Вы находитесь на странице: 1из 27

SUBYEK PAJAK

PENGHASILAN
Seminar Perpajakan

2014
KELOMPOK 6 :
Dela Farhana

(10)

Indra Ahmad Wijaya

(17)

Risca Dessyanty

(24)

Tesalonika Broery A

(28)

Wahyu Hidayat

(29)

D IV AKUNTANSI KURIKULUM KHUSUS


Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

A.PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak penghasilan merupakan jenis pajak
subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya
kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya.
Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, saat muali dan berakhirnya
kewajiban pajak harus ditentukan.
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax
(huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka
yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode
sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi
dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak
perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak
yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax
atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916
dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan
tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan
badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang
sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun
barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan
pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria
tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang
selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak
pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene
Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk
pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah
diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia
seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak
perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan
tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah
mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck
lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8
tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs
1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat
diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya
1|Page

Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri
Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni
dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de
Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi
(Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk
Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang
dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan
mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada
majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0%
sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang)
menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama
Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama
Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord.
PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun
1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan
Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925,
yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9
tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya
reformasi pajak di Indonesia.
2. DASAR HUKUM
Dasar hukum dii dalam pengenaan PPh adalah :
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1991
Undang Undang Nomor 10 Tahun 1994
Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000
UU No 36 tahun 2008 (terakhir) Tentang Pajak Penghasilan
3. Definisi Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan memegang peranan sangat penting dalam porsi APBN saat ini. Tercatat pada
realisasi APBN 2014 (per tanggal 29 Agustus 2014) sebagaimana dilansir oleh Kementerian
Keuangan, pendapatan dari sektor ini telah mencapai Rp 347,2 triliun, atau sekitar 49,23% dari
total realisasi pendapatan perpajakan secara keseluruhan. Mengingat kontribusinya yang sangat
besar tersebut, maka Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak telah mengatur tata
laksana pemajakannya melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Di dalam ketentuan tersebut, disebutkan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek
Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pasal ini dapat juga
menjelaskan tentang definisi pajak penghasilan, dikarenakan memang tidak ada ketentuan lain
yang menyebutkan mengenai definisi dari pajak tersebut. Beberapa sumber menyatakan
definisi pajak penghasilan yang hampir serupa:
2|Page

a. Soebakir, dkk (1999:41)


Pajak penghasilan adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
b. L. Y. Hari SIH Advianto (2011).
Pajak Penghasilan adalah pengenaan pajak yang berbasis pada penghasilan, yang
dikenakan pada subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya pada suatu
periode pemajakan.
Dengan melihat praktek dan sifat-sifatnya, pajak penghasilan dapat diidentifikasikan memiliki
karakterisktik sebagai berikut :
a. Pajak penghasilan sebagai pajak subjektif
Sebagai pajak subjektif, pengenaan pajak penghasilan dititikberatkan pada keadaan dan
kondisi subjek pajak.
b. Pajak penghasilan sebagai pajak langsung
Sebagai Pajak langsung, Pajak Penghasilan dibebankan secara langsung kepada Subjek
Pajak. Pajak langsung adalah pajak yang dibayarkan langsung oleh penanggung pajak
kepada Pemerintah dengan tidak menggeser beban pajak tersebut kepada pihak lain.
c. Pajak penghasilan sebagai pajak pusat atau pajak negara
Dilihat dari otoritas yang berwenang mengadministrasikan pemungutan pajak, maka pajak
Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat atau pajak negara.
4. Definisi Subjek Pajak Penghasilan
Di dalam penjelasan pasal 1 UU PPh disebutkan bahwa subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dapat dikenakan pajak, dan selanjutnya disebut sebagai Wajib Pajak.
Baik Undang-undang Pajak penghasilan maupun Undang-undang Ketentuan Umum dan tata
cara perpajakan (KUP) tidak memberikan definisi terkait subjek pajak. Beda halnya dengan wajib
pajak yang didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.
L. Y. Hari SIH Advianto (2011) mendefinisikan subjek pajak pajak sebagai pihak-pihak yang
secara hukum pajak mempunyai kewajiban melaksanakan kewajiban perpajakan dan memiliki
hak-hak dibidang perpajakan yang dijamin oleh undang-undang perpajakan. Kondisi subjek
pajak yang menjadi pertimbangan adalah kemampuan dalam menjalankan kewajiban
perpajakan yang dikenakan atas dirinya, atau dengan kata lain daya pikul subjek pajak itu
sendiri.

5. Klasifikasi Subjek Pajak Penghasilan


Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan yaitu
Orang pribadi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
Badan, dan
Bentuk Usaha Tetap (BUT)

3|Page

Penggolongan Subjek Pajak Penghasilan juga dapat dilihat dari status kependudukannya
(origin), yakni subjek pajak dalam negeri dan luar negeri.
a. Subjek PPh Orang Pribadi
Ketentuan tentang subjek pajak orang pribadi merujuk pada pengertian subjek hukum
orang pribadi sebagaimana diatur dalam hukum perdata (natruliijk persoon). Menurut
Pasal 2A Undang-Undang PPh, orang pribadi menjadi subjek pajak dimulai pada saat
dilahirkan di Indonesia, berada, atau berniat bertempat tinggal di Indonesia sampai dengan
meninggal dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek pajak orang pribadi dapat
bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Perbedaan lokasi dan
status kependudukannya yang nanti akan menggolongkan orang pribadi tersebut apakah
termasuk sebagai subjek pajak orang pribadi dalam negeri atau luar negeri.
b. Warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
Telah disebutkan bahwa ketika subjek pajak orang pribadi meninggal dunia maka kewajiban
subjektif perpajakannya menjadi berakhir. Penetapan warisan sebagai satu kesatuan
sebagai subjek pajak dimaksudkan agar kewajiban perpajakan dari si orang pribadi yang
meninggal tersebut tidak menjadi terhenti, hanya karena warisan tersebut belum beralih
kepada pihak lainnya, yang menjadi pewarisnya.
Warisan belum terbagi, karena sesuatu sebab misalnya para ahli warisnya tidak diketahui
dimana mereka berada, atau belum ada kesepakatan antara para ahli warisnya mengenai
harta warisan yang mana yang menjadi haknya, maka warisan itu dianggap sebagai satu
kesatuan dan dikenakan pajak sebagai ganti mereka yang berhak.
Untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, dilakukan oleh salah seorang ahli warisnya,
pelaksana wasiatnya atau pihak yang mengurus harta peninggalannya. Ketentuan tersebut
tercantum dalam pasal 32 ayat (1) huruf e Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan yang berbunyi:
4|Page

Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan


perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal suatu warisan yang
belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus
harta peninggalannya
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 10/PJ.41/1996 tentang PTKP bagi subjek
pajak dalam negeri berbentuk warisan yang belum terbagi sebagai berikut :
Subjek Pajak adalah Warisan yang belum terbagi sebagai satu-kesatuan, menggantikan
yang berhak. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh Orang Pribadi Subjek
Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undangundang mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakannya, Warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Warisan
yang belum terbagi tidak dapat diberikan pengurangan berupa PTKP, karena PTKP tersebut
pada prinsipnya telah tergabung dengan PTKP ahli waris yang berhak.
Mengenai kewajiban subjektifnya, warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
meninggalnya pewaris dan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada ahli waris.
c. Badan
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan umum dan
Tatacara Perpajakan dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) b Undang-undang Pajak Penghasilan
menjelaskan definisi Badan yaitu
Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
Pengertian badan sejalan dengan yang diatur dalam pengertian badan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Perdata, bahwa badan hukum (recht persoon/legal person),
merupakan personifikasi dari kumpulan orang-orang ata kepentingan untuk mencapai suatu
tujuan. Frasa badan hukum mengandung dua dimensi, yakni badan hukum publik dan
badan hukum perdata. Badan hukum publik diatur tersendiri penetapannya sebagai subjek
pajak. Hal yang membedakan adalah kegiatan badan-badan tersebut apakah untuk
memperoleh penghasilan atau tidak.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b :
Badan usaha milik negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan
subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari
badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian

5|Page

perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak
yang mempunyai kepentingan yang sama.
Badan atau Instansi Pemerintah yang bertugas menjalankan kegiatan layanan publik
dikecualikan dari penetapan sebagai subjek pajak. Dalam Penjelasan penjelasan pasal 2 ayat
(3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia merupakan subjek pajak, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:
1) pembentukannya berdasarkan ketentuan
peraturan
perundangundangan;
2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara;
d. Bentuk Usaha Tetap ( BUT)
Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek
Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan Subjek Pajak Badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, Bentuk
Usaha Tetap mempunyai aturannyaa sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha dan
melakukan kegiatan di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan , suatu bentuk usaha tetap
mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan
computer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang
dimiliki, disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
aktivitas usaha melalui internet.
6. Kelompok Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasilan dilihat dari pemenuhan kewajiban perpajakannya kelompokkan
menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri. Subjek pajak dalam negeri
menjadi wajib pajak apabila telah memenuhi peresyaratan objektif yaitu menerima atau
memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak,
sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau
diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
a. Subjek Pajak Dalam Negeri
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Dalam Negeri berdasarkan Undang- undang Pajak
Penghasilan adalah :
6|Page

1) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
3) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
b. Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap.
Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang dikelompokkan
sebagai subjek pajak luar negeri adalah
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
7. Perbedaan perlakuan PPh WP dalam negeri dengan WP luar negeri.
Perbedaan yang penting antara wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri terletak
dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain dapat terlihat pada table dibawah ini :
No

Uraian

WP Dalam Negeri

WP Luar Negeri

Ruang lingkup penghasilan Penghasilan yang diterima di Penghasilan yang berasal


yang dapat dikenakan pajak Indonesia maupun di luar dari
penghasilan
di
Indonesia (world wide income)
Indonesia
(atau
dinyatakan lain dalam tax
treaty)

Dasar Pengenaan Pajak

Penghasilan Neto

Penghasilan Bruto

PTKP (bagi Orang Pribadi)

Mendapat PTKP

Tidak mendapat PTKP

Tarif

Tarif Umum

Tarif Sepadan

SPT Tahunan

Wajib
menyampaikan
Tahunan

SPT Tidak
menyampaikan
Tahunan

wajib
SPT

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam
7|Page

Undang-undang tentang Pajak Penghasilan dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum


dan Tata Cara Perpajakan.
8. Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif diatur dalam pasal 2A Undang-undang
Pajak Penghasilan :
Subjek Pajak
Mulai
Berakhir
Dalam Negeri
Orang Pribadi
Saat dilahirkan
Saat meninggal dunia
Bertempat tinggal di Indonesia

Berada di Indonesia lebih dari


183 hari / Berada di Indonesia
dan punya niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia

Sejak hari pertama berada Saat meninggal kan


di Indonesia
Indonesia untuk selamalamanya

Warisan yang belum terbagi

Saat meninggal pewaris

Saat warisan dibagikan

Badan

Pada saat badan didirikan


atau bertempat kedudukan
di Indonesia

Pada saat dibubarkan


atau
tidak
lagi
bertempat kedudukan di
Indonesia.

Saat berada di Indonesia

Saat ditiadakannya BUT

Saat adanya hubungan


ekonomis
dengan
Indonesia

Saat putusnya hubungan


ekonomis
dengan
Indonesia

Luar Negeri
Orang Pribadi tidak bertempat
tinggal atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dan badan
yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia.

