Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah Negara yang kaya akan keberagaman. Keberagaman tersebar
di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Sumber daya alam Indonesia tersebar dari Sabang di
provinsi Daerah Istimewa Aceh sampai Merauke di provinsi Papua. Tidak hanya sumber
daya alam yang melimpah, Indonesia juga kaya akan budaya yang berbeda-beda, yang
masing-masing daerah memiliki kekhasan masing-masing. Keanekaragaman budaya itu ada
karena beragamnya etnis, suku, ras, dan bahasa di Indonesia.

Suku-suku di daerah

pedalaman Indonesia masih kental akan warisan nenek moyang mereka, yang dijaga dan
dilestarikan secara turun temurun dari jaman dulu sampai saat ini. Semua keragaman yang
ada di Indonesia tercipta dari kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh masyarakat, sehingga
muncul berbagai variasi baru dalam bentuk budaya, baik hasil dari penciptaaan budaya baru
maupun mengadopsi dari perilaku keseharian masyarakat.
Ada nilai positif dan negatif dari keanekaragaman yang ada di Indonesia.

Sisi

positifnya adalah Indonesia akan penuh dengan keragaman budaya, karena tidak semua
Negara mempunyai keanekarageman seperti yang ada di Indonesia. Sisi negatifnya adalah
rawan terjadi konflik di kalangan masyarakat. Pada masyarakat perkotaan saja yang cara
berpikirnya sudah lebih maju jika dibandingkan dengan masyarakat pedesaaan sering terjadi
konflik yang berujung pada kekerasan, apalagi pada masyarakat suku pedalaman yang masih
memegang teguh nilai-nilai luhur dari nenek moyang mereka. Hal ini perlu perhatian serius
dari semua kalangan karena jika tidak dipandang secara serius, akan terjadi konflik yang
berujung pada tindak kekerasan sampai pembunuhan.

Jika terjadi konflik di kalangan

masyarakat secara terus menerus, tentunya akan menurunkan citra Indonesia di mata
internasional serta mengancam ketahanan nasional. Indonesia yang dikenal sebagai Negara
yang ramah penduduknya, sopan santunnya dijaga, berperikemanusiaan, dan berketuhanan
akan dipandang lain oleh dunia. Manakala ada satu konflik yang menyebabkan pertumpahan
darah, itu akan menjadi berita yang cukup menyita perhatian media. Media yang meliput
tentu tidak hanya media nasional saja, tetapi juga media luar negeri. Mengingat pada jaman
serba modern ini setiap informasi akan dengan mudah tersebar ke setiap lapisan masyarkat.
Beberapa tahun belakangan media di Indonesia, baik lokal maupun nasional
memberitakan mengenai konflik antarsuku yang terjadi di Papua. Timika sering diplesetkan
Tiap Minggu Kacau. Bukan Timika jika tak ada kekacauan, bentrok ataupun kerusuhan.
1

Masih segar dalam ingatan kita bahwa di Timika selalu terjadi konflik antarsuku. Konflik
antara PT Freeport Indonesia (PT FI) dengan warga setempat juga turut mewarnai tragedi
konflik di daerah itu. Sebagai contoh kerusuhan yang terjadi Tahun 1996. Kerusuhan yang
telah menelan korban jiwa pada masyarakat sipil dan korban materil yang tak terhitung
jumlahnya.

Saat itu, pihak perusahaan menggunakan jasa aparat keamanan untuk

menembaki, memperkosa, meneror dan mengancam warga Papua. Konflik di Timika pula
yang akhirnya menghasilkan pemberian dana 1 persen dari pendapatan bersih PT FI pertahun
untuk Masyarakat Amungme dan Kamoro. Walaupun kini dana 1 persen itu lebih banyak
digunakan untuk kepentingan PT FI sendiri.
Konflik berikutnya yang terjadi di Timika yakni antara masyarakat dengan pemerintah.
Sebagai contoh kerusuhan menyikapi rencana pemerintah pusat untuk pemekaran Provinsi
Papua Tengah dengan Ibu Kota di Timika.

Konflik ini terjadi pada tahun 2004 yang

menyebabkan 4 warga sipil tewas terkena panah. Konflik yang selalu terjadi di Timika juga
antara masyarakat dan masyarakat. Contoh kasus misalnya konflik saling menyerang antara
Suku Dani dan Suku Damal. Bahkan dalam catatan telah sepuluh kali terjadi di Timika.
Seperti konflik antara Suku Dani dan Damal di Kwamki Lama dan juga konflik berlanjut di
Banti dan Kimbeli di Tembagapura dekat PT FI mengeksploitasi emas, tembaga dan mineral
ikutan lainnya.
Konflik selanjutnya adalah antara aparat keamanan dan warga sipil. Contoh kasus,
antara warga sipil yang berasal dari Suku Key dan Pihak Kepolisian. Konflik ini juga telah
melumpuhkan aktivitas Kota Timika. Dalam konflik ini satu warga sipil tewas tertembak.
Konflik selanjutnya yang sering terjadi di Timika adalah antara aparat keamanan sendiri.
Contoh kasus seperti Aparat TNI saling melakukan penyerangan terhadap Aparat Kepolisian.
Aparat TNI menyerang Pos Polantas di Timika Indah. Dalam konflik ini sejumlah pihak
mengalami kerugian.
Contoh konflik-konflik tersebut selalu terjadi di Timika dan telah membuka peluang
untuk timbul lagi konflik lama karena dalam proses penyelesaian tak pernah tuntas. Keadilan
dalam penyelesaian kasus konflik bagai panggang jauh dari bara. Contoh kasus penyelesaian
perdamaian misalnya ketika penyelesaian denda adat antara Suku Dani dan Damal. Denda
adat terkumpul Rp 2 Miliar. Uang sebanyak itu diperoleh melalui bantuan perusahaan yang
beroperasi di Timika dan pemerintah setempat. Juga diperoleh dari hasil usaha pihak-pihak
yang bertikai. Dana sebanyak itu bukan untuk membayar musuh atau pihak lawan tetapi
pihak untuk membayar keluarga korban dalam sukunya sendiri. Akhirnya dendam antara
suku-suku yang bertikai masih terus berlanjut. Jika Aparat Polisi tak mengungkap siapa
2

