi.
Tapi, tidak semua anak-anak dengan asmaberat ada wheezing, sebagian dari
mereka mungkin hanya menderita batuk, dyspnea, atau muntah. Atau dalam arti
lain, tidak semua pasien dengan wheezing menderita asma; mereka mungkin
menderita salah satu dari macam-macam penyebabyang bisa menyebabkan
obstruksi salur pernafasan
Asma mempengaruhi hingga 10% dari populasi Amerika Serikat.
Prevalensi telah meningkat sebesar 60% pada segala usia dalam dua dekade
terakhir. Kenaikan yang signifikan dalam rumah sakit dan angka kematian asma
telah menjadi kejadian yang meningkat. Status asmatikus biasanya terjadi pada
orang-orang yang lebih umum seperti kelompok sosial ekonomi rendah, terlepas

dari ras, karena mereka kurang memiliki akses ke perawatan medis spesialis
yang teratur. Orang yang hidup sendiri secara khusus terpengaruh. Insiden di
seluruh dunia asma tidak jelas tetapi diperkirakan sekitar 20 juta kasus.
Kenaikan dramatis dalam insiden telah dikaitkan, sebagian, polusi dan
industrialisasi (Saadeh, 2014).
2.

TUJUAN
a. Mengetahui definisi status asmatikus.
b. Mengenali dan memahami tanda klinis status asmatikus.
c.

3.

Mengetahui penatalaksanaan efektif kasus status asmatikus.

MANFAAT
a.

Mahasiswa dapat mengerti mengenai definisi status asmatikus.

b.

Mahasiswa dapat memahami prinsip-prinsip penatalaksanaan yang efektif


untuk status asmatikus.

c.

Sebagai tambahan informasi untuk mahasiswa dalam mengenali tanda-tanda


status asmatikus.

II. TINJAUAN PUSTAKA


1.

DEFINISI
Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak
responsif dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian
nebulasi B agonis (bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan
respon yang baik. Serangan pada status asmatikus dapat terjadi dari yang ringan
sampai yang berat tergantung dari tingkat obstruksi pada bronkus yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi, sekresi mukus dan inflamasi pada saluran
pernapasan. Semuanya itu dapat menyebabkan gejala berupa sesak napas, retensi
dari karbondioksida, hipoksemia dan kegagalan pernapasan (Saadeh, 2014).
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinofil,
dan limfositT terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea,
wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan
terjadi secaraepisodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001)
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai
ciri bronkospasme periodic (kontraksi spasme pada saluran nafas) terutama pada
percabangan trakea bronkial, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi
(Somantri,2009).

2.

ETIOLOGI
Menurut Somantri (2009), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
a. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi oleh
karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma.

Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak.


b. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non
alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak
diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkitis kronik dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini
dapat berkembang menjadi asma gabungan. Bentuk asma ini biasanya
dimulai pada saat dewasa (usia > 35 tahun).
c.

Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering
ditemukan. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun
bentuk idiopatik atau nonalergik.
Faktor risiko untuk mengembangkan asthmaticus Status parah atau

berkelanjutan meliputi berikut ini :(Saadeh, 2014)


a. Riwayat peningkatan penggunaan perawatan di rumah dengan bronkodilator
tanpa perbaikan atau efek
b. Riwayat penerimaan unit perawatan intensif (ICU) sebelumnya, dengan atau
tanpa intubasi dan dukungan ventilasi mekanik
c. Eksaserbasi asma meskipun penggunaan baru atau saat ini dengan
kortikosteroid
d. Kunjungan gawat darurat sering dan / atau rawat inap (menyiratkan kontrol
yang buruk)
e. Peningkatan kurang dari 10% pada laju aliran ekspirasi puncak (PEFR) dari
baseline meskipun telah berobat
f. Sejarah sinkop atau kejang selama eksaserbasi akut
g. Saturasi oksigen di bawah 92% meskipun oksigen tambahan

3.

EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, insidensi terjadinya asma diperkirakan ada kurang
lebih 20 juta kasus, di mana 15% dari angka tersebut terjadi pada anak-anak.
Peningkatan insidens kasus asma di seluruh dunia adalah akibat dari polusi dan
industrialisasi. Dari hipotesis higienis, perbaikan dalam imunisasi dan kesehatan
masyarakat akan berkontribusi dalam peningkatan insidens kasus asma. Pada
bayi, asma pada laki-laki lebih parah dari perempuan. Pada anak-anak yang lebih
tua, keparahan dan insidensi asma kurang lebih sama banyak pada laki-laki dan
perempuan. Tapi pada dewasa, insidens asma lebih banyak pada wanita.
Asma mempengaruhi hingga 10% dari populasi Amerika Serikat.
Prevalensi telah meningkat sebesar 60% pada segala usia dalam dua dekade
terakhir. Kenaikan yang signifikan dalam rumah sakit dan angka kematian asma
telah menjadi kejadian yang meningkat. Status asmatikus biasanya terjadi pada
orang-orang yang lebih umum seperti kelompok sosial ekonomi rendah, terlepas
dari ras, karena mereka kurang memiliki akses ke perawatan medis spesialis
yang teratur. Orang yang hidup sendiri secara khusus terpengaruh. Insiden di
seluruh dunia asma tidak jelas tetapi diperkirakan sekitar 20 juta kasus.
Kenaikan dramatis dalam insiden telah dikaitkan, sebagian, polusi dan
industrialisasi (Saadeh, 2014).

4.

PATOMEKANISME
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara
lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur

imunologis

didominasi

oleh

antibodi

IgE,

merupakan

reaksi

hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil.

Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang
tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang
melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan
berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan
menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus
yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas (Rengganis, 2008).
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu
10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung
pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan
alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
(Rengganis, 2008).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide

(CGRP).

Neuropeptida

itulah

yang

menyebabkan

terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan


aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008).

Saat terjadi obstruksi, spasme bronkus yang berkepanjangan yang tidak


bisa disembuhkan dengan pengobatan dapat meningkatkan kerja pernapasan.
Peningkatan kerja pernapasan mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen.
Karena orang dengan asma tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen untuk
melawan spasme bronkiolus, edem bronkiolus, dan mukus yang kental,
akibatnya pasien akan mengalami kelelahan dan akan mengalami asidosis
respiratorik, gagal napas, dan kematian (Corwin, 2009).

Gambar . Patomekanisme status asmatikus (Rengganis, 2008; Corwin, 2009)

5.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Status asmatikus merupakan kejadian asma yang akut dari ringan hingga
berat yang dapat berpotensi mengancam jiwa, diantaranya adalah (Djojodibroto,
2009) :
a. Tanda klinis
1)

Sianosis

2)

Takipneu

3)

Bradikardi

4)

Tidak mampu menyelesaikan satu kalimat lengkap dalam satu nafas

5)

Tidak mampu berdiri dari posisi duduk

6)

Nyeri kepala hebat

7)

Penurunan kesadaran

b. Pemeriksaan Fisik

6.

1)

RR > 25 x/menit

2)

Nadi >110 x/menit

3)

Auskultasi ditemukan silent chest

4)

Pulsus paradoksus >18 mmHg

5)

PEF <200 liter/menit

PENATALAKSANAAN
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat
serangan di darurat gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang
tidak adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian
pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat, penilaian respons pengobatan yang
kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya menjadi tidak tepat. Kondisi
penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma yang menetap,
menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh
dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal (PDPI, 2003).
A. Farmakologi

1) Penatalaksanaan di Rumah
Kemampuan penderita untuk dapat mendeteksi dini perburukan
asmanya adalah penting dalam keberhasilan penanganan serangan akut. Bila
penderita dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah, maka ia
tidak hanya mencegah keterlambatan pengobatan tetapi juga meningkatkan
kemampuan untuk mengontrol asmanya sendiri. Idealnya penderita mencatat
gejala, kebutuhan bronkodilator dan faal paru (APE) setiap harinya dalam
kartu harian, sehingga paham mengenai bagaimana dan kapan (PDPI, 2003) :
a) mengenal perburukan asmanya
b) memodifikasi atau menambah pengobatan
c) menilai berat serangan
d) mendapatkan bantuan medis/ dokter

Gambar. Penatalaksanaan asma dirumah (PDPI, 2003).


2) Penatalaksanaan di rumah sakit
Pemeriksaan analisis gas darah arteri (AGDA) sebaiknya dilakukan
pada (PDPI, 2003):
a)

Serangan asma akut berat

b)

Membutuhkan perawatan rumah sakit

c)

Tidak respons dengan pengobatan / memburuk

d)

Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneumotoraks, dll

e)

Pada keadaan fasilitas yang tidak memungkinkan, pemeriksaan


analisis gas darah tidak perlu dilakukan.

Pada keadaan di bawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan yaitu :
a)

Mengancam jiwa

b)

Tidak respons dengan pengobatan/ memburuk

c)

Gagal napas

d)

Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah

Gambar. Penatalaksanaan asma di rumah sakit (PDPI, 2003).