Menjalankan
melakukan kegiatan
BUT

usaha/
melalui

Tidak menjalankan
melakukan kegiatan
BUT

usaha/
melalui

9. Dikecualikan dari Subjek Pajak Penghasilan


Dalam pasal 3 diatur bahwa yang tidak termasuk sebagai subjek pajak adalah:
a. Kantor perwakilan negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan dan
pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik;

8|Page

c.

d.

Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,


dengan syarat :
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut ;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang
diangkat langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan
tugas atau jabatan dalam organisasi internasional tersebut di Indonesia.
Penetapan pengecualian subjek pajak dalam pasal ini didasarkan pada kelaziman internasional,
sehingga terjadi perlakuan yang sama terhadap kepentingan Republik Indonesia. Organisasi
internasional dan pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk
subjek pajak ditetapkan dengan PMK Nomor 215/PMK.03/2008, tanggal 16 Desember 2008
sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 15/PMK.03/2010. Dalam Peraturan Menteri ini
Organisasi internasional yang dimaksud terdiri dari 13 Badan Internasional dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa, 12 Organisasi Kerjasama Teknik, 4 Organisasi Kerjasama Kebudayaan, dan
63 Organisasi-Organisasi Internasional Lainnya.

9|Page

B.SUBJEK PAJAK PENGHASILAN


1. Orang Pribadi
Pembahasan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi ini dilakukan dengan membandingkan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan perubahan-perubahannya.
Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi menurut perkembangan Undang-Undang
Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983
Pasal 2 ayat (1):
Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi atau perseorangan;
Sedangkan dalam penjelasannya tertulis:
Orang pribadi atau perseorangan adalah Subyek Pajak, baik apabila mereka bertempat
tinggal di Indonesia maupun apabila mereka bertempat tinggal di luar Indonesia.
Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak pada saat lahir
di Indonesia, atau bila seseorang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka ia menjadi Subyek Pajak
pada saat pertama kali berada di Indonesia. Jumlah 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari tersebut tidaklah harus berturut-turut.
Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lagi menjadi
SubyekPajak pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya. Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi Subyek Pajak
di Indonesia apabila mereka dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek Pajak di Indonesia pada saat tidak mungkin
lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26.
b. Undang-Undang nomor 7 tahun 1991
Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada
undang-undang ini.
c. Undang-Undang nomor 10 tahun 1994
Pada undang-undang ini terjadi beberapa perubahan terkait dengan pengaturan Subjek
Pajak Orang Pribadi PPh.
Pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) ditambah beberapa keterangan sebagai berikut:
1) Wajib Pajakadalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif
dan objektif.
2) Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperolehpenghasilan, dan
3) Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak,sehubungan dengan
penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia
Yang kedua adalah perubahan redaksi dari undang-undang sebelumnya: orang pribadi
atau perseorangan menjadi orang pribadi saja, sebagaimana terlihat dari pasal
berikut:
Pasal 2 ayat (1):
10 | P a g e

Yang menjadi Subyek Pajak adalah:


b. 1) orang pribadi;
Selain itu dalam undang-undang ini subjek pajak luar negeri dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu yang menjalankan usaha dan yang tidak menjalankan usaha tapi memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Kemudian terdapat beberapa pengaturan yang sebelumnya dituliskan dalam
penjelasan Pasal 2 mengenai saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif,
pada undang-undang ini dimasukan dalam batang tubuh yaitu:
1) Pasal 2A ayat (1) untuk Subjek Pajak PPh Orang Pribadi Dalam Negeri
Kewajiban pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a
dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,berada, atau berniat untuk
bertempat tinggal di Indonesia dan berakhirpada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untukselama-lamanya.
2) Pasal 2A ayat (3) untuk Subjek Pajak PPh Orang Pribadi Luar Negeri yang
menjalankan usaha di Indonesia
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orangpribadi atau badan tersebut
menjalankan usaha atau melakukankegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (5) dan berakhirpada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan
kegiatanmelalui bentuk usaha tetap.
3) Pasal 2A ayat (4) untuk Subjek Pajak PPh Orang Pribadi Luar Negeri yang tidak
menjalankan usaha di Indonesia
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orangpribadi atau badan tersebut menerima
atau memperoleh penghasilandari Indonesia dan berakhir padasaat tidak lagi
menerima ataumemperoleh penghasilan tersebut.
4) Pasal 2A ayat (6) mengenai bagian tahun pajak
Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempattinggal atau yang
berada di Indonesia hanya meliputi sebagian daritahun pajak, maka bagian tahun
pajak tersebut menggantikan tahunpajak"
Pada penjelasan Pasal 2A ayat (1) tertulis:
Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya hanya dikaitkan dengan halhal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat
ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi
Subjek Pajak dalam negeri.
Selain itu pada penjelasan Pasal 2A ayat (6) tertulis
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun
pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan
tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan
tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian
tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

11 | P a g e

d. Undang-Undang nomor 17 tahun 2000


Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada
undang-undang ini.
e. Undang-Undang nomor 36 tahun 2008
Sebagian besar pengaturan untuk Subjek Pajak PPh OP dalam undang-undang ini sama
dengan undang-undang sebelumnya.
Pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) ditambah keteranganWajib Pajak orang pribadi yang
menerimapenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)tidak wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
2. Warisan yang Belum Terbagi
a. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983
Pasal 2 ayat (1):
Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
a. 1)
2) warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak
Sedangkan dalam penjelasannya tertulis:
Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti, yaitu menggantikan yang
berhak. Bagi warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak pada saat
timbulnyawarisan termaksud (sejak saat meninggalnya pewaris), dan berakhir pada saat
warisantersebut dibagi kepada mereka yang berhak(ahli waris).
Warisan baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang belum terbagi itu memberikan
penghasilan.
b. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1991
Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Warisan yang belum terbagi tidak mengalami
perubahan pada undang-undang ini.
c. Undang-Undang nomor 10 Tahun 1994
1) Penjelasan Pasal 2 ayat (1) terkait warisan yang belum terbagi dirubah menjadi:
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.Penunjukan warisan yang belum terbagi
sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkanagar pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tersebut tetap dapatdilaksanakan.
2) Selain itu dalam penjelasan pasal 2 ayat (3) huruf c tertulis:
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak
dalam negeri dianggap Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang
inimengikuti
status
pewaris.
Adapun
untuk
pelaksanaan
pemenuhan
kewajibanperpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang
berhak.Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih
kepadaahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar
negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentukusaha
tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karenapengenaan pajak
12 | P a g e

