Вы находитесь на странице: 1из 25

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Manifestasi Klinis
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya
cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas. Penyakit DBD
merupakan

penyakit

menular

yang

terutama

menyerang

anak-anak

(Widoyono, 2011). Penyakit ini juga dikenal sebagai Breakbone Fever.


Sampai saat ini belum ada vaksin yang disetujui untuk penyakit ini, namun
penelitiannya masih terus dilanjutkan (Guerdan, 2010).
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang
telah terinfeksi oleh salah satu dari empat jenis virus dengue dengan gejala
yang muncul 3-14 hari setelah gigitan. Gejala berkisar antara demam ringan
hingga demam tinggi dengan kepala berat, sakit di belakang mata, nyeri otot
dan sendi serta ruam. Selain itu juga didapatkan adanya tanda-tanda
perdarahan seperti tes tourniquet positif, ptekie, purpura hingga perdarahan
gastrointestinal pada kasus yang berat. Belum ada vaksin atau obat yang
spesifik untuk mengobati dengue (WHO, 2011). Komplikasi yang bisa terjadi
adalah renjatan akibat kebocoran plasma, perdarahan, gangguan metabolik
akibat hipoksia, dan gangguan saraf pusat dan jantung (Ismoedijanto, 2011)
Menurut klasifikasi terbaru dari WHO tahun 2012, pasien yang
terinfeksi virus Dengue ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:
1. DBD tanpa gejala serius (Dengue without warning sign)

Pasien dicurigai masuk pada fase atau kelompok ini apabila memenuhi
beberapa kriteria, yaitu: Tinggal atau sehabis bepergian ke daerah
endemik DBD dengan demam ditambah dengan 2 diantara gejala dan
tanda berikut:
-. sakit kepala
-. tidak enak badan
-. mialgia
-. atralgia
-. sakit di belakang mata
-. anoreksia
-. mual
-. muntah
-. diare
-. kulit memerah
-. ruam
-. Tourniquet Test positif
-. leukopenia
2. DBD dengan gejala serius (Dengue with warning sign)
Pasien dicurigai terkena DBD pada fase ini jika memenuhi kriteria
berikut: Tinggal atau sehabis bepergian ke daerah endemik DBD
dengan demam selama 2-7 hari ditambah dengan salah satu gejala atau
tanda berikut:
-. Nyeri perut
-. Muntah terus menerus

-. Muncul tanda klinis akumulasi cairan


-. Pendarahan mukosa
-. Letargi
-. Hepatomegali
-. Produksi urin berkurang atau bahkan tidak ada dalam 6 jam
-. Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan kenaikan hematokrit
dan/atau trombositopenia
3. DBD berat (Severe Dengue)
Pasien dikelompokkan dalam fase ini jika memenuhi kriteria berikut:
Tinggal atau baru saja bepergian ke daerah endemik dengan demam
antara 2-7 hari dan salah satu gejala dan tanda di atas, ditambah salah
satu gejala berikut:
-. Kebocoran plasma berat, yang bisa mengarah ke syok dan akumulasi
cairan yang mengakibatkan gangguan nafas
-. Pendarahan hebat
-. Gangguan organ yang berat, seperti berikut ini:
a. Hepar: AST atau ALT > 1000
b. Syaraf pusat: seperti kejang, gangguan kesadaran
c. Jantung : misalnya miokarditis
d. Ginjal: misalnya gagal ginjal (Phillipine Department of
Health, 2012)

2.1.2 Epidemiologi Penyakit DBD

2.1.2.1 Situasi Epidemiologi Penyakit DBD di Dunia


Penyakit DBD adalah penyakit akibat virus yang paling cepat
menyebar diantara penyakit lain yang juga disebarkan oleh nyamuk.
Dalam 50 tahun ini, kejadian penyakit ini telah meningkat tiga puluh
(30) kali lipat diikuti dengan bertambahnya luasnya wilayah penularan
(WHO, 2009).

