Вы находитесь на странице: 1из 5

NUZULUL QURAN

Secara etimologi, kata Ulumul Quran berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu Ulum
2
dan Al-Quran. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata ilmu yang berarti ilmu-ilmu . Kata ulum yang
disandarkan pada kata Al-Quran telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah
ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Quran maupun dari segi
pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya.
Nuzuul artinya adalah turun. Nuzuulul quran berarti turunnya Alquran. Apakah maknanya Alquran itu
dikatakan turun? Yang turun bukanlah Alquran yang berbentuk buku, melainkan yang turun itu adalah ayat-ayat
yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah. Karena itulah, Allah selalu memakai kata anzalna (Kami
menurunkan). Dalam hal ini Alquran tidak diturunkan secara langsung oleh Allah kepada Rasulullah, melainkan
melalui perantaraan Malaikat Jibril
3 TAHAP-TAHAP TURUNNYA ALQURAN
Tahap Pertama, Al-Quran berada di Lauh Mahfuzh, sebagaimana firman Allah:
padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang
mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (Q.S. Al-Buruuj: 20-22)
Ketika Al-Quran berada di Lauh Mahfuzh tidak diketahui bagaimana keadaannya, kecuali Allah yang
mengetahuinya, karena waktu itu Al-Quran berada di alam ghaib, kemudian Allah menampakkan atau
menurunkannya ke Baitul Izzah di langit bumi. Secara umum, demikian itu menunjukkan adanya Lauh Mahfuzh,
yaitu yang merekam segala qadha dan takdir Allah SWT, segala sesuatu yang sudah, sedang, atau yang akan terjadi
di alam semesta ini. Demikian ini merupakan bukti nyata akan mengagungkan kehendak dan kebijaksanaan Allah
SWT yang Maha Kuasa.
Jika keberadaan Al-Quran di Lauh Mahfuzh itu merupakan Qadha (ketentuan) dari Allah SWT, maka ketika itu AlQuran adanya persis sama dengan keadaannya sekarang. Namun demikian hakekatnya tidak dapat diketahui,
kecuali oleh seorang Nabi yang diperlihatkan oleh Allah kepadanya. Dan segala sesuatu yang terjadi di bumi ini
telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh sebagaimana firman Allah :
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Q.S. Al Hadiid: 22)
Tahap Kedua, Al-Quran dari Lauh Mahfuzh diturunkan ke langit bumi (Baitul Izzah)
Berdasarkan kepada beberapa ayat dalam Al-Quran dan Hadits berkah yang dinamakan malam Al-Qadar (Lailatul
Qadar) dalam bulan suci Ramadhan. Sebagaimana firman Allah :
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.(Q.S Al-Qadr: 1)
Dan firman Allah :
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). (Q.S. Al Baqarah: 185)
Dan firman Allah :
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang
memberi peringatan. (Q.S. Ad-Dukhaan: 3)
Tiga ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Al-Quran, diturunkan pada suatu malam bulan Ramadhan yang
dinamakna malam Lailatul Qadar yang penuh berkah. Demikian juga berdasarkan beberapa riwayat sebagai berikut
Riwayat dari Ibn Abbas ra. berkata : Al-Qur'an dipisahkan dari Adz Dzikir lalu Al-Qur'an itu diletakkan di Baitul
Izzah dari langit dunia, lalu Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi.
Dan hadis riwayat Ibnu Abbas :
Riwayat dari Ibnu Abbas berkata : Al-Qur'an diturunkan sekaligus langit bumi (Bait Al-Izzah) berada di Mawaqia
Al-Nujum (tempat bintang-bintang) dan kemudian Allah menurukan kepada Rasul-Nya dengan berangsur-angsur.
Dan hadits riwayat Imam Thabrani :
Riwayat dari Ibnu Abbas ra. berkata : Al-Qur'an diturunkan pada malam Al-Qadar pada bulan Ramadhan di langit
bumi sekaligus kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.
Ketiga riwayat tersebut dijelaskan di dalam Al-Iqam bahwa ketiganya adalah sahih sebagaimana dikemukakan oleh
Imam Al-Suyuthy riwayat dari Ibn Abbas, dimana dia ditanya oleh Athiyah bin Aswad dia berkata : Dalam hatiku