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksudmelekat pada
objeknya.
3) Pada pasal 2A ayat (5) tertulis:
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya
warisan yang belum terbagi tersebut yaitu pada saat meninggalnya pewaris. Sejak saat
itupemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban
pajaksubjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris.
Sejaksaat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.
d. Undang-Undang nomor 17 Tahun 2000
Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada
undang-undang ini.
e. Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008
Pengaturan mengenai Subjek Pajak PPh Orang Pribadi tidak mengalami perubahan pada
undang-undang ini.
Sehubungan dengan dikenakannya PPh pada warisan yang belum terbagi maka pada Pasal 3 PP
Nomor 74 Tahun 2011 diberi penegasan tentang warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai subjek pajak harus
menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari orang pribadi yang meninggalkan warisan
tersebut dan diwakili oleh pihak-pihak berikut untuk melaporkan pajaknya :
Salah seorang ahli waris;
pelaksana wasiat; atau
pihak yang mengurus harta peninggalan.
Berdasarkan penjelasan PP Nomor 74 Tahun 2011, khususnya mengenai penghapusan NPWP
dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, pelaksanaannya dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan. Namun demikian, terhadap Wajib Pajak yang memenuhi
kriteria tertentu, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan berdasarkan Verifikasi, sebagaimana diatur pada Pasal 3
ayat (3) PP Nomor 74 Tahun 2011. Verifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah Wajib Pajak
benar-benar tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Wajib Pajak yang memenuhi
kriteria tertentu pada ayat tersebut, salah satunya adalah :
Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi
Penambahan dua ketentuan mengenai NPWP pada PP Nomor 74 tahun 2011 menegaskan
relevansi antara ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dengan peraturan
pelaksanaannya. Penambahan pasal tentang warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai subjek pajak dan penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diharapkan dapat
menjembatani perbedaan persepsi di dalam penerapan kewajiban ber-NPWP.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa apabila wajib pajak Orang Pribadi
meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum
terbagi tersebut berkedudukan sebagai Subyek Pajak Pengganti dan kewajiban perpajakannya
tetap menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak yang meninggal dunia yang dilaksanakan oleh
ahli warisnya.
13 | P a g e

Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang
sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, sementara dalam kasus warisan yang
belum terbagi adalah Subjek Pajak Pengganti yang mengindasikan masih memenuhi syarat
subjektif dan objektif sehingga belum bisa dihapuskan. Baru setelah warisan tersebut dibagikan
yang menyebabkan hilangnya subjek pajak pengganti dan objek pajak baru boleh dihapuskan
dengan didukung suratketerangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi yang
berwenang dan surat pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan
bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris, untuk orang pribadi yang
meninggal dunia.
Perlakuan PTKP atas warisan yang belum terbagi
Penghasilan dari Warisan yang belum terbagi pada prinsipnya merupakan hak dan dapat
dibagikan kepada para ahli Waris yang berhak, dan penghasilan tersebut harus digunggungkan
dengan penghasilan lainnya yang diterima atau diperoleh masing-masing ahli Waris.
Oleh karena dalam menghitung penghasilan Kena Pajak masing-masing ahli Waris telah
memperoleh pengurangan berupa PTKP, maka dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak atas
penghasilan yang berasal dari Warisan yang belum terbagi tidak diberikan pengurangan berupa
PTKP. Hal ini sebagai mana ditegaskan dalam SE-10/PJ.41/1996 tentang Penghasilan Tidak Kena
Pajak Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Berbentuk Warisan Yang Belum Terbagi.

3. Badan
Dalam Undang- Undang KUP dijelaskan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan sebagai subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Subjek pajak dalam negeri
b. Subjek pajak luar negeri
Badan yang termasuk dalam subjek pajak dalam negeri yaitu badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
o
o
o
o

pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan


pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Badan yang termasuk dalam subjek pajak luar negeri yaitu :


o

badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

14 | P a g e

badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

Bentuk Usaha Tetap


Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
n. sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan;
o. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
p. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
q. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan.Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu
tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk
juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan
otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut
bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang
tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau
badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen,
broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara
tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya
sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia
15 | P a g e

dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut
menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Contoh Kasus

Apakah perusahaan perseorangan termasuk subjek pajak badan?

Perusahaan perseorangan adalah badan usaha kepemilikannya dimiliki oleh satu orang. Pemilik
perusahaan perseorangan memiliki tanggung jawab tak terbatas atas harta perusahaan. Artinya
tidak ada pemisahan antara harta perusahaan dan harta pribadi. Apabila bisnis mengalami
kerugian, pemilik lah yang harus menanggung seluruh kerugian itu. Selain itu, keuntungan dari
perusahaan tersebut otomatis merupakan keuntungan dari pemilik perusahaan.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa definisi perusahaan perseoragan tidak
memenuhi definisi badan yang disebutkan pada Undang-undang KUP. Dalam Undang- Undang
KUP dijelaskan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan sedangkan perusahaan perseorangan kepemilikannya hanya dimiliki oleh satu orang.
Dari penjelasan berikutnya dapat disimpulkan bahwa perusahaan perseorangan termasuk
dalam subjek pajak orang pribadi karena harta pribadi pemilik dan harta perusahaan
merupakan satu kesatuan.

