Вы находитесь на странице: 1из 89

R.L.

Stine
Pesta Halloween
Halloween Party
(Fear Street # 08)
Akan datang tamu tak diundang pada pesta Halloween di Fear Street
Ebook PDF: eomer eadig
Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Chapter 1
NISAN itu menjulang kelabu di bawah sorot sinar bulan, tepiannya aus tak rata.
Lapisan lumut tebal menutupi kata-kata yang terukir di permukaannyayang
terlihat hanya baris terakhir.
Meninggal 31 Oktober 1884
Terry Rian mencoba melangkah cepat melewati monumen kuno itu, tapi pacarnya,
Niki Meyer, menarik tangannya, mengajaknya berhenti.
"Lihat, Terry," kata gadis itu. "Penghuni kuburan ini meninggal persis hari ini,
lebih dari seratus tahun lalu."
Niki melangkah lebih dekat, senternya memancarkan lengkung sinar kuning suram
di atas batu nisan.
Terry merapatkan jaketnya.
Angin melolong-lolong, terdengar seperti ratapan makhluk yang sudah lama mati.
Di suatu tempat ada benda yang menggesek, dan berderak, di atas batu.
Aku tak percaya sedang berdiri di tengah makam Fear Street malam-malam begini,
pikir Terry. Ia kembali memegang tangan Niki dan menekannya pelan.
Gadis itu menoleh menatapnya, matanya yang gelap indah berkilauan penuh

semangat. Dalam gaun merah dan mantel tudung hitam, ia tampak seperti putri
abad pertengahan.
"Siapa ya, mereka?" gumamnya, menunjuk ke arah deretan nisan tua di sekeliling
mereka.
"Generasi awal Shadyside, mungkin," jawab Terry. "Sudah bertahun-tahun tak ada
yang dikubur di sini."
"Di sini seram," tukas Niki. "Tapi juga agak indah. Menurutmu apa sumber semua
cerita itu, tentang mayat hidup yang keluar dari kuburan mereka?"
"Cuma cerita," komentar Terry. "Ayo. Jalan lagi."
Angin bertiup kencang, dan Terry melihat tubuh Niki menggigil di balik mantel.
Mereka mulai berjalan lagi, dan Terry membuka jalan di tengah rumput liar yang
tumbuh subur di antara deretan nisan.
Gemeresik rerumputan mengikuti tiap langkah merekaseperti derak tulang patah.
Di atas mereka angin memekik-mekik, mengguncang sebuah dahan pohon.
Terry melirik Niki. Mata gadis itu berkilau penuh semangat.
Angin yang melolong-lolong tak mengganggu Niki, pikir Terry.
Niki sudah hampir tuli total sejak mengalami kecelakaan di kelas dua. Tapi ia
berbicara begitu jelas, dan begitu lancar membaca bibir, sehingga sebagian besar
orang tak menyadari ia cacat.
Niki sendiri tak pernah bersikap seolah ia berbeda dari anak lain. Ia sama sekali tak
pernah menginginkan perlakuan istimewa.
Bahkan justru sebaliknya. Niki selalu siap bertualang. Tapi apa ia siap untuk
malam ini?
Mereka hampir sampai di ujung jalan pintas yang menuju tepi makam. Di belakang
dinding batu makam terlihat sosok istana Cameron tua. Pepohonan tinggi di
sekelilingnya terempas-empas dari sisi ke sisi. Dari kejauhan tampak seolah rumah
itu perlahan berguncang sendiri. Gerbang kayu di ujung dinding terpentang.
Tak sadar, Terry mulai berjalan agak lebih cepat.
Niki kembali menarik tangannya. "Aku menjatuhkan topengku di belakang sana,"
tukasnya. "Sebentar, akan kuambil."
Sambil menyorotkan senter ke atas tanah, Nicky cepat menelusuri kembali
langkahnya.
"Jangan cepat-cepat," panggil Terry, kemudian ia ingat gadis itu tak bisa
mendengarnya.
Niki membungkuk di belakang nisan yang tadi ia periksa. "Ketemu!" teriaknya.
Terry tergelincir di atas batu berlumut, lalu cepat-cepat menegakkan tubuh dan
berjalan ke arah nisan itu. Meskipun seandainya cerita-cerita seram itu tidak benar,
ia tetap tak mau melepaskan Niki dari pandangannya. Ia hampir sampai di nisan itu
ketika tiba-tiba sebuah jeritan melengking membelah udara.
"Niki!" panggilnya. Dengan jantung berdebam kencang, ia melesat ke balik nisan.

Niki ada di sana, sedang membersihkan tanah yang menempel di topeng sutra
hitamnya.
"Ada apa?" tanya gadis itu ketika melihat wajah Terry.
"Aku mendengar sebuah..."
Kembali terdengar jeritan.
"Itu lagi!" tukasnya. Ia merangkul Niki dengan sebelah lengan, mendekapnya eraterat.
Jeritan itu berasal dari arah gerbang. Ia ingin kembali ke tempat tadi mereka masuk
dan berjalan mengitari makam. Tapi akan banyak makan waktu. Lagi pula, ia ingin
secepat mungkin keluar dari makam ini.
Dengan satu tangan memegang senter dan lengan yang lain merangkul Niki, Terry
berjalan hati-hati ke arah gerbang. Mereka hampir mencapainya ketika sesosok
bayangan hitam tinggi tiba-tiba melompat ke depan mereka.
Niki memekik dan merapatkan tubuh ke Terry.
Di tengah jalan menghadang sesosok makhluk dari alam mimpi buruk. Pakaian
hitam makhluk itu menggantung compang-camping. Wajahnyaatau sisa
wajahnyaseolah hancur membusuk. Dan dagingnya mengelupas.
Ini tak mungkin terjadi, pikir Terry. Makhluk ini tak mungkin nyata.
Dengan tangan gemetar, ia mendorong Niki ke belakangnya dan mengangkat
senter dengan sikap mengancam. Apa senjata bisa melukai mayat hidup? pikirnya.
Tapi sebelum ia tahu jawabannya, sosok itu tiba-tiba mengangkat tangan dan
mengoyak lepas kepalanya, memperlihatkan wajah menyeringai Murphy Carter.
Sesaat kemudian Terry baru sadar bahwa kepala mengerikan itu hanya sebuah
topeng.
"Kena kau!" teriak Murphy. "Wah, kalian ketakutan setengah mati! Coba lihat
wajah kalian."
"Ya, ya, ya," celetuk Terry, berharap suaranya tak gemetar. "Kami sudah tahu itu
kau."
"Ah, yang benar?" ejek Murphy. "Jangan bohong." Ia menyeringai kepada Niki,
lalu menggerakkan sebelah tangan bersarung yang tampak seperti sudah busuk.
"Ayo kita pergi," ajaknya. "Kita kan tak mau terlambat ke pesta ini."

Chapter 2
Dua Minggu Sebelumnya
KADANG Terry merasa ia mencoba melakukan terlalu banyak hal. Kadang ia tahu
memang itu yang terjadi. Minggu itu saja, selain harus melakukan tugas sekolah
rutin dan bekerja setelah jam sekolah, ia harus ikut sebuah proyek sains dan
memimpin rapat OSIS. Ia juga berjanji akan membantu adik perempuannya belajar
naik sepeda baru.
Karena begitu sibuk memikirkan proyeknya, ia harus dua kali memutar kombinasi
nomor locker sebelum bisa membukanya. Dan setelah berhasil, ia sadar sudah lama
berniat membersihkan locker itu.
Rasanya tak masuk akal begitu banyak sampah bisa muat di dalam tempat sekecil
itu. Dengan hati-hati Terry mulai menyibak tumpukan jaket, raket tenis, setengah
lusin bukti, dan peralatan proyek sainsnya.
"Pasti ada di sini," katanya pada diri sendiri. "Aku yakin."
"Apa yang ada di sini," tanya sebuah suara di belakangnya.
Terry berbalik, kaget, dan melihat Trisha McCormick berdiri di belakangnya.
Trisha seorang gadis berambut gelap keriting dan agak kelebihan berat. Ia juga
orang paling bersahabat dan antusias yang dikenal Terry.
"Hai, Trish," sapanya. "Kau bilang apa?"
"Kau sedang bicara dengan siapa?" tanya Trisha.
"Ehm... diriku sendiri," jawab Terry. "Aku seorang pendengar yang sangat baik."
"Maaf," ujar Trisha, cekikikan. "Aku tak bermaksud nguping."
"Aku sedang cari makan siangku," Terry menjelaskan. "Nah! Ini dia!"
Dengan penuh kemenangan ia menarik sebuah kantong kertas cokelat kusut dari
dalam tumpukan barangnya, sekaligus kesal melihat sebagian sisinya basah.
Setelah kembali menjejalkan isi locker ke dalam, ia membanting pintunya. Saat itu
selembar kertas melayang-layang ke atas lantai.
"Apa itu?" tanya Trisha.
"Aku tak tahu," jawab Terry. Ia memungut dan memeriksanya.
Itu sebuah amplop putih polos bertepi hitam. Di bagian depan, dalam tulisan
berukir, tercantum namanya: Terry Ryan.
"Tolong pegangkan makan siangku," katanya pada Trisha.
Dengan penuh rasa ingin tahu, ia membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat
selembar kartu putih tebal bergambarkan peti mati. Di bawah gambar peti tertulis,
"Khusus untuk-MU."
"Sebuah peti mati?" tukas Terry, mulai tertawa. "Apa iniiklan rumah duka?"
"Coba balik," kata Trisha.
Terry mengikuti sarannya. Sisi sebaliknya penuh tulisan.

"Hei," gumamnya.
"Itu undangan ke pesta Halloween di rumah Justine Cameron, ya kan?" tanya
Trisha.
"Ya," jawab Terry. "Kau kok tahu?"
"Aku juga dapat satu," kata Trisha. "Mungkin semua murid dapat. Tapi coba baca
isinya Benar-benar aneh."
"'Pesta Kostum Halloween Sepanjang Malam," Terry membaca. "Sepanjang
malam. Hei, asyik! Apanya yang aneh?"
"Teruskan," ujar Trisha.
"'Kejutan khusus," Terry membaca. "'Dansa, permainan.' Aku tak lihat apa yang..."
"Sudah baca di mana tempatnya?" tanya Trisha.
"'Istana Cameron, pukul delapan, Jumat malam, tiga puluh satu Oktober," Terry
membaca. "Jadi?"
"Jadi tempatnya di istana Cameron tua itu," kata Trisha. "Yang terletak di belakang
makam Fear Street."
"Yang benar! Bagaimana orang bisa mengadakan pesta di sana? Sudah bertahuntahun tak ada yang tinggal di sana," tukas Terry.
"Justine dan pamannya sekarang tinggal di sana," kata Trisha. "Mereka sedang
memperbaikinya. Aku tahu karena perusahaan ayahku yang memasang listriknya."
"Kan rumah itu katanya berhantu?" tanya Terry.
"Semua yang ada di Fear Street katanya berhantu," komentar Trisha. "Ini, ambil
makan siangmu yang sudah lumat."
"Trims," ujar Terry. Ketika berjalan bersama Trisha ke ruang makan, ia ingat
beberapa hal yang pernah didengarnya tentang Fear Street. Meskipun beberapa
rumah tuanya yang indah dihuni orang-orang yang sangat normal, rumah yang lain
dibiarkan kosong dan menurut kabar katanya dihuni roh jahat. Berbagai peristiwa
mengerikan telah terjadi di Fear Streetpembunuhan, hilangnya beberapa remaja
secara misterius. Tempat itu sepertinya sangat cocok untuk pesta Halloween.
"Menurutmu, mengapa Justine mengundang kita ke pestanya?" tanya Trisha pada
Terry di pintu kafetaria.
Terry mengangkat bahu. "Tak tahu," ujarnya. "Aku bahkan tak kenal dia. Aku
hanya tahu bagaimana rupanya."
Semua murid di sekolah mereka tahu bagaimana rupa gadis itu, pikir Terry. Ia
gadis paling rupawan di Sekolah Menengah Shadysidemungkin di seluruh kota.
Bahkan murid-murid wanita pun berkata begitu. Ia bertubuh tinggi ramping, dan
lebih menyerupai model daripada murid, dengan rambut pirang mengilat panjang
dan mata sehijau giok. Justine seorang murid pindahan, masih baru di Sekolah
Menengah Shadyside, dan sejauh ini, belum ada yang benar-benar mengenalnya
meskipun sebagian murid pria sudah mencoba.
Terry bermaksud bertanya lebih banyak tentang Justine kepada Trisha ketika ia

melihat Niki sedang duduk di sebuah meja dekat pintu. Ia permisi pada Trisha dan
langsung duduk di depan Niki supaya gadis itu bisa membaca bibirnya.
"Hai, Muka Lucu," ujarnya, menyapa gadis itu dengan panggilan kesayangannya.
"Hai, Terry," jawab Niki, memberinya sebuah senyum lebar.
Terry tiba-tiba merasa seperti orang paling penting di dunia. Niki selalu
membuatnya merasa begitu. Kini mereka sudah berpacaran selama enam bulan,
dan Terry masih tak bisa mempercayai nasib baiknya.
Niki bukan gadis tercantik di Shadyside, maupun terpandai, tapi ia sudah pasti
yang paling istimewa.
Ketika Niki memasuki ruangan, semua orang otomatis merasa lebih bahagia.
Ketika ia tersenyum, gigi putihnya yang rata berkilau dengan latar belakang kulit
mulus berwarna zaitun, seperti matahari terbit.
"Sibuk, ya?" tanya Niki.
"Tidak kok," jawab Terry. "Tapi lihat ini." Terry menyerahkan undangan itu.
"Aku juga dapat satu," tukas Niki.
"Mungkin semua murid dapat," komentar Terry.
"Kurasa tidak," sergah Niki. "Tak ada murid lain di unitku yang diundang. Dan
sahabat-sahabatku, Jade serta Deena, tak diundang."
"Aku ingin tahu mengapa dia mengundang kita," tukas Terry.
"Aku bahkan tak mengenalnya. Kau?"
"Tak terlalu akrab," Niki mengakui. "Dia anggota kelas senamku dan aku pernah
main basket dengannya. Tapi kami hampir tak pernah saling bicara."
Terry membuka kantong makan siangnya, melihat yang basah adalah sandwich
tomat dan meat loaf-nya, yang entah kenapa tergencet hancur. "Iih," gumamnya,
melihat bekalnya yang kini tampak menjijikkan itu.
"Ini, ambil separo punyaku," Niki menawarkan. Ia selalu bawa bekal yang sama
sandwich pisang dan selai kacang dilengkapi potongan wortel dan seledri.
"Tak usah," kata Terry. "Mungkin aku akan beli hot dog dari mesin makanan."
"Aku heran kau kok selalu makan junk food," kecam Niki. "Setidaknya makanlah
beberapa potong wortel."
Terry mengambil satu dan mulai mengunyah.
"Kostum apa yang akan kaupakai?" tanya Niki.
"Apa?"
"Untuk pesta Justine. Itu kan pesta kostun ingat?"
"Oh , aku tak tahu," jawab Terry. "Mungkin sebaiknya kita tak usah datang.
Temanmu tak ada yang diundang. Dan kita juga tak terlalu mengenal Justine..."
"Memangnya kenapa?" sergah Niki. "Aku suka pesta kostum. Lagi pula, aku
belum pernah menghadiri pesta di Fear Street."
"Pasti akan jadi pesta pertama yang berkesan," komentar Terry.
"Kalau begitu jadi, ya," tukas Niki. "Lagi pula, aku ingin lebih mengenal Justine."

"Bagaimana dia di kelas senam?" tanya Terry.


"Dia atlet terbaik di kelas," jawab Niki. "Kondisinya sangat bagus. Pernah
kutanyakan padanya, dan dia bilang dia berlatih angkat beban."
Terry bersiul pelan. "Wah!" gumamnya. "Tak heran dia sangat..."
Ia tak meneruskan komentarnya.
"Dia sangat apa?" tanya Niki. Matanya menyorot tajam.
"Sangatkau tahu," jawab Terry, menahan seringainya. Ia mengamati Niki, ingin
tahu apakah gadis itu benar-benar kesal atau hanya menggodanya.
"Sangatberisi?" usul Niki.
"Yah, benar," jawab Terry.
Tawa Niki meledak. "Dasar cowok!" sergahnya. "Aku ingin tahu siapa yang diajak
Justine sebagai pasangannya."
***
Sepanjang hari semua murid membicarakan Justine dan pestanya. Semua sudah
mendengar tentang hal itu, meskipun tak banyak yang diundang.
Sesaat sebelum bel jam pelajaran terakhir berbunyi, Lisa Blume menghentikan
Terry di koridor. Lisa adalah asisten editor koran sekolah, dan ia biasanya tahu apa
yang sedang terjadi. Sebenarnya ia tukang gosip, hanya saja ia menyebut dirinya
wartawan yang sedang menjalankan tugas.
"Kudengar kau diundang ke pesta Justine," katanya pada Terry. "Menurutmu,
kenapa dia mengundangmu? "
"Aku sama sekali tak tahu," jawab Terry. "Kan kau wartawanmungkin kau bisa
memberitahuku."
"Menurutku dia ingin mengenal lebih dekat murid-murid di sini," ujar Lisa. "Tapi
dia malu karena banyak beredar cerita menyeramkan tentang rumahnya."
"Apa maksudmu?"
"Masa kau tak tahu?" Lisa balas bertanya. "Penghuni terakhir istana Cameron itu
tewas dalam sebuah kecelakaan bertahun-tahun lalu. Menurut cerita, tak ada lagi
yang bisa tinggal di sana karena arwah mereka menghantui rumah itu."
"Cerita bagus. Kalau begitu, mengapa Justine tinggal di sana?" tanya Terry skeptis.
Lisa mengangkat bahu. "Menurut bibiku, Justine adalah sepupu jauh pemilik asli
rumah itu. Pamannya mewarisi rumah itu dan memutuskan untuk
memperbaikinya." "Kudengar dia tinggal di sana dengan pamannya. "
"Pria itu walinya," kata Lisa. "Kurasa orangtua Justine sudah meninggal atau
mungkin cerai. Orang bilang Justine dan pamannya telah hidup di berbagai tempat
di Amerika dan bahkan di Eropa."
Terry tahu keterangan Lisa biasanya benar, tapi ia tak melihat hubungan Justine
dengan dirinya dan Niki. Ia masih memikirkan hal itu di kelas biologi ketika Ricky

Schorr duduk di sebelahnya.


Ricky sangat suka mempermainkan orang, dan beberapa murid menganggapnya
anak paling brengsek di seluruh sekolah. Rambut hitam tebal Ricky seperti biasa
tak disisir, dan seperti biasa ia mengenakan T-shirt dekil yang murid lain takkan
mau pakai. Kali ini kausnya bernoda jus jeruk dan bertuliskan "Cium Aku, Aku
Orang Mars".
"Hai, Schorr," syuapa Terry.
"Yo, Terry," balas Ricicy. Ia meletakkan kantong kertas lusuh di atas meja lab
yang memisahkan mereka. "Kudengar kau dan Niki diundang ke pesta Justine."
"Benar," jawab Terry.
"Aku juga," kata Ricky.
"Masa? Yang benar?" Terry heran. Ia tak tahu mengapa Justine memilihnya dan
Niki, tapi lebih aneh lagi gadis itu juga mengundang Ricky dan Trisha. Mereka
bukan teman satu kelompok.
"Aku ingin tahu siapa lagi yang diundang," gumam Ricky. "Kau tahu?"
"Tidak," jawab Terry pendek. "Bagaimana kemajuan proyek biologimu?" ia
bertanya, sengaja mengganti topik.
"Sudah hampir selesai," jawab Ricky. "Ini aku bawa." Ia menunjuk kantong kertas
di antara mereka.
Terry memandang kantong itu dengan tatapan tak percaya.
Kantong itu bergerak-gerak dan mulai bergeser di atas meja lab.
"Sayang sekali," ujarnya, "kurasa proyek sainsmu mencoba melarikan diri."
Ricky membuka kantong itu. Seekor katak hijau kecil langsung meloncat keluar
dan mulai melompat-lompat di sepanjang meja. Terry menangkap dan
memegangnya dengan jijik. "Ini proyek biologimu, Schorr?" tanyanya."Seekor
katak?"
"Bukan hanya itu," bantah Ricky, membela diri. Ia memasukkan tangan ke dalam
kantong dan mengeluarkan sestoples air keruh. "Proyekku mengenai
metamorfosis," katanya. "Di dalamnya ada berudu."
Terry memperhatikan stoples itu dengan pandangan tak yakin.
"Maksudmu, berudu mati?" tanyanya. "Kelihatannya tak bergerak."
"Coba aku lihat," ujar Ricky. Ia mengambil stoples itu dan mengamatinya dengan
teliti, memutarnya ke kiri-kanan. Lalu ia mengguncangnya. "Rupanya aku
mestinya melubangi penutupnya," akhirnya ia berkata. "Yah sudah, inilah hidup,
ya kan? Hari ini hidup, besok sudah berlendir dan menjijikkan. Aku masih bisa
ambil lagi di kolam."
Terry mengulurkan katak di tangannya pada Ricky, dan temannya memasukkan
kembali binatang itu beserta stoples berudu ke dalam kantong kertas.
"Proyek hebat, Schorr," komentar Terry sinis.
"Sebut aku Mr. Sihir," ujar Ricky. "Jadi siapa lagi yang diundang ke pesta itu?"

tanyanya setelah beberapa saat.


"Aku tak tahu," jawab Terry. "Trisha McCormick. Aku tak tahu siapa lagi."
"Murphy Carter," jawab Ricky.
Murphy Carter adalah nama pertama dalam daftar undangan yang masuk akal bagi
Terry. Murphy adalah linebacker tim rugbi sekolah, dikenal sebagai setan pesta.
Tapi ia tak punya hubungan dengan para undangan lain.
Terry bermaksud bertanya lagi pada Ricky ketika Mr. Rothrock masuk, siap
membahas genetika, dan selama empat puluh menit berikut Terry sama sekali
melupakan pesta itu. Tapi seusai jam sekolah, saat berjalan di luar untuk menemui
Niki, ia melewati segerombol murid yang berkumpul di tangga depan. Lisa Blume
sedang berbicara dengan sekelompok kecil murid.
Niki menghampirinya di trotoar dan memegang sikunya.
"Hai, Terry," sapa Niki. "Bagaimana hari ini?"
"Aneh," jawab Terry jujur. "Kau sendiri?"
"Juga aneh. Aku merasa seperti selebriti karena mendapat undangan ke pesta
Justine."
"Kau mau pulang lewat mana?" tanya Terry.
"Kurasa lewatTunggu sebentar," kata Niki. "Lisa sedang membaca sebuah
daftar." Ia menyipitkan mata ke arah Lisa yang sedang bicara. Mungkin sebagai
kompensasi pendengarannya, penglihatan Niki sangat tajam, dan ia dapat membaca
bibir dari jauh.
"Dia sudah tahu siapa saja yang diundang ke pesta," ujarnya. "Ada sembilan
orang..."
"Hanya sembilan?" tanya Terry.
"Itu menurutnya. Kau dan aku, Trisha, Ricky Schorr, Murphy Carter, Angela
Martiner, Les Whittle, David Sommers, dandan Alex Beale."
"Alex? Oh, bagus," gumam Terry sinis. Selama bertahun-tahun ia dan Alex
berteman baik. Mereka besar bersama, main tenis bersama, bahkan berkencan
bersamasampai tahun lalu ketika Niki berhenti berkencan dengan Alex dan
mulai mengencani Terry. Alex tak bisa melupakan perasaannya pada Niki dan
kadang Terry bertanya-tanya apakah Niki sudah melupakan perasaannya terhadap
Alex.
"Daftar ini aneh," ujar Niki. "Tak ada yang merupakan teman satu kelompok,
kecuali mungkin Murphy dan David."
David seperti Murphy, anggota tim rugbi dan juga pebasket. Angela seorang gadis
berambut merah yang cantik dan ramping dengan reputasi binal, dan Les seorang
jenius sains yang penyendiri. Terry tak mengerti kenapa mereka semua diundang.
Tapi jika Alex Beale termasuk dalam daftar, Terry tiba-tiba bersyukur telah
diundang juga.
"Oh, lihat," ujar Niki. "Itu Justine. Mungkin dia akan menjelaskan mengapa

mengundang kita."
Justine berjalan cepat keluar dari pintu depan bangunan sekolah. Gerombolan
murid itu menghampirinya. Dengan enggan Terry mengikuti Niki menaiki tangga.
"Dari mana saja kau seharian?" seorang murid bertanya pada Niki.
"Aku konsultasi dengan dokter di Waynes-bridge," jawab Justine. "Aku hanya ikut
pelajaran terakhir."
"Ayo," kata Lisa. "Jelaskan daftar tamumu."
"Apa yang harus dijelaskan?" ujar Justine manis. "Aku hanya mengadakan pesta."
"Aku tahu!" tukas Murphy Carter. "Kalau kita melihat daftar itu, semua yang
diundang pasti jagoan atau pengecut, atau ceweknya seseorang. Betul kan,
Justine?"
"Maaf. Aku tak mengerti maksudmu," ujar Justine mengangkat bahu. "Aku hanya
mengundang beberapa orang yang ingin kukenal lebih dekat."
Ia mengenakan gaun wol putih dan dengan rambut pirangnya yang keputihan serta
mata hijaunya ia semakin mirip model.
"Aku suka gagasan Murphy," tukas David. "Jagoan dan pengecut."
"Jadi, apa pendapatmu, pengecut?" tanya Murphy ketika melihat Terry. "Kau
punya nyali pergi ke pestadan menghadirinya sepanjang malam?"
"Kuharap kalian semua datang ke pesta," kata Justine. Ia mengarahkan senyumnya
yang menyilaukan pada Murphy. "Apa kau bisa kuandalkan, Murphy?" tanyanya.
"Ehtentu," jawab Murphy, tiba-tiba tampak dungu.
"Kau juga bisa mengandalkanku," tukas David.
"Syukurlah," komentar Justine. "Nah, kalian berdua harus janji akan berdansa
denganku. Aku punya sound system yang benar-benar keren, aku beli banyak CD
disko yang benar-benar enak."
Justine sengaja mengiming-iming mereka, dan Terry melihat Murphy serta David
termakan.
"Hei, aku ingin dansa denganmu," tukas Bobby McCorey, yang tiba-tiba muncul
dengan sobatnya, Marty Danforth. Bobby anggota tim rugbi universitas, tapi
sifatnya buruk dan kebanyakan murid lain tak mau bergaul dengannya. Ia dan
Marty merupakan pengganggu bertubuh paling besar di sekolah mereka.
"Yah, aku juga ingin berdansa denganmu, Bobby," jawab Justine, suaranya tibatiba terdengar sinis. "Mengapa kau tak ikut aerobik di kelasku?"
Murid-murid lain tertawa, dan Bobby membeliak ke arah mereka sebelum kembali
menatap Justine. "Mengapa aku tak datang saja ke pestamu?" ujarnya. "Kau
mungkin hanya lupa memberiku undangan, ya kan?"
"Tidak," jawab Justine, kembali tersenyum "Aku tak lupa."
"Yah, kau sebaiknya mengubah keputusanmu," sergah Bobby mengernyit marah.
"Aku dan Marty tidak suka kalau tak dilibatkan."
"Aku menyesal kalian merasa begitu," kata Justine. "Tapi ini pesta kecil-kecilan,

dan kalian tak diundang.


"Kita lihat nanti!" tukas Bobby mengancam. "Ayo, Marty," tambahnya. "Ayo
tinggalkan orang-orang tolol ini, mari kita bersenang-senang,"
Ia dan Marty berjalan pergi, lalu melompat ke atas sepeda motor mereka serta
menderum pergi. Terry merasa mereka belum menyerah, tapi Justine tampak sama
sekali tak peduli.
"Hei, Justinebagaimana dengan pacar?" tanya Murphy. "Aku boleh bawa
pacarku, kan?"
"Ini bukan pesta untuk pasangan," jawab Justine. "Ini sama sekali bukan pesta
semacam itu."
"Tapi Monica dan aku sudah dua tahun pacaran," bantah Murphy.
"Kalau begitu, aku yakin dia takkan keberatan membiarkanmu sendirian semalam
saja," komentar Justine.
Terry dan Niki bermaksud pergi ketika pintu depan bangunan sekolah mengayun
terbuka dengan suara dentam keras. Alex Beale berjalan angkuh menuruni tangga.
Sosoknya yang besar berotot seolah memakan tempat dalam radius enam puluh
senti di sekitarnya. Terry harus mengakui Alex tampan, dengan rambut pirang
pendek, senyum percaya diri, mata gelap ceria. Begitu sampai di dekat Justine,
pemuda itu mengedipkan sebelah mata.
"Sudah terima undanganmu," ujarnya.
"Bagus," jawab Justine. "Kuharap aku bisa mengandalkanmu."
"Oh, kau bisa mengandalkanku," ujar Alex. "Satu, dua, tiga, empat, lima..."
Sesudah lima apa, Alex? pikir Terry. Kalau melihat Alex, Terry kini selalu merasa
tak enak dan sinis.
"Aku tahu bisa mengandalkanmu, Alex," kata Justine, kembali tersenyum. Ia
menoleh dan melambai pada anak-anak yang masih berada di sana. "Sampai
jumpa," katanya, dan berjalan menuju halaman parkir.
Terry Memegang tangan Niki dan menariknya pelan. Tapi sebelum mereka bisa
menuruni tangga, suara Murphy Carter membelah kebisingan. "Hei, Terry,"
panggilnya. "Pengecut. Mau ke mana buru-buru?"
"Kami mau pulang," jawab Terry. "Kaukira mau apa?"
"Oke," komentar Murphy. "Tapi kau belum menjawab pertanyaanku." Dengan
cepat ia menjelaskan pada Alex tentang kemungkinan yang diundang adalah
pengecut atau jagoan. "Jadi, aku bertanya pada Terry apakah dia punya nyali untuk
datang dan ikut pesta semalaman."
"Pertanyaan bagus," komentar Alex, tertawa. "Kau mau?"
"Oh, wah. Rumah hantu," jawab Terry. "Aku gemetar."
Alex berusaha semirip mungkin menirukan suara Count Dracula dan bertanya,
"Meski di Fear Street?"
"Cuma jalannya saja yang berbeda, menurutku," ujar Murphy. "Semua omong

kosong tentang ulah setan yang terjadi di sana hanya takhayul."