terdapat keraguan tentang firman Allah dalam surah Al - baqarah ayat 185 :
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran.
dan firman Allah dalam surah Al Qadr ayat 1:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan
Sedangkan Al-Quran ada yang diturunkan pada bulan Syawal, Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram, Safar dan bulan
Rabiul Awwal dan Rabiul Akhir. Ibnu Abbas menjawab bahwa Al-Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan
malam Lailatul Qadar secara sekaligus yang kemudian diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur di
sepanjang bulan dan hari.
Yang dimaksud dengan nujum (bertahap) adalah diturunkan sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah, sebagiannya
menjelaskan bagian yang lain sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.
Al-Suyuthy mengemukakan bahwa Al-Qurthuby telah menukilkan hikayat Ijma bahwa turunnya Al-Quran secara
sekaligus adalah dari Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit pertama.
Barangkali hikmah dari penurunan ini adalah untuk menyatakan keagungan Al-Quran dan kebesaran bagi orang
yang diturunkannya dengan cara memberitahukan kepada penghuni langit yang tujuh bahwa kitab yang paling
terakhir yang disampaikan kepada Rasul penutup dari umat pilihan sungguh telah diambang pintu dan niscaya
akan segera diturunkan kepadanya.
As-Suyuthy berpendapat andaikata tidak ada hikmah Ilahiyah yang menyatakan turunnya kepada umat secara
bertahap sesuai dengan keadaan niscaya akan sampai ke muka bumi secara sekaligus sebagaimana halnya kitabkitab yang diturunkan sebelumnya. Tetapi karena Allah SWT membedakan antara Al-Quran dan kitab-kitab
sebelumnya, maka Al-Quran diturunkan dalam dua tahap, turun secara sekaligus kemudian diturunkan secara
berangsur sebagai penghormatan terhadap orang yang akan menerimanya.
Tahap Ketiga : Al-Quran diturunkan dari Baitul-Izzah kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari dengan cara sebagai berikut :
a. Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak ada melihat sesuatu apapun,
hanya beliau merasa bahwa itu (wahyu) sudah ada dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: Ruhul
Qudus mewahyukan ke dalam qalbuku.
Firman Allah SWT :
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan
wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Asy
Syuuraa : 51).
b. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya
sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
c. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi.
Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat.
Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika
beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit : Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan
kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras
dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali
seperti biasa.
d. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan point b, tetapi
benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al-Quran :
Artinya : Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
(yaitu) di Sidratil Muntaha. (Q.S. An-Najm: 13-14)
ASBABUN NUZUL
Secara etimologis asbab al nuzul terdiri dari kata asbab (bentuk pluraldari kata sabab) yang
mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab/illat (Almunawwir,1997:602) sedang kata nuzul berasal dari
kata nazala yang berarti turun (Al munawwir,1997:1409). Menurut Al-Ghazali Nuzul adalah perpindahan
sesuatu dari posisi tertinggi ke posisi yang rendah. Dengan demikian asbab al nuzul adalah suatu konsep, teori,
atau berita tentang sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Al-Quran kepada nabi Muhammad, baik berupa
satu ayat maupun rangkaian ayat. Para ulama berpendapat bahwa berkaitan dengan latar belakang turunnya, ayat-

