Вы находитесь на странице: 1из 5

PERGESERAN NILAI

Oleh : H. Mas’oed Abidin

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi


dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-
orang yang sebelum mereka ? (Pada hal), Orang-orang itu adalah
lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah)
serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka
dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali
tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang
berlaku zalim kepada diri mereka sendiri.
Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan
adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan
ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olokkannya”
(QS.30, Ar-Rum, ayat 9-10).
Sekarang, kita tengah menyaksikan satu kondisi terjadinya
pergeseran pandangan masyarakat dunia dewasa ini. Maka
ummat Islam wajib berperan aktif kedepan diabad XXI. Dengan
upaya menjadikan firman Allah sebagai aturan kehidupan.
Melaksanakan secara murni konsep agama dalam setiap
perubahan, agar peradaban kembali gemerlapan.
Berpaling dari sumber kekuatan murni, Kitabullah dan Sunnah
Rasul, dengan menanggalkan komitmen prinsip syar’i dan akhlak
Islami akan berakibat fatal untuk ummat Islam, bahkan penduduk
bumi. Pada gilirannya ummat Islam akan menjadi santapan
konspirasi dari kekuatan asing. Konsekwensinya adalah wilayah
yang sudah terpecah akan sangat mudah untuk dikuasai.
Kembali kepada watak Islam tidak dapat ditawar-tawar lagi. Bila
kehidupan manusia ingin diperbaiki. Tuntutannya agar ummat
lahir kembali dengan iman dan amal nyata.
Tatanan masyarakat harus dibangun diatas landasan persatuan
(QS.al-Mukminun:52).
Mayarakat mesti ditumbuhkan dibawah naungan ukhuwwah
(QS.al-Hujurat:10).
Anggota masyarakatnya didorong hidup dalam prinsip ta’awunitas
(kerjasama) dalam al-birri (format kebaikan) dan ketakwaan
(QS.al-Maidah:2).
Hubungan bermasyarakat didasarkan atas ikatan mahabbah
(cinta kasih), sesuai sabda Rasul: “Tidak beriman seorang kamu
sebelum mencintai orang lain seperti menyayangi diri sendiri”.
Setiap masalah diselesaikan dengan musyawarah (QS.asy-
Syura:38).
Tujuan akhirnya, penjelmaan satu tatanan masyarakat yang
pantang berpecah belah (QS.Ali Imran:103).
Rahasia keberhasilan adalah “tidak terburu-buru” (isti’jal) dalam
bertindak. Tidak memetik sebelum ranum. Tidak membiarkan
jatuh ketempat yang dicela. Kepastian amalan adanya husnu-
dzan (sangka baik) sesama ummat. Mengiringi semua itu adalah
tawakkal kepada Allah.
Dalam tatanan berpemerintahan, kekuasaan akan berhasil jika
menyentuh hati nurani rakyat banyak, sebelum kekuasaan itu
menjejak bumi. Ukurannya adalah adil dan tanggap terhadap
aspirasi yang berkembang. Takarannya adalah kemashlahatan
ummat banyak. Kemasannya adalah jujur secara transparan.
Kekuatan hati (dhamir) penduduk (rakyat) terletak pada
ditanamkannya kecintaan yang tulus.
Menghidupkan energi ruhanik lebih didahulukan sebelum
menggerakkan fisik ummat. Titik lemah ummat karena hilangnya
akhlaq (moralitas) Islami.
Enggan memahami syari’at, berakibat hilangnya kecintaan
(kesadaran) terhadap Islam. Lahirnya radikalisme, berlebihan
dalam agama, menghapuskan watak Islam. Tidak menghormati
hubungan antar manusia, merupakan kebodohan pengertian