(WHO, 2011)

(Gambar 2.1)
Negara dan wilayah resiko tinggi penularan DBD
Penyakit DBD sangat endemik di banyak negara tropis. Di Asia,
penyakit ini sering menyerang di Cina Selatan, Pakistan, India, dan
hampir semua negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Myanmar,
Thailand,

Malaysia, Vietnam,

Laos, Kamboja

dan Singapura

(Therawiwat, 2006). Sejak tahun 1981, virus ini ditemukan di


Queensland, Australia. Di sepanjang pantai timur Afrika, DBD juga
ditemukan dalam berbagai serotipe. Penyakit ini juga sering

menyebabkan KLB di Amerika Selatan, Amerika Tengah, bahkan


sampai ke Amerika Serikat sampai akhir tahun 1990-an. Epidemi DBD
di Asia pertama kali terjadi pada tahun 1779, di Eropa pada tahun
1784, di Amerika Selatan pada tahun 1835-an dan di Inggris pada
tahun 1922 (Widoyono, 2011).
2.1.2.2 Epidemiologi Penyakit DBD di Indonesia.
Di Indonesia kasus DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada
tahun 1968. Penyakit DBD ditemukan di 200 kota di 27 Provinsi dan
telah terjadi KLB akibat DBD (Widoyono, 2011). Sejak saat itu DBD
menyebar ke seluruh indonesia dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Jumlah daerah yang menjadi endemik DBD pada tahun
1968 hanya 2 Provinsi dan 2 Kota. Sedangkan tercatat pada tahun 2009
sudah bertambah menjadi 32 Provinsi dan 382 kota (DEPKES RI,
2010).
Lebih dari 35% populasi masyarakat Indonesia tinggal di daerah
perkotaan di Indonesia dan jumlah kasus yang tercatat pada tahun 2007
mencapai angka tertinggi per tahun yaitu 150.000 kasus dengan lebih
dari 25.000 kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat (WHO,
2009).
Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES
RI) tahun 2011 menyatakan bahwa pada tahun 2010 DBD merupakan
penyakit yang terbanyak ke-2, setelah diare dan gastroenteritis yang
menyebabkan seseorang harus rawat inap yaitu total sebanyak 59.115
kasus dengan jumlah penderita meninggal 325 dan Case Fatality Rate

10

(CFR) 0.55%. Pada tahun 2011 jumlah penderita demam berdarah


DBD di Indonesia mencapai 65.432 dengan pasien meninggal
sebanyak 595, CFR 0,91% dan angka insiden 27,56 per 100.000
penduduk.
Di Provinsi Kalimantan Selatan, Incidence Rate (IR) DBD
mencapai 44.85 per 100,000 dengan Case Fatality Rate (CFR)
tertinggi di antara provinsi-provinsi lain di Kalimantan yaitu 1.62 %
pada tahun 2012 (DEPKES RI, 2013).
Pada tahun 2012 Incidence Rate (IR) DBD di Kabupaten
Balangan mencapai 66 kasus per 100.000 dan Kecamatan Paringin
merupakan kecamatan dengan angka kejadian tertinggi di Kabupaten
Balangan. Angka ini dinilai cukup tinggi sehingga Kementrian
Kesehatan Kabupaten Balangan harus mendorong dan mengoptimalkan
program-program pencegahan DBD (DINKES Kabupaten Balangan,
2012).
2.2 Penularan Penyakit DBD
2.2.1 Siklus Penularan
Siklus penularan penyakit ini adalah dari manusia-nyamuk-manusia
(man-mosquito-man). Nyamuk Aedes aegypti bisa menularkan DBD apabila
menghisap darah pasien yang terinfeksi virus Dengue sejak sebelum onset
sampai hari ke 5 (viremia stage) (Dandagi, 2013). Tetapi bisa juga sampai 12
hari. Periode inkubasi ekstrinsik adalah rentang waktu yang dibutuhkan sejak
saat nyamuk menggigit orang sakit sampai nyamuk tersebut juga infektif jika
menggigit orang lain. Periode ini lamanya sekitar 8 sampai 12 hari (Mc

11

Bride, 2000). Gambar 2.2 menjelaskan periode masa dalam siklus


penyebaran virus dengue.

