Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah
nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas
karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya.
Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat
mudah menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh
darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris
interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau
bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam
sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah
mengerosi dasar tengkorak.
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas
dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas
25 tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah
juvenile tidak sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien
yang lebih tua. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan
hanya
0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring
tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di
nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi nasofaring
2.2. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan
tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor, nasal
tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, atau
angiofibroma nasofaring belia.
adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan
pada anak-anak dan remaja laki-laki. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibrom
nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal angiofibroma).
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT,
diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini
umumnya terjadi pada laki-laki decade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia
lebih dari 25 tahun.
2.4. Patogenesis
Permukaan tumor
pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta terisi
pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis
tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid
dan temporal atau ke ruang intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di
tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan
meluas dibawah mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan
meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.
Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi
kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan
menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor mendorong
salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang
akan disebut muka kodok.
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri
anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.
2.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti
x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%)
ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi
sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di
tempat tersebut. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah
pembesarannya.
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian
tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan,
sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia
muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih
banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang
ditemukan adanya ulserasi.
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan arteriografi.
Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral
dan posisi waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda Holman
Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura
pterigopalatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah
nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar
nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat
perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.
Pada pemeriksaan arteriografi arteri
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna homolateral.
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravaskular,
sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor.
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.
- Stage IB
- Stage IIA
- Stage IIB
- Stage IIIA
- Stage IIIB
- Stage II
- Stage III
- Stage IV
2.7. Pengobatan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi,
namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika
penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada
komplikasi akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi
saluran udara atau menyebabkan epistaksis menahun.
Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup,
karena resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai
dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral,
rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial.
Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak
sebaiknya diberikan radioterapi prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar
rontgen yang dilanjutkan dengan elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi
hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi. Pada pemberian hormonal terapi
2.8. Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak
memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah memenuhi rongga
tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang.
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan
dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien dengan
usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia lebih muda, tumor
jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan memiliki prognosis yang
buruk.
10
BAB III
KESIMPULAN
11