"Aku tak terlalu yakin," komentar Alex serius.
"Sekarang siapa yang pengecut?" tukas Murphy, agak bingung. "Hei, Alex, kau
memihak siapa?"
"Diamlah, Murphy," ujar Alex, memutar bola matanya.
"Halloween di Fear Street? Aku siap." Ia kembali menghadap Terry, di wajahnya
terbersit sebuah senyum aneh. "Bagaimana, Terry? Menurutmu kalian para
pengecut berani tinggal semalaman di sebuah rumah hantu?"
"Aku tak punya masalah dengan hal itu," jawab Terry. "Tapi apa kau yakin ibumu
akan mengizinkanmu keluar semalaman?"
Alex mengabaikan ejekan Terry dan memanggil Ricky Schorr, yang sedang
berjalan ke halaman parkir, membawa kantong kertas berisi proyek biologinya
yang sudah mati. "Hei, Schorr!" teriaknya.
"Bagaimana dengan kau? Kau akan bergabung dengan tim Terry dan datang ke
pesta?"
"Aku pasti muncul," jawab Ricky. "Dan aku bukan pengecut."
Alex, David, dan Murphy tertawa.
"Hebat!" komentar Murphy.
"Dia bukan pengecut!"
"Dia tak punya nyali menjadi pengecut!" teriak David.
Ketiga remaja itu mulai tertawa lagi, saling bertepuk high-five.
"Jadi, siapa lagi yang masuk timmu, Terry?" tanya Alex. "Les Whittle, mungkin
dan Trisha? Kaupikir mereka berani datang?"
"Tanya sendiri," jawab Terry. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Sorot mata Niki tampak khawatir, lalu ia menoleh kepada para jagoan itu. "Ayolah,
guys," katanya. "Ini bukan kontesini pesta. Mengapa kita semua tak..."
"Maaf, Niki," potong Murphy. "Mungkin awalnya pesta, tapi sekarang kontes.
Kami melawan mereka. Para jagoanmelawan para pengecut."
Terry sesaat berdiri di sana, kehilangan akal. Alex selalu mencoba menonjolkan
diri. Mengapa ia tak bisa menerima kenyataan bahwa Niki sekarang pacarnya?
"Cari orang lain yang mau melakukan permainanmu," akhirnya ia berkata. "Ayo,
Niki."
"Dengan kata lain," tukas Alex, "kau terlalu pengecut untuk datang ke pesta. Kalau
begitu, Niki, mungkin kau sebaiknya bergabung dengan tim kami. Sepertinya
Terry tak yakin bisa melindungimu."
"Aku bisa mengurusi Nikijelas lebih baik daripadamu!" teriak Terry, naik darah
dan langsung merasa malu.
"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!" teriak Niki pada keduanya. "Aku bisa
mengurusi diriku sendiri! Dan ketahuilah, aku tak termasuk tim tolol mana pun! Itu
gagasan terbodoh yang pernah kudengar!"

"Oh ya?" tanya Alex, tampak tersinggung. "Mungkin kau harus mentikirkannya
lagi." Ia melangkah maju, wajahnya tiba-tiba merah marah.
"Tenanglah, Alex, " tukas Terry. "Tak ada yang bermaksud apa-apa. Ini cuma
pesta, ya kan?"
"Sekarang bukan sekadar pesta lagi, gerutu Alex. "Dan kau juga tahu." Ia berbalik
dan cepat berjalan ke arah halaman parkir.
Gerombolan murid itu mulai berpencar.
"YoKapten Pengecut," Ricky dengan ceria memanggil dari seberang halaman
parkir. "Kita akan mengalahkan mereka, heh, dude?"
"Mereka tak mungkin menang!" Terry balas berteriak, tiba-tiba terlibat dalam
kompetisi itu tanpa menyadarinya. "Akan kita tunjukkan siapa pengecut
sebenarnya. Bukan kita."
Ia mulai meraih tangan Niki, tapi menghentikan gerakannya dengan terkejut. Gadis
itu masih berdiri dan menengadah menatapnya, wajahnya penuh penderitaan.
"Hei, Muka Lucu," panggil Terry. "Ada apa?"
"Kontes tolol ini," jawab Niki, mengernyit. "Mengapa kaubiarkan mereka
memaksamu melakukannya?"
"Tak ada yang memaksaku melakukan apa-apa," komentar Terry. "Lagi pula, ini
tak perlu dikhawatirkan. Ini cuma permainan tolol."
"Bagimu, mungkin," ujar Niki. "Tapi tidak bagi Alex. Apa kau tak melihat
wajahnya? Dia serius! Sangat serius."

Chapter 3
ORANGTUA Terry langsung mengizinkannya pergi ke pesta sepanjang malam itu,
tapi hanya karena ada paman Justine yang akan mengawasi.
Orangtua Niki lebih sulit diyakinkan, tapi ketika Niki memperlihatkan kostum
yang telah ia buat selama berjam-jam, mereka akhirnya menyerah.
Sementara itu, Terry, Ricky, Les, dan Trishtim "pengecut"sedang merancang
tipuan yang akan mereka mainkan pada tim jagoan.
Terry hanya separo hati melakukannya, karena ia tahu kompetisi itu sebenarnya
antara Alex dan ia.
Niki sama sekali tak mau terlibat dengan kompetisi atau permainan apa pun. Tapi

ia sangat menantikan pesta itu.


Sementara itu, setiap hari di sekolah terasa seperti Hari Aprilmop. Pada awalnya
hanya permainan tak berbahaya.
Suatu pagi, tim jagoan "mengerjai" Ricky Schorr dengan sebuah ular plastik
raksasa yang meloncat keluar locker-nya.
Lalu Les membalas dendam dengan menyelinap masuk ke dalam ruang locker dan
mengisi sepatu basket Alex serta Murphy dengan krim cukur.
Sehari sesudahnya, Trisha menerima telepon dari seseorang yang mengatakan ia
telah memenangkan 500 kilo ikan mati di kontes pengecut.
Tapi kemudian permainan itu berubah jahat.
Dua hari sebelum Halloween, Terry membuka locker dan mengulurkan tangan
mengambil raket tenis tanpa melihat lagi.
"Ohhh."
Tangannya menyentuh sesuatu.
Terasa lengket dan dingin. Seperti kulit mayat.
Terry menjatuhkan raketnya dengan jijik. Ia melangkah mundur, lalu memaksa diri
menatap raketnya.
Menggantung di seutas tali, sebuah kepala ayam gundul menatapnya dari balik
mata yang tak bernyawa.
"Iih, jijik."
Ia memungut raketnya dan membuka gulungan kertas di gagangnya: "Ini untuk
kostummu, pengecut. Kau akan melihat yang lebih burukkecuali kau
mengundurkan diri dan melupakan pesta ini."
"Dewasa sekali, Alex," ujar Terry ke koridor yang kosong.
Ia mengangkat bahu, lalu melemparkan kepala ayam dan pesan itu ke keranjang
sampah terdekat.
Mengapa ia dan Alex bisa bermusuhan begini? ia bertanya-tanya.
Ia masih ingat tahun-tahun saat mereka besar bersama, ketika keluarga Alex
tinggal di ujung jalan. Waktu itu mereka bersahabat. Hampir tak terpisahkan.
Kini mereka tak bisa bersama selama lima menit tanpa terjerumus ke dalam
kompetisi konyol.
Konyol, sangat konyol.
Tapi meskipun tahu kompetisi itu konyol,, Terry tetap tak mau kalah dari Alex.
Tidak sekarang. Tidak selamanya.
Hari Kamis sebelum pesta, Terry sedang bergegas ke perpustakaan sekolah untuk
mengerjakan proyek biologinya saat jam belajar. Ia telah memilih perkecambahan
bibit sebagai topik proyeknya karena hal itu terasa sangat menarik. Memang hal itu
menarik, tapi juga jauh lebih kompleks daripada yang pernah ia bayangkan.
Ia telah mencoba mengecambahkan beberapa bibit dan menyimpannya pada
berbagai tahap pertumbuhan yang berbeda, tapi tak ada yang bertunas. Kini

sebagai gantinya ia harus membuat ilustrasi.


Ia berbelok di sudut menjelang perpustakaan dan tiba-tiba langkahnya terhenti. Di
ujung koridor ada sekelompok kecil murid, termasuk Murphy, David, Alexdan
Niki. Gadis itu mengenakan sweter merah cerah dan rok wol kotak-kotak, dan
tampak sangat cantik hingga Terry hanya ingin mendekati dan memeluknya. Tapi
Niki sedang tersenyum dan berbicara pada Alex.
Alex-lah yang pertama melihat Terry. Ia tak mengatakan apa pun. Ia hanya
menatap Terry seolah pemuda itu seekor kutu atau bentuk kehidupan rendah lain.
Dan kemudian ia sengaja kembali memusatkan perhatian pada Niki. Ia
membungkuk dan mengatakan sesuatu pada gadis itu, sangat dekat ke wajahnya.
Niki cepat-cepat menggeleng, tampak kesal, dan para jagoan itu tertawa serta
melangkah pergi dengan angkuh.
Terry memaksa diri bersikap seolah ia tak melihat apa-apa. "Hai, Muka Lucu,"
sapanya.
"Hai, Terry," jawab Niki. Ia tersenyum, tapi tak penuh. Ia tampak khawatir, seolah
ada sesuatu di benaknya.
"Tadi itu apa?" Terry bertanya sambil lalu.
"Apa yang mana?"
"Dengan Murphy dan Alex. Kalian sedang membicarakan apa?"
Sesaat Niki tak menjawab, lalu ia melemparkan Tatapan pada Terry, tatapan yang
berarti Terry menginjak daerah berbahaya.
"Memangnya aku tak boleh bicara dengan mereka?" tanya gadis itu, terdengar
membela diri.
"Yah, hanya sajamereka anggota tim lawan," ujar Terry. Lalu mencoba melucu,
ia menambahkan, "Kan ini perang!"
Tapi Niki tak menganggapnya lucu.
"Ketahuilah," katanya, "tak ada hal semacam itu. Dan aku bukan anggota tim mana
pun. Atau kau sudah lupa?"
"Aku ingat, tapiyah, kau akan pergi ke pesta bersamaku, jadi..."
"Aku akan pergi ke pesta bersamamu," potong Niki. "Tapi aku akan bicara kepada
siapa pun yang kuinginkan."
Terry tahu gadis itu benar. "Maafkan aku," katanya. "Aku tak bermaksud
menekanmu. Hanya saja kau terlihat agak khawatir."
"Benar, aku memang khawatir," jawab Niki. "Gagasan pesta ini semakin tampak
aneh."
"Apa maksudmu?"
"Yah, kontes konyol ini. Justine juga sangat terlibat. Dan aku masih tak mengerti
mengapa dia mengundang kita. Murid-murid yang diundang saling tak cocok."
"Aku tahu," komentar Terry. "Tapi memangnya kenapa?"
"Dan mengapa dia bilang tak ada yang boleh bawa pacar?" Niki meneruskan.

"Itu bukan masalah bagi kita," ujar Terry. "Maksudmu, kau tak mau pergi?"
"Bukan," jawab Niki. "Tapi, Terry, hati-hati. Tadi pagi Angela berkata tim jagoan
sedang merancang beberapa tipuan untuk pesta itu, yang bisa sangat berbahaya."
"Apa misalnya?"
"Aku tak tahu. Itulah yang tadi sedang kutanyakan pada Alex."
"Apa katanya?"
"Dia tak mau mengatakannya. Dia hanya berkata aku sebaiknya bergabung dengan
timnya," jawab Niki, kini bahkan semakin kesal. "Dia bilang mungkin tak aman
bagiku pergi bersama tim pengecut!"
Terry menarik napas dalam-dalam dan menahannya.
"Kau bilang apa?" sesaat kemudian ia bertanya. Ia benci pada dirinya sendiri
karena menanyakannya, tapi ia harus tahu.
"Oh, aku bilang dia benar dan aku memutuskan untuk pergi dengan tim jagoan
kau kira aku bilang apa?"
Nada sinis dalam suaranya seberat semen dan Terry merasa tak enak. "Niki, aku
menyesal. Aku tak bermaksud..."
Apa gunanya menyesal?" tanya gadis itu. "Aku heran melihat tingkahmu dan
Alex. Kalian berdua menanggapi hal ini dengan serius! Mengapa kau tak bisa
bersikap santai dan menanggapinya sebagai pesta biasa?"
"Hei, bukan aku yang terlalu serius menanggapinya," bantah Terry. "Alex yang
memainkan semua tipuan itu. Dia yang mengancammu, mencoba mengacau
hubungan kita..."
"Coba dengar perkataanmu itu!" sergah Niki, matanya yang berwarna gelap tibatiba berpendar marah. "Mengapa kau tak mengaku saja, bahwa kau sama
cemburunya dengan Alex! Itulah sebenarnya alasan kompetisi konyol ini!"
Niki berbalik marah dan berjalan menyusuri koridor.
Terry bermaksud mengejarnya, tapi mengurungkan niat. Tak akan berguna. Kalau
marah seperti itu, Niki pasti butuh waktu untuk menenangkan diri.
Terry seorang diri di perpustakaan saat jam belajar, tapi baginya sama saja seperti
berada di tengah keramaian stasiun kereta api. Ia terpaku menatap foto-foto benih,
tapi yang terlihat olehnya hanya wajah Alex Beale.
Apa pun rencana Alex, pikir Terry, ia takkan membiarkannya begitu saja. Dan
Terry tak mau ditakut-takuti oleh isu tipuan "berbahaya". Ini hanya pesta
Halloween. Sudah pasti akan terjadi hal-hal menakutkan pada perayaan Halloween.
Tapi seperti apa pun berusaha mengecilkannya, Terry tak bisa mengabaikan
sepercik firasat buruk di hatinya.
***
Terry sedang meninggalkan perpustakaa menuju kelas berikutnya ketika

mendengar suara-suara marah di luar pintu pelayanan kafeteria. Ia bermaksud jalan


terus ketika mendengar pekikan pelan dan suara ketakutan seorang gadis,
"Berhenti! Kau menyakitiku!"
Dengan jantung berdebar kencang, Terry menarik daun pintu lebar-lebar. Di lobi
pelayanan tampak Bobby McCorey dan Marty Danfort. Di antara mereka berdiri
Justine, dengan wajah pucat dan mimik takut.
"Tak bisa!" ujar Justine. "Kau tak mengerti? Pesta itu sudah dirancang..."
"Nah, kau sebaiknya merancang ulang pesta itu," tukas Bobby, terdengar sangat
sok.
Justine mencoba melepaskan diri, tapi Bobby memegang pergelangan tangannya.
"Seperti yang sudah kami katakan padamu, Justine," ujarnya. "Kami tak menerima
jawaban tidak."
Terry berjalan menghampiri mereka tanpa berpikir lagi.
"Baiklah, kalian berdua," katanya. "lepaskan dia."
"Oh ya?" kata Bobby. "Siapa yang menyuruh?"
"Aku," ujar Terry. "Ayo."
"Kau tak membuatku takut," jawab Bobby. Tapi ia melepaskan pergelangan tangan
Justine.
"Ayo, Bobby," ajak Marty. "Kita bisa menyelesaiikan masalah ini nanti."
' "Dan jangan kaupikir kami akan melupakannya," tambah Bobby. Ia mulai
melangkah ke arah pintu, tapi tiba-tiba berhenti dan berbalik membeliak pada
Justine. "Kau punya waktu sampai besok malam untuk mengubah keputusanmu,"
katanya pada gadis itu.
"Lupakan," jawab Justine. "Kalian tak diundang."
"Kita lihat nanti," ejek Marty. "Dan kau, pengecut," tambahnya, menunjuk pada
Terry, "kalau tak menyingkir dari depanku, kau takkan memerlukan topeng
Halloween."
Dengan langkah dibuat-buat, kedua pengganggu itu menghilang ke koridor.
Sesaat Justine menatap mereka. "Baik sekali mereka," komentarnya.
"Mereka menganggap diri mereka jahat," ujar Terry. "Padahal sebenarnya mereka
mungkin dua pengecut bertubuh paling besar di Shadyside."
"Yah, menurutku yang kaulakukan sangat berani," komentar Justine, melemparkan
senyum brilian yang agak berkesan akrab. "Terima kasih."
Terry melihat rambut pirangnya yang mengilat dikepang ke belakang, dan gadis itu
mengenakan sweter hijau limau yang membuat matanya semakin tampak hijau.
"Hei, dengar, jangan khawatirkan kedua pemuda itu," kata Terry. Lalu tiba-tiba ia
menyadari apa yang telah ia lakukan. Ia telah melawan dua pemuda paling kejam
di Shadyside.
Aku tadi bisa mati! pikirnya. Apa aku gila?
"Kau mengagumkan," kata Justine. "Suatu hari aku ingin menunjukkan sedalam

apa rasa terima kasihku." Ia terus tersenyum, lalu melanjutkan. "Aku juga ingin
minta maaf padamu," tambahnya, suaranya yang mendayu-dayu bernada rendah
dan akrab.
"Minta maaf?" ulang Terry, heran. "Untuk apa?"
Justine tampak malu. "Akuaku tahu undangan pestaku telah menimbulkan
beberapa masalah. Jadinya sekarang ada semacam kontes."
"Yah, memang," ujar Terry. "Tapi itu bukan salahmu."
"Terima kasih," kata Justine. "Aku tak pernah bermaksud membuat kalian
bermusuhan dengan pesta ini. Aku hanya ingin mengundang beberapa orang
istimewa supaya aku bisa lebih mengenal kalian semua."
Sesaat ia menyentuh lengan Terry dengan ujung jarinya. Pemuda itu merasa aliran
listrik merambat di lengannya, kemudian di sekujur tubuhnya.
"Yah... eh... hei, maksudku... Kami juga, eh... kami semua juga ingin lebih
mengenalmu," gumamnya terbata-bata.
"Maksudku," lanjut Justine, "tak perlu ada kontes. Aku sudah merencanakan
banyak kejutan tanpanya. Gagasan ini rasanya benar-benar konyol."
"Niki juga bilang begitu," komentar Terry. "Niki, pacarku," ia cepat-cepat
menambahkan. "Ia bahkan sama sekali tak mau terlibat dalam kontes itu."
"Bagus," Justine menanggapi. "Kau tahu, dia temanku di kelas senam. Apa benar
dia tuli? Aku diberitahu begitu, tapi rasanya sulit dipercaya."
"Benar," jawab Terry. "Tapi kebanyakan orang tak tahu."
"Aku sangat senang dia juga akan menghadiri pesta ini," kata Justine. "Aku tak
punya teman cewek di Shadyside, dan bagiku Niki sangat istimewa."
"Akan kusampaikan padanya," ujar Terry. Ia pergi dengan perasaan hangat. Pesta
ini pasti akan sangat istimewa, pikirnya. Dan tak seorang punbahkan Alex
akan merusak suasana hatinya dan Niki.
***
Niki sedang menunggu di locker Terry ketika jam sekolah selesai. Ketika melihat
pemuda itu berjalan mendekat, Niki tersenyum malu-malu. "Hai, Terry," sapanya.
"Hai, Muka Lucu."
"Maafkan aku marah-marah kepadamu," ujar gadis itu.
"Tak apa," jawab Terry. "Aku juga minta maaf. Kau benar. Aku terlalu
menganggap serius kontes itu. Aku berjanji mulai sekarang akan melupakannya
dan santai."
"Bagus," komentar Niki.
Terry tersenyum padanya. Ia senang melihat Niki kembali bahagia. Dan ia juga
merasa lebih santai daripada seminggu kemarin.
"Jadi, kita pulang lewat mana?" tanyanya. "Jalan yang panjang, atau jalan

tembus?"
"Kurasa yang panjang lebih enak, ya kan?" jawab Niki, meremas tangan Terry.
"Tentu dong," kata Terry. Jalan yang panjang memberi mereka sepuluh menit
ekstra untuk berduaan saja.
Terry memasukkan perlengkapannya ke dalam ransel. "Sini, kubawakan bukumu,"
katanya pada Niki.
Niki menyerahkan tumpukan bukunya pada pemuda itu, tapi ketika sedang
melakukannya, buku geografinya jatuh ke lantai dan secarik kecil kertas melayanglayang keluar. Sambil lalu dipungutnya kertas itu dan dibacanya, lalu ia mendesah
kaget.
"Ada apa?" Terry mengambil kertas itu dari tangannya. Tertulis dalam huruf-huruf
balok:
KAU AKAN INGIN BUTA JUGA.

Chapter 14
Es.
Es, pikir Terry.
Ia merasa tubuhnya membeku di tempat, seluruhnya dingin. Ia merasa seolah
sudah jadi es. Dan kemudian ia merasa panas, panas karena amarah.
"Kok ada yang tega melakukan hal sekejam ini!" sergah Terry akhirnya.
Niki tak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, jelas sangat kesal.
"Hanya ada satu orang yang tega melakukan hal ini," komentar Terry. "Dan kau
juga tahu siapa dia."
"Jangan cari gara-gara, Terry, kumohon," ujar Niki.
"Aku tak cari gara-gara, tapi aku siap menyelesaikan masalah ini!" sergah Terry
panas. "Alex dalang semua ini. Pasti dia."
"Terry, tidak, kumohon jangan!" Niki mencengkeramlengannya. "Bukan Alex
pelakunya. Dia menyukaiku. Kau salah. Kau tak berpikir jernih."
"Dengar, Niki, aku tahu..."
"Kau tak tahu siapa pelakunya. Kalau kau mengatakan sesuatu pada Alex, keadaan
akan semakin buruk!"
"Memang, tapi aku tak bisa hanya..."

"Kumohon," ulang Niki. "Kita lupakan saja."


"Lupakan?" Terry kaget Niki bisa mengusulkan hal semacam itu.
"Ini... ini hanya sebuah lelucon," ujar Niki. "Memang kejam, dan konyol, tapi
hanya itu. Kalau kita bersikap seolah hal ini tak pernah terjadi, siapa pun
pelakunya takkan mendapat kepuasan."
Terry dapat melihat kebenaran pendapat Niki, tapi ia tak menyukainya. "Jadi, kita
tak perlu membicarakannya?"
"Benar," jawab Niki. "Dan jangan tampak kesal."
"Wah, aku harus mengerahkan semua kemampuan aktingku," komentar Terry.
"Kumohon, Terry, demi aku," Niki kembali memohon.
Terry menunduk menatapnya dan merasa hatinya mencair. Pada saat-saat seperti
ini, ia tahu Niki adalah orang paling penting dalam hidupnya, dan ia akan
melakukan apa saja untuk gadis itu. "Oke. Muka Lucu," katanya. "Demi kau."
Niki berdiri berjinjit dan mencium pipi Terry. "Trims."
"Bahkan," lanjut Terry, "aku punya gagasan. Ayo kita pulang lewat Pete's Pizza.
Kita bisa mempraktekkan akting kita sambil minum Coke."
Niki kembali tersenyum, senyum penuh cinta yang tulus.
"Setuju," ujarnya.
Pete's Pizza merupakan salah satu tempat mangkal remaja yang paling terkenal,
dan hari itu penuh sesak, baik oleh murid-murid Shadyside maupun murid kolese
yunior di dekat tempat itu.
Terry dan Niki beruntung bisa mendapat meja kosong. Sambil menunggu pesanan
mereka diantar, Terry mulai menceritakan pada Niki tentang proyek biologinya. Di
sana sangat bising sehingga Terry hampir tak bisa mendengar suara Niki, tapi gadis
itu mengerti semua perkataannya. Ia baru sampai ke bagian di mana bibit
membelah jadi dua ketika Niki memotong penjelasannya.
"Terry, lihat," katanya, menunjuk.
Terry memandang ke arah yang ditunjuk Niki, dan melihat Justine sedang berdiri
di sebuah bilik telepon dengan mimik serius.
"Mungkin kita sebaiknya mengajak dia bergabung," kata Terry. "Dia bilang
padaku ingin mengenalmu lebih dekat."
"Oke," ujar Niki. "Kita akan mengamatinya dan..." Ia berhenti berbicara dan
wajahnya diselimuti mimik aneh.
Terry memegang tangannya. "Ada apa, Niki? Niki, ada apa?"
"Mungkin bukan apa-apa," jawab Niki. "Tapi... lihat Justine."
Terry kembali memandang ke arah bilik telepon. Justine masih berbicara di
telepon, dengan mimik tegang yang aneh. Seolah ia telah berubah menjadi orang
lain yang lebih tua dan kejam.
"Aku tak bermaksud menguping," kata Niki. "Tapi... aku membaca bibirnya. Dan
ia bilang, 'Mereka akan membayar. Semua akan membayar.'"

Chapter 5
MALAM HALLOWEEN
ANGIN berembus semakin kencang, menderu-deru di makam tua itu,
mengguncang ranting-ranting gundul seperti tulang jemari kerangka.
Niki meremas tangan Terry ketika mereka mendekati istana Cameron. Mereka
mengikuti Murphy, yang masih terkekeh-kekeh geli karena berhasil menakutnakuti mereka.
Tiba-tiba Niki berbalik. Dua remaja lain sedang berjalan di antara nisan, kostum
mereka berkilauan dalam sinar rembulan bulan Oktober yang keperakan.
Semua sudah diberi petunjuk melewati jalan yang sama. Mereka harus memarkir
mobil di jalan buntu di ujung Fear Street, dan memotong jalan lewat makam ini
menuju rumah Justine di ujung hutan.
Meskipun tadi ia dan Niki sempat ketakutan termakan tipuan Murphy, Terry
memutuskan berjalan menembus makam merupakan gagasan brilian. Cara apa
yang lebih hebat untuk membuat semua orang diselimuti suasana seram
menakutkan khas Halloween?
Dari dekat, istana Cameron tampak lebih menyeramkan daripada dari makam.
Bangunan itu dikitari pada kedua sisinya oleh pepohonan gundul yang tampak
seolah sudah berumur ratusan tahun.
Jendela-jendela lantai dasar dilapisi jeruji besi tebal, dan di sampingnya terdapat
kerai kayu rongsokan yang terempas-empas angin.
Meski sedang diperbaiki, pikir Terry, rumah tua ini tetap tampak seperti rumahrumah di film horor. Mungkin rumah ini benar-benar berhantu. Tepat saat itu
lolongan angin berhenti, dan ia bisa mendengar suara musik serta tawa dari dalam.
Kedengarannya pesta sudah dimulai.
Murphy sedang menaiki tangga depan beranda, kostum zombienya berkibar-kibar
di sekitar tubuhnya diterpa angin.
Terry melirik Niki dan meremas tangannya, menenangkan gadis itu.
Niki mengenakan kostum peramal karnaval kunogaun pesta dansa dari satin
merah dan jubah bertudung hitam yang melambai-lambai. Ia meniru modelnya dari
sebuah buku kostum pesta tua. Ia tampak cantik jelita. Sambil tersenyum lebar

pada Terry, Niki memasang topeng matanya yang hitam mengilat dan berbulu.
Terry dengan cepat mengenakan topengnya sendiri. Ibunya telah menolong
mendandaninya sebagai pemuda Latin zaman tahun 1950-an. Ia mengenakan
celana chino hitam dan sepatu saddle tua milik ayahnya yang ia temukan di gudang
loteng. Ia telah menggulung satu pak rokok di sebelah dalam lengan T-shirt
putihnya yang ketat dan mengenakan jaket gelap longgar di luarnya. Kedua sisi
rambutnya disisir licin ke belakang dan diberi Vaseline serta berjambul di depan.
Saat keluar dari rumahnya tadi, ia merasa tampangnya cukup keren, tapi kini ia
bertanya-tanya apakah ia hanya tampak konyol. Seperti seorang pengecut.
Seolah membaca pikirannya, Niki mengulurkan tangan ke atas dan mencium
pipinya.
"Kau tampak hebat, Terry," ujarnya.
Terry tersenyum padanya. "Kau juga, Muka Lucu."
Ia menggeser topengnya ke atas dan membungkuk untuk mencium Niki.
Gadis itu membalas ciumannya, dan sesaat mereka hanya berdiri di sana,
berangkulan dengan canggung karena terhalang kostum mereka, dan berciuman.
"Eh. Terry," kata Niki sesaat kemudian. "Bagaimana pestanya?"
"Pesta apa?" tanya Terry. Tapi ia menarik tubuhnya dan kembali tersenyum pada
Niki. Kemudian, bergandengan tangan, mereka menaiki tangga ke beranda yang
penuh sulur tanaman.
Murphy pasti sudah masuk ke dalam, karena beranda itu kosong.
Di tengah daun pintu kayu yang sudah tua terpasang sebuah pengetuk pintu berukir
berbentuk tengkorak kepala. Terry sedang mengulurkan tangan untuk menariknya,
ketika tiba-tiba seekor labah-labah berbulu raksasa menukik di udara dan mendarat
di atas lengannya.
"Tidak!"
Niki berteriak dan Terry meloncat mundur, jantungnya berdebar kencang.
"Kena lagi!"
Terry berbalik dan melihat Murphy berdiri di atas pagar samping beranda,
tersembunyi di balik sulur tanaman. Sambil terkekeh-kekeh gila, Murphy meloncat
turun ke lantai beranda.
Serangga karet raksasa itu tergantung di ujung sebuah tongkat panjang dan karet
gelang yang dinaik-turunkannya seperti yoyo.
Murphy tertawa. "Kalian berdua gampang sekali ditakut-takuti. Kalau semua
pengecut sepengecut kalian, tim jagoan akan memenangkan kontes ini dengan
mudah."
"Lucu sekali, Murph," ujar Terry.
Ia menarik napas dalam dan kemudian tertawa. Sambil memperbaiki topengnya, ia
kembali mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Terdengar bunyi derit, dan
daun pintu perlahan membuka.