16 | P a g e

C. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN DI NEGARA SINGAPURA


Republik Singapura, adalah sebuah negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya di
Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di utara, dan dari Kepulauan Riau,
Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di
dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam perdagangan
dan keuangan internasional. Kesuksesan perekonomian Singapura tentu tidak terlepas dari
peranan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara dan penentu kebijakan fiscal negara
tersebut. Sistem dan administrasi perpajakan di Singapura dijalankan oleh Inland Revenue
Authority of Singapore (IRAS) sedangkan kebijakannya menjadi sepenuhnya tanggungjawab
pemerintah.
Singapura merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia sehingga memiliki
hubungan yang sangat erat dalam kegiatan perekonomian, perdagangan, kebudayaan dan
kemasyarakatan. Kebijakan perpajakan yang diterapkan singapura tentu secara langsung dapat
memberi dampak yang besar kepada Indonesia terutama terkait Singapura yang menganut
kebijakan Tax Haven. Pada dasarnya ,tax haven adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan
sengaja memberikan fasilitas pajak berupa penetapan tarif pajak yang rendah kepada wajib pajak(
WP) negara lain. Sampai dengan tahun 2009 Singapura dikenal sebagai negara penganut tax haven
karena pengenaan tarif pajak yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di
sekitarnya. Namun pada November 2009 OECD mengeluarkan Singapura dari daftar negara Tax
Haven setelah menandatangani perjanjian pembagian informasi perpajakan dengan 12 negara.
Singapura juga termasuk negara yang menerapkan kebijakan ring fencing dalam pengenaan pajak
penghasilan berdasarkan residensial pembayar pajak.
Melihat keterkaitan yang begitu erat antara Indonesia dan Singapura kami merasa perlu untuk
memaparkan lebih lanjut kebijakan perpajakan Singapura terutama terkait Subyek Pajak
Penghasilan dimana terdapat kebijakan tarif rendah dan ring fencing yang bisa saja dimanfaatkan
untuk melakukan penghindaran pajak dari Indonesia.
1. Dasar Hukum
Dasar hukum awal atas pemberlakuan pajak penghasilan di Singapura telah ditetapkan pada
masa Kolonial Inggris yaitu Income Tax Ordinance (No. 39 tahun 1947). The 1947 Ordinance
ini sebagian besar didasarkan pada Model Pajak Pendapatan Teritorial tahun 1922, dengan
dimasukkannya beberapa ketentuan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan Inggris, Tahun
1945. Oleh karena itu, banyak keputusan pengadilan Inggris dan pengadilan yurisdiksi
persemakmuran lain memberi pengaruh yang signifikan meski tidak benar-benar mengikat
untuk diterapkan pada pengadilan Singapura.
Saat ini ketentuan Pajak Penghasilan di Singapura diatur dalam Cap. 134 Income Tax Act (ITA)
atau Undang-Undang Pajak Penghasilan Cap. 134 dengan perubahan terakhir pada Maret 2014.
Undang-undang pajak ini berasal dari Income Tax Ordinance 1947 dengan perubahanperubahan sebagai penyesuaian atas perkembangan yang terjadi.

17 | P a g e

2. Klasifikasi Subjek Pajak Penghasilan

Di Indonesia Subjek pajak adalah istilah dalam peraturan perundang-undangan perpajakan


untuk perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, Indonesia
menggunakan Istilah Subjek pajak penghasilan untuk orang pribadi dan badan yang atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dikenakan pajak penghasilan. Singapura
menggunakan istilah Tax Payer untuk Wajib Pajak dan tidak membedakan antara wajib pajak
dan subyek pajak dalam ketentuan perpajakannya termasuk dalam ketentuan pajak
penghasilan.
Di Negara Singapura, klasifikasi wajib pajak atau Tax Payer di dasarkan pada jenis wajib pajak
dan residensialnya. pajak penghasilan terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Personal Income Tax (Pajak Penghasilan Individu)
Personal income tax serupa dengan Pajak Penghasilan atas Orang Pribadi di Indonesia. Wajib
Pajak orang pribadi (baik resident dan non-resident) dikenakan pajak penghasilan atas
penghasilan yang diperoleh di atau berasal dari Singapura, dengan pengecualian tertentu.
Pendapatan dari luar singapura yang diterima atau dianggap telah diterima wajib pajak individu
resident Singapura dibebaskan dari pajak penghasilan di Singapura, kecuali penghasilan
tersebut diterima melalui kemitraan di Singapura. Pendapatan dari luar singapura diterima atau
dianggap telah diterima oleh wajib pajak individu non resident dibebaskan dari pajak
penghasilan di Singapura. Beberapa sumber pendapatan investasi tertentu yang diterima oleh
individu juga dibebaskan dari pajak penghasilan di Singapura.
Klasifikasi Individual tax payer di singapura di bagi menjadi dua berdasarkan Residency atau
kependudukan wajib pajak tersebut. Klasifikasi ini serupa dengan klasifikasi subyek pajak dalam
negeri dan subyek pajak luar negeri di Indonesia namun dengan ketentuan yang berbeda.