3) Pengobatan
Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan
akut.
a.

Oksigen
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai
kadar saturasi oksigen 90% dan dipantau dengan oksimetri (PDPI,
2003).

b.

Agonis beta-2
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan
IDT dan spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama
dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit
dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi
dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin. Kombinasi
tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit dan perbaikan
faal paru (APE dan VEP1) (Susanti, 2002). Alternatif pemberian
adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada pemberian
intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring).
Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah
epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila dibutuhkan
dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis
5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam
larutan NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan
perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan
aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya;
untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian
dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam (Davis, 2003).

c.

Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat
resolusi pada serangan asma derajat manapun kecuali serangan
ringan, terutama jika (Barnes, 1999; PDPI, 2003) :
i.

Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan


awal tidak memberikan respons.

ii.

Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan.

iii.

Serangan asma berat.


Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau

intravena, pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan


tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan oral karena
gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan
pemberian intravena. Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan
paling tidak 4 jam untuk tercapai perbaikan klinis. Analisis meta
menunjukkan glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80
mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat
untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon
atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat. Glukokortikosteroid oral
(prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari. Pengamatan
menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu
terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu (NIH,
2002).
d.

Antibiotik
Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi
bakteri (pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan
gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering
menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri
atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram
negatif (penyakit/ gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob
seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik

(PPOK). Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan


empiris yang tepat untuk gram positif dan atipik; yaitu makrolid ,
golongan kuinolon dan alternatif amoksisilin/ amoksisilin dengan
asam klavulanat (Davis, 2003).
e.

Lain-lain
Mukolitik tidak menunjukkan manfaat berarti pada serangan
asma, bahkan memperburuk batuk dan obstruksi jalan napas pada
serangan asma berat. Sedasi sebaiknya dihindarkan karena
berpotensi menimbulkan depresi napas. Antihistamin dan terapi fisis
dada (fisioterapi) tidak berperan banyak pada serangan asma.
Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/
puskesmas), bergantung kepada fasilitas yang tersedia (PDPI, 2003)
:
i.

Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam

ii. Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/
prediksi)
iii. Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU
sebelumnya
iv. Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan)
v. Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang
membutuhkan pertolongan saat itu
vi. Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
vii. Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
viii. Masalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah
sakit
Kriteria pulang atau rawat inap
Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit
(rawat inap) pada penderita di gawat darurat, berdasarkan berat serangan,
respons pengobatan baik klinis maupun faal paru.

Berdasarkan penilaian fungsi,pertimbangan pulang atau rawat


inap, adalah (PDPI, 2003) :
a)

Penderita dirawat inap bila VEP1 atau APE sebelum pengobatan


awal < 25% nilai terbaik/prediksi; atau VEP1 /APE < 40% nilai
terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal diberikan

b)

Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 4060% nilai terbaik/prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini
tindak lanjut adekuat dan kepatuhan berobat.

c)

Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE


> 60% nilai terbaik/prediksi, umumnya dapat dipulangkan

B. Non Farmakologi
1) Kontrol teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting
diperhatikan oleh dokter yaitu (PDPI, 2003) :
a.

Tindak lanjut (follow-up) teratur

b.

Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila


diperlukan
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak

hanya bila terjadi serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadwal, interval
berkisar 1- 6 bulan bergantung kepada keadaan asma. Hal tersebut untuk
meyakinkan bahwa asma tetap terkontrol dengan mengupayakan
penurunan terapi seminimal mungkin.
Rujuk kasus ke ahli paru layak dilakukan pada keadaan :
a.

Tidak respons dengan pengobatan

b.

Pada serangan akut yang mengancam jiwa

c.

Tanda dan gejala tidak jelas(atipik), atau masalah dalam diagnosis


banding, atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti
sinusitis, polip hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi
pita suara, refluks gastroesofagus dan PPOK

d.

Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar,


seperti uji kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji
provokasi bronkus, uji latih (kardiopulmonary exercise test),
bronkoskopi dan sebagainya.

2) Pola hidup sehat


a)

Meningkatkan kebugaran fisik


Olahraga menghasilkan kebugaran fisik secara umum,
menambah rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh.
Walaupun terdapat salah satu bentuk asma yang timbul serangan
sesudah exercise (exercise-induced asthma/ EIA), akan tetapi tidak
berarti

penderita

EIA

dilarang

melakukan

olahraga.