***
Ruang tamu Justine tampak menyeramkan, menimbulkan rasa ingin tahu,
khayalanatau mimpi burukHalloween terhebat. Jaring labah-labah palsu
bergantungan di tiap sudut, dan gambar tengkorak, tukang sihir, serta kelelawar
menjuntai dan berayun-ayun di langit-langit.
Di sepanjang balkon sempit di atas satu sisi ruang tamu terdapat lampu sorot
berwarna yang seolah menyoroti ruangan seirama dengan musik, sinarnya yang
berpendar-pendar membuat semua seolah bergerak-gerak seram.
Satu-satunya sumber sinar lain berasal dari perapian terbuka berukuran raksasa, di
mana sebuah periuk hitam besar sedang dijerang, mengeluarkan asap kehijauan
yang berbusa-busa mengepul.
Semua perabotnya dari abad lain, tapi musik yang menggelegar dari pengeras suara
tersembunyi berasal dari zaman sekarang. Efek keseluruhannya seperti berada di
kastil berhantu modern.
Bahkan Murphy pun terkesan. "Wah," ujarnya, berhenti tepat di dalam pintu ruang
tamu. "Benar-benar... wah!"
"Oh, Terry, keren sekali!" Niki mencengkeram lengan Terry penuh semangat.
Mereka sesaat berdiri di pintu yang terbuka saat seorang dewiatau iblis
menyeberangi ruangan.
Baru sesaat kemudian Terry mengenali Justine. Ia mengenakan gaun hitam ketat,
terbuat dari satin dan berpotongan leher rendah, serta memakai selop berhak tinggi
runcing. Rambut pirangnya yang tebal disanggul tinggi di atas kepala, dan ia telah
membedaki wajah serta tenggorokannya hingga putih pucatyang berwarna hanya
pulasan merah di bibirnya yang seksi serta bola matanya yang hijau berkilauan.
"Ia tampak seperti wanita berambut hitam di TV, yang memainkan film-film horor
itu. Elvira," bisik Terry.
Justine sengaja berhenti sebentar, kemudian tersenyum hangat.
"Selamat datang di ruangan bawah tanahku!" sambutnya. "Hampir semua orang
sudah hadir di sini. Kami mulai berpikir kalian diculik setan!"
"Kostummu hebat, Justine," ujar Niki.
"Terima kasih," kata Justine. "Sejak dulu aku ingin jadi vampir"
Ia berkata seolah sungguh-sungguh, kemudian tertawa. "Kostummu juga cukup
keren. Mengingatkanku pada yang kulihat di Karnaval Venice."
"Di mana?" tanya Niki.
"Di sebuah pesta besar yang mereka adakan di Venice setahun sekali," kata Justine.
"Semua orang berdandan dan berpesta di seluruh jalan serta kanal. Di Venice,
Italia," tambahnya. "Dulu aku tinggal di sana dengan... pamanku. Oh ya, aku jadi
ingat. Paman Philip, perkenalkan teman-teman baruku."

Seorang pria yang sangat kurus melangkah keluar dari bayangan di samping
perapian. Ia mengenakan kostum badut satin berwarna biru, dan wajahnya tertutup
riasan teater berupa topeng badut sedih. Sebutir air mata mengilap dilekatkan di
bawah mata kanannya.
"Ini Murphy Carter, Niki Meyer, dan Terry Ryan," ujar Justine.
"Aku sangat senang bertemu kalian semua," kata Philip, cermat mengamati
masing-masing remaja dengan mata badutnya yang sedih.
"Kami sangat senang bertemu Anda," balas Terry, menjabat tangan Philip. "Rumah
Anda bagus sekali."
"Ya," Niki menyetujui. "Ini pesta paling luar biasa yang pernah saya hadiri."
"Wah, terima kasih," ujar Philip. "Kami menyewa seorang insinyur dari Disko
Starlight untuk memasang semua lampu dan sound system. Justine yang memilih
semua tape dan CD. Kamikeponakan saya dan sayatelah melakukan segalanya
untuk membuat pesta ini tak terlupakan."
"Mari aku simpankan mantel kalian," ujar Justine. "Ayo masuk dan bergabunglah.
Di atas peti mati ada makanan, dan di dalam periuk ada soda dingin."
Justine dan pamannya pergi untuk bicara dengan tamu lain.
Terry tetap berdiri dekat pintu, mengamati dekor ruangan yang fantastis. Sepasang
remaja sedang berdansa dekat perapian, dan beberapa lagi sedang berdiri sambil
makan serta tertawa-tawa.
Dekorasinya membuat ruangan itu tampak seperti seting film.
Justine dan pamannya pasti punya banyak uang, pikir Terry.
Pesta ini butuh banyak uang. Aku ingin tahu mengapa Justine ingin mengeluarkan
begitu banyak uang hanya untuk sembilan orang?
"Aneh, ya?" kata Niki di sampingnya.
"Aneh? Bercanda kau! Ini hebat!" tukas Terry.
"Mereka mengeluarkan banyak uang untuk pesta ini," Niki meneruskan seolah
telah membaca pikiran Terry. "Aku heran mengapa dia repot-repot begini?"
"Aku juga tak tahu," jawab Terry. "Mungkin dia senang menyumbang kita."
"Kita beruntung," komentar Niki. "Tapi aku tetap... ingin lebih jauh mengenal
Justine."
Terry tertawa. Niki adalah orang yang paling penuh rasa ingin tahu yang ia kenal.
"Hei, Muka Lucu," katanya. "Nanti kau bisa berperan sebagai Nancy Drew,
sekarang ayo kita periksa makanannya."
Ia memegang tangan Niki dan membimbingnya ke tepi ruangan.
Seperti yang dikatakan Justine, "meja" makannya berupa peti mati hitam mengilap.
Meja itu dipenuhi sederetan keju, roti, cracker, dan berbagai saus serta makanan
pembuka yang membangkitkan seleratermasuk beberapa jenis yang tak dikenal
Terry. Sebuah rak di atas peti mati berisi mangkuk-mangkuk besar chip dan piringpiring piza pepperoni, bawang bombai, sosis, dan semua kombinasi yang

diketahui Terry. Di bawah semua makanan itu terdapat periuk hitam besar penuh
berisi es dan lusinan kaleng soda.
"Coba lihat!" tukas Terry. "Aku belum pernah lihat makanan sebanyak ini di
sebuah pesta."
"Aku juga," komentar Niki menyetujui, "kecuali mungkin waktu orangtuaku
mengadakan pesta Tahun Baru."
Ia mengulurkan tangan mengambil sebuah cracker berlapis sesuatu berwarna pink.
"Enak!" katanya. "Apa ya ini?"
"Tarama salata," tukas Angela, yang tiba-tiba muncul di sebelahnya. Ia menyentuh
bahu Niki dan mengulangi kata-kata itu supaya Niki bisa membaca bibirnya. "Ini
kue Yunani yang terbuat dari telur ikan. Aku menanyakannya pada Justine. Dia
bilang dia belajar membuatnya waktu tinggal di kepulauan Yunani."
"Rasanya enak," komentar Niki serius. "Cobalah, Terry."
"Telur ikan?" ulang Terry. "Tidak, trims. Aku makan piza saja!"
Ia melangkah mundur dan mengamati kostum Angela dengan pandangan memuji.
Gadis itu mengenakan kostum pembalap sepeda, semua terbuat dari kulit, dan
mencap lengan serta lehernya dengan tato.
"Kostum keren," komentar Terry.
"Trims!" jawab Angela. "Kau harus lihat yang lain. Ini sudah jelas pesta paling
hebat yang pernah kuhadiri."
Ketika Niki mencoba sesuatu berwarna hijau berisi krim putih, Terry mengunyah
piza dan mengamati tamu-tamu lain. Agak sulit melihat dalam sinar remangremang, tapi ia mengenali Trisha dan David sedang berbicara di sudut di bawah
sebuah tengkorak kepala manusia. David mengenakan seragam basketnya, hanya
sebagai pengganti bola ia memegang tengkorak kepala bulat besar terbuat dari
papier-mache.
Trisha, wajah bulatnya tampak ceria dan bersemangat, mengenakan kostum
cheerleader dari tahun lima puluhan, dengan sweter pink ketat dan rok putih
pendek di atas bot setinggi mata kaki berwarna putih. Di tangannya ada sebuah
megafon besar, dan ia tampak menggelikankalau mimiknya tak menunjukkan
kegembiraaan yang luar biasa.
Di depan perapian, Justine sedang berdansa dengan Murphy: sang vampir dan sang
zombie. Mereka tampak menakutkan, tapi sekaligus memesona, seperti makhlukmakhluk di film horor.
Terry sedang mencari-cari pasangan remaja terakhir ketika mendengar sebuah
suara aneh di belakangnya. Ia menoleh dan terperangah, kemudian mulai tertawa.
Ia tak bisa menahan diri.
Di belakangnya ada Ricky Schorr, memakai kostum katak. Ia mengenakan pakaian
dalam panjang berwarna hijau terang, sepasang sirip untuk berenang, dan topeng
bermata hitam menonjol di atas kepalanya.

"Ribit," kuaknya.
"Ya ampun!" Terry akhirnya berkata setelah kembali bisa bernapas. "Kau muncul
sebagai proyek biologimu."
"Kau suka?" tanya Ricky, meneguk Dr. Pepper diet. "Aku sendiri yang mencelup
pakaian dalam ini. Tapi ibuku agak kesaldia tak bisa menghilangkan semua
warna celupan ini di mesin cucinya."
"Kurasa ini menampilkan dirimu yang sebenarnya," komentar Angela menghina.
"Agak berlendir dan aneh."
"Masa?" tangkis Ricky. "Berarti kau tak mengenalku. Kalau kau menciumku, aku
akan berubah jadi pangeran."
"Lebih baik aku dengan zombie saja, trims," ujar Angela.
Murphy dan Justine telah berhenti berdansa, dan Angela berjalan menghampiri
mereka serta memegang tangan Murphy.
"Hei, Muka Lucu," kata Terry, menyentuh lengan Niki. "Kalau kau bisa berhenti
makan sebentar... mau dansa?"
Terdengar lagu rap mengentak cepat, dan sesaat Niki memejamkan mata, supaya
bisa lebih merasakan irama musik yang menggetarkan lantai. "Tentu," jawabnya.
"Sebaiknya aku memang berhenti makan. Terry, ini sajian yang paling hebat! Dia
punya hidangan Yunani, Jepang, Prancis, Meksiko..."
"Belum termasuk piza Amerika yang sedap," tukas Terry.
"Jangan kampungan," ujar Niki. Ia berputar menjauhi Terry, kemudian kembali.
"Ada satu hal yang tak kumengerti," kata Niki.
"Aku tak mengerti bagaimana Justine bisa tinggal di semua tempat itu. Maksudku,
dia kan masih remaja."
"Tanyakan padanya nanti," usul Terry.
Sebuah lagu baru mulai mengalun dan mereka tetap berdansa.
Terry mengamati Niki dengan bangga. Ia gadis tercantik di tempat ini. Justine
terlalu mengerikan, dan Angela tampak seperti gadis nakal, tapi gaun merah Niki
menghidupkan semua warna cerah di pipi dan bibirnya, serta membuat matanya
yang gelap berkilau seperti batu bara.
Di satu sisi, Ricky dan Trisha sedang berdansa, sang katak hijau yang sedang
marah dan sang pemandu sorak gemuk, keduanya tampak senang.
Pesta ini menyenangkan, ujar Terry pada diri sendiri. Aku masih tak tahu mengapa
kami diundangtapi aku bersyukur.
Tape berhenti. Ketika Philip pergi untuk menggantinya, terdengar ketukan keras di
pintu. Justine pergi untuk membukanya, dan semua orang menoleh untuk melihat
siapa tamu yang datang terlambat itu.
Sesaat suasana hening. Berdiri di ambang pintu ruang tamu, berbingkai koridor
yang gelap, tampak sosok berkostum perak mengilat dari kepala sampai kaki.
Sosok itu berpose, seperti matador, lalu melangkah gagah ke dalam ruang tamu.

Kini Terry melihat sosok itu adalah Alex, mengenakan kostum senam perak ketat
dan topeng perak berkilauan. Di bawah kostum perak itu, ototnya bergerak-gerak
ketika ia berjalan.
Sok pamer, pikir Terry.
Niki semakin erat mencengkeram tangan Terry, dan ia berbisik, "Wah! Dia tampak
fantastis!"
Beberapa tamu lain mulai bersiul dan berteriak-teriak.
Bahkan Justine pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari Alex.
"Ladies and gentlemen," ujar gadis itu akhirnya, "saya persembahkansang
Pangeran Perak!"
Alex berjalan ke tengah ruang tamu dengan gaya tuan rumah.
Terry tidak tahan tak mengatakan apa-apa. Dipicu pujian Niki untuk Alex. "Hei,
Alex," panggilnya, "kau pakai kostum apaManusia Kaleng? Atau Tinkerbell?"
Alex tertawa. "Akuilah, Ryan," katanya. "Kau takkan bisa tampak sehebat ini
walau sejuta tahun lagi sekalipun."
Terry masih memikirkan jawaban yang sinis ketika musik kembali mengalun, dan
sesaat Alex berdansa sendiri, pusat perhatian semua orang.
Niki menarik lengan Terry. "Ayo, Terry," katanya. "Kita dansa."
Ia memandang Terry dengan tatapan yang sangat penuh cinta hingga sesaat Terry
lupa untuk iri pada kostum spektakuler Alex.
Lihat, Pangeran Perak, pikirnya. Silakan pamer, tapi Niki ingin berdansa
denganku.
Meskipun tak bisa mendengar suara musik, Niki adalah salah satu pedansa terbaik
yang dikenal Terry. Gadis itu pernah menjelaskan caranya merasakan irama musik
di seluruh tubuhnya, tapi Terry masih tak seratus persen tahu bagaimana cara Niki
melakukannya.
Terry hanya tahu ia menyukainya. Ia merasa seolah dapat berdansa seperti itu
selamanya, mendekap Niki, merasakan kehangatan tubuhnya.
Lagu slow itu berakhir, dan disambung yang lain, sama pelan dan romantisnya.
Terry menggesekkan bibirnya di rambut Niki, menghirup aroma lembut gadis itu.
BRUUUUUUUUM.
Suara itu sekeras guntur.
"Apa itu?" teriak seseorang.
Semua orang terkejut.
Tape mati.
"Heiapa yang terjadi?"
Sesaat kemudian ruangan penuh asap. Lalu ruangan itu dipenuhi teriakan takut,
bisikan bingung.
Tak ada yang yakin apakah itu semacam tipuanatau sebuah bencana.
Terry sudah berniat menarik Niki ke arah pintu ketika Justine melangkah ke tengah

ruangan.
"Suka kejutanku?" tanya gadis itu, tubuhnya yang seksi hampir sirna ditelan asap.
"Ini yang mereka namakan flash pot. Pamanku Philip mempelajarinya ketika
bekerja sebagai manajer panggung. Aku ingin mendapat perhatian kalian. Apa aku
berhasil?"
Sepasang remaja bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Beberapa masih terlalu kaget
untuk bereaksi.
Justine tersenyum, lalu mengangkat sebelah alis.
"Aku sudah menjanjikan banyak kejutan untuk kalian," katanya. "Dan masih ada
lagi yang lain. Tapi untuk sekarangsiapa yang mau dansa lagi?"
Sorak-sorai dan tepuk tangan semakin keras. Terry juga ikut bersorak-sorai.
Tampaknya semua bisa terjadi di pesta ini, dan ia siap menghadapinya.
"Bagus," kata Justine. "Tapi sebelumnya aku harus menceritakan sebuah kisah
nyata. Sejak dulu orang selalu suka berdansa. Tapi di Abad Pertengahan, kadang
dansa bukan sekadar untuk bersenang-senang. Bahkan dikatakan beberapa orang
kemasukan setan saat berdansa. Mereka akan berdansa semakin cepat, semakin
cepat, hingga mati kelelahan. Aku tak tahu apakah malam ini di sini ada setan, tapi
semua bisa terjadi pada malam Halloween. Apa ada yang berani mencoba musik
yang benar-benar cepat?"
"Ya!"
"Ayo!"
"Yo!"
Para tamu kini siap melakukan apa saja. Jika Justine menyuruh mereka meloncat
ke dalam kolam renang dengan pakaian lengkap, pikir Terry, mereka pasti akan
melakukannya.
"Kita akan lihat seberapa cepat kalian bisa berdansa!" ujar Justine. Ia mengulurkan
tangan ke belakang dan menekan sebuah sakelar.
Lilin di dinding mati. Pada saat bersamaan sebuah lampu sorot menyala berpendarpendar, dan musik kembali hidup, keras serta cepat, ritme sintesis yang terusmenerus bergaung, menimpali suara-suara yang terdengar seperti robot dan
mengatakan "Pump up the jam, pump up the jam" berulang kali.
Api di perapian telah padam menjadi bara, jadi satu-satunya penerangan yang ada
berasal dari lampu sorot. Dalam pendarannya yang cepat, semua tampak bergerak
semakin cepat.
Terry memegang tangan Niki dan memutar tubuh gadis itu. Semua tertawa-tawa,
berdansa, saling teriak, dan berganti partner. Dalam sinar yang remang-remang
mengerikan, sulit melihat pasangan dansa masing-masing. Suatu saat Terry
menyadari ia sedang berdansa dengan Ricky!
Rasanya menyenangkan, tapi musik terus-menerus mengentak. Setiap kali Terry
mulai melambatkan gerakannya, musik mengentak semakin cepat.

Di tengah ruangan, Alex sedang berputar-putar seperti bayangan perak yang


berkilauan, dan Terry tiba-tiba bertanya-tanya dimana Niki. Tepat saat ia melihat
gadis itu, sedang berdansa dengan David, lampu mati. Tape player mengerang
sedih lalu mati.
Sesaat suasana hening. Ruangan itu gelap gulita, hanya diterangi remang-remang
bara api di perapian.
"Apa ini, Justine, kejutan lagi?" tanya suara Murphy sesaat kemudian.
"Aku tak tahu apa yang terjadi," jawab Justine. Ia terdengar agak takut. "Paman
Philip..."
"Aku akan memeriksa kotak sekring," ujar suara Philip tenang. "Jangan pergi."
"Jangan khawatir," kata Justine, masih terdengar takut. "Kami baru memasang
sistem listrik baru, dan lampu sorot ini pasti membuatnya terlalu panas. Pamanku
akan mengganti sekringnya, dan kita akan..."
Pada saat itu lilin-lilin artifisial di dinding kembali menyala dan tape berbunyi lagi.
Tapi tak ada lagi yang ingin berdansa karena sorot lampu memperlihatkan
pemandangan mengerikan.
Di depan perapian, separo di atas permadani, tergeletak sesosok tubuh kaku.
Darah mengalir dari sisi tubuh itu, bersumber dari pisau daging besar yang
mencuat di punggungnya.

Chapter 6
SESAAT tak ada yang bergerak atau bicara. Lalu beberapa orang mulai berteriak
berbarengan. Jantung Terry berdebar begitu kencang sehingga ia dapat
mendengarnya. Ruangan besar itu seolah berputar-putar, lalu miring. Ia
berpegangan di sebuah kursi untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya.
Beberapa saat kemudian barulah peningnya hilang. Suara-suara kembali terdengar.
Ia dapat mendengar suara mereka satu per satu.
"Oh, tidak, tidak!"
"Apa ini betul?"
"Siapa itu?"
"Telepon 911."
Sambil memegang kencang tangan Niki, Terry mulai bergerak ke arah tubuh itu

bersama tamu-tamu lain. Ia kini dapat melihat bahwa sosok itu mengenakan
kostum tengkorak. Tapi siapa?
Semua orang tampak enggan maju lebih dekat. Akhirnya Alex berjongkok. Ia raguragu mengulurkan tangan untuk menyentuhnya ketika tiba-tiba tengkorak itu
meloncat berdiri.
"Kena kalian!" teriak tengkorak itu, dan menjatuhkan diri ke lantai, terkekeh-kekeh
tak terkendali, di atas permadani.
Ternyata Les Whittle.
Terdengar desah kaget.
Lalu suara tawa, pertama ragu-ragu, kemudian semakin keras hingga hampir
mengguncang ruangan.
"Skor satu untuk tim pengecut!" teriak Ricky penuh kemenangan.
"Tipuan hebat, Les!" Terry mencengkeram bahunya.
"Memang bagus," Trisha menyetujui dengan suara agak gemetar, "tapi kau
membuat kami semua ketakutan setengah mati. Mengapa tak kauberitahu anggota
tim yang lain bahwa kau akan melakukannya?"
"Karena Justine dan aku baru mendapat ide tadi pagi," jawab Les, masih tertawa. Ia
menunjukkan pisaunya pada semua orang.
Hanya sebuah gagang pisau. Darahnya jenis yang dijual di dalam tube.
"Aku menemukannya di toko tipuan dan merasa sayang kalau menyianyiakannya," jelasnya. "Ini tipuan termudah di dunia."
"Yah, pokoknya asal kau tahu saja, tak ada di antara kami yang takut," sergah
Murphy. "Ini cuma jenis tipuan yang biasa dimainkan seorang pengecut."
Les sama sekali tak terpengaruh. "Tentu, Murph. Mau omong apa lagi?" katanya,
terkekeh pelan. Ia mengenakan kacamata bingkai tanduknya di atas topeng
tengkoraknya. Benda itu membuatnya tampak aneh, seperti mayat kutu buku.
"Aku telah bersembunyi di dapur selama setengah jam," katanya. "Mana
makanannya? Aku kelaparan!"
Sebagian besar tamu, kelelahan sehabis berdansa dan ketakutan, mengempaskan
tubuh di mebel antik, makan dan bercakap-cakap.
"Benar-benar tipuan tolol!" ujar David, kakinya disampirkan di atas lengan sebuah
kursi goyang antik.
"Kau hanya iri karena hal itu tak terpikir olehmu," komentar Trisha.
"Kami telah merancang tipuan yang lebih baik," sergah David. "Jauh lebih baik.
Kau akan melihat maksudku, kecuali kalau kau bertindak bijaksana dan sekarang
pulang."
"Tak akan!" tukas Ricky. "Kalian tim jagoan tak mungkin menang!"
"Kalianlah yang tak mungkin menang," ujar Alex. "Tapi harus kuakui. Akting Les
sebagai mayat sangat meyakinkan."
Terry tak mengatakan apa-apa. Niki sedang duduk, memalingkan kepala dari

semua orang, memakan satu piring kue lagi.


Terry bersyukur gadis itu tak bisa mendengar percakapan mereka, karena hal itu
kemungkinan hanya akan membuatnya marah lagi.
"Jadi, bagaimana menurut kalian, guys?" tanya Alex ceria, duduk di sebelah Terry
dan Niki di lengan sebuah bangku antik. "Apa tim kalian akan bisa melewati
malam ini?"
"Kesempatan kami lebih besar daripada tim kalian," gumam Terry. "Kami punya
otak."
Alex tertawa. Ia ingin tawanya terdengar ceria, tapi Terry lebih tahu.
"Kostum bagus, Niki," ujar Alex, mengagumi penampilan gadis itu.
"Trims," kata Niki. "Kubuat sendiri."
"Kau memang serbabisa," komentar Alex. "Aku ingat gaun indah yang kaubuat
untuk pesta dansa murid baru. Kau gadis paling menawan di sana."
"Yah, trims," jawab Niki. Matanya berkilauan, dan Terry memaksa dirinya
perlahan menarik napas dalam-dalam. Ia benci pada dirinya sendiri karena merasa
cemburu, tapi ia tak berdaya menahannya.
Bagaimanapun juga, Niki sedang duduk di sampingnya, memegang tangannya, jadi
mengapa ia cemburu pada Alex?
Mengapa ia ingin meninju wajah pemuda itu?
"Omong-omong, Niki," ujar Alex menggoda, "menurutmu apa sekarang bukan
saatnya kau bergabung dengan tim jagoan?"
Sorot mata Niki berubah. Ia tak lagi bercanda, tapi kini sedihdan agak marah.
"Oh, tak bisakah kalian menghentikan permainan tolol ini? Sudah seratus kali
kukatakan aku tak termasuk tim mana pun!"
Ia langsung berdiri dan berjalan ke arah perapian.
Musik dansa mulai terdengar lagi, dan Terry terkejut melihat Niki mengajak Ricky
berdansa.
"Kenapa dia?" tanya Alex pada Terry. "Kurasa dia sudah terlalu lama bergaul
denganmu hingga kini lupa cara menanggapi lelucon."
"Hei, Beale, kaulah leluconnya," gumam Terry. "Dia tak menyukai gagasan kontes
ini."
"Hei, man, kukira kau pandai bicara. Kau tahu, anggota tim debat dan lain-lain.
Dan kini kau bilang tak bisa membujuk Niki untuk bergabung dengan tim kalian?
Wah!"
"Niki membuat keputusannya sendiri." Terry berdiri. "Aku tak memilikinya."
"Wah. Omonganmu berat, Ryan. Tenanglah, oke?" Alex menjauh dari Terry dan
mengangkat tangan seolah melindungi diri sendiri. "Kau dan aku pernah
bersahabat, ingat?"
Pernah, pikir Terry, itulah kata kuncinya.
Ia sadar Alex sedang berusaha meluluhkan perasaannya. Alex sengaja

mengingatkannya bahwa beberapa saat lalu mereka pernah bersahabat akrab.


Alex menatapnya penuh harap, tapi Terry tak bisa menanggapi. Ia punya perasaan
tak enak tentang Alex. Ia tak bisa berpura-pura ingin bersahabat lagi dengannya.
Mata Alex dipenuhi kekecewaan. "Sampai nanti, man," ujarnya langsung, dan
cepat berdiri dari bangku.
Alex berjalan angkuh ke arah perapian. Lagu di tape sudah selesai. Alex
melangkah di antara Niki dan Ricky dan dengan luwes memegang tangan Niki.
Seolah ia memilikinya, pikir Terry, menatap mereka dengan perasaan tak nyaman
yang makin memuncak.
Mencoba tak terlihat sedang mengawasi, Terry berulang kali mencuri pandang ke
arah Alex dan Niki. Mereka berdansa diiringi sebuah lagu berirama cepat, dan Niki
sedang tersenyum.
Apa ia harus tersenyum? Terry bertanya dalam hati. Mungkin ia harus mendekati
dan menghentikan mereka. Tapi hal itu hanya akan membuat Niki marah, dan
Terry benar-benar tak mau bersitegang dengan Alex.
Sesaat ia memperhatikan para pedansa lain. Ricky dan Trisha kembali berdansa
bersama. Terry melihat Ricky mengucapkan sesuatu yang membuat Trisha tertawa
begitu keras sehingga hampir jatuh.
David sedang berdansa bersama Angela. Pemuda itu cukup pandai berdansa, dan
Terry sadar ia tak benar-benar mengenal David.
Pemuda itu lebih pendiam daripada para jagoan lain, dan tampaknya tak seserius
yang lain menanggapi kompetisi itu.
Lagu habis dan disambung yang lain. Niki masih berdansa dengan Alex.
Sudah cukup, kata Terry dalam hati. Ia berdiri untuk menyeberangi ruangan
menghampiri mereka ketika sebuah suara mendayu-dayu menghentikannya.
"Mau ke mana?"
Terry berbalik dan melihat Justine berdiri di belakang sebuah sofa.
"Aku, eh, aku ingin dansa," jawab Terry.
"Wah, kebetulan sekali," ujar Justine. "Aku juga ingin melakukan hal yang sama.
Bagaimana kalau kau berdansa denganku?"
Justine melemparkan senyumnya yang paling hangat, dan Terry merasa
kekesalannya mulai sirna.
"Wah, tentu," jawabnya. "Dengan senang hati."
"Bagus," tukas Justine. Ia memegang tangan Terry dan membimbingnya ke dekat
perapian. Tape player sedang memainkan lagu slow. Terry melihat Niki berputar
melewati mereka dengan Alex, sang Pangeran Perak, tapi gadis itu tak melihatnya.
Dari jarak dekat, Terry jadi sangat menyadari kehangatan liar tubuh Justine dan
aroma parfumnyaberbeda dari parfum lain yang pernah diciumnya.
Justine semakin merapatkan tubuh pada Terry.
"Bagaimana komentarmu tentang pesta ini?" tanyanya dengan suara seksi.

"Hebat," jawab Terry tulus. "Kurasa semua orang kini benar-benar sedang
menikmatinya."
"Bagus," komentar Justine. "Aku ingin kalian semua bersenang-senang."
"Semuanya sempurna," kata Terry, berbicara untuk mengalihkan perhatian dari
perasaannya. "Makanannya, musiknya, lampunya. Kau sudah memikirkan
semuanya. Kau dan pamanmu."
"Omong-omong, Paman Philip kini sedang berada di gudang loteng," ujar Justine,
"mempersiapkan beberapa kejutan ekstra."
"Bagaimana kau bisa mendapat semua gagasan ini?" tanya Terry.
"Kami sudah lama memikirkannya," jawab Justine. "Tapi sudah cukup
pertanyaannya. Nikmati saja musiknyadan diri kita."
Justine semakin merapat pada Terry, dan sesaat Terry lupa segalanya kecuali
aroma dan kedekatan tubuh Justine.
Tape habis dan para pedansa saling memisahkan diri. Justine meremas tangan
Terry dan pergi untuk memasang tape baru.
Dengan perasaan bersalah, Terry menyadari Niki sedang berdiri di dekat perapian,
menatapnya. Ia tak tampak cemburu, atau bahkan marah, tapi di wajahnya ada
ekspresi yang tak terbaca dan aneh.
Alex mengatakan sesuatu padanya, dan Niki menggelengkan kepala. Gadis itu
mulai berjalan ke arah Terry, tapi tiba-tiba berhenti, matanya melebar heran.
Semua orang mendengar gemuruh benturan di pintudiikuti derum keras dari
jarak yang agak jauh.
Suara itu begitu keras sehingga Niki merasakan getarannya. Mulutnya menganga
dan ia berbalik ke arah pintu depan.
Ricky membuka pintu, dan suara derum menjadi dentuman yang memekakkan
telinga.
Lalu di depan mata semua orang yang melihat dengan terkejut, dua sepeda motor
berkilauan melesat masuk ke dalam ruang tamu!