Resident Individual Tax Payer (Tax Resident)

Pada Section 2 Income Tax Act, disebutkan pengertian resident of Singapore terkait
individu.
Dalam hal individu, Resident means a person who, in the year preceding the year of
assessment, resides in Singapore except for such temporary absences therefrom as may be
reasonable and not inconsistent with a claim by such person to be resident in Singapore, and
includes a person who is physically present or who exercises an employment (other than as a
director of a company) in Singapore for 183 days or more during the year preceding the year of
assessment.
Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa yang termasuk resident adalah seseorang yang :
1. Permanen Resident , Penduduk permanen merupakan warga negara Singapura.
2. Telah berada di Singapura minimal 183 hari dalam satu tahun kalender.
3. Hadir secara fisik atau bekerja (bukan sebagai direktur perusahaan) di singapura dalam 3
tahun berturut-turut meski pada tahun pertama dan ketiga tinggal di singapura kurang dari
183 hari.
18 | P a g e

Secara luas, ada tes kualitatif, serta dua tes kuantitatif yaitu uji kehadiran fisik dan uji lapangan
kerja, yang terkandung dalam definisi Resident atau "penduduk", dan penilaian atas semua
itu akan cukup untuk menetapkan seseorang sebagai penduduk. Uji kualitatif tergantung pada
arti dari kata-kata "Resides" dan "temporary absences" dan bagaimana pemenuhan wajib pajak
atas hal tersebut.
Ketentuan perpajakan terkait Tax Resident antara lain:
1. Tax Resident dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang dihasilkan di Singapura
2. Penghasilan akan dikurangi keringanan (Tax reliefs) kemudian dikenakan tariff progresif .
3. Penghasilan yang bersumber dari luar negeri yang dibawa ke singapura dikecualikan dari
pengenaan pajak penghasilan.
4. Wajib mengisi form B1, Laporan pajak penghasilan untuk Tax resident.
Non-Resident Individual Tax payer
Non Resident merupakan pengecualian dari keseluruhan kriteria Resident tax payer. Non
resident tinggal atau berada di Singapura kurang dari 183 hari.
Ketentuan perpajakan terkait Non-Resident Tax Payer antara lain:
1. Non Resident hanya dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima di
Singapura
2. Non Resident tidak berhak atas keringanan pajak (Tax Reliefs).
3. Atas penghasilan dari pekerjaan non resident dikenakan tariff flat sebesar 15% atau
sesuai dengan tariff progresif untuk Tax Resident tergantung mana yang lebih tinggi.
Honor bagi direktur akan dikenakan tarif yang berlaku yaitu sebesar 20%.
4. Wajib mengisi form M, Laporan pajak penghasilan untuk Non Resident.
b. Corporate Income Tax (Pajak Penghasilan Badan)
Corporate Income Tax atau pajak penghasilan badan di Singapura memiliki dua klasifikasi wajib
pajak yaitu Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer dan Non-Singapore Tax Resident
Corporate Taxpayer.

Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer (Wajib Pajak Badan Resident)

Pada Section 2 Income Tax Act, disebutkan pengertian resident of Singapore terkait Badan
serta pengertian terminology lainnya.
Dalam hal Badan atau corporate,
in relation to a company or body of persons, Residents means a company or body of persons
the control and management of whose business is exercised in Singapore.
company means any company incorporated or registered under any law in force in Singapore
or elsewhere.
body of persons means any body politic, corporate or collegiate, any corporation sole and any
fraternity, fellowship or society of persons whether corporate or unincorporate but does not
include a company or a partnership
19 | P a g e

Dari definisi resident terkait badan diatas dapat kita simpulkan bahwa sebuah perusahaan
ditetapkan sebagai Tax resident company apabila pengawasan atau kontrol dan manajemen
bisnisnya dilakukan di Singapura. Wajarnya control pengawasan dan manajerial perusahaan
ditetapkan oleh dewan direksi sehingga residensial atau kedudukan perusahaan adalah dimana
dilakukan kegiatan yaitu pertemuan para dewan direksi
Wajib pajak badan Resident dikenakan pajak penghasilan pada penghasilan yang diperoleh
atau berasal dari Singapura dan penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di luar
Singapura (yaitu penghasilan bersumber asing) yang diterima atau dianggap telah diterima di
Singapura berdasarkan hukum, dengan pengecualian tertentu. Penghasilan dari luar singapura
dalam bentuk dividen, keuntungan cabang dan pendapatan jasa yang diterima atau dianggap
telah diterima di Singapura oleh wajib pajak badan - Resident dibebaskan dari pajak penghasilan
jika kondisi berikut terpenuhi:
-

Penghasilan dikenakan pajak yang bersifat mirip dengan pajak penghasilan berdasarkan
hukum yurisdiksi dimana penghasilan tersebut diterima;
pada saat penghasilan tersebut diterima di Singapura, tariff tertinggi atas pajak dengan
karakter yang mirip dengan pajak penghasilan pada yurisdiksi dari mana pendapatan
tersebut diterima setidaknya 15,0%;
Pengawas Pajak Penghasilan yakin bahwa pembebasan pajak akan bermanfaat bagi
penerima penghasilan dari luar singapura tersebut.
Non-Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer (Wajib pajak badan Non Resident)

Non-Singapore Tax Resident Corporate Taxpayer adalah pengecualian dari Singapore Tax
Resident Corporate Taxpayer. Apabila control dan manajemen perusahaan tidak berkedudukan
di Singapura maka perusahaan tersebut termasuk Non resident. Sebagai contoh, cabang
perusahaan luar negeri yang berlokasi di Singapura termasuk kategori Non Resident karena
control dan manajemen nya dilakukan di luar Singapura.
Pada dasarnya Resident dan Non Resident Corporate Tax Payers dikenakan pajak terhadap
penghasilan yang sama yaitu atas penghasilan yang diperoleh di atau berasal dari Singapura,
dan atas penghasilan dari luar Singapura yang diterima atau dianggap telah diterima di
Singapura.
Ketentuan perpajakan lainnya terkait Resident dan Non Resident Corporate Tax Payers juga
serupa namun Resident corporate tax payers memiliki keuntungan:
1. Perlindungan dari pengenaan pajak berganda dibawah kesepakatan Singapura dan dengan
negara tertentu.
2. pengecualian pajak atas dividen dari luar negeri, keuntungan dari cabang luar negeri,
penghasilan atas jasa pelayanan dari luar negeri.
3. pengecualian pajak untuk perusahaan yang baru berdiri sampai dengan angka waktu 3 (tiga)
tahun.