(Mc Bride, 2000)

Gambar 2.2
Siklus Penularan virus jalur manusia-nyamuk-manusia
Setelah menghisap darah yang terinfeksi, virus bereplikasi pada lapisan
sel epitel dari midgut dan sampai ke haemocoele menginfeksi kelenjar ludah
dan akhirnya memasuki air liur menyebabkan infeksi saat menggigit. Masa
inkubasi ekstrinsik berlangsung dari 8 sampai 12 hari dan nyamuk tetap
terinfeksi selama sisa hidupnya. Masa inkubasi intrinsik mencakup lima
sampai tujuh hari (WHO, 2011).
2.2.2 Virologi dan Pengembangan Vaksin
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus
B., yaitu arthrod-borne virus atau virus yang disebabkan oleh arthropoda.
Virus ini termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae (Widoyono,
2011).
Ada empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe
DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah.

12

Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan kekebalan terhadap


serotipe yang bersangkutan, tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Keempat
jenis virus tersebut semuanya terdapat di indonesia. Di daerah endemik DBD,
seseorang dapat terkena infeksi semua serotipe virus pada waktu yang
bersamaan (Widoyono, 2011).
Infeksi sekunder dengan serotipe yang berbeda atau terinfeksi beberapa
virus yang berbeda serotipe bisa menyebabkan bentuk klinis DBD yang
parah. Ae. aegypti mungkin saja terinfeksi oleh 2 atau lebih virus yang
berbeda (Mc Bride, 2000). Keempat tipe virus dengue ini telah dianggap
merupakan penyebab epidemik DBD dengan berbagai tingkat keparahan
(WHO, 2011).
Sampai saat ini belum ada vaksin yang berlisensi dan disetujui namun
penelitian masih terus dilanjutkan. Karena vaksin dengue yang aman, efektif
dan terjangkau akan menjadi pencapaian kemajuan besar bagi pengendalian
penyakit dan bisa menjadi alat penting untuk mencapai tujuan WHO
mengurangi morbiditas dengue setidaknya 25% dan mortalitas sebesar 50%
pada tahun 2020 (WHO, 2014)
Kandidat vaksin saat ini pada tahap pengembangan klinis yang paling
maju adalah vaksin dengue tetravalen hidup yang dilemahkan dikembangkan
oleh Sanofi Pasteur yang masih berada di bawah evaluasi dalam fase III studi
klinis. Tujuan utama dari studi fase III adalah untuk menilai keamanan dan
kemanjuran vaksin dalam mencegah penyakit DBD selama satu tahun setelah
selesainya jadwal vaksinasi dari tiga dosis yang diberikan 6 bulan. Termasuk
mengevaluasi keamanan vaksin dan imunogenisitas. Populasi penelitian

13

terdiri dari 10.275 anak usia 2 sampai 14 tahun di lima negara di kawasan
Asia-Pasifik: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Hasil
peneltian ini akan dievalusasi setelah 4 tahun kemudian (WHO, 2014).
2.2.3 Entomologi
Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (di daerah
perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah pedesaan). Nyamuk yang menjadi
vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang terinfeksi saat menggigit manusia
yang sedang sakit dan mengalami viremia. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi
infektif seumur hidupnya (Widoyono, 2011).
Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Knight and
Stone, 1977)
Aedes aegypti

Aedes albopictus

Kingdom: Animalia

Kingdom: Animalia

Phylum: Arthropoda

Phylum: Arthropoda

Class: Insecta

Class: Insecta

Order: Diptera

Order: Diptera

Family: Culicidae

Family: Culicidae

Subfamily: Culicinae

Subfamily: Culicinae

Genus: Aedes

Genus: Aedes

Species: aegypti

Species: albopictus

14

(Sivanathan, 2006)

Gambar 2.3 Aedes aegypti

Gambar 2.4 Aedes albopictus

Menurut Widoyono (2011), Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah:


-. Sayap dan badan belang-belang atau bergaris-garis putih
-. Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti
bak mandi, WC, tempayan, drum dan barang-barang yang
menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman, serta tempat
minum burung,
-. Jarak terbang + 100 m
-. Nyamuk betina bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang
karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat).
-. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi.
2.2.3.1 Penyebaran dan Faktor Lingkungan
Nyamuk yang membawa virus ini adalah hidup di wilayah
tropis dan sub-tropis yang tersebar luas di seluruh dunia, terutama
wilayah antara 350 LU sampai 350 LS. Ae. Aegypti juga telah
ditemukan di sekitar daerah 450 LU, tetapi hanya di bulan-bulan
dengan suhu hangat dan tidak bisa bertahan hidup di musim dingin.
Karena suhu yang rendah pula sehingga nyamuk ini jarang ditemukan
di ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Aedes