Chapter 7
YANG pertama dapat dilakukan Terry dan yang lain hanyalah terperangah kaget
menatap para pengendara sepeda motor itu. Mereka mengenakan jaket dan celana
kulit, dan seluruh wajah mereka tertutup helm hitam mengilat.

"Oh, wow!" seseorang berteriak di atas suara gemuruh mesin.


"Keren! Benar-benar keren!" teriak Ricky, menganggap komentarnya lucu.
Pemandangan gila itu mengingatkan Terry pada film Animal House, yang pernah
ia sewa bersama Niki beberapa minggu lalu.
Dalam film itu ada seorang pria yang mengendarai sepeda motor naik-turun
tangga.
Apa ini salah satu "kejutan" Justine? Terry bertanya-tanya, menikmati
pemandangan kacau dan gila itu.
Setelah mengeluarkan deruman terakhir, kedua pengendara sepeda motor itu
mematikan mesin. Keheningan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu hampir
membuat mereka tuli.
Pengendara yang bertubuh lebih besar membuka helm dan turun dari sepeda
motor. Dengan perasaan kecut, Terry melihat orang itu adalah Bobby McCorey.
Mata pemuda itu merah dan di wajahnya tersirat mimik jahat. "Pesta bagus,"
katanya sinis.
"Ya," Marty Danforth, pengemudi yang seorang lagi, menyetujui. Ia memutarmutar helmnya di tangan sambil mengamati ruangan itu. "Tempat ini bagus.
Sayang kami harus mengetuk pintunya begitu keras."
"Entah kenapa, pintunya dikunci," tambah Bobby. "Seolah kalian tak
menginginkan kehadiran kami."
Justine melangkah maju, wajahnya murka. "Keluar dari sini," katanya dengan
suara sedingin es.
"Keluar?" ulang Bobby. "Kami baru sampai."
"Sudah kubilang kalian tak diundang," ujar Justine. Ia sama sekali tak terdengar
takut, Terry menyadari, tapi begitu marah hingga suaranya gemetar.
"Yah, kan kami sudah bilang, kami tidak suka tak dilibatkan," kata Bobby,
memaksakan seringai sok jago di wajahnya.
Kini Philip dengan cepat melangkah ke tengah ruangan. "Siapa mereka?" tanya
pria itu pada Justine.
"Dua badut dari sekolah," jawab Justine. "Mereka tak diundang."
Philip mendekati Bobby dan Marty. Mimiknya seperti seorang guru yang kecewa
pada murid-murid di kelasnya. Terry tahu Philip tak menyadari Bobby dan Marty
dapat bersikap sangat kejam.
"Kalau kalian pergi sekarang," ujar Philip, "aku takkan menelepon polisi."
"Kau dengar?" tanya Marty pada Bobby, seringai mengejeknya membeku di wajah.
Ia tampak seperti peniru Elvis yang tak mirip. "Dia takkan menelepon polisi."
Kedua pemuda itu tertawa.
"Jangan berbuat baik pada kami, man," kata Bobby, dan ia mendorong Philip,
dengan keras, di dadanya.
Sambil mendesah kaget Philip terjengkang ke belakang dan membentur sebuah

meja.
"Paman Philip!" teriak Justine kaget. Beberapa remaja bergegas mendekat untuk
membantu Philip. Niki, terbelalak takut, berlari mendekati Terry, mencengkeram
tangannya.
"Maaf. Tak sengaja," ujar Bobby, kata-katanya tak jelas. Ia tersandung papan
lantai, dan Terry sadar pemuda itu habis minum-minum.
Kini para remaja lain sudah pulih dari rasa kaget akibat masuknya para pengendara
sepeda motor itu.
"Pulang!" beberapa berteriak. "Keluar dari sini, brengsek!"
Bobby dan Marty mengabaikan yang lain. "Tempat ini bagus," kata Bobby. "Agak
menyerupai tempatmu, heh, Marty?"
Mereka berdua tertawa seolah Bobby baru membuat lelucon yang sangat lucu.
"Bagaimana kalau kita membantu mereka sedikit dan membersihkan beberapa
sarang labah-labah?" ujar Marty.
Ia melepaskan sebuah rantai dari salah sabuknya dan, dengan satu gerakan tangan,
mengayunkannya ke potongan kertas di atas perapian.
Hiasan itu langsung beterbangan jatuh dalam keadaan koyak.
Terry terperangah tak percaya. Mengapa tak ada yang melakukan sesuatu? Kini
Marty mulai merusak dekorasi di atas jendela.
Terry tak tahan lagi. "Hei, man, jangan lakukan itu!" teriaknya.
Ia maju satu langkah ke arah Marty, tapi gerakan Bobby lebih cepat. Terry merasa
kepalanya tersentak ke belakang seolah baru ditabrak truk. Sesaat kemudian ia
sudah terbaring telentang. Di atasnya ada wajah Niki, sangat dekat dan ketakutan,
menunduk menatapnya.
Ia mencoba duduk, tapi Niki mendorongnya kembali berbaring.
"Jangan mencoba bergerak," bisik gadis itu.
"Oh-oh. Orang kurus ini tersandung," ujar Bobby, menyeringai. Ia menatap yang
lain dengan sorot mengancam. "Kuharap tak ada lagi yang tersandungatau apa
pun."
Marty tertawa. Mereka melakukan high-five dengan tangan mereka yang bersarung
hitam.
Mereka betul-betul tahu cara bersenang-senang, pikir Terry. Apa pun yang tadi
mereka minum atau isap telah membuat mereka merasa diri mereka lucu sekali.
Justine kembali melangkah maju. Ia masih marah, tapi Terry melihat gadis itu juga
takut.
"Baiklah, guys," katanya. "Mungkin aku memang melakukan kesalahan. Aku salah
tak mengundang kalian ke pesta ini. Tapi semua dirancang untuk sembilan orang
yang sudah berada di sini. Kalau kalian sekarang pergi, aku berjanji akan
mengadakan pesta khusushanya untuk kalianminggu depan."
"Hei, tak apa," komentar Bobby. "Kami sekarang sedang bersenang-senang.

Jangan khawatir."
Ia berjalan ke arah makanan.
Ricky, Angela, dan Trisha, yang sedang berdiri di sana, cepat-cepat menggeser
minggir.
Bobby menggigit salah satu makanan pembuka, lalu meludahkannya. "Iih!"
raungnya. "Benda apa ini? Rasanya seperti ikan!"
Dengan marah ia menoleh pada Justine. "Apa kau tak punya makanan betulan di
sini? Chip? Piza?"
"Ada banyak piza di atas rak itu," jawab Justine. "Ambil apa yang kalian mau
dan..."
"Bagaimana dengan minumannya?" potong Marty. "Yang kulihat di sini hanya
minuman anak-anak."
Ia menoleh pada Philip, yang kini duduk di atas kursi bar pendek, tampak tak
sehat.
"Di mana kau menyimpan anggurmu, man?" tanya Marty.
"Aku tak minum," jawab Philip ketus. "Aku tak pernah menyimpan alkohol di
rumah."
"Aku tak percaya," kata Marty. "Tuan rumah macam apa kau? Temanku dan aku
haus."
Ia mencengkeram kerah baju Philip.
"Hentikan!"
Teriakan Alex, yang tiba-tiba memecah keheningan, sesaat menghentikan Marty.
Seperti kilat perak, Alex melesat dan mencengkeram Marty, menariknya menjauhi
Philip.
Marty meraung murka. Kemenangan Alex hanya sesaat. Tak lama kemudian
Bobby meraih tubuhnya dari belakang, dan terus memeganginya sementara Marty
menendangnya, keras, di perut.
"Ohhh."
Sambil merintih kesakitan, Alex jatuh ke lantai dan terbaring meringkuk dengan
tubuh tertekuk, tersengal-sengal kehabisan udara.
"Oh, man. Ada yang mendapat kecelakaan lagi," kata Bobby, melangkah melewati
Alex.
Di bawah tatapan para tamu yang tak berdaya, Bobby dan Marty mulai
mengobrak-abrik ruang tamu tua yang indah itu, membukai semua pintu dan
kabinet serta melemparkan semua yang mereka temukan ke atas lantai.
Setiap kali ada yang mencoba bergerak untuk menghentikan mereka, Bobby
memutar rantainya dengan gerakan mengancam. Mereka menemukan sebotol
anggur merah di suatu tempat dan mulai bergantian meminumnya.
Hal ini harus dihentikan, kata Terry dalam hati. Mereka mungkin memang kuat,
tapi jumlah kami lebih banyak.

Di seberang ruangan, David menangkap tatapan mata Terry dan mengangguk ke


arah sepeda motor.
Terry balas mengangguk dan perlahan berdiri serta mulai merayap ke arah
kendaraan itu. Dengan gerakan santai ia memungut sebuah tempat lilin berat dari
ujung meja.
Niki memandangnya, matanya lebar ketakutan.
"Tak apa," Terry mengucapkan kata itu tanpa bersuara.
Bobby dan Marty sedang sibuk makan dan memorak-porandakan ruangan itu,
hingga baru melihat Terry dan David di atas motor mereka setelah udara dipenuhi
suara derum mesin.
"Hei!" Bobby dan Marty melupakan apa yang sedang mereka lakukan dan
meloncat ke arah sepeda motor mereka. "Jangan disentuh!"
Tapi Terry dan David sudah siap. Tepat ketika kedua pengendara motor itu sampai
di kendaraan mereka, Terry dan David meloncat turun dari atas kursi.
Bobby dan Marty menerjang kedua pemuda itu, tapi hanya menangkap angin.
Sambil mengaum murka, Marty berdiri dan mengayunkan rantainya pada Terry.
Terry menangkap ujung rantai dengan tempat lilin. Ia menariknya, dan Marty
berteriak marah serta kesakitan ketika rantai tertarik lepas dari tangannya.
Sementara itu, David dan Bobby sedang bergumul, berguling-guling di atas lantai.
Bobby seorang petarung yang licik, tapi ia separo mabuk, dan David lebih cepat. Ia
mengunci Bobby di bawah dan menghantami wajahnya, membuat darah
memerciki mereka berdua.
Dengan satu pukulan lagi, David berhasil melumpuhkan Bobby, lalu ia berdiri,
puas.
Marty telah melupakan rantainya dan bergerak mendekati Terry dengan sikap
mengancam, sambil mengayunkan tinjunya membabi buta.
Terry berulang kali menghindar dan mundur, mencari kesempatan, cara untuk
menghentikan pemuda itu. Dari sudut matanya terlihat David tiba-tiba menaiki
motor Marty, memutarnya, dan mengendarainya ke luar ruangan. Ia meloncat turun
pada saat terakhir.
"Hei, Marty," panggil David. "Motormu sudah pulang tanpa kau!"
Marty menoleh kaget, lalu berbalik dan mengejar motornya yang melarikan diri.
Sesaat kemudianterdengar bunyi benturan keras.
"Bagaimana kalau kita melakukan hal serupa pada motormu?" tanya Terry pada
Bobby,yang baru saja berhasil berdiri menegakkan tubuh.
Tanpa berkata apa-apa, Bobby mengayunkan sebelah kaki ke atas motor, wajahnya
berlumuran darah.
"Merasa hebat, ya?" ejek Bobby. Ia pertama membeliak pada Terry kemudian pada
David, dengan penuh kebencian hingga Terry merasa perutnya mulas. "Riwayat
kalian sudah tamat, man. Kalian akan mati. Kalian berdua."

Perlahan ia menatap ke sekeliling ruangan dengan tatapan


mengancam. "Sampai nanti," ujarnya.
Setelah melemparkan tatapan mengancam yang terakhir, ia menyalakan motornya
dan melesat keluar istana itu ke dalam gelap malam.

Chapter 8
BAU asap sepeda motor menggantung di udara. Beberapa remaja mulai
memberikan selamat pada Terry dan David yang berhasil mengusir kedua
pengendara motor itu, tapi mereka melakukannya tanpa tepuk tangan dan soraksorai. Semua tampaknya masih terguncang.
"Kalian hebat," kata Murphy.
"Kami melakukan apa yang harus kami lakukan," ujar David, menyeka wajahnya
yang berlumuran darah dengan tisu. "Mungkin sementara mereka akan mencari
korban lain."
"Justine, mana teleponmu?" tanya Terry. "Kita harus melaporkannya pada polisi."
Rasa panik dan khawatir terbersit di wajah Justine. "Tidak! Jangan telepon. polisi!"
"Tapi mereka mendobrak masuk ke rumahmu!" sergah David. "Mereka
merusaknya! Dan kau dengar ancaman mereka."
"Hanya ituhanya ancaman," kata Justine. Ia" mendekati David, memegang
lengannya, dan menatapnya. "Mereka cuma pengganggu. Banyak lagak tapi tak
berisi. Mereka takkan berani kembali setelah kau dan Terry melawan mereka."
"Yah, aku tak yakin," ujar David ragu-ragu.
"Benar kok, sekarang semuanya sudah baik," tukas Justine. "Memang beberapa
dekorasi rusak, tapi tak ada masalah, kan? Yang penting tak ada yang luka. Alex?
Terry? Apa kalian semua baik-baik saja?"
"Ya," gumam Alex.
"Aku tak apa-apa," jawab Terry. Pipinya yang ditinju Bobby masih nyeri, dan ia
menduga akan jadi lebam besar, tapi lukanya tak serius.
"Terima kasih, kalian semua, karena telah bersikap sangat berani," kata Justine,
memamerkan senyumnya yang paling sensasional. Sekilas mimik nakal terbersit di
wajahnya, dan kemudian ia menambahkan, "Nah, apa sekarang kalian cukup berani
untuk menghadapi kejutan berikutnya?"

"Maksudmu, kita akan meneruskan acara seolah tak terjadi apa-apa?" tanya
Angela.
"Yah, kuharap begitu," komentar Justine. "Jika sekarang kita berhenti, Bobby dan
Marty akan menang. Lagi pula," tambahnya, wajah cantiknya cemberut, "aku telah
bekerja begitu keras mempersiapkan semuanya. Kita bahkan belum menemukan
separo kejutannya."
"Kita juga belum menyelesaikan masalah antara tim jagoan dan pengecut," tambah
Murphy Carter. "Tentu saja, jika kalian tim pengecut mau mengaku kalah
sekarang..."
"Tak mungkin!" sergah Ricky. "Tekad kami sebesar tekad kalian. Dan sekadar tahu
saja, tim kami masih punya beberapa tipuan."
"Bagus," kata Justine. "Kalau begitu sudah kita putuskan. Kalian santai saja
sebentar. Akan kukeluarkan makanan tambahan. Dan kemudian beberapa menit
lagi kita bisa memulai perburuan harta karun."
Ia menghilang ke arah dapur.
Terry mulai bisa bernapas kembali dan bertanya-tanya apa kejutan Justine yang
berikutnya. Diam-diam ia melirik ke arah Alex, yang sedang bersandar di dinding
dekat perapian, sudah seratus persen pulih dari lukanya.
Alex melihat tatapannya dan mengangkat bahu. Lalu mulutnya membentuk satu
kata: pengecut.
Terry tahu ia harus waspada. Alex masih memainkan kontes konyol ini. Itu berarti
Terry juga harus melakukannya. Tak mungkin Alex akan menang, setelah semua
yang terjadi.
Justine dan Philip mengeluarkan nampan berisi minuman cider apel panas dan kuekue, dan tak lama kemudian semua sudah kembali rileks dan bersengat untuk
meneruskan pesta.
Mesin tape sedang memainkan lagu-lagu lama dari tahun lima puluhan, dan Trisha
serta Ricky mulai berdansa diiringi At the Hop.
Trisha tampak tersenyum dan kembali gembira.
"Aku suka lagu-lagu lama ini!" ujar Angela, bertepuk tangan seirama musik. Ia
bersandar di sudut perapian batu, lalu memekik ketika benda itu bergeser dan
terbuka.
Di tempat dinding batu itu kini terdapat... sebuah kerangka manusia, wajah
kosongnya menyeringai dingin.
Terdengar beberapa jeritan, dan kemudian suara tawa, ketika semua orang
menyadari itu adalah satu lagi "kejutan".
"Rupanya kau telah menemukan salah satu pintu jebakan kami," ujar Justine
sambil tersenyum.
"Salah satu?" ulang Angela. "Maksudmu, masih ada lagi?"
"Ingat," kata Justine. "Aku menjanjikan banyak kejutan."

"Keren," tukas Angela.


"Bagaimana keadaanmu, Muka Lucu?" tanya Terry pada Niki, yang sedang
bersandar di bantal sofa di sebelahnya, menyesap cider.
"Oke," jawab gadis itu. "Bagaimana keadaanmu?" Dengan lembut ia menyentuh
pipi Terry yang dipukul Bobby.
"Aku baik-baik saja," jawab pemuda itu.
"Aku hanya berharap Bobby dan Marty tak..." Ucapannya terpotong oleh teriakan
kaget.
"Apa itu?" protes Angela, wajahnya mengernyit jijik.
"Otak manusia," kata Ricky. Ia sedang berdiri di depannya, dengan mimik polos
memegang sebuah kotak logam berwarna gelap.
"Yang benar!" sergah Alex. "Dari mana kau bisa mendapat otak manusia?"
"Dari pamanku," ujar Ricky, masih dengan tampang polos. "Dia punya perusahaan
pemasok alat-alat kedokteran. Dia meminjamkannya untuk pesta ini."
Angela tampak seolah akan muntah.
"Coba kulihat!" sergah Murphy.
"Aku tak boleh mengeluarkannya, nanti rusak," ujar Ricky, semakin kencang
memegang kotak itu. "Tentu saja, jika kau mau menyentuhnya..."
Alex dengan berani memasukkan tangannya ke dalam kotak, lalu secepat kilat
mengeluarkannya sambil memaki pelan.
"Agak berlendir, ya?" tanya Ricky bangga. "Ada lagi yang mau mencoba?"
"Tentu," jawab David. Ia berjalan mendekati Ricky, berpura-pura akan
memasukkan tangannya ke dalam kotak, tapi tiba-tiba merampas dan
membaliknya. Isi kotak bergulir keluar, mendarat di lantai perapian dengan suara
menjijikkan.
"Otak apa itu!" sergah David. "Kelihatannya seperti spageti dingin. Kena kau!"
"Tidak, kalian yang kena," bantah Ricky. "Angela dan Alex mengira ini otak."
"Tidak, kami tak mengira begitu," protes Alex. "Kami hanya berpura-pura. Kali ini
tim jagoan yang dapat skor satu..."
Perdebatan mereka terhenti oleh dering bel kecil yang dibunyikan Justine.
"Perhatian, perhatian!" Ia berdiri di depan perapian, dan dengan berbingkai lidah
api, tampak benar-benar seperti vampir. Di satu sisi perapian, pamannya Philip
duduk membungkuk di atas sebuah kursi bar, air mata artifisialnya berkilauan di
wajah badutnya yang bermimik sedih.
"Apa semua orang sudah siap berpesta?" tanya Justine. Tanpa menanti jawaban, ia
meneruskan. "Kini tiba saat kejutan yang berikutnya. Kali ini adalah perburuan
harta karun, tapi bukan sembarang perburuan harta karun seperti yang pernah
kalian dengar."
"Perburuan harta karun!" teriak Trisha. "Menyenangkan sekali!"
"Yang benar," tukas Murphy. "Perburuan harta karun hanya untuk anak kecildan

pengecut."
Justine, masih tersenyum, menoleh ke arah Murphy. "Kau mungkin akan berubah
pendapat kalau melihat daftar harta karun yang harus dicari," ujarnya menggoda.
"Tapi, tentu saja, tak ada yang harus berpartisipasi. Memang permainan ini agak
berbahaya. Perburuan harta karun ini hanya untuk mereka yang benar-benar
berani."
"Hei, aku tak pernah mengatakan takkan berpartisipasi," bantah Murphy.
"Bagus," komentar Justine, mata hijaunya yang seperti kucing berkilauan penuh
gairah. Ia mulai membagikan salinan sebuah daftar.
"Ini adalah daftar barang yang telah disembunyikan olehku dan Paman Philip di
sekitar istana," ujarnya meneruskan. "Di setiap ruangan ada harta karundi kedua
lantai serta di gudang loteng dan bawah tanah. Tim mana pun yang menemukan
harta karun paling banyak pada tengah malam akan mendapat sebuah hadiah
istimewa."
Semua merenggut daftar itu dan bersiap-siap lari pergi, tapi suara Justine
menghentikan mereka.
"Satu hal lagi," tambahnya. "Kuminta kalian hati-hati. Karena... semua bisa terjadi
pada malam Halloween."
Trisha menemukan harta karun pertama bahkan sebelum ada yang meninggalkan
ruang tamu itu. Ketika Justine masih menerangkan peraturannya, Trisha dengan
hati-hati memindahkan makanan yang masih ada di atas peti mati dan membuka
bungkusan itu. Di dalamnya terlihat sebundel tulang terbungkus kain biru
compang-camping. Tulang tangan mumi.
"Aku menemukan sebuah harta karun!" teriaknya. "Tapi, Justine, apakah ini tangan
mumi asli?"
"Seharusnya begitu," jawab Justine. "Kami memperolehnya di Mesir."
Selama beberapa menit berikut semua memeriksa lantai dasar.
Berulang kali terdengar pekikan dan tawa ketika satu per satu menemukan sebuah
harta karunatau tipuanbaru.
"Menyenangkan, ya!" komentar David, tertawa, ketika ia dan Terry secara
bersamaan berjalan masuk ke dalam ruang penyimpanan bahan makanan dari pintu
berlawanan.
"Barang-barang aneh milik Justine dan pamannya benar-benar mengagumkan,"
kata Terry. Ia memperlihatkan pada David satu-satunya harta karun yang telah ia
temukan sejauh iniseekor tarantula berbulu yang diawetkan dalam pemberat
kertas kaca. "Aku menemukannya di tangki air kloset."
"Aku menemukan harta karunku di dalam sebuah terarium," ujar David,
memperlihatkan pada Terry sebuah kobra yang telah diawetkan. "Pertama kukira
binatang ini masih hidup karena bergerak-gerak. Tapi kemudian kulihat tubuhnya
disambungkan ke sebuah motor listrik."

"Aku bahkan tak yakin ingin menemukan beberapa benda yang terdaftar di sini,"
tukas Terry, membaca daftarnya. "Sebotol darah?"
"Murphy sudah menemukannya," kata David. "Dia sedang mondar-mandir di
koridor depan dan tersandung sebuah papan lantai yang lepas. Botol itu ada tepat
di bawahnya."
"Sampai nanti," ujar Terry. David orang baik, ia menyadari. Sayang para jagoan
lain tak seperti pemuda itu.
Saat memikirkan tim jagoan ia jadi ingat pada Alex, yang membuatnya teringat
pada Niki, dan ia bertanya-tanya di mana gerangan gadis itu dalam rumah besar
yang mengerikan ini. Mungkin nanti ia akan bertemu Niki.
***
Niki membaca daftar itu dengan separo hati. Meskipun ini adalah pesta terhebat
yang pernah dihadirinya, ia tak terlalu tertarik pada permainan.
Pesta ini masih terasa misterius baginya. Tak ada yang cocok.
Perburuan harta karun ini; putusnya, merupakan kesempatan terbaik untuk
menjelajahi istana ini dengan bebas.
Ia mengingat percakapan yang ia baca dari bibir Justine saat gadis itu berada di
bilik telepon, dan kini telah memutuskan hal itu tak berkaitan dengan pesta ini.
Justine kelihatannya hanya ingin membuat para tamunya senang. Dan meskipun
pamannya aneh, gadis itu benar-benar ramah.
Tapi masih ada sesuatu tentang dirinya yang menimbulkan tanda tanya, dan Niki
bertekad menemukan apa itu. Ia sebenarnya merasa agak bersalah karena
memeriksa rumah itu, tapi perburuan harta karun ini memberinya alasan yang
tepat. Tindakannya bahkan takkan berkesan ingin tahu...
Ia kini sedang memeriksa kamar-kamar di lantai atas. Sejauh ini tak ada yang
berisi sesuatu yang menarik perhatiannya.
Ia memasuki sebuah kamar tidur besar di bagian belakang rumah dan menyalakan
lampu. Ia meloncat mundur, jantungnya berdebar kencang, ketika sebuah kepala
besar berkilauan jatuh menggantung di depannya.
Sesaat kemudian ia sadar itu adalah salah satu kejutan Justine.
Ia kembali mematikan lampu, dan kepala itu tertarik lagi ke langit-langit,
digerakkan rel otomatis. Setelah mencari-cari sebentar, ia menemukan sebuah
lampu dan menyalakannya, kemudian tersenyum puas.
Ketika melihat botol-botol parfum dan kosmetika di atas meja rias antik, serta
seprai satin pink yang indah, ia sadar ruangan itu pasti kamar tidur Justine.
Kita bisa tahu banyak tentang seseorang dengan memeriksa kamar tidurnya, pikir
Niki. Sebagai contoh, lihat kamar tidurnya sendiri. Peralatan jahit dan guntingan
foto model baju di papan tempelnya memperlihatkan minatnya pada rancangan

pakaian. Koleksi boneka anjingnya menunjukkan bahwa ia penyayang binatang


dan berharap suatu saat bisa memeliharanya. Dan poster penyanyi rock-nya
menandakan jenis musik yang ia sukai.
Tapi, ia menyadari, saat berdiri di tengah kamar tidur Justine, kamar ini sama
sekali tak banyak memperlihatkan siapa Justine. Tak ada boneka binatang, tak ada
foto bintang film atau penyanyi rock, tak ada petunjuk apa hobinya, sama sekali
tak ada yang bersifat pribadi, kecuali sebuah foto sepasang pria-wanita yang
sedang tersenyum, bergaya tahun lima puluhan, dalam bingkai berukir di atas meja
rias.
Buku sekolah Justine dijejerkan di atas radiator, tapi di ruangan itu tak ada yang
bisa dipakai sebagai meja tulis.
Aneh, pikir Niki. Justine rupanya tak terlalu menanggapi sekolah dengan serius.
Tapi, Niki mengingatkan diri sendiri, setelah semua tempat yang pernah
ditinggalinya, Shadyside pasti terasa sangat tak berarti.
Niki membuka semua laci pakaian, tapi di dalamnya hanya ada beberapa pasang
pakaian dalam dan sweter.
Rasa ingin tahunya semakin memuncak oleh apa yang tidak ia temukan. Niki
membuka pintu lemari pakaian dan terkejut melihat isinya hampir tak ada, kecuali
pakaian sekolah yang ia lihat dipakai Justine.
Di mana jins, kaus olahraga, sepatu olah-raganya? Apa yang ia kenakan setelah
pulang sekolah? Apa ia sama sekali tak punya baju pesta?
Niki mengambil senter, menyorotkannya ke seluruh bagian dalam lemari pakaian,
lalu melihat celah kecil berbentuk kotak di bagian belakang. Ia ingat pintu jebakan
di perapian dan bertanya-tanya apakah ini satu lagi pintu rahasia.
Dengan penuh semangat, ia melangkah ke bagian belakang lemari pakaian dan
mulai menekan-nekan celah itu dengan ujung jarinya. Tak ada yang terjadi.
Sambil mengernyit, Niki menatap pintu lemari pakaian, lalu mulai meraba-raba rak
pakaian yang kosong. Jarinya menyentuh sebuah kenop kecil dan ia memutarnya.
Bagian belakang lemari pakaian berayun terbuka, memperlihatkan sebuah lemari
pakaian yang lebih besar.
Niki mendesah kaget.
Lemari pakaian tersembunyi itu penuh sesak berisi pakaiantapi pakaian yang
sangat berbeda dari baju sehari-hari yang pernah dilihatnya. Pada awalnya Niki
mengira pakaian-pakaian itu mungkin peninggalan mereka yang pernah tinggal di
istana Cameron.
Tapi ketika melepaskan beberapa baju dari gantungannya, ia melihat semua
pakaian itu masih baru, banyak yang berlabel perancang mahal dan toko-toko
terkenal di New York, San Francisco, serta Paris.
Ada setelan wol indah, gaun koktail satin mengilat, rok dan jaket warna-warni
dengan model canggih yang takkan pernah dipakai orang semacamnya.

Sebuah rak krom di atas lantai berisi lusinan sepatu hak tinggi dalam berbagai jenis
kulit dan warna-warni pelangi
Bagian belakang ruang itu berisi tiga gaun resmi maksi yang indah dan dua mantel
bulu, satu cerpelai dan satu serigala.
Niki tak bisa mempercayai matanya. Ini adalah koleksi pakaian terindah yang
pernah ia lihat. Apakah semua ini milik Justine? Tapi kapan ia memakainya? Dan
mengapa semua disembunyikan seperti ini?
Mungkin, Niki memutuskan, ini adalah koleksi pakaian ibu Justine. Tapi tak ada
yang benar-benar tahu apakah Justine punya ibu atau tidak. Mungkin ada wanita
lain, yang lebih tua, yang tinggal di sinikekasih atau istri Philip, mungkin? Tapi
kalau begitu, mengapa Justine sendiri hanya punya beberapa baju?
Ini benar-benar misterius, pikir Niki. Ia suka misteri.
Sebuah lemari laci pendek menempel di satu sisi lemari pakaian dan Niki
membuka laci-lacinya, melihat lipatan baju dalam warna pastel, baju tidur, dan
pakaian dalam sutra. Di laci paling bawah ada sebuah bungkusan. Ia membukanya,
bahkan tak mempertimbangkan kemungkinan tertangkap basah, dan terkejut
melihat foto berbingkai yang memperlihatkan Justine serta seorang pria sedang
berpelukan, saling menatap penuh cinta. Tapi pria itu jauh lebih tuadari helai
uban di rambutnya, paling tidak empat puluh tahun.
Apakah Justine punya affair dengan pria yang lebih tua?
Apakah itu sebabnya ia tak pernah pergi dengan pemuda satu sekolah atau
menghadiri pertandingan?
Niki dengan hati-hati mengembalikan semuanya ke posisi semula, lalu menutup
pintu lemari pakaian rahasia itu. Ia baru akan keluar dari kamar Justine ketika
matanya melihat pintu kamar mandi.
Ia masuk dan, dengan hanya merasa sedikit bersalah, membuka laci lemari obat.
Lemari itu berisi benda-benda yang biasa ada dalam kabinet obat: pasta gigi,
pencuci mulut, beberapa botol cat kuku dan kosmetika lain, aspirin, serta sekotak
Band-Aid.
Ada tiga botol obat resep di rak paling atas. Niki menurunkannya satu demi satu. Ia
tak mengenali nama obat-obat itu, kecuali sejenis obat tidur yang kadang dipakai
ibunya. Tapi semua label obat itu bertuliskan "Enid Cameron".
Enid? pikir Niki. Siapa Enid? Istri Philip?
Tapi berapa banyak pun penjelasan yang ia pertimbangkan, jawaban yang selalu
muncul di benaknya adalah Justine kemungkinan menjalani sebuah kehidupan
ganda.
Pada siang hari ia bersekolah seperti layaknya remaja lain. Tapi pada malam hari
dan pada akhir pekan ia mempunyai hidup yang sama sekali berbeda, yang tak
diketahui siapa pun.
Tapi mengapa? Dan mengapa merahasiakannya?