ayat Al Quran turun dengan dua cara. Pertama, ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah tanpa suatu sebab atau
peristiwa tertentu yang melatar belakangi. Kedua, ayat-ayat yang diturunkan karena dilatarbelakangi oleh
peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi sebab turunnya ayat inilah yang kemudian disebut dengan asbab alnuzul.
Asbab al-nuzul didefinisikan sebagai suatu hal yang karenanya al-quran diturunkan untuk menerangkan
status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan, asbab al-nuzul membahas
kasus-kasus yang menjadi sebab turunnya beberapa ayat al-quran. Menurut Hasbi Ash-shidiqy makna asbab alnuzul adalah kejdian yang karenanya diturunkan Al-quran untuk menerangkan hukumnya dari hari timbul
kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalam suasana itu Al-quran di turunkan serta membicarakan sebab yang
tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah.
Para ulama salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat
berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah
diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ubaidah mengetahui satu ayat quran,
dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa
quran itu diturunkan telah meninggal.
Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabiin
terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan katakata yang menentukan, maka hal
itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh sebab itu yang dapat
dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad,
yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.
FAEDAH ASBABUN NUZUL
Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum.
2. Menentukan hukum (takhshish) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat itu
dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
3. Menghindarkan prasangka yang mengatakan arti hashr dalam suatu ayat yang zhahirnya hashr.
4. Mengetahui siapa orangnya yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat
keragu-raguan.
5. Dan lain-lain yang ada hubungannya dengan faedah ilmu Asbaun Nuzul.
6. menzahirkan hikmah pensyariatan dan penjelasannya.
7. dapat membantu memahami suatu ayat dengan jelas.
8. mengetahui penggunaan lafaz umum dengan sebab khas.
Dalam sebagian besar literatur yang memebahas tentang ilmu- ilmu Al-Quran, istilah yang dipakai untuk
menunjukkan arti penulisan, pembukuan, atau kodifikasi Al- Quran adalah Jamu Al- Quran yang
artinyapengumpulan Al- Quran. Sementara, hanya sebgian kecil literatur yang memakai istilah Kitabat Al-Quran
artinya penulisan al- quran serta Tadwin Al- Quran artinya Pembukuan al- quran*1+.
Yang dimaksud dengan pengumpulan al-quran(jamul quran) oleh para ulama adalah salah satu dari 2
pengertian berikut[2]:
Pertama: Pengumpulan dalam arti Haffazhahu (mengahafalnya dalam hati). Jummaul Quran artinya
huffazhuhu (para penghafal, yaitu orang yang menghafalka dalam hatinya).
Kedua: pengumpulan dalam arti kitabu kullihi (penulisan Al-Quran semuanya) baik dengan memisah- misahkan
ayat- ayat dan surat- suratnya atau menertibkanayat- ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran
terpisah, atau menertibkanayat- ayat dan surat- suratnyadalam lembaran yang terkumpul yang menghimpun
semua surat.
Apabila kita mencermati maksud dua pengertian diatas, sesungguhnya istilah- istilah yang mereka gunakan
memiliki maksud yang sama, yaitu proses penyampaian wahyu yang turun, oleh Rasulullah kepada para sahabat,
pencatatan atau penulisanya sampai dihimpun catatan-catatan tersebut dalam 1 mushaf yang utuh dan tersusun
secara tertib. Secara garis besar, pengumpulan Al-quran dilakukan 2 periode, yaitu periode nabi SAW dan periode
khulafaur rasyidin. Sedangkan pengumpulan yang terjadi pada masa nabi pun dibagi menjadi dua[3], Seperti
pendapat kebanyakan ulama, yaitu:
1. Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati dan mengamalkan
2. Pengumpulan dalam dokumen dengan cara menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.

Assalamualaikum warahmatullah wabaraktuh.