15

aegypti dalam fase sebelum menjadi nyamuk dewasa juga ditemukan


di tempat yang terisi air, kebanyakan di penampungan air buatan
manusia di sekitar tempat tinggal bahkan kadang-kadang di dalam
rumah. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan nyamuk betina Ae.
aegypti menghabiskan kehidupannya di dalam atau di sekitar rumah
tempat mereka tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Ini berarti bahwa
manusia lebih banyak berperan daripada nyamuk dalam mempengaruhi
kecepatan penyebaran virus ini. (WHO, 2009).
Penyebaran penyakit DBD di Jawa biasanya terjadi mulai
bulan Januari sampai April-Mei. Faktor yang

mempengaruhi

morbiditas dan mortalitas penyakit DBD antara lain:


1. Imunitas pejamu
2. Kepadatan penduduk
3. Transmisi virus dengue
4. Virulensi virus
5. Keadaan geografis setempat
Faktor penyebaran kasus DBD antara lain:
1. Pertemubuhan penduduk
2. Urbanisasi yang tidak terkontrol
3. Transportasi (Widoyono, 2011).
2.2.3.2 Siklus Hidup Vektor
Nyamuk mengalami empat fase dalam siklus hidupnya, yaitu
telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Ketiga fase pertama terjadi di
dalam air dan yang ke empat yaitu nyamuk dewasa merupakan

16

serangga yang aktif terbang untuk mencari makanan berupa darah atau
sari-sari tanaman (Sivanathan, 2006)
2.2.3.3 Kebiasaan Makan (Feeding Behavior)
Ae. aegypti sangat antropofilik, mekipun bisa mencari makan
dari hewan lain yang berdarah panas. Sebagai spesies diurnal, nyamuk
betina biasa mencari makan di dua waktu: pagi hari, yaitu beberapa
jam setelah fajar dan sore hari beberapa jam sebelum gelap. Waktuwaktu puncak kegiatan mencari makan pada nyamuk bervariasi
tergantung tempat dan musim. Nyamuk ini menggigit lebih dari satu
orang sehingga sangat berpengaruh dalam kecepatan penularan. Oleh
karena itu tidak jarang ditemui lebih dari satu orang dalam keluarga
terkena penyakit DBD dengan perbedaan onset tak lebih dari 24 jam
karena diperkirakan mereka tertular oleh gigitan nyamuk yang sama.
Secara umum nyamuk ini tidak mencari makan di malam hari, namun
bisa tetap menggigit di ruangan yang terang (WHO,2011).
2.2.3.4 Kebiasaan istirahat (Resting Behaviour)
Lebih dari 90% dari Populasi Aedes aegypti beristirahat pada
permukaan yang gelap, lembab, tempat-tempat terpencil di dalam
rumah atau bangunan, termasuk kamar tidur, lemari, kamar mandi dan
dapur. Jarang ditemukan di luar ruangan seperti pada tanaman. Tempat
istirahat dalam ruangan yang disukai adalah sisi bawah furniture, objek
yang digantung seperti pakaian dan tirai, dan dinding (WHO, 2011).

17

2.2.3.5 Pengendalian Vektor Terpadu (PVT)


Konsep Pengendalian Vektor Terpadu adalah pengintegrasian
cara-cara pengendalian yang potensial secara efektif, ekonomis dan
ekologis untuk menekan populasi serangga vektor pada batas yang
dapat ditoleransi. Prinsip dasar PVT tersebut adalah surveilen
epidemiologi dan entomologis, manajemen lingkungan sehat, kajian
bioekologi serangga vektor, sosialisasi dan program aksi kesehatan
lintas instansi, partisipasi aktif masyarakat (Supartha, 2008).
2.3 Perilaku Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
2.3.1 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respon individu terhadap suatu
rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2010).
Secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni:
1. Perilaku sehat (Healthy Behaviour) yaitu perilaku orang yang sehat
agar tetap sehat dan meningkatkan kesehatannya.
2. Perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behaviour)
yaitu perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah
kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan
masalah kesehatannya.
2.3.2 Pencegahan Penyakit.
Pencegahan adalah kata yang digunakan untuk merujuk pada upaya
masyarakat untuk mempromosikan, melindungi dan mempertahankan
kesehatan penduduk. Deskripsi ini berdasarkan pada kategorisasi kesehatan