Mungkin, pikir Niki, ia hanya berkhayal yang bukan-bukan.


Mungkin ada penjelasan yang masuk akal untuk semua yang telah ia lihat. Ia harus
bicara pada Terry, Niki menyadari. Jika ada yang bisa memecahkan teka-teki ini,
orang itu pasti Terry.
Kini yang harus, ia lakukan hanyalah mencarinya, di suatu tempat di istana ini.
***
Terry sangat menikmati perburuan harta karun ini. Sejauh ini, selain tarantula tadi,
ia telah menemukan tiga benda yang ada dalam daftar: tengkorak kepala monyet
mengilap yang disembunyikan dalam keranjang pakaian, bola kristal, dan
penemuan terbarunya, leontin gading berbentuk belati. Ia menemukan leontin itu
ketika membuka sebuah lemari dan ketakutan setengah mati melihat sesuatu yang
tampak seperti potongan kepala berlumur darah, tapi yang ternyata, setelah diamati
lagi, kepala maneken, dilumuri saus tomat.
Setelah hilang rasa takutnya, Terry menemukan leontin itu di leher maneken. Ia
tertawa dan menambahkannya pada koleksi barang rampasannya.
Ia mendengar beberapa pemburu harta karun lain berjalan ke arahnya, lalu ingat
Justine berkata pamannya Philip sedang mempersiapkan beberapa kejutan di
gudang loteng. Ia mencari-cari dan menemukan tangga sempit menuju ke atas.
Saat menaiki tangga yang berderit-derit dan gelap ke gudang loteng, ia merasa
jantungnya berdegup kencang karena antisipasi dan agak takut. Harta karun apa
yang akan ia temukan di sana? Kejutan menakutkan apa? Ini memang pesta
terhebat yang pernah ia hadiri.
Gudang loteng itu sempit dan berdebu, serta penuh kotak dan koper tua. Terry
sadar, dari lapisan tebal debu di atasnya, benda-benda itu telah dikunci di sini
bertahun-tahun lalu.
Ia menyalakan lampu di langit-langit dan melihat sebuah pintu lemari dinding.
Tempat sempurna untuk menyembunyikan barang-barang yang tertulis dalam
daftar, pikirnya.
Sambil menyeringai sendiri, Terry menarik pintunya hingga terbuka, lalu berhenti
dan menatap kaget.
"Tidak! Oh, tolong... tidak!"
Ruangan berubah menjadi putih. Terry tercekik tak bisa bernapas. Ia berpegangan
di pintu lemari dinding dan menatap ke dalam bilik remang-remang itu.
"Alex? Alex?" teriaknya.
Tergantung di seutas tali, tampak tubuh sang Pangeran Perak, lehernya tertekuk
janggal. Darah merah lengket memerciki bagian depan kostumnya yang indah. Dan
membentuk kubangan di lantai ruang itu.
Tes, tes, tes...

Chapter 9
INI satu tipuan lagi, pikir Terry.
Kumohon. Oh, kumohon... semoga ini hanya tipuan lagi.
Tapi kostum perak itu nyata. Dan darahnya terus menetes di depan mata Terry.
Tes, tes, tes.
Ritme teratur yang ia tahu akan diingatnya seumur hidup.
Ia masih menatap sosok temannya yang tertekuk, mencoba mengumpulkan tenaga
untuk mencari seseorang, ketika ia mendengar sebuah suara di belakangnya.
"Apa... oh, tidak!"
Suara itu milik David, matanya membeliak ngeri.
"Aku baru menemukannya," ujar Terry, suara dan tangannya gemetar. "Mungkin
ini tipuan lagi."
"Kurasa bukan," bantah David. "Jangan sentuh dia. Aku akan cari bantuan."
"Aku ikut," Terry tak mau lagi berduaan bersama mayat Alex.
Dalam perjalanan menuruni tangga, mereka bertemu Ricky, Trisha, dan Les.
Dengan cepat David menceritakan apa yang ditemukan Terry.
"Kita harus panggil ambulans!" tukas Trisha. "Mungkin dia hanya terluka."
"Lebih dari itu," bantah David. "Kau tak melihatnya. Lehernya... semua darah
itu..."
Terry gemetar, teringat pada kostum Alex yang bernoda darah. Ia memang punya
masalah dengan Alex, tapi tak ada yang layak mengalami hal seburuk itu.
"Setidaknya telepon polisi!" usul Les.
"Pertama kita harus memberitahu Justine dan pamannya apa yang terjadi," ujar
David. "Mereka akan tahu harus melakukan apa."
Justine dan pamannya sedang duduk di depan perapian, berbicara bersama dengan
suara rendah. Ketika para tamu yang ketakutan itu menerobos masuk ruang tamu
dan menceritakan apa yang terjadi, Justine langsung meloncat berdiri, rasa prihatin
terpancar dari wajah cantiknya.
"Kau telepon polisi," ujar Philip pada Justine. "Akan kulihat bagaimana
keadaannya."
"Tunggu, Paman Philip!" kata Justine. "Jangan melibatkan polisi... dulu."
Philip mengangguk dan bersama yang lain mereka lari menaiki dua deret tangga

menuju gudang loteng.


"Ada di sini," kata Terry, memimpin yang lain ke lemari dinding. Ia
mempersiapkan diri terhadap apa yang ia tahu akan dilihatnya, dan menarik pintu.
Di dalam sama sekali tak ada apa-apa.
"Aku tak percaya!" teriaknya.
"Di mana dia?" tanya David pada saat bersamaan.
"Lucu sekali," ujar Trisha marah. "Kau seharusnya tahu, Terry, kau tak boleh
menipu anggota timmu sendiri!"
"Ini bukan tipuan!" protes Terry. "Aku melihatnyakami berdua melihatnya!"
"Dia tadi ada di sini," tambah David. "Dan darahnya bertetesan." Ia membungkuk
serta menyentuh lantai lemari dinding.
"Kering," ujarnya, terdengar heran.
"Rupanya bukan hanya aku yang mempersiapkan 'kejutan'," kata Justine sambil
tersenyum kecil. "Ayo, Paman Philip, kita kembali ke bawah."
Yang lain sudah akan beranjak mengikuti mereka ketika Niki masuk ke dalam
gudang loteng.
"Ada yang lihat Terry?" tanyanya. Lalu ia melihat pemuda itu. "Ada apa? Apa
yang sedang kalian semua lakukan di sini?"
Dengan cepat yang lain menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Jadi, kami naik ke sini," Les menyelesaikan penuturannya, "dan bukan hanya tak
ada mayat, tapi lemari dindingnya juga kosong. Rupanya mereka mengarang cerita
ini."
"Apa kau mengarangnya?" tanya Niki pada Terry, matanya mengamati wajah
Terry.
"Tidak," ulang Terry. "Aku lihat mayatnya. Asli. Aku tak tahu sekarang di mana,
tapi tadi ada di sini."
"Kalau dipikir-pikir," tukas Ricky, mulai terdengar khawatir, "memang sudah
cukup lama aku tak melihat Alex. Yang lain bagaimana?"
"Mungkin kau hanya merasa melihat sesuatu," kata Niki. "Di sini remang-remang,
banyak bayangan."
"Yang kami lihat nyata," bantah David. "Itu Alex."
"Kalau begitu, kalau dia... seperti yang kaubilang... Kita harus menemukannya!"
sergah Niki. "Ayo, Terry, kita cari di seluruh ruangan."
Tak ada yang mau mencari sendirian, jadi enam orangTerry, Niki, Les, David,
Ricky, dan Trishadengan hati-hati mencari di belakang kotak-kotak di gudang
loteng, lalu merayap menuruni tangga serta mulai memeriksa semua kamar di
lantai dua.
"Ini kamar Justine," ujar Niki, membuka pintu. "Mungkin dia hanya..." Suaranya
diakhiri dengan jeritan.
Yang lain berkerumun mendekat. Berbaring di ranjang Justine, tampak sang

Pangeran Perak.
Tapi begitu mereka mendekat, jelaslah sosok itu bukan Alex.
Ricky yang pertama mendekati ranjang. "Hei!" sergahnya. "Ini hanya..."
"Sebuah boneka!" Terry menyelesaikan kalimatnya. Benda yang tergeletak di
ranjang adalah baju perak Alex, penuh berisi potongan kain tua. "Darah" yang
dilihat Terry dan David adalah serpihan selofan merah yang agak bergerak-gerak
sehingga mirip darah. Dalam sinar terang, Terry hampir tak percaya ia telah tertipu
mentah-mentah. Yang tadi dilihatnya begitu nyata sehingga ia bahkan
membayangkan suara darah yang menetes ke lantai. Betapa tololnya!
"Kena kau!" Alex melompat keluar kamar mandi, mengenakan jubah mandi biru,
tertawa begitu keras sehingga hampir tak bisa bernapas.
"Kau tak apa-apa?" tanya Niki, terbelalak.
"Dia baik-baik saja!" ujar Terry jijik. Suaranya kembali gemetar, bukan karena
takut, tapi karena marah.
"Itu tipuan busuk!" protesnya pada Alex. "Kami mengira sesuatu telah benar-benar
menimpamu!"
"Aku tersentuh oleh perhatianmu," kata Alex sambil tersenyum mengejek, puas.
"Kau hebat,.. David."
"Memang terlihat cukup asli," komentar David, juga tersenyum mengejek.
"Maksudmu, kau juga terlibat?" Terry bertanya pada David, sangat marah.
"Tentu saja," kata Alex. "Kalau tidak, bagaimana mungkin kami meyakinkan
kalian semua untuk membuang begitu banyak waktu mencari mayatku? Ketika
kalian kebingungan mencari sang Pangeran Perak, anggota tim jagoan yang lain
menyelesaikan perburuan harta karun. Sayang, guys, kalian kalah lagi!"
Niki memandang Alex, kini ikut marah. "Tindakanmu sangat jahat, Alex!"
katanya. "Aku tak tahu kau bisa melakukan sesuatu sebusuk itu!"
Sesaat Alex tampak terluka, lalu kembali tersenyum mengejek.
"Hei," katanya. "Apa kau tak tahu, semua cara boleh ditempuh dalam cinta dan...
tipuan Halloween? Lagi pula, Niki," ia menambahkan, "aku memberimu banyak
kesempatan untuk bergabung dengan tim pemenang."
"Ayo, Terry," ajak Niki, meraih tangan pemuda itu. "Ayo kita kembali ke pesta."
"Tolong kalian semua keluar," ujar Alex. "Aku harus kembali mengenakan
kostumkusupaya tim kami dapat mengambil hadiah perburuan harta karun."
Ketika mereka berjalan kembali ke ruang tamu, kepala Terry terasa pening. Ia suka
kejutan. Tapi tipuan kecil Alex telah membuatnya terguncang.
Rupanya aku masih punya perasaan terhadap Alex, pikir Terry. Kalau tidak, aku
pasti bisa berpikir lebih jernih ketika menemukan boneka yang mengenakan
kostumnya tergantung di lemari itu.
Di ruang tamu, Murphy dan Angela sedang berdansa dalam sinar remang lampu
"Harta karun" mereka ditumpuk di atas sebuah meja dekat perapian.

"Mau punch?" tanya Terry pada Niki.


"Kedengarannya enak," jawab Niki. "Akan kucarikan tempat duduk. Aku harus
bicara padamu."
Terry membawa dua cangkir punch dan kemudian duduk di sofa dekat Niki. Gadis
itu masih secantik ketika pertama kali datang tadi, tapi matanya mengecil khawatir.
"Masih kesal pada perbuatan Alex?" Terry bertanya padanya.
"Tidak juga," jawab Niki. "Ini mengenai hal lain. Ingat yang kukatakan padamu
tentang apa yang diucapkan Justine kemarin?"
Terry memotong perkataannya dengan heran. "Kau tak masih berpikir dia sedang
merencanakan sesuatu?" tanyanya. "Justine adalah satu-satunya orang dalam pesta
ini yang belum melakukan apa pun yang aneh."
"Mari kuceritakan apa yang kutemukan," Niki meneruskan. "Dan katakan apa
pendapatmu, Saat kau sedang mencari harta karun, aku masuk ke kamar Justine..."
"Kau memeriksa kamarnya?"
"Dia tak mengatakan bahwa ada bagian rumahnya yang tak boleh dimasuki," Niki
mengingatkannya. "Lagi pula, aku ingin tahu. Terry, di kamarnya tak ada bendabenda yang biasa dimiliki seorang remaja sekolah menengah..."
"Yah, mengapa dia harus mempunyainya?" tukas Terry. "Dia baru pindah ke sini
beberapa bulan lalu. Lagi pula, dia sudah tinggal di seluruh dunia. Dia mungkin
lebih tertarik pada benda-benda yang dia dapatkan dalam perjalanannya daripada
bendera dan warna-warna sekolah."
"Dia juga tak punya barang-barang dari perjalanannya," lanjut Niki. "Kamarnya
boleh dibilang kosong, hanya ada satu hal..."
Niki menceritakan tentang lemari dinding tersembunyi dan pakaian yang ia
temukan di dalamnya, serta foto Justine dengan seorang pria yang lebih tua.
"Oke," kata Terry. "Nah, ada satu penjelasan sederhana. Justine adalah agen CIA
dan pria itu mata-mata Rusia."
"Serius dong!" sergah Niki, tapi ia juga tertawa. "Begini, aku tahu ini terdengar
gila, tapi yang kutemukan di kamar Justine tak masuk akal. Dan aku juga
menemukan beberapa botol obat resep yang dibuat untuk Enid Cameron."
"Itu namanya di CIA," ujar Terry. "Dan itu sebabnya dia mengadakan pesta ini.
Dia akan meminta semua orang yang diundangnya menjadi mata-mata."
"Mungkin dugaanmu tak terlalu meleset," kata Niki. "Terry, aku benar-benar
berpikir Justine menjalani semacam kehidupan ganda."
"Yah, mungkin dia memang melakukannya," komentar Terry. "Tapi, terus kenapa?
Kalau kau memang benar-benar terganggu dengan hal itu, tanyakan padanya. Dia
gadis yang sangat baik, dan aku yakin dia takkan mau ada yang mencurigai... "
Terry menghentikan ucapannya ketika bel Justine kembali berdering. Suara itu
berasal dari atas, dan semua mata menoleh untuk melihat Justine berdiri di pagar
balkon di atas ruang tamu, di atas meja di sebelahnya terdapat sebuah kotak

terbungkus kertas emas.


"Tiba waktu memberikan hadiah pada pemenang perburuan harta karun," katanya.
"Dan aku sangat bahagia karena permainan ini begitu sukses. Meskipun"ia
berhenti sebentar dan tersenyum nakal"ada satu-dua kejutan yang bahkan aku
pun tak merencanakannya."
Sebagian besar remaja bertepuk tangan dan bersorak-sorai, dan
Justine membungkuk sedikit. "Hadiahnya adalah cokelat istimewa dari Paris,"
katanya. "Siapa yang mau menerimanya sebagai wakil tim pemenang?"
"Aku," jawab Alex. Ia sudah kembali mengenakan kostum, dan tetap tampak
tampan waktu perlahan menaiki tangga menghampiri Justine.
"Sempurna," kata Justine mendesah. "Cokelat, emasuntuk seorang Pangeran
Perak." Ia membungkuk untuk mengambil kotak emas, lalu agak sempoyongan
serta berpegangan di pagar balkon.
Sebelum ia dapat menyerahkan cokelat kepada Alex, pagar balkon tiba-tiba lepas,
dan sambil menjerit seram, Justine terjerunuk ke depan dan terjun ke lantai di
bawah!

Chapter 10
DIA jatuh begitu cepat hingga tak ada yang sempat bergerak. Jeritannya bergaung
di langit-langit tinggi.
Ia mendarat keras di atas salah satu sofa beludru berwarna gelap di bawah balkon
dan tak bergerak.
Terry dan yang lain berlari ke sofa itu, terlalu takut untuk bicara.
Justine berbaring telentang di sofa, terpejam, lengannya tertekuk bengkok di
punggung sofa.
Alex yang paling dulu mencapainya. "Justine!" teriaknya.
Mata gadis itu membuka dan ia perlahan duduk.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, pening.
Terry sadar ia menahan napas. Apa lagi yang akan terjadi sesudah ini? ia bertanyatanya.
"Kau jatuh," kata Alex pelan pada Justine. "Kau tak apa-apa?"
"Kurasa," jawab Justine. "Tapi bagaimana..."
"Pagar balkonpatah begitu saja," potong Alex.

"Tapi bagaimana mungkin?" tanya Justine. "Pagar itu kokohkami sudah


memeriksakan semua struktur kayu di rumah ini sebelum kami pindah."
Ia bersandar di bantal dan mengerang nyeri.
"Pergelangan tanganku...," katanya.
"Mungkin terkilir," kata Alex, memegangnya. "Kau punya pembalut elastik?"
Ketika Trisha dan Angela mengambil perban, remaja lain mulai menaiki tangga
untuk menyelidiki lokasi pagar yang putus.
Tapi Philip sudah berada di atas, dan meskipun memakai topeng badut berwajah
sedih, ia tampak marah.
"Baik!" katanya dengan nada tegas, lebih keras daripada yang didengar Terry
sepanjang malam. Semua berhenti terpaku. "Siapa di antara kalian yang melakukan
hal ini?"
"Melakukan apa?" tanya Murphy. "Tangga balkon tiba-tiba..."
"Kayunya digergaji!" tukas Philip.
Ia mengacungkan sepotong patahan kayu, dan semua bisa melihat kayu itu telah
dipotong rata.
"Tim jagoan yang melakukannya!" sergah Ricky, mundur menuruni tangga seperti
yang lain. "Kami dengar beberapa tipuan mereka berbahaya!"
"Kami tak melakukan apa-apa!" bantah Murphy. "Mengaku saja, kalian
pelakunyakarena kalian tak mau kalah!"
"Kau benar-benar gila, ya?" protes Les. "Untuk apa kami melakukan hal sebodoh
itu? Bahkan, untuk apa ada yang melakukannya?"
"Aku tahu satu alasan kuat," jawab Alex, dengan wajah muram.
"Oh ya?" tanya Les. "Apa?"
"Untuk membuat tim kami tampak jelek," jawab Alex, menatap Terry.
"Apa kau menuduhku melakukan sesuatu?" tanya Terry. "Kalau ya, katakan terus
terang."
"Aku tak menuduh siapa pun melakukan apa pun," elak Alex. "Aku hanya merasa
aneh, karena tepat setelah tim kalian kalah dalam perburuan harta karun, sesuatu
yang buruk terjadi."
"Itu keterlaluan!" sergah Terry. "Kapan kami punya waktu dan kesempatan
melakukannya? Kau mungkin hanya menutupi perbuatanmu sendiri! Apa tak
cukup kau telah bertindak licik supaya menang? Apa kau juga ingin membunuh
seseorang?"
Alex cepat menuruni dua anak tangga terakhir, dengan napas menderu. "Kalau kau
bukan bekas temanku," katanya, "aku akan..."
"Ya?" tantang Terry, marah pada diri sendiri karena terpancing untuk bertengkar,
tapi tak bisa mundur. "Kau akan melakukan apa?"
"Tak apa-apa," gumam Alex, memutuskan dirinyalah yang harus mendinginkan
suasana.

"Hentikan! Apa kalian berdua tak bisa berhenti!" Niki sedang berdiri di antara
mereka dan berteriak pada keduanya. "Sesuatu yang mengerikan telah terjadi dan
kalian berdua hanya bisa meributkannya!"
Ia menoleh pada Philip.
"Mr. Cameron," katanya,
"kami semua merasa tak enak atas kejadian ini.
Tapi saya yakin tak ada di antara kita yang sanggup melakukan hal sekejam ini."
"Ada yang memotong pagar tangga," tukas Philip, kini sudah berada di bawah,
duduk di sebelah keponakannya. "Dan hampir membunuh keponakanku."
"Aduh, Paman Philip," bujuk Justine. "Siapa pun pelakunya tak mungkin tahu aku
akan bersandar di pagar itu..." Ia merangkul bahu pamannya dengan sebelah
lengan. "Aku hanya merasa tak enak hal ini telah merusak suasana pesta. Aku
hanya ingin semua orang bersenang-senang."
Philip berdiri dan melangkah menjauh, menggeleng-gelengkan kepala.
"Hei, tak ada masalah." Alex berada di sebelah Justine di sofa dan merangkulnya
dengan sebelah lengan. "Tak ada yang rusak. Pesta ini hebat."
"Benar," tambah Angela, memegang pergelangan tangan Justine. "Semua
kekacauan yang telah terjadi bukan salahmu. Kami semua menikmati pesta ini."
"Benar?" tanya Justine lirih. "Terima kasih kau telah mengatakannya."
Kini semua yang lain berkerumum di sekitar Justine, menyatakan betapa hebat
pesta itu. Justine kembali mengembangkan senyumnya yang paling menawan.
"Terima kasih semuanya," katanya. "Mungkin kita hanya memerlukan beberapa
menit untuk menenangkan diri dan rileks, dan kemudian kita akan meneruskan
pesta ini. Masih ada banyak kejutan."
Ia berhenti dan berdiri, lalu melihat ke sekeliling ruangan. "Aku akan ke atas
sebentar untuk menenangkan diri. Kita akan bertemu lagi nanti."
"Terserah kau," kata Alex. Ia meletakkan tangannya di tengkuk gadis itu dan
menatapnya seolah hanya mereka berdua yang ada di ruangan itu.
Justine membisikkan sesuatu di kuping Alex. Pemuda itu tertawa dan balas
berbisik. Lalu Justine naik ke lantai atas.
Bagaimana mungkin Justine dan Alex begitu akrab? Terry bertanya-tanya. Alex
mungkin orang yang memotong pagar balkon, atau setidaknya tahu siapa
pelakunya.
"Mereka berdua hanya akan mendapat masalah," Niki tiba-tiba berkata.
Terry melihat gadis itu juga sedang mengamati Alex dan Justine.
"Aku tahu maksudmu," Terry menyetujui. "Harus ada yang memperingatkan
Justine."
"Memperingatkan Justine?" mata Niki mengilat marah. "Harus ada yang
memperingatkan Alex. Mungkin menurutmu aku salah, tapi pokoknya aku tak
mempercayai gadis itu."
"Kau hanya punya firasat konyol, itu saja," ujar Terry, heran sendiri mengapa ia

begitu ingin membela Justine. "Kau tahu, Niki, kau bersikap seolah..."
Ia menghentikan kalimatnya sebelum mengatakan sesuatu yang disesalinya.
"Aku bersikap seolah apa?" Niki memegang pipi Terry dan menarik wajahnya
mendekat. Mata gadis itu berapi-api, berisi kemarahan dan sesuatu yang lain.
"Seolah kauyahcemburu!" Terry mengutarakannya. "Kini setelah Alex lebih
banyak memberikan perhatian pada Justine daripada kepadamu, kau tampaknya
berpendapat Justine-lah si Penyihir Jahat dari Barat."
Sesaat Niki tak menjawab. Wajahnya jadi sangat pucat.
"Apa kau benar-benar berpikir begitu?" akhirnya ia bertanya.
"Dengar, aku tahu kau tak peduli pada Alex," kata Terry. "Tapi mengapa kau tibatiba sangat berpandangan negatif terhadap Justine?"
"Pertama, aku peduli pada Alex," ujar Niki. "Sebagai seorang teman. Dan aku tak
mau melihatnya terluka. Kedua, ada sesuatu tentang Justine yang tak beres. Dan
jika dia tak membuatmu terpukau, kau sendiri pasti melihatnya. Beberapa peristiwa
yang sangat aneh telah terjadi..."
"Oh, begitu," tukas Terry, tersinggung. "Dan kurasa kau pikir Justine sendiri yang
memotong pagar itu."
"Aku tak berkata begitu," jawab Niki. "Aku tak tahu siapa yang memotongnya.
Tapi hal itu tak mengubah kenyataan bahwa Justine sedang melakukan sebuah
permainan dengan kita semua, dan khususnya dengan Alex."
"Jadi, sekarang kau akan melindungi Alex?" Terry tidak bisa menahan diri tak
mengatakannya, meskipun ia tahu hal itu akan membuat masalahnya semakin
buruk.
"Apa yang akan kulakukan," kata Niki, suaranya dingin penuh amarah, "adalah
mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sementara masih ada waktu!"
Ia langsung berbalik dan berjalan pergi.
Terry melihatnya pergi.
Justine telah memasang sebuah TV layar lebar dan Bride of Frankenstein sedang
diputar. Terry belum pernah melihatnya, jadi ia ikut menonton sebentar. Ia
sebenarnya mulai menikmati film itu ketika gelegar guntur yang memekakkan
telinga mengguncang rumah.
Sesaat kemudian layar jadi gelap dan semua lampu mati.

Chapter 11
BEBERAPA remaja mendesah kaget.
Terry mendengar suara tawa gelisah.
Sinar perapian memberikan satu-satunya penerangan. Lidah api yang bergoyanggoyang menimbulkan bayangan mengerikan di dinding.
Suara Justine memecah kegelapan.
"Kalian mungkin bertanya-tanya apakah ini satu lagi kejutanku," katanya sambil
tertawa kecil. "Tapi guntur mengejutkan ini adalah kekuatan alam. Dan suasana
gelap ini sempurna bagi permainan berikutnyajika kalian cukup berani
memainkannya."
"Ayo pes-taa!" teriak Ricky.
"Duduk, Schorr!" teriak seseorang.
Terry menyipitkan mata memandang jamnya dalam sinar perapian, dan meliha t
jarumnya menunjukkan pukul tiga. Telah terjadi begitu banyak kegemparan
sehingga waktu terasa melesat cepat. Ia terkejut menyadari hanya dalam beberapa
jam pesta ini akan berakhir.
Ia mencoba melihat di mana Niki. Ia tahu gadis itu berada di suatu tempat di balik
bayang-bayang, tapi memutuskan tak memaksakan diri. Niki akan kembali setelah
marahnya reda.
Justine mulai menerangkan sebuah permainan baru, yang ia sebut Kebenaran.
"Maksudnya adalah, kalian mengatakan pada semua orang hal terburuk yang
pernah kalian lakukan," jelasnya. "Lalu semua orang mengambil suara apakah
kalian mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Jika menurut mereka kalian
berbohong, kalian harus membayar penalti."
"Itu permainan terbodoh yang pernah kudengar," protes Murphy.
"Maksudmu, kau takut mengatakan yang sebenarnya di depan teman-temanmu?"
tanya Justine.
"Tak mungkin aku takut. Aku hanya merasa permainan ini agak konyol," bantah
Murphy, mundur. "Tapi aku tak takut."
"Bagus," ujar Justine sebelum pemuda itu bisa meneruskan perkataannya. "Begini,
maksud permainan ini adalah supaya kita bisa lebih saling mengenal. Nah,
sekarang, siapa yang mau memulainya?"
Tak ada yang mengajukan diri. Akhirnya Justine mengarahkan senyumnya pada
Ricky.
"Ricky, bagaimana denganmu?" tanya gadis itu. "Ceritakan pada kami hal terburuk
yang pernah kaulakukan."
Ricky berdiri di depan perapian, tampak gelisah dan malu.
"Aku tak bisa menceritakannya," katanya canggung.
"Hei, Schorr, itu bukan sifatmu!" seseorang berteriak. "Sejak kapan kau tak mau

berbicara tentang dirimu sendiri?"