terhadap prinsip sunnah.
Akibatnya adalah tindakan anarkis (merusak).
Keadilan adalah raja.
Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap orang untuk
berlaku adil, berbuat ihsan (kebajikan), dan membantu karib
kerabat. Dan, Allah juga memerintahkan untuk melakukan
pencegahan terhadap perilaku keji dan tercela (fahsya’, anarkis).
Allah SWT juga memerintahkan untuk menghindar dari
kemungkaran (perbuatan terlarang) dan aniaya (anarkis), juga
dari perlakuan yang melampaui batas (bagh-ya). Semua
peringatan Allah ini harus selalu di ingat oleh manusia (QS.An
Nahl,90).
Adil, adalah pakaian setiap pemimpin, tidak semata ucapan. Adil,
adalah suatu perbuatan, yang di dambakan setiap orang.
Karenanya, menjadi kewajiban setiap pribadi untuk menegakkan
dan mempertahankannya. Agama mengajarkan bahwa setiap
orang adalah pemimpin. Setiap pemimpin akan diminta
pertanggungan jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Agama menegaskan bahwa, penguasa adalah pemimpin dari
rakyatnya.
Sebagai layaknya seorang suami menjadi pemimpin atas istri,
keluarga dan rumah tangganya. Seorang pekerja (khadam)
adalah pemimpin atas harta yang di amanahkan oleh majikannya.
Konsekwensinya adalah, setiap pemimpin memikul tanggung
jawab berlaku adil dan amanah menjaga rakyat yang di
pemimpinannya.
Karena, setiap pemimpin akan ditanya pertanggungan jawab atas
kepemimpinannya.(Hadist di riwayatkan Al-Bukhari dari ‘Abdullah
ibn ‘Umar RA).
Pemimpin yang adil, semestinyalah bersikap merendah
(tawadhu’) terhadap rakyat yang dipimpinnya (HR.Bukhari, dalam
Riyadhus-Shalihin, Imam Nawawy).
Maknanya adalah, kepentingan (aspirasi) rakyat wajib di
utamakan. Hanya ada satu kepentingan, demi kemashlahatan
rakyat banyak.
Pemimpin dalam pandangan Islam tidak untuk kepentingan
kelompok atau golongan. Tetapi untuk kemashlahatan orang
banyak.
Walaupun barangkali seorang pemimpin memiliki kekurangan
fisik, tetapi adil dan berpedoman kepada Kitabullah, maka
Muslimin disuruh mengikutnya. In ummira ‘alaikum ‘abdun
mujadda’un yaquu-du kum bi Kitaabillahi, fasma’uu lahu wa
athii-‘uu, “Jika sekalipun kamu dipimpin oleh seorang hamba yang
cacat (‘abdun mujadda’), tetapi memimpinmu dengan
berpedoman kepada Kitabullah (al Quran), maka hendaklah kamu
mendengarkan dan menta’atinya” (Shahih Muslim).
Dalam konsep Agama pemimpin adalah amanah Allah untuk
melaksanakan pemerintahan sebagai amanah ummat (rakyat).
Karena itu, sangatlah tidak pantas bila seorang meminta-minta
untuk diangkat menjadi seorang pemimpin.
Disampaikan oleh Shahabat Abu Musa RA, tatkala dua orang Bani
‘Ammi minta diangkat menjadi gubernur disuatu daerah, maka
Rasulullah SAW berkata, “ Inna Wallahi, Laa nuwalliy ‘alaa haa-
dzal ‘amali ahadan sa-alahu wa laa ahadan harasha ‘alaihi”,
artinya, “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan mengangkat
seorang penguasa atas pekerjaan ini apabila ia memintanya atau
ambisius kepadanya” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Kepemimpinan sesungguhnya adalah amanat dari Allah SWT.
Wajib di tunaikan sebagai ibadah di tengah kehidupan
masyarakat (rakyat)-nya, atau hablum min an-naas.
Adil adalah pakaian setiap pemimpin..
Adil, adalah ciri taqwa. Konsep ini bukan semata teologis,