20 | P a g e

3. Ikhtisar Perlakuan Perpajakan per Klasifikasi Individual Tax Payer


a. Resident Individual Tax Payer

If your period of stay (including


work) in Singapore
Is at least 183 days in a year

Resident status
Resident for that
year

Tax implications
All your income will be taxed at
progressive resident rates. You may claim
tax reliefs.

Is at least 183 days for a


Resident for both
continuous period over two years years

As above

Covers three consecutive years

As above

Resident for all


three years

Under Singapore tax residency rules, you will be regarded as a tax resident if you stay or
work in Singapore for at least 183 days in a calendar year. The number of days in
Singapore includes weekends and public holidays.
Under the two-year administrative concession, you will be regarded as a tax resident for
the two years if you stay or work in Singapore for a continuous period of at least 183
days. The number of days in Singapore includes weekends and public holidays.
Under the three-year administrative concession, if you stay or work in Singapore
continuously for three consecutive years, you will be regarded as a tax resident for all
the three years even though the number of days you are in Singapore is less than 183
days in the first and third year.

Sumber : Inland Revenue Authority of Singapore ( IRAS )


b.

Non Resident Individual Tax Payer

If your period of stay


(including work) in
Singapore

Resident status

If you are in Singapore for Non-Resident


61 to 182 days

Tax implications
-Your employment income is taxed at 15% or
progressive resident rates, whichever gives rise to
a higher tax amount.
- Director's fees and other income are taxed at the
prevailing rate of 20%.
- You are not entitled to tax reliefs.

If you are employed for 60 Non-Resident


days or less

Your short term employment income is exempt


from tax.
This rule does not apply if you are a director of a
company.

21 | P a g e

If you are in Singapore for 61 to 182 days You will be regarded as a non-resident. The
number of days in Singapore includes weekends and public holidays.
If you are employed for 60 days or less You will be regarded as a non-resident. Your
employment income is exempt from tax if you are here on short term employment for not
more than 60 days in a year. The number of days in Singapore includes weekends and public
holidays.

Sumber : Inland Revenue Authority of Singapore ( IRAS )


4. Tax Treaty atas Pengenaan Pajak Berganda Indonesia Singapura
Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)/tax treaty adalah perjanjian yang dilakukan oleh
dua/lebih negara/yurisdiksi pajak yang mengatur perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan
yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri dari dua/lebih negara/yurisdiksi pajak yang
berbeda. Perjanjian ini terkait dengan passive income atas beneficial owner. Terdapat dua
otoritas yang memiliki kepentingan dalam pengenaan pajak yang terkait dengan beneficial
owner, yaitu negara asal wajib pajak/beneficial owner (asas domisili) dan negara tempat wajib
pajak mendapatkan penghasilan (asas sumber). Permasalahan perpajakan muncul ketika kedua
negara tersebut hendak mengenakan pajak atas jenis pendapatan yang sama (passive income).
Inilah yang kemudian menimbulkan international double taxation, yaitu wajib pajak dikenakan
pajak berganda atas income yang sama dalam periode yang sama oleh negara yang berbeda.
Hal yang diatur di dalam persetujuan P3B tidak hanya terkait penghasilan sebagai objek pajak
tapi juga individu dan badan terkait sebagai subjek pajak terutama terkait domisili individu dan
Badan Usaha Tetap sebagai suatu perwakilan perusahaan lintas negara.
P3B atau Tax Treaty ini dibuat dengan tujuan :
1. Menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang sama yang diterima oleh
wajib pajak yang sama oleh dua/lebih yurisdiksi pajak (negara) yang berbeda.
2. Menghilangkan adanya penyelundupan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang
mendapatkan penghasilan di dua/lebih yurisdiksi pajak (negara) yang berbeda sehingga
wajib pajak tidak membayar pajak di kedua/lebih yurisdiksi pajak (negara) dimana wajib
pajak tersebut menjalankan usahanya.
3. Pembagian wilayah perpajakan, keputusan bersama atas isu-isu perpajakan internasional
dan kerja sama ekonomi untuk pembangunan.
Pada Mei 1990 Indonesia dan Singapura telah menandatangani PERSETUJUAN TENTANG
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS
PENGHASILAN yang di cetak dalam Bahasa Inggris.

22 | P a g e

Persetujuan ini memuat diantaranya ketentuan terkait Subjek pajak diantaranya Domisili Fiskal
terkait kependudukan atau residensial perpajakan. Pasal 4, P3B Indonesia Singapura memuat
antara lain,
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
Berarti setiap orang dan badan, yang merupakan penduduk dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan untuk kepentingan pajak Negara pihak pada Persetujuan tersebut. Istilah ini tidak
mencakup bentuk usaha tetap dari perusahaan asing yang diperlakukan sebagai penduduk bagi
kepentingan pajak.
2. Jika seseorang menurut ketentuan-ketentuan pada ayat 1 menjadi penduduk di kedua Negara
pihak pada Persetujuan, maka statusnya akan ditentukan menurut ketentuan-ketentuan berikut :
(a) ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan dimana ia mempunyai
tempat tinggal tetap yang tersedia baginya. Apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap yang
tersedia di kedua Negara, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana terdapat
hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan
pokok);
(b) jika Negara pihak pada Persetujuan di mana pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak
dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya
di salah satu Negara, maka ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia biasanya
berdiam;
(c) jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua Negara pihak pada Persetujuan atau
sama sekali tidak mempunyainya di salah satu Negara pihak pada Persetujuan tersebut maka
pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan
masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.
3.
Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1, suatu badan mempunyai tempat
kedudukan di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka pejabat-pejabat yang berwenang dari
Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.