Semua tertawa.
Semua kecuali Ricky.
"Pada suatu saat terjadi sesuatu yang sangat buruk," kata Ricky, bergumam sambil
menunduk. "Di Pulau Fear. Saat bermalam dengan beberapa temanku. Kami
mengira seseorang mati, dan..." Ia berhenti. "Aku benar-benar tak bisa
menceritakannya."
"Seru!" teriak seseorang..
Seorang lagi berteriak mengejek, kesal karena tak bisa mendengar keseluruhan
cerita itu.
"Kau harus dihukum karena tidak menceritakan kisahmu," ujar Justine.
"Penaltinya, kau harus berdiri di atas satu kaki sampai aku mengizinkanmu
berhenti."
"Di atas satu kaki?" protes Ricky. "Keseimbanganku jelek."
"Kalau begitu, ini hukuman yang cocok," komentar Justine.
"Oke, giliran siapa sekarangbagaimana kalau Angela?"
"Hal terburuk yang pernah aku lakukan?" ulang Angela, berdiri dan tersenyum.
"Mudah. Aku mencuri pacar saudaraku musim panas tahun lalu. Aku
meneleponnya, pura-pura jadi saudaraku, memintanya menemuiku. Kukatakan
betapa aku menyukainya. Tapi kemudian aku menyesal," ia menambahkan.
"Ternyata dia benar-benar menyebalkan."
Semua orang tertawa dan bertepuk tangan.
Ketika Angela duduk, Murphy berdiri dan mulai bercerita tentang pengalamannya
menyontek pada saat tes matematika supaya bisa tetap menjadi anggota tim
olahraga.
Menurut Terry, permainan ini benar-benar konyol, dan bahkan agak kejam. Ia
yakin Niki juga membencinya. Mungkin mereka berdua bisa memisahkan diri dan
bercakap-cakap.
Ia mencari ke sekeliling, mencoba menemukannya, dan tiba-tiba sadar Niki tak
berada di ruang tamu itu.
Dengan bingung, ia berdiri dan memeriksa koridor serta dapur, tapi tak terlihat
tanda-tanda kehadiran Niki. Dengan perasaan khawatir, ia ingat gadis itu berkata
akan mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Ketika ia kembali ke ruang tamu, Ricky masih berdiri di atas satu kaki.
"Apa sekarang aku boleh berhenti?" ia memohon pada Justine.
"Jika kau mau menceritakan pada kami hal terburuk yang pernah kaulakukan,"
jawab gadis itu.
"Tapi aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Hanya saja... akan melibatkan
teman-temanku. Aku tak boleh menceritakannya. Dan percayalah, cerita ini benarbenar membuat orang tertekan." Ia tampak sangat salah tingkah, dan Terry merasa

kasihan padanya.
"Oh, baiklah, duduklah," ujar Justine. Jemarinya terjalin rapat dengan jemari Alex,
dan sesaat ia menyandarkan kepala di dada pemuda itu. "Giliran siapa sekarang?"
tanyanya.
"Bagaimana kalau kau?" usul Ricky.
"Oh, tidak," jawab Justine sambil kembali tersenyum nakal.
"Aku nyonya rumah, jadi aku dapat giliran terakhir. Bagaimana kalau... Terry?"
katanya, melihat pemuda itu.
"Eh, jangan sekarang," tolak Terry. "Aku, eh, mencari Niki. Ada yang
melihatnya?"
"Tidak," jawab Trisha. "Tapi di sini sangat gelap.
"Mungkin dia sedang bersembunyi," usul Murphy.
"Kalau dipikir," kata Alex, "aku juga sudah cukup lama tak melihat Les. Mungkin
Niki memutuskan berganti pengecut."
"Atau mungkin kau tahu d ia ada di mana!" sergah Terry.
"Jangan menuduhku," bantah Alex. "Kalau kau tak bisa memonitor pacarmu
sendiri, itu bukan salahku."
Terry sudah siap membalas dengan jawaban pedas, tapi sebelum ia bisa melakukan
sesuatu, Justine berdiri.
"Berhentilah bertengkar!" tukasnya. "Kalian merusak permainan ini."
Alex terus membeliak pada Terry.
Terry membalas tatapannya, lalu mengangkat bahu.
"Aku akan mencari Niki," ia mengumumkan sambil lalu.
Ia mengambil sebuah senter dari atas rak perapian dan mulai menaiki tangga.
Hujan masih turun dengan deras, tapi ia bisa mendengar Alex dan Murphy tertawa
di ruang tamu.
"Sepertinya Terry sedang melakukan perburuan harta karunnya sendiri," komentar
Murphy.
"Mungkin dia hanya tak bisa menerima kenyataan," tambah Alex.
Terry memeriksa semua ruangan di lantai dua. Ketika sampai di ruangan terakhir,
kamar tidur Justine, ia mulai merasa agak gelisah.
Apa ada yang terlewat olehnya?
Apa Nikientah bagaimanamemutuskan pulang?
Sesaat ia berdiri di koridor, menyorotkan sinar senternya lurus ke depan.
Di ujung koridor, air hujan mengempas jendela, membuat kacanya berderak dan
bergetar. Di luar, pendar petir menerangi pepohonan yang terempas-empas. Sesaat
ia mengira mendengar derum sepeda motor dan tubuhnya membeku, tapi kemudian
ia menyadari itu hanya suara petir.
Niki takkan pulang di tengah badai seperti ini, ia menyadari. Jadi, gadis itu pasti
berada di suatu tempat di dalam rumah.

Matanya melihat tangga ke gudang loteng, dan dengan enggan, mengingat apa
yang terjadi ketika tadi naik ke atas, ia menaiki tangga sempit itu.
Ia menyorotkan senternya ke sekeliling ruangan berdebu itu, menerangi tumpukan
kotak. Petir membuat bayangan benda-benda itu seolah menari-nari dan meloncatloncat, dan angin membuat seluruh ruangan berderak, seolah bernyawa.
Mau tak mau Terry merasa diselimuti firasat buruk.
Hentikan, Terry, katanya pada diri sendiri. Kau membiarkan imajinasimu
menipumu karena apa yang terakhir kali kautemukan di sini. Rumah ini tak
berhantu dan tak ada yang perlu ditakuti.
Mungkin Niki sekarang bahkan sudah kembali ke bawah, pikirnya. Ia berbalik
akan pergi, tapi kemudian matanya melihat pintu lemari dinding tempat ia
menemukan Sang Pangeran Perak.
Tidak.
Tak ada alasan mengapa Niki harus berada di sana, pikirnya.
Firasat buruknya semakin kuat terasa.
Ini konyol sekali, pikirnya. Itu cuma lemari dinding.
Ia menjulurkan tangan dan perlahan membuka pintu.
Dan membeku, terguncang.
Di sana, terpuruk dalam posisi separo duduk, terdapat sebuah tubuh. Di dadanya
menonjol gagang sebuah pisau daging besar.
Tapi itu bukan boneka, tak seperti sang Pangeran Perak.
Dalam sinar senter, terlihat jelas mata biru kosong yang menatapnya di balik
kacamata tebal berbingkai hitam.
Itu Les Whittle.

Chapter 12
Lucu sekali, Les," kata Terry keras-keras, berharap ia salah.
Ia mengulurkan tangan dan menyentuhnya. Les terasa hangat.
"Baiklah, Les," katanya. "Hentikan. Ini aku. Terry. Kita anggota tim yang sama,
ingat?"
Les tak menjawab. Ia berbaring di sana, menatapnya, tak berkedip, bola matanya
seperti kelereng.

"Denyut nadi," ujar Terry. "Mana denyut nadimu, Les?"


Ia meraba pergelangan tangan Les, lalu pangkal tenggorokannya. Tak ada gerakan.
Ia meletakkan jarinya di depan mulut Les, tapi tak ada napas.
Kini Terry mengamati dada Les, mencoba tak memikirkan gagang pisau yang
menonjol. Tak ada gerakan. Sama sekali tak ada.
Tidak, Kata Terry dalam hati. Tidak. Tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak!
Ini tak mungkin terjadi.
Ini lelucon lagi, kejutan lagi. Pasti.
"Jangan mati, Les," katanya. "Kumohon jangan mati."
Tapi Les tak menjawab. Matanya yang tak berkedip terus menatap dari wajahnya
yang sangat, sangat pucat, seperti mata maneken di toko.
Sempoyongan, Terry mundur keluar lemari dinding itu. Jantungnya berdetak
begitu kencang hingga ia dapat mendengar deburnya.
Dengan tubuh gemetar ia berjalan kembali ke tangga. Kakinya terasa lemah dan
lemas, seolah ia mencoba berjalan di bawah air. Atau dalam mimpi.
Kumohon, semoga ini hanya mimpi, pikirnya.
Ia hampir mencapai ruang tamu ketika sebuah sinar menerangi wajahnya. David,
baru keluar dari kamar mandi.
"Hei, Terry," ujar David terkejut. "Apa yang terjadi padamu? Kau kelihatannya
seperti baru lihat..."
"Les sudah mati," gumam Terry datar.
"Apa?"
"Benar. Aku baru menemukannya. Di dalam lemari dinding. Di atas."
"Hei, kau serius, ya?" tanya David.
Terry tak tahu harus menjawab apa, tapi kemudian mata David menyipit curiga.
"Hei, tunggu sebentar," katanya. "Kau mencoba balas dendam padaku karena
tipuan Pangeran Perak tadi, ya?"
"Les sudah mati," ulang Terry. "Di dadanya tertancap sebuah pisau."
"Dan kau akan menunjukkannya padaku, ya kan?" tanya David. "Dan kemudian
Les akan meloncat berdiri serta berteriak kena kau!"
"Dia takkan bisa berteriak lagi," kata Terry. Ia merasa dirinya mulai pulih dari rasa
terkejutnya. "Aku tak peduli kalau kau tak mempercayaiku. Aku harus menelepon
bantuan."
"Tunggu sebentar," ujar David. "Ayo kita kembali ke atas. Mungkin yang kaulihat
hanya tipuan lagi."
"Tidak," kata Terry.
"Yakin?" tanya David. "Ingat betapa nyata Alex terlihat? Kau tadi juga yakin itu
nyata."
"Kurasa ini bukan tipuan," bantah Terry. Tapi untuk pertama kali ia merasa
harapannya muncul.

Ia kembali naik ke atas bersama David. Ketika mereka menaiki deret tangga
terakhir menuju loteng gudang, Terry memaksa dirinya tenang.
Aku tak mau melihat tubuh Les lagi, pikirnya. Tapi mungkin David benar.
Mungkin aku melihat sesuatu dan hanya mengira itu Les. Tangannya masih
gemetar ketika ia mengulurkannya untuk membuka pintu lemari dinding.
Lemari itu kosong.
"Aku sudah tahu!" kata David. "Ini hanya tipuan untuk membuatku naik ke sini, ya
kan? Apa lagi sekarangwajahku dilempar pie?"
Terry hanya menatap lemari kosong itu, perasaan lega membanjiri sekujur
tubuhnya seperti dam yang roboh.
Ternyata tak nyata. Mungkin ia sudah gila. Tapi lebih baik ia berhalusinasi
daripada melihat Les benar-benar mati.
"Terry?" Kini David terdengar khawatir. "Kau tak apa-apa?,"
"Tadi dia ada di sini," kata Terry. "Persis seperti yang kugambarkan. Rupanya aku
telah..."
Ia berhenti bicara ketika sinar senternya menyorot sesuatu di lantai lemari dinding.
"Ada apa?" tanya David. Dan kemudian ia juga melihatnya.
Kubangan berwarna gelap dan kental di lantai lemari dinding.
Dengan gemetar, Terry membungkuk untuk menyentuhnya. Tangannya jadi basah
dan lengketdan merah.
"Masih ada lagi," kata David. Kini suaranya juga gemetar.
Dari lemari dinding membentang jejak tetesan dan gesekan noda darah.
Tanpa berkata apa-apa, keduanya mengikuti jejak itu ke belakang tumpukan kotak
di gudang loteng. Menyusurinya ke jendela di bagian belakang.
Daun jendela terbuka, dan air hujan mendera masuk, membasahi papan lantai yang
sudah usang. Dinding di bawah bingkai jendela bernoda coretan darah.
Terry tak percaya jantungnya bisa berdetak sekencang dan sekeras sekarang. Apa
yang terjadi pada tubuh Les. Apa pemuda itu benda itukeluar dari lemari
dinding dan melarikan diri lewat jendela?
Apa Les, entah bagaimana, telah bergabung dengan para zombie di hutan Fear
Street?
"Aku akan melihat ke luar," kata David. Ia terdengar bahkan lebih takut daripada
yang dirasakan Terry.
Perlahan David mendorong jendela sampai terpentang lebar dan menjulurkan
kepala ke tengah derai hujan. Terry berimpitan dengannya di jendela.
Mereka melihatnya pada saat bersamaan.
Di sana, tepat di bawah mereka, di atas atap jendela lantai dua, terbaring tubuh
hancur Les, pisaunya berkilauan disinari petir.

Chapter 13
"KITA harus mengambilnya," kata David. Terry tak mengerti mengapa, tapi ia
bersyukur ada yang bisa dikerjakan.
"Salah satu dari kita harus turun ke sana," ujar David. Ia menemukan seutas tali di
lantai dan mulai menurunkannya.
"Aku yang turun," kata Terry, tanpa berpikir.
Ia memanjat ke atas tepi jendela yang licin, lalu menjatuhkan diri ke atas genting
jendela di bawah. Angin menyayat wajahnya, dan bertiup begitu kencang hingga ia
hampir tak bisa melihat.
Ia tergelincir dan hampir jatuh, tapi berhasil meraih tepi atap serta mengembalikan
keseimbangannya.
"Tahan, Les," katanya. "Aku datang."
David menjatuhkan tali dari jendela.
Terry menangkap ujungnya yang menggantung-gantung, lalu mulai bergeser
sedikit demi sedikit ke tempat Les tergeletak.
Pisau itu masih mencuat dari dadanya, seperti semacam daging tumbuh, dan untuk
pertama kali Terry sadar bahwa, bukan saja Les sudah mati, seseorang juga telah
membunuhnya.
Membunuhnya.
Seseorang pada pesta ini adalah pembunuh.
Terry memaksa diri menepis pikiran itu dari benaknya, dan memusatkan perhatian
pada upaya menyeberangi permukaan genting yang miring. Selangkah demi
selangkah, katanya dalam hati.
Kacamata Les telah terlepas dan kulitnya tak lagi hangat. Tapi matanya masih
terbuka, dan Terry mencoba tak menatapnya ketika ia membuka ikatan tali di
sekeliling tubuh Les, di atas gagang pisau yang menonjol. Lalu ia menarik dan
menyeret tubuh itu sampai berada tepat di bawah jendela, serta mengangkatnya
ketika David menarik ujung tali yang satu lagi. Akhirnya mereka berhasil
menaikkan tubuh itu ke atas jendela dan ke dalam ruangan. Kemudian Terry juga
melompat ke dalam.
Sesaat kedua pemuda itu hanya menatap mayat teman mereka, sama-sama
bernapas tersengal-sengal. Akhirnya David menutup jendela.
"Kita harus menutupinya dengan sesuatu," katanya.

Terry mengangguk. Mereka memeriksa gudang berdebu itu sampai menemukan


sehelai selimut tua. Mereka meluruskan tubuh Les, lalu menutupinya.
Kini setelah mereka selesai, Terry sadar mereka harus menghadapi persoalan besar
berikutnyaapa yang sekarang harus dilakukan.
"Kita sebaiknya menelepon polisi," usulnya.
David mengangguk. "Bukankah kita sebaiknya memberitahu yang lain apa yang
telah terjadi?"
Terry berpikir sesaat. "Tidak, sebelum kita berbicara dengan polisi," katanya. "Di
sini ada seorang pembunuh. Kita tak mau dia melarikan diri."
"Setidaknya kita harus bicara pada Philip," bantah David. "Mungkin lebih baik
kalau dia yang menelepon."
Mereka kembali ke ruang tamu seolah tak ada yang terjadi.
Terry merasa seolah sepuluh jam sudah berlalu, tapi setelah menatap jamnya ia
tahu baru beberapa menit berlalu.
Para tamu lain masih bermain Kebenaran. Alex sedang berdiri di atas kepalanya di
sudut ruangan, dan Terry menduga pemuda itu sedang membayar sebuah penalti,
tapi ia tak terlalu peduli. Semua semangat bersenang-senang dan bermainnya sudah
hilanguntuk selamanya.
"Hai, guys," ujar Justine ceria. "Sudah siap untuk Kebenaran?"
"Belum," jawab Terry. "Aku harus menanyakan sesuatu pada pamanmu. Kau tahu
dia ada di mana?"
"Bukankah dia ada di sini?" Justine balik bertanya. "Atau di dapur?"
"Aku tak melihatnya dari tadi," jawab Angela.
"Mungkin dia juga menghilang," kata Murphy, tertawa. "Seperti Niki dan Les.
Mungkin tepat di tengah rumah ini ada segitiga Bermuda."
Niki!
Setelah menemukan mayat Les, Terry sama sekali melupakan gadis itu. Niki masih
hilang, dan ada pembunuh di dalam rumah ini.
Yang terpikir olehnya hanyalah berlari kembali menaiki tangga dan mulai mencari
Niki lagi. Tapi David mencengkeram bahunya.
"Ayo, Terry," ajaknya, terdengar hampir normal. "Kita lihat apakah Philip ada di
dapur."
Benar, kata Terry dalam hati. Panggil bantuan. Itulah yang pertama kali harus
dilakukan.
Ia mengikuti David ke dapur. Sebuah jendela terbuka terbanting-banting angin, dan
di sebelahnya tergantung sebuah telepon dinding; licin karena air hujan.
Dengan jari masih gemetar, Terry mengangkat gagang telepon dan memutar nomor
911. Tapi tak ada nada panggil.
"Salurannya mati," bisiknya, bertanya-tanya kekacauan apa lagi yang akan terjadi.
"Mungkin angin membuat kabelnya lepas," kata David. "Embusannya cukup kuat

untuk membuka jendela itu."


"Coba kulihat," ujar Terry. Ia membuka kunci pintu belakang dan mengintip ke
luar. "Kabelnya lewat persis di atas jendela," katanya. "Mungkin..."
"Kabelnya dipotong!" sergah David. Ia melangkah ke beranda, menunjuk. Tak
salah lagikabel itu menggantung jadi dua, jelas dipotong.
Kedua pemuda itu saling pandang. Terry bertanya-tanya apakah ia tampak setakut
David.
"Menurutmu, si pembunuh yang melakukannya?" tanya Terry.
"Pasti Bobby dan Marty," jawab David. "Siapa lagi?"
Terry memikirkannya. Apa Bobby dan Marty tega membunuh Les?
"Mereka bisa saja mengendap-endap kembali dan masuk lewat jendela," kata
David, rupanya memikirkan hal yang sama.
Tidak. Tak mungkin, pikir Terry.
Kedua pengendara motor itu berkeliaran ke mana-mana, menyombongkan diri,
pura-pura bersikap hebat. Tapi mereka bukan pembunuh.
Ada seseorang, kata sebuah suara di kepalanya.
Ada seorang pembunuh. Seseorang yang kaukenal.
Seseorang di pesta ini.
Satu-satunya hal yang ia tahu pasti adalah mereka harus cari bantuansecepat
mungkin.
Dan bahwa ia tak bisa meninggalkan istana itu sampai menemukan Niki.
"Kita harus menemukan Philip," ujar David. "Kemudian salah satu dari kita bisa
pergi cari bantuan."
Kedua pemuda itu berlari kembali ke dalam rumah lewat koridor depan. Terry
melihat ke luar panel jendela di sebelah pintu depan. Di seberang halaman, sepeda
motor Marty yang rusak berkilauan terkena sinar petir seperti tanda peringatan
akan adanya bencana.
Saat itu sebuah petir yang sangat menyilaukan menerangi halaman, dan mata Terry
melihat sesuatu.
Dengan cepat ia lari ke arah sepeda motor, diikuti David.
Tergeletak kusut di tengah lumpur, tepat di bawah roda depan, sepotong jaket satin
birukostum badut Philip.
Terry memeriksa jaket itu. Satu lengannya penuh berlumur darah.

Chapter 14
"INI lelucon, kan?" tanya Murphy. "Satu lagi tipuan..."
"Sudah pasti," kata Alex. "Terry masih marah karena tim pengecut kalah dalam
perburuan harta karun, dan dia memakai cara yang sangat dewasa ini untuk
menunjukkan kekesalannya. Apa dia membayarmu supaya mau bekerja sama,
Dave?"
"Ini bukan lelucon!" sergah David, agak gemetar dalam bajunya yang basah. Ia dan
Terry sedang berdiri di depan perapian, mengeringkan tubuh. Mereka berhadapan
dengan tamu-tamu yang lain. Senyum dan tawa ragu-ragu berganti dengan mimik
ngeri ketika mereka mulai sadar bahwa tipuan Halloween ini mungkin betulan.
Trisha kini berbicara, mencoba menahan air matanya. "Maksud kalian, Les sudah...
sudah mati?"
"Dibunuh," ujar Terry muram.
"Tapi siapa...?"
"Dan Paman Philip?" Justine berbicara untuk pertama kali. "Sesuatu juga telah
terjadi padanya?"
"Kami tak tahu pasti," kata Terry. "Tapi kami menemukan jaketnya berlumuran
darah."
Justine menutupi wajah dengan kedua tangan dan mulai menangis. Alex, yang
sedang duduk di sebelahnya, merangkulnya dengan satu lengan dan menepuknepuknya pelan dengan tangan yang lain.
Angela berdiri, gemetar. "Seseorang... seseorang di dalam rumah ini adalah
seorang... seorang pembunuh!" katanya. Nada suaranya sangat tinggi dan hampir
histeris.
"Atau seseorang di luar rumah," tukas David. Ia menceritakan pada yang lain
tentang kabel telepon yang dipotong.
"Aku... aku mau pulang!" kata Angela. "Aku harus keluar dari sini!" Ia berlari ke
arah pintu depan, dikejar Ricky dan Murphy.
"Kau tak boleh keluar!" sergah Ricky. "Di luar hujan deras!"
"Lagi pula," Murphy menambahkan, "Marty dan Bobby mungkin masih ada di
luar!"
"Aku tak peduli!" pekik gadis itu. Ia melepaskan diri dari pegangan kedua pemuda
itu dan berlari ke arah pintu. Sesaat kemudian terdengar teriakan dari arah beranda
depan.
Murphy dan Ricky bergegas keluar. Sesaat kemudian Ricky masuk, tampak lebih
takut daripada tadi.
"Tak apa," katanya. "Dia jatuh. Dia tersandung sepotong kayu lapis yang dipakai
Marty dan Bobby sebagai landasan."

Murphy masuk sambil menggendong Angela. Gadis itu masih menangis tapi tak
lagi terdengar histeris.
"Mata kakiku," erangnya.
"Kurasa ototnya terkilir," kata Murphy. Ia merebahkan gadis itu di salah satu sofa.
"Kau harus menggendongku pulang, Murphy," kata Angela. "Kurasa aku tak bisa
berjalan."
"Akan kubantu," ujar Alex.
"Berhenti!" teriak Justine tiba-tiba. "Jangan tinggalkan aku sendirian! Kumohon!
Tunggu sampai pagi! Nanti kita semua bisa pergi bersama-sama mencari bantuan!"
"Kita harus menelepon polisi," ujar David pelan. "Tapi tak perlu semuanya pergi.
Ada telepon umum di sudut Fear Street dan Old Mill Road. Sepertinya aku hanya
butuh beberapa menit untuk mencapai tempat itu dengan mobil."
Terry membayangkan perjalanan lewat makam untuk mencapai tempat parkir, dan
bertanya-tanya bagaimana David sanggup menempuhnya. Tapi ia tahu pemuda itu
benaria harus pergi. Dan Terry sendiri harus tetap di sini luntuk mencari Niki.
"Jangan khawatir," kata David. "Kalian akan aman di sini selama tak berpencar.
Jangan meninggalkan ruang tamu dan kunci pintunya. Aku akan kembali
membawa bantuan dalam beberapa menit."
Ia mengenakan jaket universitasnya serta keluar dari pintu depan, dan bahkan
Justine sekalipun tampak bingung dan takut dalam cahaya perapian yang bergerakgerak.
"Hanya beberapa menit," ujar Trisha menenangkan Angela. "Selama kita semua
tetap... Terry, kau mau ke mana?"
"Aku masih tak tahu Niki ada di mana," katanya, mencoba terdengar lebih tenang
daripada yang ia rasakan. "Aku sedang mencarinya ketika menemukan Les."
"Ini bukan tipuan?" tanya Alex curiga.
"Menurutmu apa?" bentak Terry. "Apa kau lihat Niki? Dia sudah satu jam lebih
hilang!"
"Maaf, man" kata Alex, tiba-tiba takut. "Akan kubantu kau mencarinya."
Sesaat Terry ingin menyuruh Alex mengurusi masalahnya sendiri. Tapi ia melihat
mimik kekhawatiran yang tulus di wajah bekas temannya, dan untuk pertama kali
menyadari dalamnya perasaan Alex pada Niki. Lagi pula, katanya dalam hati, yang
paling penting bukan siapa yang menemukan Niki, tapi berusaha menemukannya
secepat mungkin.
Dan terlalu banyak waktu sudah terbuang.
Dengan perasaan khawatir yang semakin dalam, Terry menyadari ia mungkin
sudah terlambat.
***

Ketika berjalan ke arah hutan yang mengitari makam, David sadar ia tak pernah
setakut ini seumur hidupnya.
Ia mengajukan diri untuk pergi karena tak sanggup membayangkan hanya
menunggu di istana itu bersama mayat Les. Tapi ia tak bisa menghilangkan
bayangan mayat Les dari benaknya. Setiap kali memejamkan mata, ia melihat
wajah Les yang menatap kosong.
Setiap kali angin mengguncang pepohonan, ia melihat kostum kerangka.
Hujan semakin deras mendera, dan ia basah kuyup. Tubuhnya mulai gemetar
karena hawa dingin, dan karena rasa takut.
Ia butuh lebih banyak waktu untuk mencapai makam daripada yang
dibayangkannya. Permukaan tanah melesak karena jejak kendaraan, dan kini
sangat licin penuh lumpur hingga ia harus sangat berhati-hati melangkah. Angin
sudah berganti arah dan langsung mengembus ke arah mukanya, seolah
memaksanya kembali ke istana Cameron.
Satu-satunya hal yang ia anggap baik adalah tak terlihatnya Bobby dan Marty.
Mungkin cuaca menjadi terlalu buruk untuk mereka.
Dinding yang mengitari makam Fear Street menjulang di depannya. Ia mendorong
pagarnya sampai terbuka dan mulai melangkah di jalan setapak di antara garis
batas nisan, mencoba tak memikirkan ia sedang berada di mana.
Setiap gelegar guntur diikuti petir yang menerangi makam seperti lampu kilat
kamera. Nisan-nisan tua menjulang dalam keheningan yang mengerikan.
Hanya tinggal beberapa meter ke ujung makam, tempat parkir mobil. Di tengah
kilat petir, ia akhirnya melihat deretan kendaraan itu dari jauh. Perasaan lega
membanjirinya untuk pertama kali setelah berjam-jam.
Tinggal beberapa langkah lagi ia akan keluar dari makam ini dan pergi mencari
bantuan. Akhirnya ia mencapai pagar, membukanya, dan mulai berlari ke arah
kumpulan mobil yang diparkir di ujung Fear Street.
Ia memasukkan tangan ke dalam saku dan mengeluarkan kunci sambil berjalan ke
arah Corolla merahnya.
Dan berhenti, memegangi kunci.
Posisi Corolla itu aneh. Semua bannya sudah dikoyak. Semua ban setiap mobil
milik tamu pesta telah dikoyak.

Chapter 15
BOBBY dan Martin, pikir David.
Ia sudah susah payah datang lewat makam dan kini tak bisa meneruskan
perjalanannya. Apa yang bisa ia lakukan sekarang?
Entah bagaimana, ia harus mencari bantuan. Tapi jarak ke kota sangat jauh kalau
ditempuh dengan berjalan kaki.
Pendar petir menerangi rumah-rumah di ujung Fear Street, dan David menyadari ia
bisa dengan mudah pergi ke salah satu rumah itu serta meminjam telepon. Tak
masalah bahwa separo dari rumah-rumah itu tak dihuni dan separo yang lain
disinyalir berhantu, atau.. bahwa kini sudah jauh lewat tengah malam.
Ini keadaan darurat.
Sesaat ia berdiri memandang rumah-rumah terdekat, lalu berjalan ke sanadan
dihentikan raung sepeda motor.
Bobby dan Marty, keduanya di atas sepeda motor Bobby, muncul menderumderum dari belakang makam dan berhenti tepat di depannya.
"Mau ke mana, David?" tanya Bobby mengejek.
"Pestanya ada di di arah berlawanan," tambah Marty. "Mungkin kau bisa
membantu kami masuk kembali ke sana."
"Apalagi kalau kau lihat apa yang akan menimpamu jika tak mau," timpal Bobby.
Kata-kata kedua pemuda itu tak jelas, dan David sadar mereka telah minumminummungkin sejak mengacau di pesta tadi.
"Ayo, David," desak Marty. "Bagaimana?"
Tiba-tiba David merasa tak tahan lagi. Setelah semua yang terjadi, ia tidak akan
membiarkan dirinya dipermainkan sepasang pengganggu. Sebuah suara di
benaknya mengingatkan bahwa Marty dan Bobby mungkin pembunuh, tapi ia
mengabaikannya. Mereka terlalu pengecut untuk melakukan tindakan yang benarbenar kriminal, pikirnya. Lagi pula, ia terlalu marah untuk berpikir jernih.
"Pergi!" bentak David marah, dan kembali meneruskan langkahnya ke arah rumah
di seberang jalan.
Bobby menderumkan mesin motornya. "Hei, tenang, man," katanya.
"David rupanya sudah lupa sopan santun," timpal Marty. Ia telah mengeluarkan
rantai tebal dari jaket, dan memegangnya dengan gaya mengancam saat turun dari
motor.
"Aku tak punya waktu untuk ini!" bentak David, marah. "Telah terjadi sesuatu
yang mengerikan!"
"Sesuatu yang bahkan lebih mengerikan akan terjadi," kata Marty, maju selangkah
ke arahnya. "Padamu."
Untuk pertama kali sejak Marty dan Bobby muncul, David mulai merasa takut
pada mereka. Ia sadar mereka terlalu mabuk untuk menyadari tindakan mereka.

"Baiklah, baiklah," kata David, mundur. "Tenanglah."