Bila

dikhawatirkan terjadi serangan asma akibat olahraga, maka


dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan olahraga
(FKUI, 1998).
b)

Berhenti atau tidak pernah merokok


Asap rokok merupakan oksidan, menimbulkan inflamasi dan
menyebabkan ketidakseimbangan protease antiprotease. Penderita
asma yang merokok akan mempercepat perburukan fungsi paru dan
mempunyai risiko mendapatkan bronkitis kronik dan atau emfisema
sebagaimana perokok lainnya dengan gambaran perburukan gejala
klinis, berisiko mendapatkan kecacatan, semakin tidak produktif dan
menurunkan kualiti hidup. Oleh karena itu penderita asma
dianjurkan untuk tidak merokok. Penderita asma yang sudah
merokok diperingatkan agar menghentikan kebiasaan tersebut
karena dapat memperberat penyakitnya (FKUI, 1998).

c)

Lingkungan Kerja
Bahan-bahan di tempat kerja dapat merupakan faktor
pencetus serangan asma, terutama pada penderita asma kerja.
Penderita asma dianjurkan untuk bekerja pada lingkungan yang
tidak mengandung bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan

asma. Apabila serangan asma sering terjadi di tempat kerja perlu


dipertimbangkan untuk pindah pekerjaan. Lingkungan kerja
diusahakan bebas dari polusi udara dan asap rokok serta bahanbahan iritan lainnya (FKUI, 1998).

III. KESIMPULAN
Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak
responsif dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian nebulasi
B agonis (bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan respon yang baik.
Penatalaksaan pada status asmatikus yang medikamentosa dengan oksigen, Beta2
agonis, Glukokortikosteroid dan Antibiotik (makrolid, golongan kuinolon dan
alternatif amoksisilin/ amoksisilin dengan asam klavulanat). Sedangkan untuk
nonmedikamentosa dengan kontrol teratur, kalau perlu rujuk ke Sp. P, Pola hidup
sehat (meningkatkan kebugaran fisik, jangan merokok, lingungan kerja bebas asap
rokok, polusi udara dan bahan-bahan iritan lainnya).

IV. DAFTAR PUSTAKA


Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI. 1998. Lokakarya Tahunan.
Jakarta : Fakultas Kedokteram Universitas Indonesia
Barnes, PJ, Chung KF, Page CP. 1999. Inflammatory Mediators of Asthma.
Pharmalocogical Reviews. 50 (4): 515-96.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8. Volume 2.
Jakarta: EGC
Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC
Davis, DE, Wicks J, Powell RM, Puddicombe SM, Holgate ST. 2003. Airway

remodeling in asthma. New Insights. J Allergy Clin Imunol. 111(2).


Djojodibroto, R. D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC
National Institute of Health National Heart, Lung and Blood Institute. 2002. Global
Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. NIH Publication.
PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Rengganis I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. 58: 444-451
Saadeh,

C.K.

2014.

Status

Asmatikus.

Available

at

http://emedicine.medscape.com/article/2129484-overview#a0101. Di akses bulan


November 2014.
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperwatan Pada Klien Gangguan Sistem Pernafasan. Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika
Susanti, F, Yunus F, Giriputro S, Mangunnegoro H, Jusuf A, Bachtiar A. 2002. Efikasi
steroid nebulisasi dibandingkan steroid intravena pada penatalaksanaan asma
akut berat. Maj Kedokt Indon. 52: 24754.

Dini hari, An x. Datang ke IGD RSUD diantar oleh suaminya. An x datang dalam
keadaan somnolen, bibirnya sudah membiru, dan saat ditanya apa yang dirasakan, An
X. Tidak dapat berbicara dengan lancar dan terputus-putus. Saat dibawa ke IGD An x.
Bernafas dengan menggunakan mulutnya. Beberapa saat yang lalu An x beserta
suaminya hendak pergi ke Surabaya dengan menggunakan kereta, namun saat tiba di
stasiun daerah C, An x merasakan sesak nafas dan semakin lama semakin berat.
Menurut suaminya, An x memang memiliki penyakit asma sejak kecil.
Status Generalis
- KU

: Tampak sakit berat

- Kesadaran : Somnolen

Tanda Vital
- Suhu

: belum diukur

- Nadi

: 120 x/menit

- RR

: 30 x/menit

- TD

: belum diukur

Status lokalis
- Kepala
- paru

: nafas cuping hidung (+), mulut terbuka, bibir sianosis


: Auskultasi (Wheezing silent chest)

Diagnosis : Status Asmatikus


Alasan diagnosis :
- berbicara terputus-putus
- memiliki penyakit asma sejak kecil
- Sianosis
- RR 30 x/menit
- Nadi 120 x/menit
- Auskultasi suara wheezing- silent chest

Вам также может понравиться