melainkan sangat humanis universal.
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin pemegang tampuk
kekuasaan yang melalaikan kepentingan rakyatnya adalah
pemimpin yang sangat dicela. Rasulullah SAW memperingatkan,
“maa min waa-lin yaliy ra’iyyah minal-Muslimin, fa yamuutu wa
huwa gaasy-syun lahum, illa harrama-Allahu ‘alaihil-jannah”,
artinya, “Tidak seorangpun yang diberi amanat oleh Allah untuk
memimpin rakyatnya (kaum Muslimin), lalu ia mati dalam
keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan baginya
sorga (tidak akan masuk sorga)” (HR.Muttafaqun ‘alaihi dari Abi
Ya’la (Ma’qal) bin Yasar RA).
Dalam hadist lainnya, Rasulullah SAW berkata, “ wa innamal
Imamamu junnatun, yuqaatalu min waraa-ihi wa yuttaqaa bihi,
Fa-in amara bi taqwa-Allahi wa ‘adala fa-inna lahu bi-dzalika ajran.
Wa in qaala bi ghairihii fa-inna ‘alaihi minhu”, artinya,
“Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai. Dibelakang perisai
itulah rakyat berjuang. Maka apabila ia (pemimpin) menyuruh
kepada ketaqwaan terhadap Allah dan berlaku adil, maka ia akan
mendapat pahala dari perintah dan sikap adilnya itu. Tetapi bila
ia menyuruh selain dari itu (taqwa), maka ia akan mendapat siksa
karenanya” (HR.Muttafaq ‘alaihi, dari Abi Hurairah RA).
Dengan sikap tawadhu’ (merendah demi kepentingan ummat
karena taqwa kepada Allah) akan terlihat keadilan seorang
pemimpin.
Arogansi pemaksaan kehendak. akan membawa kepada
kehancuran.
Konsekwensinya adalah, “as-sam’u wat-tha’ah ‘ala-al-mar-il
Muslim fii ma ahabba wa kariha, maa lam yukmar bima’shiyatin,
fa idzaa umira bi-ma’shiyatin, fa-laa sam’a wa laa thaa’ah”,
artinya “Seorang Muslim harus mendengarkan dan menta’ati
segala perintah (pemimpinnya) dalam hal yang ia sukai ataupun
yang tidak disukainya, selama ia tidak diperintahkan untuk
berbuat maksiat. Dan apabila ia diperintahkan untuk berbuat
maksiat, maka ia (rakyat) tidak dibolehkan untuk mendengarkan
atau menta’ati perintahnya” (HR.Muttafaq ‘alaih dari Ibnu Umar
RA).
Sungguh celakalah para pemimpin yang melupakan dan
menganggap enteng aspirasi rakyat banyak. Maka, untuk
terhindar dari kecelakaan, wajiblah di ingat selalu firman Allah;
“Berlaku adillah, karena Allah kasih terhadap orang-orang yang
adil” (QS.Al-Hujurat ,9).
Lemahnya bekalan agama dilapisan ummat dan tipisnya
pemahaman Islam akan berpengaruh didalam kehidupan.
Paham ‘Ashabiyah (kedaerahan), menghilangkan arti maknawi
dari ukhuwwah. Persatuan lahiriyah tidak mampu menumbuhkan
kebahagiaan mahabbah, cinta sesama. Di sinilah bermula sumber
kehancuran. Karena itu Rasulullah SAW selalu berdo’a
sebagaimana disampaikan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah R ’anha,
“allahumma man waliya min amri ummatiy syay-an fa syaqqa
‘alaihim fasy-quq ‘alaihi, wa man waliya min amri ummatiy syay-
an far-faqa bihim, far-fuq bihi”, artinya, “Ya Allah, barangsiapa
yang menjadi pemimpin atas ummatku, lalu ia mempersulit
mereka, maka persulitlah ia, dan barangsiapa yang memimpin
ummatku, lalu mengasihi mereka, maka kasihanilah ia”
(HR.Shahih Muslim). Dengan do’a ini pula kita tutup pembahasan
kita tentang makna serta hikmah yang terkandung didalah hari-
hari Isra’ dan Mikraj sekarang ini.
Billahit taufiq wal hidayah.

Вам также может понравиться