"Hei, kenapa, man?" tanya Marty mengejek. "Tidak merasa terlalu berani lagi?"
"Dengar," ujar David, dengan panik mencari jalan keluar, "aku tak punya masalah
dengan kalian, guys. Jadi, bagaimana kalau kalian jangan menggangguku?"
"Tak usah, ya," ejek Bobby, tepat di belakang Marty.
Kedua pengendara motor itu begitu bernafsu melakukan kekerasan, hingga David
sadar satu-satunya harapan yang ia miliki supaya selamat adalah melarikan diri
dari mereka. Ia berputar dan, tergelincir di permukaan tanah yang basah, melesat
kembali ke arah makam.
Bobby dan Marty mengejar. Anehnya gerakan mereka cukup cepat walau dalam
keadaan mabuk berat.
David lari di sepanjang jalan setapak, deretan nisan berkelebat di kedua sisinya. Ia
sedang menuju dinding makam dan kemudian ke hutan Fear Street.
"Aduh!" Kakinya tersandung pada sebuah akar dan ia terjatuh ke tengah kubangan
lumpur.
Ia baru berhasil berdiri ketika Bobby dan Marty sampai di dekatnya.
"Hei, dude, tunggu," ujar Bobby mabuk. "Kau seharusnya tidak melarikan diri.
Bisa berbahaya."
Marty mengayunkan rantai ke kepala David.
David dengan mudah menghindar, tapi kakinya kembali tergelincir, dan ia
mendengar derak mengerikan ketika kepalanya membentur sudut sebuah nisan.
Ia melihat sekelebat sinar terang, dan kemudian semuanya berubah suram, seolah
ada yang menutupi kepalanya dengan tirai.
Dari balik tirai itu, ia samar-samar mendengar suara Bobby dan Marty. Mereka
tampak seperti sosok tubuh di kejauhan.
"Apa yang kaulakukan?" tanya suara Bobby, terdengar ketakutan.
"Tidak ada!" bantah Marthy. "Dia tergelincir dan kepalanya terbentur."
"Ia tampak terluka parah," kata Bobby. "Bagaimana kalau dia mati?"
"Berarti kita tak boleh terlihat ada di sini," ujar Marty. "Ayo, kita pindahkan dia ke
tempat tersembunyi."
David tahu mereka sedang membicarakan dirinya, tapi entah mengapa kata-kata
mereka tak dapat dimengerti. Ia merasa sangat mengantuk. Ia merasa tubuhnya
diseret di atas tanah.
Sinar semakin suram dan suram serta kemudian sama sekali sirna.

Chapter 16
TERRY tak suka Alex membantunya mencari Niki, tapi ia sadar hal itu masuk
akal. Terlalu banyak waktu telah berlalu.
Kumohon, pikirnya. Kumohon, semoga ia selamat.
"Aku sudah memeriksa lantai dua," katanya pada Alex. "Coba kauperiksa lagi,
siapa tahu ada yang terlewat olehku."
"Tunggu," ujar Justine. "Aku saja yang memeriksanya. Aku yang paling tahu
keadaan rumah ini."
"Aku akan ikut mencari bersamamu," kata Alex.
"Tidak, Alex," bantah Justine manis. "Kau tunggu saja di ruang tamu bersama yang
lain, siapa tahu ada sesuatu yang terjadi."
Alex sudah bermaksud protes lagi, tapi Justine mencondongkan tubuh dan
mengecup pipinya. "Kumohon, biarkan aku melakukannya. Aku merasa sangat tak
enak atas semua yang telah terjadi. Setidaknya biarkan aku membantu Terry."
Sambil menggerutu, Alex kembali untuk bergabung dengan yang lain di dekat
perapian.
"Trims, Justine," kata Terry. "Hati-hati."
"Aku berjanji," jawab gadis itu. "Kau periksa di bawah saja, aku akan ke atas."
Terry mengangguk. Satu-satunya tempat yang belum ia periksa adalah ruang
bawah tanah. Menurutnya Niki tak mungkin ke bawah sendirian, tapi ia tak tahu
harus mencari di mana lagi.
Ketika mulai menuruni tangga sempit dan gelap itu, ia dapat mendengar temantemannya berbicara dengan nada takut dan pelan di ruang tamu.
Kumohon, ia berulang kali berkata dalam hati. Kumohon, kumohon, kumohon.
Ini pertama kalinya ia turun ke ruang bawah tanah. Setiap langkahnya berderak
seperti benda hidup, dan ia bertanya-tanya apakah tangga itu cukup kuat untuk
menopang bobot tubuhnya.
Sinar senter memperlihatkan untaian tebal sarang labah-labah dan balok langitlangit yang berdebu serta lapuk. Tampak jelas Justine dan pamannya tak
merenovasi sisi rumah sebelah sini.
Ruang bawah tanah itu sendiri penuh sesak dengan dos-dos tua dan kayu-kayu
lapuk. Ia melompat kaget ketika sesuatu berlari melintasi lantai di depannya.
Hanya tikus, katanya pada diri sendiri. Setidaknya kuharap itu tikus.
Niki tak mungkin ada di bawah sini, pikirnya. Ia ingin memanggil namanya, tapi
tahu gadis itu takkan bisa mendengar seandainya pun ia berada di sini.
Ia mendengar sebuah suara lain, semacam dentam, dari ujung ruangan gelap dan
rendah itu. Dalam jangkauan sinar senter, ia melihat sebuah lemari dinding besar di
tembok. Dengan hati-hati ia mendekati dan membuka pintunya.

Di dalam terdapat sesuatu yang tampak seperti sebundel kain lapuk.


Kemudian bundel itu bergerak.
Niki.
Ia menatap ke atas dengan mimik bingung. "Terry?"
"Muka Lucu!" Terry menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu. Ia
merangkulnya dengan kencang, dibanjiri perasaan lega karena gadis itu masih
hidup.
Akhirnya ia melepaskan Niki dan menerangi wajahnya sendiri dengan senter
supaya Niki bisa melihatnya.
"Kau tak apa-apa?" tanya Terry.
"Kita ada di mana?" tanya Niki, melihat ke sekeliling dengan bingung.
"Di ruang bawah tanah rumah Justine," jawab Terry. "Dalam sebuah lemari
dinding."
"Lemari dinding?" ulang Niki. "Bagaimana aku bisa sampai di..."
"Aku tak tahu," potong Terry. "Apa yang terjadi padamu?"
"Aku tak yakin," jawab gadis itu. "Kurasa ada yang memukulku sampai pingsan."
"Memukulmu sampai pingsan!" Terry merasa jantungnya mulai berdebar kencang.
Ia memeriksa wajah Niki dan melihat di dahinya ada lebam ungu besar. "Ceritakan
apa yang kauingat, Muka Lucu."
Niki berdiri dan membersihkan debu yang menempel di gaun merahnya. Ia
menyipitkan mata, berusaha mengingat-ingat. "Tepat sesudah kita bertengkar
karena... soal konyol itu," ceritanya, "aku kembali naik ke kamar Justine. Tempat
itu sangat gelap dan menakutkan, tapi aku terus berpikir pasti ada sesuatu yang
terlewat olehku, sesuatu yang akan menjelaskan sikap aneh Justine.
"Aku kembali masuk ke dalam lemari dinding rahasia itu," Niki meneruskan, "dan
kali ini aku melihat sebuah kotak sepatu di lantai. Tak ada sepatu lain yang
dimasukkan ke dalam kotak, jadi aku membukanya. Kotak itu penuh benda
kenanganfoto tua, beberapa bunga kering, dan... dan ini."
Ia memasukkan tangan ke dalam saku dan memberi Terry sebuah kliping berita
yang sudah kuning, diambil dari koran Shadyside.
Terry mengambil kliping itu dan meneranginya dengan senter.
Dengan perasaan bingung dan tak percaya yang semakin memuncak, ia mulai
membaca:
PASANGAN LOKAL TEWAS DALAM KECELAKAAN MAUT
Edmund D. Cameron, 26, dan istrinya, Cissy, 20, tewas tadi malam ketika mobil
mereka ditabrak dari depan oleh mobil yang dikendarai James B. Whittle, 16.
Mobil pasangan Cameron, sebuah Ford lama, sedang menuju selatan di Old Mill
Road ketika ditabrak mobil Whittle, sebuah station wagon Chevrolet. Menurut
saksi mata di tempat kejadian, Whittle sedang balapan dengan mobil lain, sebuah

Corvette yang dikendarai John McCormick, 16. Mobil pasangan Cameron lepas
kendali dan terlempar ke dalam selokan, serta kemudian terbakar.
"Aku tak melihat apa-apa sampai semuanya sudah terlambat," kata Whittle.
"Mereka tiba-tiba muncul dari balik kabut. Aku merasa sangat bersalah."
Mobil Whittle menderita kerusakan berat, sementara Corvette-nya sama sekali tak
tergores. Baik Whittle maupun McCormick, dan semua penumpang kedua mobil
itu, tak ada yang terluka parah.
Yang berada dalam kendaraan Whittle adalah Evelyn Sayles, 15, Joanne Trumble,
15, Arlene Coren, 16, dan Robert Carter, 14.
Penumpang Corvette adalah Jim Ryan, 18, Nancy Arlen, 16, dan Ed Martiner, 15,
semua penduduk Shadyside.
Pasangan Cameron meninggalkan seorang anak perempuan, Enid, usia 1 tahun.
Tak ada gugatan yang diajukan saat menunggu penyelidikan polisi.
Terry dengan cepat menyelesaikan membaca artikel itu. "Ini pasti kecelakaan yang
membunuh pemilik asli istana ini!" sergahnya.
"Cara mati yang sangat mengerikanterbakar dalam mobil!"
"Ya," Niki menyetujui. "Tak heran Justine jadi gila."
"Apa maksudmu?" tanya Terry.
"Terry, pasangan yang tewas dalam kecelakaan itumereka orangtua Justine!!'
Terry hanya menatapnya. "Mungkin kita harus membawamu ke dokter," katanya.
"Memang ada yang memukul kepalamu..."
"Oh, demi Tuhan!" kata Niki kesal. "Apa kau benar-benar begitu takut melihat
kenyataan?"
"Tapi orangtua JustineJustineini tak masuk akal," protes Terry. "Lagi pula,
dalam kliping ini disebutkan nama anak perempuan mereka Enid."
"Ingat? Ini nama yang kubaca di botol obat itu," kata Niki.
"Lagi pula, lihat ini." Ia memasukkan tangan kedalam saku. Surat Izin Mengemudi,
memperlihatkan foto Justine dengan nama Enid J. Cameron.
Terry melihatnya, terguncang.
"Yah," akhirnya ia berkata, "berarti Justine bukan sepupu jauh mereka. Tapi
mengapa dia ingin kita menganggapnya orang lain?"
"Kau masih belum mengerti, ya?" tanya Niki. "Apa kau mengenali nama-nama
yang terlibat dalam kecelakaan itu?"
Dengan cepat Terry memeriksa kliping itu lagi. "Whittle," katanya. "McCormick.
Tentu, nama mereka sama dengan nama beberapa teman kita. Tapi memangnya
kenapa? Shadyside kan kota kecil."
"Terry, ini bukan hanya nama-nama yang sama dengan nama teman kitaini nama
orangtua kita! Apa kau tak melihat nama ayahmu? Jim Ryan?"
"Rupanya terlewat olehku," Terry mengkui. "Tapi bagaimana dengan nama-nama

yang lainJoanne Trumble, Arlene Coren..."


"Arlene ibuku," kata Niki. "Coren namanya sebelum kawin."
Terry hanya berdiri sesaat, memikirkan apa yang baru saja disampaikan Niki
padanya. Ia tak mau memikirkan apa artinya.
"Ada satu hal lagi," Niki meneruskan. "Apa kau melihat tanggal artikel ini?"
"Ya, sekitar... sebentar," jawab Terry, menghitung dalam hati.
"Dua puluh delapan tahun lalu." Dan kemudian ia menyadari artinya. "Jadi, Justine
berusia... berusia..."
"Hampir tiga puluh tahun!" Niki menyelesaikan kalimatnya. "Terry, dia bukan
murid sekolah menengah! Dia seorang wanita dewasa!"
"Kehidupan ganda," kata Terry. Ia bersiul pelan. "Aku ingin tahu apa yang akan
dikatakan Justine jika dia tahu kau menemukan benda-benda ini."
"Kurasa dia sudah tahu," kata Niki. "Atau setidaknya orang lain. Setelah
meletakkan kembali kotak sepatu itu, aku berbalik untuk menceritakan
penemuanku padamu. Hanya sebelum aku sempat menutup pintu rahasia itu,
seseorang rupanya telah menyelinap ke belakangku. Aku ingat sedang
membungkuk untuk menarik pintu itu supaya menutup, dan hal berikut yang aku
tahu, aku telah berada di dalam lemari dinding ini."
Ia menyentuh lebam di kepalanya.
Terry membungkuk dan dengan lembut mengecup lebam itu.
"Syukurlah kau tak mengalami hal yang lebih buruk," gumamnya.
Niki dengan cermat mengamati wajah pemuda itu.
"Apa maksudmu lebih buruk?" tanyanya. "Terry, apa ada sesuatu yang tak
kaukatakan padaku?"
"Oh, Niki," kata Terry. Ia meremas tangan gadis itu, keras.
"Begitu banyak yang telah terjadi." Dengan cepat ia bercerita tentang penemuan
mayat Les dan jaket Philip yang berlumur darah. Ketika ia selesai bercerita, Niki
tampak lebih pucat daripada biasanya.
"Jadi, bisa kaubayangkan," ujar Terry, "aku khawatir sekali. Kukira mungkin kau
telah... telah..."
"Aku tak mengerti mengapa Justine melepaskanku," gumam Niki. "Dia pasti tak
punya waktu melakukan... melakukan apa yang dia lakukan pada Les."
"Justine?" ulang Terry. "Menurutmu Justine yang membunuh Les?"
"Siapa lagi?" tanya Niki. "Terry, lihatlah kenyataannya! Pertama, daftar undangan
itu..."
"Oke," kata Terry, berpikir. "Jadi, Justine mengundang kitaanak para remaja
yang terlibat dalam kecelakaan itu..."
"Benar," ujar Niki. "Dan hanya kita. Apa kau tak merasa aneh dia bersikeras tak
ada orang lain yang boleh datang ke pesta ini, termasuk teman kencan?"
"Ya, aku mengerti maksudmu," kata Terry. "Rupanya aku masih sulit

mempercayainya."
"Itu sebabnya dia bebas melakukannya!" ujar Niki. "Karena tak ada yang percaya
Justine yang polos dan manis dapat menjadi pembunuh. Tapi, Terry, kita harus
mengakui kenyataan ini. Justine mengundang kita ke pesta ini hanya karena satu
alasan."
Ia sesaat berhenti, kemudian meneruskan, suaranya tiba-tiba gemetar, "Untuk
membalas dendam!"

Chapter 17
"Nikki," kata Terry, "kita harus secepatnya kembali ke atas! David sedang pergi
mencari bantuan. Jadi, jika bermaksud melakukan sesuatu, Justine akan segera
melaksanakannya, sebelum polisi datang!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, Terry dan Niki berlari menaiki tangga ruang bawah
tanah dan kembali ke ruang tamu. Semua duduk dalam posisi yang, sama seperti
waktu ditinggalkan Terry, berdekatan di sekitar perapian, tampak takut dan gelisah.
Semua orang kecuali Justine. Ia sedang duduk di ujung salah satu kursi, di
wajahnya terbersit mimik bersemangat yang aneh.
Ketika melihat Terry dan Niki, ia melemparkan senyumnya yang paling bersahabat
dan terbuka.
"Oh, bagus!" katanya seolah tak ada yang terjadi. "Kau menemukan Niki. Kini kita
bisa meneruskan acara pesta."
"Meneruskan pesta!" sergah Terry, terperangah. "Bagaimana mungkin kau masih
bisa memikirkan hal semacam itu! Justine, kami tahu yang sebenarnya! Kami tahu
kau membunuh Les!"
Selama beberapa detik berikutnya, tak ada yang bisa mendengar apa pun, karena
semua orang bicara berbarengan.
"Apa kalian mabuk?" tanya Murphy.
"Aku tahu ini apa," kata Alex. "Ini usaha terakhir tim pengecut untuk membuat
takut kita semua. Tapi tak akan berhasil, Terry. Lupakan!"
"Dengarkan aku!" teriak Niki. "Aku punya sebuah kliping koran! Membuktikan..."
Tapi sebelum ia bisa mengeluarkan kliping itu, Justine tiba-tiba mulai tertawa dan
bertepuk tangan. Semua orang menoleh dan menatapnya.
"Sempurna!" katanya. "Niki, Terry, akting kalian berdua sempurna! Bahkan lebih

bagus daripada waktu latihan. Kalau tak ikut terlibat, bahkan aku pun akan percaya
kau mengira aku pembunuh."
"Maksudmu," desah Trisha, "bahwa ini sebenarnya hanya satu lagi..."
"Ini hanya satu kejutan lagi," tukas Justine. "Sebelum kejutan terakhir malam ini.
Dan aku minta maaf kalau beberapa di antara kalian jadi takut, tapi apa arti
Halloween tanpa tipuan menakutkan yang bagus?"
"Dia bohong!" teriak Niki. "Jangan dengarkan dia!"
"Ini bukan tipuan!" Terry menambahkan. "Trisha, Alex, kalian semua, dengarkan
aku! Pikirkan apa yang telah terjadi!"
"Bagaimana dengan Les?" Trisha tiba-tiba bertanya dengan nada curiga.
"Kenapa dengan dia?" ulang Justine. "Dia juga ikut terlibat."
"Ayolah, Justine," sergah Terry. "Les sudah mati. Aku melihat tubuhnya. Dan kau
membunuhnya."
Justine kembali tertawa, seolah itu adalah lelucon terlucu yang pernah ia dengar.
"Kau boleh berhenti sekarang, Terry," katanya. "Kurasa semua orang sudah
mengerti."
"Kau membantah telah membunuhnya?" tanya Terry.
"Kalau aku membunuh Les," jawab Justine, menyeka air mata geli di wajahnya,
"bagaimana mungkin dia dan aku barusan tertawa terbahak-bahak di atas?"
"Tapi..." ujar Terry.
"Justine," kata Niki pada saat bersamaan, "aku melihat..."
Justine memotong perkataan keduanya. "Ayo, guys, santailah! Lupakan Les, dan
mari kita teruskandengan kejutan terakhir malam ini."

Chapter 18
"AKU tak percaya kau menipu kami!" gumam Murphy. "Lebih parah lagi, aku tak
percaya kami tertipu!"
"Apa ini berarti tim pengecut menang?" tanya Ricky.
"Tak mungkin," sergah Alex. "Lagi pula, kalian mendapat bantuan Justine."
Seperti semua yang lain, ia tampak jelas lega.
Terry tak percaya teman-temannya bisa begitu buta.
"Ayolah, Rickyini betulan!" teriaknya.
Ia menatap Niki, yang tubuhnya gemetar karena marah dan frustrasi.

"Ini gila! Mereka semua mempercayai Justine," bisiknya. "Kita harus meyakinkan
mereka bahwa kita semua terancam bahaya besar!"
"Kurasa kita tak bisa melakukannya," kata Terry. "Tapi kau dan aku mengetahui
yang sebenarnya. Mengapa kita tak keluar dari sini sementara masih ada waktu?"
Niki menggelengkan kepala. "Kita tak boleh melakukannya, Terry," ujarnya. "Kita
tak bisa meninggalkan mereka sendiri dengannya. Pada saat mereka
mempercayainya. Kita hanya bisa berharap David akan segera kembali membawa
bantuan."
Terry tahu gadis itu benar.
"Justine," ujar Niki manis, "jika ini semua hanya tipuan, mana pamanmu Philip?"
"Kau tak ingat?" jawab Justine, terdengar kesal. "Dia pergi beli soda lagi."
Itu jawaban terbodoh yang pernah didengar Terry, tapi yang lain seolah tak
menyadarinya.
Terry memutuskan untuk mencoba lagi. "kau bilang kau dan Les baru berbincangbincang," katanya. "Tapi tak ada yang telah melihatnya. Jika ini semua hanya
tipuan, di mana dia?"
"Dari tadi sudah kutunggu pertanyaan ini," kata Justine, melompat berdiri dari
kursinya. "Les ada di ruang makan, membantuku mempersiapkan kejutan terakhir."
Semua mulai bergerak ke arah ruang makan, tapi Justine mengangkat tangannya.
"Tunggu sebentar," katanya. "Aku ingin memastikan semuanya sempurna."
Ia berbalik dan masuk ke ruang makan, membiarkan pintunya agak terbuka.
"Tipuan kita berjalan lancar, Les!" Semua orang mendengar ucapannya. "Trims
atas semua bantuanmu."
Dari sisi lain pintu, Terry dan yang lain mendengar Justine terus bercakap-cakap
dengan Les. Terry merasa bulu kuduknya berdiri.
Lalu Justine kembali muncul di pintu.
"Ayo, semua," katanya. "Sekarang semua sudah siap untuk kalian."
Semua bergegas masuk ke dalam ruang makan, sedangkan
Ricky dan Murphy memapah Angela yang bertumpu pada satu kaki.
Di tengah ruangan terdapat meja panjang yang mengilat, dan di tengahnya terdapat
tempat lilin besar. Di sekeliling meja terdapat kotak-kotak kecil terbungkus kertas
kado, di depan tiap kursi.
Dan di kepala meja duduk Les.
Ia mengenakan kacamata hitam besar berbentuk lonjong yang memantulkan sinar
lilin.
"Cari tempat kalian masing-masing," kata Justine. "Setiap kotak ada namanya."
Tapi tak ada yang memperhatikan kotak kado di meja.
Sebaliknya mereka malah berkerumun di sekeliling Les.
Murphy mengepalkan tangan dan separo bercanda mengangkatnya di depan wajah
Les.

"Hei, man, kau membuat kita ketakutan setengah mati!" katanya. "Kami benarbenar mengkhawatirkanmu."
"Ya," Alex menyetujui. "Tak pernah kusangka aku akan senang melihatmu!"
Les tak menjawab.
"Tipuanmu bagus, Les," kata Trisha. "Tapi tak adil menipu timmu sendiri.
Mengapa kau tak mengatakan sesuatu?"
Les tak menjawab.
Terry mengamatinya dengan lebih teliti. Ada yang tak beres.
Les tak bergerak. Sama sekali tidak. Terry menyentuh bahu temannya, dan Les
perlahan terguling dari kursi ke atas lantai. Kacamata hitamnya terlempar,
memperlihatkan matanya yang sangat mati, menatap kosong.
"Dia sudah mati," ujar Terry, merasa sekujur tubuhnya dingin.
"Aku sudah tahu."
Seseorang menjerit.
"Rasanya aku akan muntah," kata Trisha.
Terry dengan cepat berbalik, tepat pada saatnya melihat Justine berlari keluar,
membanting pintu di belakangnya.
Sesaat kemudian sebuah kunci diputar. Terry tahu tanpa perlu melihat. Mereka
terkunci di ruangan itu.

Chapter 19
SATU-SATUNYA jendela yang ada tertutup jeruji pengaman terbuat dari logam
tebal, dan hanya ada satu pintu.
Murphy langsung mulai menggedornya, tapi pintu itu terbuat dari kayu ek kokoh.
"Keluarkan kami!" teriaknya.
Alex dan Ricky menarik-narik, dan mencoba meregangkan, jeruji pengaman, tapi
jeruji itu tetap bergeming.
"Kita terjebak!" jerit Angela histeris. "Dia menjebak kita di sini dengan... dengan...
mayat..."
"Tenanglah, Angela," kata Niki, dengan lembut memegang bahu gadis itu.
"Ya," ujar Trisha setuju, suaranya sendiri gemetar. "Kita harus tetap tenangkita
harus berpikir jernih..."

Pada saat itu, bel kecil Justine berdering, dari luar jendela.
"Kejutan!" teriaknya pada mereka, wajahnya sangat dengat dengan jeruji
pengaman. Ia menyorotkan sebuah senter ke wajahnya. Mereka bergegas ke
jendela. Hujan sudah berhenti.
"Nah, bukankah ini tipuan Halloween terhebat?" tanya Justine, tampak jelas puas
dengan dirinya sendiri.
"Keluarkan kami dari sini, Justine," kata Terry. "Aku tak tahu apa rencanamu, tapi
sebentar lagi David akan kembalidengan polisi!"
"Kalau begitu, aku sebaiknya bergegas, ya kan?" kata gadis itu tenang. Ia
tersenyum pada semua tamunya, senyum mengejek yang kejam. "Tiba saat kejutan
terakhir malam ini," katanya. "Tapi pertama aku ingin kalian semua duduk di
tempat masing-masing di meja dan membuka dos kado itu."
"Kau telah menipu kami sejak awal!" sergah Alex. "Mengapa kami harus
melakukan perintahmu?"
"Karena," kata Justine dingin, "aku akan sangat marah kalau kau merusak
kejutanku. Dan kalau sudah begitu, siapa tahu apa yang akan kulakukan?
Sekarang, cari tempat kalian masing-masing!"
Satu per satu berjalan ke meja dan duduk. Selama sekitar satu menit, yang
terdengar hanyalah suara kursi menggesek lantai, kadang diselingi isakan Angela.
"Semua siap?" tanya Justine. "Bagus. Sekarang kita akan menyelesaikan
permainan Kebenaran. Hanya kali ini giliranku menceritakan yang sebenarnya
dan kalian yang akan membayar penaltinya."
Ia menyunggingkan senyum gilanya, dan Terry kembali merasa dingin. Mungkin
Justine hanya ingin bicara, ia berharap. Ia pernah dengar beberapa orang tak waras
hanya memerlukan sebuah kesempatan untuk membicarakan hal-hal yang
mengganggu mereka.
Lagi pula, Justine berada di luar rumahapa yang bisa ia lakukan pada mereka
dari sana?
"Sebelum mulai," lanjut Justine, "aku ingin kalian membuka dos itu."
Ia menunggu para tamunya membuka dos masing-masing. Di dalam tiap kotak
terdapat foto pasangan muda yang mengenakan baju tahun enam puluhan. Yang
wanita berambut gelap, tapi wajahnya sangat mirip Justine.
"Itu foto sebuah pasangan bernama Edmund dan Cissy," cerita Justine pada
mereka. "Sekarang aku ingin kalian menatap foto itu saat aku menceritakan sebuah
kisah."
Ia menatap ke sekeliling ruangan, untuk memastikan semua orang sedang
memandang foto itu.
"Edmund dan Cissy," ia mulai, "dulu persis kalianmuda, penuh kebahagiaan dan
harapan masa depan. Mereka penuh harapan, sampai dua puluh delapan tahun lalu,
persis malam ini."

Ia sesaat berhenti, lalu melanjutkan dengan nada mendayu-dayu, seolah ia telah


menghafalkannya dari sebuah naskah.
"Dua puluh delapan tahun lalu adalah malam Halloween, seperti saat ini. Edmund
dan Cissy habis mengunjungi teman-teman mereka.
Mereka dalam perjalanan pulang menuju anak perempuan mereka yang baru
berusia satu tahun, yang sangat mereka cintai. Mobil mereka melaju ke selatan di
Old Mill Road."
Ia kembali berhenti sejenak. Meskipun tahu apa yang akan dikatakan Justine, Terry
tetap mendengarkan, terpesona, ketika kisah itu dibeberkan.
"Pada saat bersamaan," lanjut Justine, "ada dua mobil penuh remaja menuju ke
utara di Old Mill Road. Mereka baru menghadiri sebuah pesta Halloween, dan
masih dalam suasana pesta. Mereka memutuskan untuk balapan. Di dalam kedua
kendaraan itu terdapat tepat sembilan orang.
"Satu blok dari sudut Fear Street dan Old Mill Road, salah satu mobil itu
bertabrakan frontal dengan kendaraan sang pasangan muda. Mobil pasangan itu
terguling ke dalam selokan dan terbakar. Saat pemadam kebakaran sampai di sana,
sudah terlambat untuk menyelamatkan mereka."
Terry bisa melihat dari mimik para tamu lain bahwa sebagian besar dari mereka
sudah bisa menebak apa yang terjadi. Baik Angela maupun Trisha menangis, air
mata mengalir membasahi wajah mereka.
Justine meneruskan ceritanya, wajahnya tampak kejam dan tua terkena sorot
senter.
"Aku ingin kalian sekarang memejamkan mata dan membayangkan apa yang
dialami Edmund serta Cissy malam itu," katanya. "Bayangkan rasanya terjebak
dalam sebuah mobil yang terbakar, panasnya tak tertahankan, dan tak ada jalan
keluar. Dan tak ada yang bisa menolong kalian, sekeras apa pun kalian menjerit.
Kalian mungkin sekarang sudah menebak bahwa Edmund dan Cissy adalah
orangtuaku. Tapi kalian mungkin belum tahu siapa nama remaja di kedua mobil
itu."
Perlahan ia mengucapkan nama-nama mereka. Terry mendengar desah kaget
ketika masing-masing tamu mengenali nama orangtua mereka.
"Tak ada satu pun di antara mereka yang terluka," kata Justine. "Tak ada yang
pernah membayar apa yang mereka lakukan pada orangtuaku. Jadi aku telah
memutuskan bahwa kalian, anak-anak mereka, yang akan membayarnya."
Tak ada suara dari dalam ruang makan, kecuali isak Angela dan Trisha.
"Les mendapat kehormatan membayar lebih dulu," ujar Justine, "karena
ayahnyalah yang mengendarai mobil yang membunuh orangtuaku. Kalian semua
akan mati bersama, seperti yang seharusnya terjadi pada orangtua kalian bertahuntahun lalu."
"Tidak!" tiba-tiba Angela berteriak. "Bagaimana mungkin kau menyuruh kami

bertanggung jawab atas sesuatu yang terjadi sebelum kami lahir? Ini tak adil!"
"Yang menimpa orangtuaku juga tak adil!" teriak Justine.
"Lepaskan kami," bujuk Murphy. "Kami takkan bercerita pada siapa pun tentang
hal ini!"
Justine sesaat mengamatinya, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. "Apa kau benarbenar mengira akan semudah itu?" tanyanya.
Terry menatap Niki, merasa tak berdaya. Ia tak tahu apa rencana Justine, tapi ia
tahu pasti sesuatu yang mengerikan.
"Kita harus membuatnya tetap bicara," bisik Niki.
"Apa?"
"Selama berbicara, Justine tak bisa melakukan apa-apa pada kita," kata Niki. "Jadi,
kita harus mengulur waktu sampai polisi datang."
Kalau mereka datang, pikir Terry. David sudah cukup lama pergi. Tapi gagasan
Niki tetap masuk akal.
"Justine...," panggilnya.
Gadis itu menoleh padanya, terganggu.
"Ada apa lagi?" tanyanya.
"Aku hanya... aku hanya ingin tahu bagaimana kau bisa menipu kami mentahmentah seperti ini. Maksudku... semua tampaknya sudah direncanakan secara
mendetail."
Justine tampak jelas merasa senang.
"Aku senang kau menghargai upayaku," ujarnya. "Aku telah cukup lama
merencanakan hal ini. Dan harus kuakui, bahkan aku pun tak berharap akan
sesukses ini."
"Jadi, ini semuaundangan, kejutansemua bagian rencanamu?"
"Tentu saja," jawab Justine. "Semua dirancang menuju saat ini. Dan kini tiba
waktu..."
Niki kembali memotongnya. "Tapi bagaimana kau bisa melakukan semuanya?"
tanyanya. "Sebagai contoh, seseorang memukulku dan membawaku ke bawah. Tak
mungkin kau..."
"Tapi tentu saja itu aku!" Justine tersenyum seolah ada yang memuji rambutnya.
"Tapi bagaimana caramu membawaku ke ruang bawah tanah?" lanjut Niki. "Aku
tahu kau kuat, tapi bahkan kau pun takkan bisa membawaku sejauh itu."
"Aku tak perlu melakukan hal itu," ujar Justine sombong. "Ada sebuah lift dapur di
rumah ini. Aku hanya memasukkanmu ke dalamnya di lantai dua dan kemudian
menurunkanmu ke ruang bawah tanah."
"Bagaimana dengan tangga yang dipotong?" tanya Terry. "Apa kau juga yang
melakukannya?"
Justine tertawa.
"Menurutmu bagaimana?" katanya balik bertanya. "Aku sadar sebelum pesta