Ada suatu pertanyaan yang mengganjal dalam hati tentang kitab suci Al-Quran, saya mohon pak Ustadz bisa
memberikan pencerahan:
1. Sejak kapan ayat-ayat al-Quran dibukukan?
2. Metoda apakah yang dipakai dalam penyusunan ayat-ayat al-Quran sehingga memiliki urutan seperti yang kita
ketahui sekarang?
3. Tafsir manakah yang bisa kita jadikan pegangan sesuai dengan makna al-Quran yang sebenarnya?
Ulasan yang logis dan memiliki dalil yang sahih dari pak Ustadz sangat saya harapkan karena saat ini saya sedang
menghadapi orang yang mencoba menggoyahkan keyakinan saya tentang keotentikan al-Quran yang sekarang kita
pegang. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau buku yang anda maksud adalah cetakan modern seperti di masa sekarang, tentunya Al-Quran belum lama
dicetak. Sebab mesin cetrak modern baru ditemukan beberapa puluh tahun belakangan ini saja. Tapi kalau yang
dimaksud adalah buku dalam arti lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, pelepah kurma atau media lain yang
sudah dikenal saat itu, maka sebenarnya Al-Quran telah ditulis sejak pertama kali turun.
Rasulullah SAW punya beberapa sekretaris pribadi yang kerjanya melulu hanya menulis Al-Quran. Mereka adalah
para penulis wahyu dari kalangan sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubai bin Kab dan Zaid bin Tsabit
radhiyallahu anhum. Bila suatu ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan
tempat ayat tersebut dalam surah.
Di samping itu sebagian sahabat pun menuliskan Quran yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa
diperintah oleh nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun
kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Tabit, "Kami menyusun Quran di hadapan Rasulullah
pada kulit binatang."
Para sahabat senantiasa menyodorkan Quran kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
Tulisan-tulisan Quran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu
dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi
Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Masud telah menghafalkan seluruh isi
Quran di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali
membacakan Quran di hadapan Nabi, di antara mereka yang disebutkan di atas.
Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Quran telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan
seperti disebutkan di atas, ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap
surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf.
Tetapi Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah
dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu
mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu terkadang pula
terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Quran
itu tidak menurut tertib nuzul-nya (turun), tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan
petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu.
Andaikata pada masa Nabi SAWQuran itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal
yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi.
Az-zarkasyi berkata, "Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap
waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Quran turun semua, yaitu dengan wafatnya
Rasulullah."
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, "Rasulullah
SAW telah wafat sedang Quran belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya
belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Quran dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu
ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya
Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai
dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya
pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar radhiyalahu anhum.
2. Metode yang digunakan untuk menyusun Al-Quran adalah metode wahyu dari langit. Sebab setiap ada ayat yang
turun, Rasulullah SAW selain mengajarkan bacaan dan pemahamannya, beliau juga menjelaskan tata letak ayat
tersebut di dalam Al-Quran.

3. Semua kitab tafsir yang hingga hari masih ada, bisa dijadikan dasar penafsiran kita tehadap Al-Quran. Kita punya
puluhan kitab tafsir peninggalan para ulama yang sudah teruji sepanjang masa.
Tentunya masing-masing kitab tafsir itu memiliki keunggulannya sendirisendiri. Tergantung dari sudut pandang
mana seseorang ingin membidik pemahamannya terhadap A-Quran.
PENGERTIAN MUNASABAH
Kata munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi bearti Al- musyakalah (keserupaan) dan almuqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi memberi contoh sebagai berikut : fulan yunabsi fulan, bearti si A mempunyai
hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Istilah munasabah digunakan dalam illat dalam bab qiyas dan
bearti Al-wasf Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah di
ungkapkan juga dengan kata rabth (pertalian).
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan
menerimanya.
munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat
umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebabakibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.Macam-Macam Munasabah
1. Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi
menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya. sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah
ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah.
2. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masingmasing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn. Lihatlah firman Allah surat
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan) seperti terlihat
dalam surat Al-Hadid ayat 4:
4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak
jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat),
tafsir (penjelas), itiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunaan
pola ta'kid yaitu apabila salah satu ayal atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang
terletak di sampingnya.
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran
dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan
tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan
(tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnnya, dalam surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan
sebagai berikut:
7. Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Tentang munasabah semacam ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid AlMathali fi Tanasub Al-Maqati wa Al-Mathali. Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashas yang
bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas
perintah dan pertolonganAllah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat
Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan
janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan
menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi
tersebut.
8. Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya,
sekalipun tidak mudah untuk mencarinya.

Вам также может понравиться