Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga yang berlokasi di Desa
Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor memanfaatkan tanah seluas
9,6 Ha dikelola dengan sistem timbun terkendali (controlled landfill) dan pengomposan (composting). Dengan sistem timbun terkendali sampah ditimbun dalam keadaan terbuka namun dikendalikan penempatannya, agar merata sehingga tidak menumpuk pada satu titik. Pengendalian dilakukan dengan alat berat. Menurut EPA (1973), sampah yang terbuka lebih dari 24 jam, mulai terjadi perombakan oleh mikroba, menghasilkan bahan-bahan organik berupa padatan terlarut bersifat toksik yang disebut lindi (leachate). Lindi tersebut mudah disebarkan melalui limpasan air hujan dan meresap mencemari air tanah termasuk 29 air sumur yang ada di sekitarnya. Air sumur yang terkontaminasi lindi berakibat terjadinya penurunan kualitas air secara fisik, kimia, dan mikrobiologi. Pengomposan dengan sistem open widrow juga menghasilkan leachate dari salah satu tahapan prosesnya sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan terutama terhadap air tanah. Kelemahan TPA Galuga : Kualitas air sumur wilayah sekitar TPA Galuga dari beberapa parameter hasil analisis telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut Kriteria Mutu Air Kelas I Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sehingga berdasarkan hal tersebut, air sumur sekitar wilayah Galuga tidak layak untuk digunakan sebagai air baku air minum sebagaimana peruntukkan air Kelas I, namun masih bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian. Parameter kualitas air yang melampaui ambang batas maksimum yaitu bau (busuk), rasa (agak asam, dan agak pahit), seharusnya tidak berbau dan tidak berasa, pH, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (COD), amonia, nitrit, seng (Zn), bakteri fecal coli dan coliform. Indeks Kualitas Air (IKA) sumur wilayah sekitar TPA Galuga secara
rata-rata tergolong buruk (nilai Indeks Kualitas Air rata-rata 48,65),
sehingga air ini tidak layak dikonsumsi sebagai air minum. Namun dari hasil penelitian ditemukan fenomena yang menarik dimana air sumur dengan jarak yang paling dekat ke sumber pencemar (TPA) ternyata memiliki kualitas air yang lebih baik berdasarkan nilai Indeks Kualitas Air daripada air sumur yang jaraknya lebih jauh pada wilayah penelitian. Kondisi ini diduga disebabkan oleh faktor geologis, geografis, dan juga faktor konstruksi pembatas TPA, saluran air lindi dan sumur itu sendiri. SARAN 1. Air lindi (leachate)yang dihasilkan akibat timbunan sampah dari TPA dan juga sistem open widrow dari pengomposan perlu dioptimalisasikan pengolahannya sehingga lebih aman dibuang ke lingkungan. Dari pengamatan, pengolahan lindi ini tengah tidak berfungsi termasuk sistem aerasi di bak pengolahan sehingga potensi pencemaran air tanah akibat penyebaran lindi ini bisa diminimalkan jika instalasi pengolahan air lindinya optimal. 2. Perlunya sistem drainase lindi yang permanen, untuk mencegah peresapan air lindi masuk ke lingkungan sekitarnya. Perubahan sistem ini untuk mengurangi pengaruh penyebaran lindi dari sumber sampah (TPA dan Pabrik Kompos) masuk ke lingkungan perairan sekitarnya, termasuk pencemaran air sumur di sekitar wilayah tersebut. 3. Pemerintah Kota Bogor perlu secepatnya melakukan usaha-usaha untuk mengatasi pencemaran air, khususnya air sumur gali, dengan cara memperbaiki konstruksi sumur (dinding beton, penutup sumur) dan juga melakukan sanitasi.