bahwa mungkin akan ada yang mencurigaiku, jadi aku mengatur kecelakaan kecil
itu. Sama sekali tak sulit. Waktu masih remaja, aku belajar senam."
Ia sudah memikirkan semuanya, pikir Terry. Kami tak punya kesempatan.
Terry mencoba memikirkan pertanyaan lain untuk Justine, untuk membuatnya
tetap bicara, tapi benaknya sudah kosong.
"Bagaimana dengan Les?" tanya Niki tiba-tiba.
"Kenapa dengan dia?" ulang Justine.
"Yang lain mendengarmu berbicara dengannya sebelum kami masuk ke sini," kata
Niki.
Justine tertawa, tawa mengejek.
"Mereka mendengarku. Tapi aku berani taruhan mereka tak mendengar jawaban
Les dalam percakapan itu! Nah, waktu telah banyak terbuang," kata Justine,
senyumnya pudar. "Kalau menengadah ke langit-langit, kalian akan melihat aku
telah memasang pengeras suara mutakhir untuk menghibur kalian."
Terry melihat ke atas, kaget. Seperti yang dikatakan Justine, empat pengeras suara
raksasa dipasang tinggi di dinding, tepat di bawah langit-langit.
"Pengeras suara ini disambungkan dengan cassette deck yang kutaruh di luar sini,"
Justine meneruskan. "Yang mengingatkanku. Kini saat memulai penalti kalian."
"Tapi bagaimana dengan...," sergah Terry.
"Tidak," kata Justine. "Tak ada lagi pertanyaan. Sekarang waktu meneruskan
kejutan ini."
Ia kembali tersenyum, senyum yang begitu manis hingga kekontrasannya dengan
apa yang ia ucapkan sangat mengejutkan.
"Ketika mulai memikirkan cara membuat kalian membayar perbuatan orangtua
kalian," katanya, "aku sadar bahwa aku ingin kalian menderita dengan cara yang
sama seperti orangtuaku bertahun-tahun lalu. Tapi aku tak bisa mengatur sebuah
kecelakaan mobil. Dan kemudian kusadari aku dapat dengan mudah mereproduksi
bagian-bagian terburuk dari sebuah kecelakaan mobil."
Ia sesaat membungkuk di bawah jendela, kemudian kembali berdiri.
"Aku baru saja menyalakan sebuah tape yang kurekam khusus untuk kalian,"
katanya.
Sebuah derum pelan mulai terdengar dari pengeras suara raksasa di atas. Terry
mengenali suara mesin mobil yang dinyalakan.
"Karena tak bisa menciptakan kembali sebuah kecelakan asli," Justine meneruskan,
"aku akan membuat kalian mendengar bagaimana rasanya, mendengar decit logam
bengkok, jerit kesakitan korban yang ketakutan..."
Suara mesin semakin keras terdengar, dan kini ada suara-suara baru, suara ban
mobil berdecit di belokan ketika mobil dalam rekaman mempercepat lajunya.
Apa ini yang akan ia lakukan pada kami? Terry bertanya-tanya dengan perasaan
terguncang. Membuat kami mendengar rekaman kecelakaan mobil? Apa hanya

ini?
"Tentu saja, hanya mendengar suara-suara kecelakaan saja tak cukup," Justine
meneruskan, seolah membaca pikiran Terry. "Supaya benar-benar membayar,
kalian juga harus merasakan kesakitan yang mereka alami, dan mati seperti cara
mereka mati."
Ia menyalakan sebuah pemantik api.
"Aku telah menumpuk sebundel kain tua berlumur bensin persis di luar ruang
makan," katanya. "Aku sekarang akan masuk dan menyalakannya. Akan makan
waktu beberapa menit sebelum apinya mencapai kalian. Kalian akan punya cukup
waktu memikirkan apa yang diderita orangtuakudan apa yang akan terjadi pada
kalian!"
Ia kembali membungkuk, lalu berjalan menjauhi jendela.
Terry ingin bicara pada yang lain, mencoba merencanakan sebuah pelarian, tapi
suara rekaman meningkat dari keras menjadi memekakkan telinga. Ia tak bisa
mendengar apa-apa ketika mobil dalam rekaman melaju semakin kencang.
Sesaat kemudian terdengar decit rem yang membuat telinga ngilu, derak logam
hancur, kaca yang pecah berkeping-keping, dan kemudian jeritanjeritan
kesakitan dan takut. Berulang kali rekaman itu diputar, begitu keras hingga Terry
bisa merasakan getarannya di sekujur tubuh.
Jeritan dalam rekaman itu ditambah dengan jeritan para tamu yang terperangkap
dalam ruang makan, dengan tangan membekap telinga ketika mereka mencoba
meredam semua suara keras yang menyeramkan itu.
Itu peristiwa paling mengerikan yang pernah dialami Terry. Menurutnya tak ada
yang lebih buruk.
Dan kemudian kepulan asap pertama mulai merembes di bawah pintu ruang
makan.

Chapter 20
SEPERTI kejadian dalam mimpi buruk, pikir Niki ketika melihat teman-temannya
berteriak dan menggeliat-geliat, mencoba meredam suara mengerikan itu. Bahkan
Terry memejamkan mata erat-erat, kedua tangan rapat menutupi telinga.
Ketika asap mulai merembes masuk ke dalam ruangan, kepanikan makin

memuncak.
Alex dan Murphy mulai menggedor-gedor jeruji jendela, mencakarinya. Tangan
kedua pemuda itu berlumuran darah, yang mengalir ke lengan mereka, tapi mereka
seolah tak menyadarinya.
Niki dapat merasakan getaran musik di seluruh tubuhnya. Tapi hal itu tak
membuatnya takut. Ia malah merasa seolah sedang menonton pertunjukan di
panggung.
Ia tahu nyawanya terancamsemua yang ada di sana terancam bahaya.
Asap yang masuk dari bawah pintu semakin tebal. Niki tahu mereka tak punya
banyak waktu. Ia memegang pintu dengan telapak tangannya. Sudah panas.
Entah bagaimana, mereka harus menemukan jalan keluar.
Mungkin kalau bekerja sama, mereka semua bisa membobol pintu, atau
membengkokkan jeruji.
Ia menyentuh bahu Terry.
"Terry!" teriaknya. "Kita harus melakukan sesuatu!"
Pemuda itu hanya menatapnya, mata Terry penuh rasa sakit dan bingung. Ia tak
bisa mendengar apa pun yang dikatakan Niki, dan jelas ia tak bisa berpikir jernih.
Niki kemudian mencoba menyadarkan Alex, tapi seperti Terry, pemuda itu tak bisa
mendengarnya. Alex malah kembali menarik-narik jeruji bersama Murphy.
"Apa semua orang sudah gila?" teriak Niki keras-keras. Dan sadar bahwa, dengan
cara masing-masing, semua telah kehilangan akal sehat. Trisha dan Angela
mendekam bersama di pojok, terisak-isak, dan Ricky berdiri di depan pintu,
dengan mata terpejam rapat, menjerit-jerit.
Tak ada yang bisa menolongnya, Niki sadar.
Mungkin sebentar lagi David akan datang bersama polisi, tapi ia sudah lama pergi.
Banyak yang bisa terjadi padanya dan Niki tahu ia sekarang tak bisa mengandalkan
pemuda itu.
Semua tergantung padanya.
Mencoba tak panik, dan mencoba mengabaikan kepulan asap yang semakin tebal,
ia memaksa dirinya berpikir logis.
Pintu itu terlalu berat untuk didobrak. Ia berjalan ke jendela dan menjejalkan
tubuhnya di antara Murphy serta Alex. Jerujinya tebal dan tak bisa digerakkan.
Ia melangkah mundur dan memaksa dirinya menarik napas dalam sebanyak duatiga kali, menghirup udara segar yang masuk dari jendela. Kini asap dalam ruangan
itu telah setebal kabut, dan teman-temannya benar-benar hilang kendalihisteris.
Justine telah merencanakan pembalasan dendamnya dengan baik.
Kalau saja ada jalan keluar lain. Kalau saja ada jendela di langit-langit, atau
ventilasi pemanas, atau...
Matanya melihat sebuah pegangan pintu di dinding. Mungkin hanya lemari. Tapi
mungkin...

Ia membuka pintu kecil itu dan hampir menangis karena lega.


Itu adalah lorong lift dapur yang dikatakan Justine. Keranjang lift tampaknya
terlalu kecil untuk membawa satu orang, tapi Niki bertubuh ramping, dan lagi pula,
Justine telah berkata bahwa dengan cara itulah tubuhnya bisa sampai ke ruang
bawah tanah.
Dengan perasaan putus asa, Niki sadar ia takkan bisa menurunkan keranjang itu
seorang diri. Lift itu dirancang untuk diturunkan dengan tenaga manusia
seseorang harus menarik tali yang terpasang pada kerekan. Ia harus minta bantuan.
Tapi apa ia bisa menyadarkan salah satu temannya?
Terry masih duduk dengan kedua tangan erat menutupi telinga.
Niki mengguncang tubuhnya dengan keras. Ketika pemuda itu menoleh padanya,
Niki berteriak sekeras mungkin. "Terry! Kau harus menolongku!"
Pemuda itu hanya menatapnya kosong.
"Terry!" teriak Niki lagi. "Tolonglah! Ini tergantung kita!"
Niki mengamati wajah pemuda itu, berusaha membuatnya mengerti. Terry
mengerjap dan tiba-tiba matanya jadi jernih. Ia menatap Niki dengan sorot
mengerti.
"Muka Lucu," panggilnya.
Tape terlalu keras hingga ia tak bisa mendengar suara Niki.
Gadis itu menarik lengan Terry dan membawanya ke lift dapur. Ia menunjuk pada
dirinya sendiri, kemudian pada keranjang, dan memeragakan orang menarik tali.
Kini Alex sudah menghampirinya juga, dan kedua pemuda itu terpaku menatapnya
seolah ia sudah kehilangan akal sehat.
"Jangan!" kata Terry. "Ini terlalu berbahaya!"
Niki bisa dengan mudah membaca bibirnya, tapi menepis peringatannya. Ia
menunjuk ke pintu ruang makan, di mana asap merembes masuk semakin tebal.
"Dia benar!" teriak Alex. "Hanya ini kesempatan kita!"
Dengan enggan Terry mengangguk setuju.
Bagus, pikir Niki lega. Tapi apa usaha itu akan berhasil?
Bersama-sama, Alex dan Terry membantunya naik ke dalam pintu masuk lift. Niki
menarik napas dalam dan merayap masuk ke dalam keranjang. Sempit sekali, tapi
dengan melipat lutut di bawah dagu ia dapat duduk.
"Siap!" teriak Niki, jantungnya berdebar kencang.
Alex mulai menarik talinya. Niki dapat merasakan alat kuno itu berderit dan
berderak menopang tubuhnya. Apa alat itu cukup kuat?
Tiba-tiba keranjang lift menyangkut pada sesuatu. Saat menengadah, ia bisa
melihat Alex dan Terry menarik-narik tali, mencoba membebaskannya.
Keranjang itu tetap bergeming.
Udara dalam lorong lift terasa panas dan bau asap. Api menyebar dengan cepat.
Jika keranjang itu tak segera bergerak, ia akan mati kehabisan napas di dalam

dinding rumah tua itu.


Walau tahu berbahaya, ia mulai mengayun tubuhnya maju-mundur. Ia tahu,
gerakan itu bisa melepaskan keranjang, atau membuatnya jatuh sampai ke ruang
bawah tanah.
Tiba-tiba keranjang itu terjerumus ke bawah sejauh beberapa senti.
Niki merasa seolah jantungnya berhenti berdetak, lalu ia kembali tenang ketika
keranjang kembali meneruskan perjalanannya ke bawah. Di dasar, ia dengan keras
mendorong bagian dalam pintu lemari dan merayap keluar.
Udara jauh lebih jernih di sini, dan sesaat ia hanya menarik napas. Lalu ia
menyalakan senter dan menyorotkannya ke sekeliling ruangan apak dan gelap itu.
Ruang bawah tanah itu berbentuk tak beraturan, dan berisi apa yang sepertinya
selusin relung dan lemari. Bagaimana Terry bisa menemukannya di sini?
Akhirnya sinar senter menunjukkan tangga ruang bawah tanah, dan ia dengan
cepat lari menaikinya, hanya untuk menemukan pintunya panas membakar. Kalau
membukanya, ia akan tertambus.
Pasti ada jalan keluar lain. Harus!
Ia kembali menyorotkan senternya ke sekeliling. Sesuatu yang berwarna gelap dan
berbulu melesat ke satu sisi, dan Niki meloncat kaget. Akhirnya ia melihat sosok
jendela, dan bergegas ke sana.
Harapannya tenggelam.
Jendela itu tertutup papan.
Niki ingin menangis. Sesudah semua yang terjadi, terperangkap di sini, mati di
sini...
Hentikan! katanya pada diri sendiri. Jangan menyerah sekarang.
Semua teman mengandalkannya. Terry mengandalkannya.
Entah bagaimana, ia harus mencari jalan keluar.
Ia menyandarkan senter hingga sinarnya menerangi papan di atas jendela dan
mulai menarikinya, kukunya patah-patah. Akhirnya salah satu papan mulai
terlepas, dan ia dapat melihat sosok gelap sebuah semak liar di luar.
Ia menarik semakin keras. Akhirnya papan itu terlepas.
Celah itu tak cukup lebar untuk tubuhnya, tapi kalau bisa melepaskan satu atau dua
lagi papan, ia mungkin akan bisa menyelinap keluar dan mencari pertolongan.
Ia mulai menariki papan berikutnya, mencoba tak memikirkan berapa lama waktu
yang diperlukan.
Ia sudah hampir berhasil melepaskannya ketika merasa ada tangan mencengkeram
mata kakinya.

Chapter 21
Niki menjerit dan meloncat menjauhi jendela. Saat itu, kakinya tersandung sesuatu
yang empuk dan ia terjengkang di atas lantai.
Justine, pikirnya.
Justine telah menemukanku, dan kini akan langsung membunuhku, di sini.
Tapi ia takkan menyerah mentah-mentah.
Niki membalikkan badan dan mencoba melepaskan diri dari tangan yang
memeganginya.
Tapi kemudian, di bawah sinar remang-remang senter, ia melihat ternyata itu
bukan Justine. Tapi paman Justine, Philip. Tangan yang mencengkeram
pergelangan kakinya ternyata terikat erat oleh seutas tali pada tangannya yang
sebelah lagi, dan kedua pergelangan kaki pria itu juga terikat erat. Di kemeja
polkadot putih-birunya terlihat noda lebar darah kering.
Niki sangat terkejut sehingga tak langsung menyadari Philip sedang bicara
padanya. Gadis itu menyipitkan mata dalam sinar remang-remang, memusatkan
penglihatan supaya bisa memahami perkataan pria itu.
"Tolong aku," kata Philip, wajah badutnya yang bermimik sedih mengernyit penuh
permohonan. "Kumohon, kumohon, kau harus menolongku!"
"Aku akan menolongmu," tukas Niki.
Philip berhenti bicara, heran.
"Tapi kau juga harus menolongku," tambah gadis itu. "Aku dan teman-temanku."
Ia mulai membuka simpul tali di tangan dan kaki Philip, sambil menjelaskan apa
yang telah dilakukan Justine. Ketika ia bercerita tentang upaya Justine membakar
mereka, mata Philip membeliak ngeri.
"Memang aku mencium bau asap," katanya. "Aku tak pernah bermimpi bahkan dia
pun akan..."
Niki selesai membuka ikatannya. "Ayo!" sergahnya. "Kita harus bergegas!"
Philip bergegas berdiri dan berlari ke arah sebuah lemari, dan kembali dengan
membawa sebuah linggis tebal. Walaupun berbadan kecil, ia ternyata cukup kuat.
Pria itu berhasil melepaskan papan-papan yang masih menempel di jendela hanya
dalam beberapa detik. Lalu ia mengangkat tubuh Niki ke atas tepi jendela dan
memanjat naik di belakangnya.
Begitu berada di luar, Niki dengan rakus menelan gumpalan-gumpalan udara
segar. Tapi mereka tak boleh membuang waktu.
Niki serta Philip berlari ke bagian depan rumah. Di dalam jendela tampak kelebat

lidah api. Para remaja yang terjebak di dalamnya merapatkan tubuh ke jeruji
jendela, berusaha bernapas.
Philip mencoba melepaskan jeruji dengan linggis.
Tidak. Tidak, jeruji itu tetap bergeming, pikir Niki, perasaan panik yang
menyelimutinya semakin memuncak.
Tidak. Tidak.
Coba terus.
Ya!
Akhirnya Philip berhasil mendongkel lepas jeruji.
Dalam keadaan tercekik kehabisan napas, para remaja itu mulai memanjat keluar,
dengan mata merah dan bercucuran air mata karena asap asam yang tebal.
Alex serta Terry membantu yang lain dan terakhir keluar dari ruangan itu.
Beberapa saat setelah mereka keluar, pintu ruang makan tertambus.
Niki dan Philip membimbing para remaja yang terguncang dan kehabisan napas itu
ke tempat aman di halaman depan, jauh dari rumah yang kini berkobar-kobar
dijilat si jago merah dari ruang bawah tanah hingga gudang loteng.
Begitu mereka sampai di tempat aman, Terry menghambur menghampiri Niki dan
memeluknya erat-erat, menciumi wajah dan rambutnya.
"Muka Lucu," katanya berulang kali. "Muka Lucu."
Niki hampir tak percaya pemuda itu selamat. Wajah Terry berlumur asap hitam
dan bulu matanya agak gosong.
Nyaris.
Sangat nyaris.
Niki dan Terry hanya berdiri di sana, saling rangkul, melihat rumah terbakar itu
meletupkan bunga api oranye cerah ke angkasa.
Di timur, remang-remang sinar oranye fajar mulai muncul.
Sebagian atap rumah tiba-tiba roboh, memercikkan hujan bunga api ke seluruh
halaman. Semua mundur ke tepi halaman. Sesaat kemudian David sempoyongan
keluar dari hutan Fear Street.
***
"Jadi, kurasa Marty dan Bobby terlalu mabuk untuk berpikir jernih," David
menjelaskan. "Ketika akhirnya sadar, aku berada di pondok penyimpanan di sudut
makam. Aku pergi ke rumah terdekat dan menelepon polisi."
Dahinya berlebam besar dan gumpalan darah kering melekat di pipinya, tapi ia
tampak baik-baik saja.
Bahkan semua baik-baik saja. Semua kecuali Les.
Baik Trisha maupun Ricky sedang duduk dan mengamati kobaran api seolah
mereka tak mengalami apa-apa. Murphy dan Angela duduk di tengah rumput

tinggi, mengabaikan permukaannya yang basah, saling menghibur.


Alex berdiri sendiri terpisah, wajahnya tampak sedih, kostum peraknya yang indah
kini koyak dan bernoda asap hitam.
Terry tak bisa mempercayai apa yang telah terjadi. Bagaimana mungkin begitu
banyak yang terjadi dalam waktu sesingkat ini? Ia merasa semua yang terjadi di
rumah itu tadi malam telah mengubah mereka semuauntuk selamanya.
Dari jauh mulai terdengar sayup-sayup raung sirene.
Philip berdiri di depan mereka semua, dan Terry heran melihat matanya basah.
"Aku sangat, sangat menyesal," katanya pada mereka. "Aku tak pernah bermaksud
hal ini akan terjadi. Kalian harus percaya padaku."
"Apa maksudmu?" sergah Alex marah. "Kami hampir terbunuh di sana!"
"Yang ingin kulakukan," ujar Philip, "hanyalah menakuti-nakuti kalian. Tak lebih."
Terry merasa mulai mengerti, dan hal itu membuatnya marah.
"Maksudmu, kau sejak awal sudah merencanakannya?" sergahnya.
"Ya," jawab Philip dengan suara sarat malu. "Begini, ayah Justine adalah kakak
laki-lakiku. Aku paling akrab dengannya. Setelah dia meninggal, aku bersumpah
akan membesarkan Justine supaya dia bangga pada putrinya. Tapi aku tak bisa
melupakan kematiannya, dan rupanya selama bertahun-tahun aku telah menularkan
kepahitanku pada Justine. Kini aku sadar seharusnya aku mengajarinya untuk
memaafkan dan mengasihi sesama. Tapi aku malah mengajarinya kebencian dan...
nafsu membalas dendam."
"Jadi, kalian telah merencanakannya selama bertahun-tahun?" tanya Trisha,
terdengar tak percaya.
"Tidak, sama sekali tidak!" bantah Philip. Ia berhenti dan menyeka wajahnya.
"Tahun lalu dokter menyatakan aku sakit, dan aku memutuskan menghabiskan
hari-hari terakhirku di rumah tua kakakku. Kukatakan pada semua orang bahwa
aku sepupu jauhnya, supaya tak ada yang menggangguku. Tapi ketika tahu aku ada
di sini, Justine meninggalkan karier dan kekasihnya serta pindah ke sini
bersamaku. Dia meyakinkanku bahwa aku takkan bisa mati dengan tenang sebelum
membalaskan kematian kakakku."
Terry terbeliak menatap Philip. Semua yang diucapkan pria itu terdengar seperti
mimpi buruknamun ternyata nyata.
"Kalian tahu kisah selanjutnya," Philip meneruskan. "Justine mendaftar sebagai
murid sekolah menengah sementara aku menyelidiki kelompok remaja yang dulu
terlibat, dan menelusuri jejak anak-anak mereka. Lalu kami mengirim undangan."
"Mengapa kalian tega melakukannya?" tanya Alex. "Mengapa? Tak ada di antara
kami yang pernah menyakiti kalian!"
"Aku tahu," jawab Philip. "Dan mungkin aku memang agak gila memendam
dendam sekian lama. Tapi kalian harus mempercayaiku! Aku tak pernah berniat
benar-benar menyakiti kalian. Aku hanya ingin kalian ketakutan, sesaat merasakan

penderitaan."
"Tapi Justine melangkah lebih jauh, ya kan?" tanya Niki.
Berlawanan dengan Alex, wajah dan suara Niki hanya memperlihatkan perasaan
simpati.
"Aku tak menyadari betapa terobsesinya dia," jawab Philip, mengangguk setuju.
"Sampai aku menemukan... menemukan tubuh teman kalian Les. Aku tahu Justine
yang melakukannya, dan aku tahu harus menghentikannya. Aku menyembunyikan
mayatnya di atap supaya tak ada yang menemukannya, dan kemudian aku
mengkonfrontasi keponakanku dengan apa yang telah dia lakukan. Kukatakan
kami harus langsung menghentikan pesta itu. Kukatakan aku akan menelepon
polisi. Tapi dia... dia..." Ia berhenti bicara dan mulai terisak-isak.
"Dia menyerangmu," kata Niki. "Aku tahu. Dia juga melakukannya padaku."
"Aku tak pernah mengira dia akan... akan melawanku," ujar Philip. "Dia
melumpuhkanku dengan sebuah pukulan di kepala, dan kemudian dia rupanya
menyeretku ke ruang bawah tanah serta mengikatku."
"Maksudmu, Justine melakukan semuanya sendirimembunuh Les,
melumpuhkanmu..." Alex terdengar tak percaya.
"Kalian harus mengerti," kata Philip, "Justine sangat kuat. Kurasa dia melatih
tubuhnya supaya dapat melakukan apa pun. Aku yakin sejak dulu dia tahu akan
melakukan hal semacam ini."
"Berani sekali kau?!"
Semua menoleh mendengar suara Justine. Ia berdiri di tepi kebun, wajah cantiknya
hampir tak dapat dikenali di balik mimik gila dan marah.
"Justine!" teriak Philip. Terry dapat melihat betapa pria itu masih sangat mencintai
keponakannya.
"Kau telah mengkhianatiku!" Justine berteriak padanya. "Dan lebih parah lagi, kau
telah mengkhianati orangtuaku! Seharusnya aku tadi membunuhmu!"
"Tidak!" teriak Philip, terpuruk berlutut. "Jangan berkata begitu!"
"Aku seharusnya tahu kau terlalu lemah untuk melakukan apa yang harus
dilakukan!" kata gadis itu. "Tak pernah ada yang sekuat aku. Aku telah
merencanakan pembalasan dendam yang sempurna! Dan akan berhasilmalah
hampir berhasil..." Ia membeliak menatap mereka semua dengan penuh kebencian.
Terry membuang muka. Niki semakin kencang memegang tangan pemuda itu.
Kini kami sudah aman, pikir Terry. Justine tak bisa lagi melukai kami.
Tapi Terry meloncat mundur ketakutan, seperti juga yang lain, ketika Justine tibatiba berlari langsung ke arah mereka, mata hijaunya memancarkan sorot tak waras.
Tepat sebelum mencapai mereka, ia tiba-tiba belok ke kiri, dan kemudian, bergerak
lebih cepat daripada yang terasa mungkin, berlari menaiki tangga depan dan naik
ke beranda yang sedang terbakar.

Chapter 22
"TIDAK!"
Ratapan penderitaan Philip membelah udara.
Tubuh Terry membeku ketika Justine berbelok dan berlari kembali ke arah rumah
yang sedang dilalap api. Tapi saat gadis itu mencapai tangga, Terry juga mulai
berlari, hampir tanpa sadar melakukannya.
Mengejar Justine.
Berlari ke arah panas dan kobaran api.
Sudut matanya melihat sebuah gerakan, dan ketika mencapai tangga, ia melihat
bahwa Alex juga mengejar Justine, tepat di belakangnya.
Tanpa memperlambat kecepatannya, Terry berlari menaiki tangga dan naik ke atas
beranda yang menyala-nyala.
Justine sedang berdiri tepat di pintu masuk rumah, agak sempoyongan, bajunya
mulai terbakar. Ia berbalik, dan ketika melihat Alex serta Terry, matanya melebar
dan ia mulai melangkah ke dalam rumah, yang kini sudah berkobar-kobar dilalap si
jago merah.
"Pegang dia!" teriak Alex.
Terry mengulurkan tangan dan berusaha meraih tubuh Justine.
Ia berhasil memegang lengan gadis itu dan menariknya sekuat tenaga.
Tapi dengan kekuatan orang gila, Justine melompat ke arah berlawanan, menarik
pemuda itu ke dalam rumah bersamanya.
Keduanya terguling ke atas lantai yang menyala-nyala.
Terry menjerit ketika melihat lidah api yang berkobar-kobar, membentang
beberapa senti dari tempatnya tergeletak.
Hal berikutnya yang ia ketahui, seseorang mencengkeramnya, dan tubuhnya
berguling-guling keluar rumah, menuruni tangga, terlempar ke kubangan lumpur.
Seseorang berulang kali menggulingkan tubuhnya, lumpur sejuk mendinginkan
panas api.
Ia duduk, bingung, dan melihat Alex berdiri di atas tubuh Justine, mematikan lidah
api yang menjilati baju gadis itu dengan jaket peraknya.
Justine kini terisak-isak, tak bernada gila, tapi berkesan menyerah, dan kesakitan.
Alex mendekat dan membungkuk di atas Terry, wajah pucatnya tampak takut dan

letih.
"Hei, man," sapanya. "Kau baik-baik saja?"
Terry mengangguk. "Kau menyelamatkan nyawaku, Alex. Trims."
"Kau mencoba menyelamatkan nyawa kami semua," jawab Alex, memegang bahu
Terry. "Kurasa kami terlalu keras kepala untuk mendengarkan."
Sesaat kedua pemuda itu hanya saling tatap, dan Terry melihat sesuatu yang tak
pernah ia duga akan dilihatnya lagitatapan persahabatan dan penghargaan. Ia
berharap wajahnya juga menunjukkan hal serupa.
Sesaat kemudian halaman itu dipenuhi pendaran sinar dan raungan sirene
kendaraan. Ketika pemadam kebakaran mulai bertempur dengan kobaran api,
personel medis memeriksa luka bakar Terry dan Alex.
Niki berdiri dekat di sebelah Terry, memegangi lengannya seolah takkan pernah
melepaskannya. "Menurutmu, apa yang akan terjadi pada Justine?" tanyanya.
"Dia akan mendapatkan bantuan yang diperlukannya," jawab
Philip sedih. "Seharusnya aku sudah melakukan hal itu bertahun-tahun lalu."
Mereka melihat Justine dibaringkan di atas tandu rumah sakit.
Beberapa menit kemudian, ambulans polisi itu keluar dari halaman, sirenenya
meraung-raung.
Di atas, hujan bunga api berletupan, menerangi kerangka istana Cameron yang
sudah hancur.
Di balik asap tebal, matahari pagi berwarna merah mulai muncul.
"Hei... kita berhasil melewatkan satu malam. Sekarang sudah pagi!" teriak Ricky.
"Sekarang bukan Halloween lagi!"
"Aku tak yakin," ujar Niki, masih berpegangan pada lengan Terry ketika mereka
mulai berjalan pergi. "Di Fear Street selalu Halloween.

END
Ebook PDF: eomer eadig
Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Вам также может понравиться