Hasil PDTT pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) menunjukkan kasus-kasus
yang sering terjadi antara lain.
Temuan kerugian daerah berupa kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang sebanyak 271 kasus senilai Rp96.947,31 juta, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang sebanyak 127 kasus senilai Rp40.591,80 juta, dan belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan sebanyak 72 kasus senilai Rp13.508,00 juta. Kasus-kasus tersebut sering terjadi pada pelaksanaan belanja, pengelolaan aset tetap, serta PDTT lainnya, yang pada umumnya disebabkan rekanan tidak melaksanakan ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak, kontraktor pengawas kurang cermat melakukan pekerjaan, para pelaksana lalai dan tidak cermat dalam menjalankan tugasnya, serta kurangnya pengawasan dan pengendalian penanggung jawab kegiatan. Terhadap kasus-kasus kerugian daerah tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada pimpinan entitas yang diperiksa antara lain agar memberikan sanksi kepada para pelaksana yang lalai dalam menjalankan tugasnya dan mempertanggungjawabkan kerugian daerah yang terjadi dengan cara
menyetor uang ke kas daerah atau melengkapi pekerjaan melalui mekanisme
pengenaan ganti kerugian daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu kepada rekanan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku dan penanggung jawab kegiatan meningkatkan pengawasan dan pengendalian. Temuan potensi kerugian daerah berupa ketidaksesuaian pekerjaan dengan kontrak tetapi pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya sebanyak 273 kasus senilai Rp112.441,08 juta dan aset dikuasai pihak lain sebanyak 15 kasus senilai Rp22.469,51 juta. Kasus-kasus tersebut sering terjadi pada pelaksanaan belanja, dan pengelolaan aset tetap, yang pada umumnya disebabkan kontraktor tidak melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak yang telah disepakati, para pelaksana belum melaksanakan tugas sesuai ketentuan, serta lemahnya pengawasan dan pengendalian pimpinan entitas. Terhadap kasus-kasus potensi kerugian daerah tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada pimpinan entitas yang diperiksa antara lain agar memberikan sanksi kepada pelaksana dan kontraktor sesuai ketentuan yang berlaku, memperhitungkan kekurangan volume dan ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan pada realisasi keuangan berikutnya, serta meningkatkan pengawasan dan pengendalian. Temuan kekurangan penerimaan berupa denda keterlambatan pekerjaan belum/tidak ditetapkan atau dipungut/diterima/disetor ke kas negara/ daerah sebanyak 236 kasus senilai Rp30.436,12 juta, dan penerimaan negara/ daerah lainnya (selain denda keterlambatan) belum/tidak/ ditetapkan atau dipungut/diterima/disetor ke kas negara/daerah sebanyak 107 kasus senilai Rp149.815,24 juta. Kasus-kasus tersebut sering terjadi pada pelaksanaan belanja, pengelolaan pendapatan, serta pengelolaaan aset, yang pada umumnya disebabkan kontraktor tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu yang direncanakan, pelaksana kegiatan dan bendaharawan kurang cermat dan lalai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, serta lemahnya pengawasan dan pengendalian para pelaksana kegiatan dan pimpinan satuan
kerja perangkat daerah (SKPD).
Terhadap kasus-kasus kekurangan penerimaan daerah tersebut, BPK telah merekomendasikan pimpinan entitas yang diperiksa antara lain agar segera menagih kekurangan penerimaan/denda keterlambatan dan segera menyetorkannya ke kas daerah, mengenakan sanksi kepada pejabat pelaksana dan rekanan, serta meningkatkan pengawasan dan pengendalian.