18

masyarakat yang lama, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier


(National Public Health Partnership of Australia, 2006).
2.3.2.1 Pencegahan Primer
Tujuan dari pencegahan primer adalah membatasi angka
kejadian dan kecacatan pada masyarakat dengan meniadakan atau
mengurangi penyebab atau faktor resiko penyakit, mengontrol
pemaparan terhadap faktor resiko dan mempromosikan faktor-faktor
yang menjaga kesehatan.
2.3.2.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan

sekunder

bertujuan

untuk

mengurangi

perkembangan penyakit melalui deteksi dini, biasanya dengan skrining


pada tahap asimtomatik, dan intervensi dini.
2.3.2.3 Pencegahan Tersier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk meningkatkan fungsi dan
termasuk meminimalisir akibat dari penyakit yang telah ada dan
mencegah atau menunda terjadinya komplikasi dengan manajemen dan
rehabilitasi yang efektif (National Public Health Partnership of
Australia, 2006).
2.4 Strategi Pencegahan DBD
Tindakan primer dalam menangani masalah kesehatan masyarakat yang
berhubungan dengan penyakit yang dibawa oleh nyamuk adalah mengurangi
habitat

perkembangbiakan

nyamuk

(Guerdan, 2010). Saat ini metode

pengendalian dan pencegahan DBD berkisar pada bagaimana mencegah gigitan


dan mencegah perkembangbiakan nyamuk (Sulehri, 2012).

19

2.4.1 Pencegahan Penyakit DBD oleh Pemerintah dan Tenaga Kesehatan


Pencegahan Penyakit DBD yang dilakukan pemerintah antara lain:
A. Pelacakan penderita (Penyelidikan Epidemiologis, PE), yaitu kegiatan
mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk
mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius +100 m dari
rumah indeks.
B. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita
lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan
penanganan kasus termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK)
terdekat.
C. Larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan
larvasida ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik Aedes.
D. Fogging Focus (FF), yaitu kegiatan menyemprotkan dengan insektisida
(malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per
400 rumah.
E. Pemeriksaan jentik rutin (PJR), adalah kegiatan yang dilakukan oleh kader
dasa wisma, PKK, pengurus RT, atau petugas pemantau jentik (PPJ) paling
sedikit satu minggu sekali. Petugas tersebut akan memantau jentik dalam
semua rumah warga yang diatur dengan jadwal tertentu. Hasilnya akan
dicatat pada kartu jentik di setiap rumah.
F. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), yaitu kegiatan reguler tiga bulan sekali,
dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan
sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan

20

rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan in


akan didapatkan angka kepadatan jentik atau HI (House Index).
G. Pembentukan kelompok kerja (pokja) DBD di semua tingkat administrasi,
mulai dari desa, kecamatan, sampai tingkat pusat.
H. Penggerakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dengan 3M (menutup
dan menguras tempat penampungan air bersih, mengubur barang bekas, dan
membersihkan tempat yang berpotensi bagi perkembangbiakan nyamuk) di
daerah endemik dan sporadik.
I. Penyuluhan tentang gejala awal penyakit DBD, tindakan pencegahan dan
rujukan penderita (Widoyono, 2011).
Alur penanggulangan DBD di lapangan seperti digambarkan dalam
bagan berikut ini:

(Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006)