Pasal 5 P3B Indonesia Singapura memuat ketentuan tentang Badan Usaha Tetap (BUT), antara
lain:
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah bentuk usaha tetap berarti suatu tempat usaha tetap
di mana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan.
2. Istilah bentuk usaha tetap terutama meliputi :
(a) suatu tempat kedudukan manajemen;
(b) suatu cabang;
(c) suatu kantor;
(d) suatu pabrik;
(e) suatu bengkel;
(f) suatu pertanian atau perkebunan;
(g) suatu tambang, suatu sumur minyak atau gas, suatu penggalian sumber daya alam;
(h) suatu lokasi bangunan konstruksi, proyek instalasi atau proyek perakitan yang berlangsung
untuk suatu masa yang melebihi 183 hari;
(i) pemberian jasa-jasa termasuk jasa-jasa konsultan oleh suatu perusahaan melalui seorang
pegawai atau pegawai-pegawai lain (selain daripada seorang agen yang bertindak bebas
23 | P a g e

sebagaimana dimaksud dalam ayat 7) dimana kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di


suatu Negara pihak pada Persetujuan dalam suatu masa yang melebihi 90 hari dalam dua
belas bulan.
3.

4.

5.

6.

7.

Istilah bentuk usaha tetap tidak dianggap meliputi :


a. penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau
memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
b. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan
semata- mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;
c. pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan
semata- mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;
d. pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk pembelian
barang - barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan
perusahaan;
e. pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk tujuan
periklanan, atau untuk memberikan keterangan-keterangan, untuk penelitian ilmiah atau
untuk kegiatan yang sejenis yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan;
Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dianggap mempunyai suatu bentuk
usaha tetap di Negara pihak lain pada Persetujuan apabila perusahaan tersebut menjalankan
kegiatan pengawasan di Negara pihak lain tersebut untuk suatu masa lebih dari 6 bulan yang
berhubungan dengan suatu proyek konstruksi, proyek instalasi atau proyek perakitan yang
dilakukan di Negara pihak lain tersebut.
Orang atau badan yang bertindak di suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk atau atas nama
perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak lain pada Persetujuan kecuali agen yang
bertindak bebas sebagaimana berlaku ayat 6, dianggap sebagai bentuk usaha tetap di Negara
pihak pada Perjanjian yang disebut pertama, apabila :
a. mempunyai, dan biasa melakukan dalam Negara pihak yang disebut pertama itu, wewenang
untuk menutup kontrak-kontrak atas nama perusahaan, kecuali kegiatannya dibatasi untuk
pembelian barang atau barang dagangan bagi perusahaan; atau
b. ia biasa mengurus dalam Negara yang disebut pertama suatu persediaan barang atau barang
dagangan milik perusahaan dimana ia secara teratur menyerahkan barang atau barang
dagangan untuk atau atas nama perusahaan.
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, suatu perusahaan asuransi dari
suatu Negara pihak pada Persetujuan kecuali yang berhubungan dengan re-asuransi, dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak lain pada Persetujuan jika perusahaan asuransi
tersebut memungut premi di wilayah Negara pihak lain tersebut atau menanggung resiko-resiko
yang terjadi di sana melalui seorang pegawai atau perwakilan yang bukan merupakan agen yang
bertindak bebas seperti dimaksud pada ayat 7.
Suatu perusahaan dari suatu Negara tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap
di Negara pihak lain pada Persetujuan hanya karena perusahaan tersebut menjalankan usahanya
melalui seorang makelar, komisioner atau setiap agen lainnya yang bertindak bebas, selama
orang orang itu bertindak dalam rangka usahanya. Namun, bila kegiatan-kegiatan agen tersebut
secara keseluruhan atau hampir secara keseluruhan diperuntukkan bagi kepentingan perusahaan
itu, ia tidak akan merupakan suatu agen yang berdiri sendiri seperti yang diartikan oleh ayat ini.

24 | P a g e

8. Bila suatu perseroan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
mengawasi atau diawasi oleh suatu perseroan yang merupakan penduduk dari Negara pihak lain
pada Persetujuan, atau yang menjalankan usahanya di Negara pihak lain tersebut (baik melalui
suatu bentuk usaha tetap atau cara lain), tidak akan dengan sendirinya menjadikan salah satu
perseroan tersebut bentuk usaha tetap dari yang lainnya.

25 | P a g e

DAFTAR REFERENSI

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan
L. Y. Hari SIH Advianto. Pajak Penghasilan. BPPK Pusdiklat Pajak, 2011.
Jannatun, F. 2012. Nn. Available at http://eprints.uny.ac.id/7889/3/BAB%202-09409134015.pdf
diakses pada tanggal 18 Oktober 2014 .
Data Realisasi APBN Tahun Anggaran 2014 (Tanggal 1 Januari 2014 sd 29 Agustus 2014). Available at
http://www.kemenkeu.go.id/Data/realisasi-apbn-ta-2014-29-agustus-2014-i-account diakses pada
tanggal 18 Oktober 2014.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008
Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009
Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan
Taripar Doly, SE, MM. 2014. Sekilas Tentang Subjek Pajak Pengganti
http://www.nusahati.com/2014/07/sekilas-tentang-subjek-pajak-pengganti/. (diakses pada tanggal
18 Oktober 2014)
www.wikipedia.com, diakses pada 16 Oktober 2014.
www.iras.gov.sg, diakses pada 16 Oktober 2014.
www.singaporelaw.sg/Ch.28 Singapore Income Taxation, diakses pada 16 Oktober 2014.
www.ortax.org, diakses pada 16 Oktober 2014.
Income Tax Act Chapter 134 2014 Singapore
Badan Kebijakan Fiskal.2012. Tax Treaty dan pengaruhnya terhadap arus investasi antara Indonesia
dan negara-negara mitra. Jakarta

26 | P a g e

Вам также может понравиться