Gambar 2.5
Bagan Penanggulangan DBD di Lapangan

21

Berdasarkan laporan kementrian kesehatan kabupaten Balangan, pada


tahun 2012 strategi pencegahan DBD meliputi:
1. Investigasi epidemiologi
2. Manajemen dan pengobatan DBD
3. Pengecekan keberadaan jentik nyamuk
4. Memberantas sarang nyamuk
5. Fogging
6. Manajemen kejadian luar biasa (KLB)
7. Pengawasan manajemen dan evaluasi
2.4.2 Pencegahan Penyakit DBD oleh Individu dan masyarakat
Masyarakat dan individu juga diharapkan aktif mengambil langkah
pencegahan, antara lain dengan cara:
1. Mencegah dari masuknya nyamuk ke dalam rumah dan mencegah
gigitan nyamuk dengan memasang kawat pada jendela dan ventilasi
atau jaring.
2. Membuang benda yang dapat menampung air hujan dan mencegah
genangan air yang memungkinkan tempat perkembang biakan nyamuk
Ae. Aegypti.
3. Mengganti atau membersihkan air dari objek memegang atau berisi
air secara teratur setiap minggu..
4. Memberantas jentik nyamuk.

22

5. Tata ulang pakaian dan gantungan sehingga tidak bisa menjadi


tempat untuk hinggap dan beristirahat untuk nyamuk (Direktorat Gizi
dan Kesehatan Masyarakat, 2006).
6. Budidaya ikan karnivora seperti lele (Gambusia affinis) dan ikan
mas (Cyprinus carpio) di waduk air yang besar sebagai larva predator
Aedes Aegypti (WHO, 2011).
Keberhasilan program pencegahan DBD tergantung bagaimana
perilaku dan sikap masyarakat terhadap Aedes aegypti sebagai vektor virus
dan pentingnya Pengendalian Vector Terpadu (PVT) /Integrated Vector
Management (IVM) di lingkungan masing-masing, khususnya 3M: menutup,
menguras dan mengubur (Pujiyanti dan Triratnawati, 2011).
2.5 Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Pengetahuan, sikap dan tindakan adalah 3 domain dari perilaku (behaviour)
dalam tujuan pendidikan (Bloom, 1908). Perilaku adalah suatu respons seseorang
terhadap stimulus dari luar yang dapat dibagi 2, yaitu:
1. Perilaku Tertutup (Covert Behaviour)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus masih
belum dapat diamati oleh orang lain. Responnya masih
sebatas perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap
terhadap stimulus yang diberikan.
2. Perilaku Terbuka (Overt Behaviour)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus
tersebut sudah berupa tindakan atau praktik in dapat diamati
orang lain dari luar atau observable behaviour.

23

2.5.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Sebagian besar
pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan indra
penglihatan. Pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkat:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah
ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,
tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui
tersebut. Misalnya orang yang memahami pemberantasan demam
berdarah, bukan hanya dengan menyebutkan 3M (mengubur,
menutup dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa
harus menutup, menguras dan sebagainya.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situsi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan danatau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponenkomponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang

24

diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai


pada

tingkat

membedakan,

analisis
atau

adalah

apabila

memisahkan,

orang

tersebut

mengelompokkan,

dapat

membuat

diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.


5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk suatu kemampuan seseorang untuk merangkum
atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponenkomponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap objek tertentu. Penilaian ini sengan
sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri
atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
2.5.2 Sikap
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadp stimulus atau
objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan. Menurut Allport (1954), sikap terdiri dari 3 komponen
pokok:
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (Tend to behave).

25

Ketiga

komponen

tersebut

di

atas

secara

bersama-sama

membentuk sikap yang utuh. Sikap juga memiliki tingkatan-tingkatan


berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:
1. Menerima (Receiving).
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan.
2. Menanggapi(Responding)
Menanggapi disini diartika

memberikan

jawaban atau

tanggapan terhadap petanyaan atau objek yang dihadapi.


3. Menghargai (Valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seserorang memberikan nilai
yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya
dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau
menganjurkan orang lain untuk merespon.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatnya adalah bertanggung jawab
terhadap resiko dari apa yang telah diyakininya.
2.5.3 Tindakan
Tindakan atau praktik adalah perilaku yang terbuka yang juga terbagi
dalam beberapa tingkatan menurut kualitasnya:
1. Tindakan/Praktik terpimpin (Guided response)
Pada level ini subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tapi
masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.
2. Tindakan/Praktik secara mekanisme (Mechanisme)

26

Pada level ini seseorang telah melakukan atau mempraktikan


sesuatu hal secara otomatis tanpa perlu dibimbing.

3. Adopsi (Adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang telah berkembang.
Artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau suatu
mekanisme saja. Tetapi sudah dilakukan modifikasi atau tindakan atau
perilaku yang berkualitas (Notoatmodjo, 2010)
2.6 Perbedaan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan pada Masyarakat terhadap DBD
Teori yang dikemukakan oleh Notoatmojo (2010) menyatakan bahwa
seseorang yang bersikap baik akan mewujudkan praktik yang baik dan untuk
mewujudkan sikap agar menjadi suatu perbuatan atau tindakan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang mendukung antara lain: fasilitas,
sarana dan prasarana, dan dukungan dari pihak lain.
Teori ini didukung oleh hasil penelitian Suprianto (2011) yang meneliti
Tingkat Pengetahuan, sikap dan tindakan terutama dalam Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) di kota semarang dan didapat kesimpulan bahwa tingkat
pengetahuan, sikap dan tindakan ternyata memiliki hubungan yang bermakna
dengan Kejadian DBD.
Teori tersebut juga didukung oleh penelitian Wati (2009) yang menghasilkan
kesimpulan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan tindakan dengan
kejadian DBD, terutama dalam penyediaan tutup kontainer air dan kebiasaan
menggantung pakaian.

27

Namun hasil penelitian Lerik (2008) di Kupang dan Humolungo (2013) di


Manado bertolak belakang dengan teori tersebut. Kesimpulan dari penelitian
tersebut menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap
dengan praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk.
Penelitian yang dilakukan Santoso (2008) juga mendapatkan hasil
kesimpulan bertolak belakang dengan teori tersebut. Dari penelitian yang
diadakan di Kota Palembang tersebut disimpulkan bahwa pengetahuan, sikap dan
tindakan atau praktek pada keluarga tidak memiliki hubungan yang bermakna
dengan keberadaan jentik nyamuk di tempat penampungan air.
2.7 Profil Kecamatan Paringin Kabupaten Balangan
Kabupaten Balangan terletak di Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas
1.878,30 km2. Meliputi kurang lebih 5% wilayah di provinsi Kalimantan
Selatan. Terletak antara 2 01' 37" sampai 2 35' 58" LS (Lintang Selatan)
dan antara 1140 50 '24 " sampai 1150 50' 24" BT (Bujur Timur) dengan iklim
tropis dan mempunyai dua musim: musim hujan dan musim kemarau.
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk mencapai
112,395 jiwa yang tersebar di delapan kecamatan (Badan Pusat Statistik, BPS
Kabupaten Balangan, 2010).

28

(BPS Kabupaten Balangan, 2010)

Gambar 2.6
Kepadatan penduduk Balangan menurut kecamatan tahun 2010
Dengan luas wilayah 1.878,30 kilo meter persegi yang didiami oleh 112.395
orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Balangan adalah 60 orang per
kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatannya adalah
Kecamatan Paringin yaitu sebanyak 168 orang per kilo meter persegi. Kemudian
disusul oleh Kecamatan Lampihong dan Paringin Selatan sebagai kecamatan
terpadat kedua dan ketiga. Sementara kepadatan terendah terdapat di Kecamatan
Tebing Tinggi, Halong, dan Juai dimana tingkat kepadatannya lebih rendah
daripada angka kepadatan Kabupaten Balangan (BPS Kabupaten Balangan,
2010).
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Kabupaten Balangan, pada
tahun 2013 Kecamatan Paringin tercatat sebagai kecamatan dengan angka
kejadian demam berdarah tertinggi yaitu 22 kasus. Sedangkan yang terendah
adalah wilayah kerja puskesmas Uren dan Lokbatu dimana tidak didapatkan
kejadian demam berdarah pada tahun 2013.

29

Adapun pada tahun 2014 dari bulan Januari sampai Mei di puskesmas
Kecamatan Paringin telah tercatat 17 kasus. Sehingga diperkirakan hingga akhir
tahun 2014 akan meningkat jumlah kejadian kasus DBD di Kecamatan Paringin.

Вам также может понравиться