pelaku penembakan dan juga jika tak diberikan hukuman setimpal, maka dendam masih
berlanjut. Jika dilihat secara seksama, maka konflik di Timika lebih intensif dibanding
konflik yang terjadi kota-kota lainnya di Papua. Hal ini terjadi mungkin saja karena ada aktor
yang bermain di balik konflik antarsuku di Papua.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam makalah ini terdapat beberapa pertanyaan
mendasar yang dijadikan sebagai tujuan penulisan dan rumusan masalah dalam makalah ini,
yaitu:
A. Bagaimana permasalahan Pluralisme di Indonesia khususnya papua?
B. Apa yang menyebabkan terjadinya konflik antarsuku di Papua?
C. Apakah dampak dari konflik yang terjadi terhadap masyarakat sebagai warga Negara?
D. Bagaimana seharusnya pemerintah menyelesaikaan konflik yang terjadi?
E. Apa yang harus dilakukan agar konflik serupa tidak terulang di masa yang akan
datang?

BAB II
KERANGKA KONSEP

A. Pluralisme Etnis di Indonesia


Pluralisme mengandung beberapa makna sesuai dengan wacana yang mengikutinya.
Dalam wacana filsafat saat ini, konsep tentang pluralitas mengacu pada pandangan bahwa
dunia bisa ditafsirkan dalam berbagai cara, atau untuk mengadakan evaluasi ilmu yang
ternyata diperkaya oleh kompetisi antara berbagai macam penafsiran. Dalam sosiologi
kebudayaan dan etnologi, pluralisme merujuk pada fragmentasi kebudayaan ke dalam subsub kebudayaan yang dipisahkan oleh etnik, bahasa, agama, dan batasan-batasan lain. Dalam
sosiologi kognitif konsep pluralisme menggambarkan situasi sosial yang didalamnya terdapat
beberapa sistem makna yang dihadirkan secara terus menerus sebagai tafsir yang dapat
diterima. Dalam sosiologi fungsional, pluralisme merujuk pada diferensiasi masyarakat yang
dapat diselidiki pada tingkat individual sebagai diferensiasi peran-peran (Abdilah, 2002).
Pluralisme akan jadi kenyataan bila pluralisme kegiatan, nilai, struktur, sistem ide, dan
institusi yang hidup dalam masyarakat benar-benar muncul ke permukaan. Artinya pluralisme
baru berarti bila pluralisme itu tampak dalam hidup keseharian warga masyarakat: adanya
kegiatan yang beragam, nilai-nilai berbeda bisa dijalankan tanpa kekhawatiran, struktur sosial
atau organisasi yang beraneka macam, sistem ide yang tidak tunggal, dan berbagai institusi
hadir di tengah masyarakat dan masing-masing menunjukkan keberadaanya. Sayangnya,
sekalipun disadari bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat yang plural, tidak semua
bisa mewujudkan keberadaannya dengan bebas. Abrar (2002) menemukan, bahwa meskipun
pluralisme sesuatu yang niscaya di masyarakat, media massa yang ada kurang menfasilitasi
pluralisme nilai dalam berita yang mereka siarkan. Artinya, pluralisme yang ada ditengah
masyarakat kurang mendapat tempat selayaknya.
Berdasarkan hal tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pluralisme etnik
adalah koeksistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam social budaya antra beragam
kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat.
Saat ini Indonesia merupakan negara dengan lebih dari 500 etnik. Namun demikian tidak
lebih dari 20 etnik yang memiliki anggota cukup besar. Sebagian besar hanya memiliki
anggota yang relatif kecil. Yang cukup menarik adalah keberadaan puluhan etnik di Papua.
Kadangkala satu etnik hanya memiliki wilayah satu desa saja. Bahasa mereka juga berbeda
satu sama lain. Disana ada ratusan bahasa yang dipergunakan untuk komunikasi sesama
anggota etnis. Jadi tidak benar kebijakan yang menganggap orang papua adalah satu etnik
4

yang besar. Mereka benar-benar masyarakat yang plural. Kesamaan mereka lebih pada
kesamaan ras.
Berikut adalah distribusi etnis di Indonesia pada tahun 1930 yang diambil dari Statistiche
Zakhoekje voor Nederlandsch-Indie yang terbit tahun 1940 (Suryadinata, 1999).
Kelompok Etnis
Etnis Jawa
Etnis Sunda
Etnis Madura
Etnis Minangkabau
Etnis Bugis
Etnis Batak
Etnis Bali
Etnis Betawi
Etnis Melayu
Etnis Banjar
Etnis Aceh
Etnis Palembang
Etnis Sasak
Etnis Dayak
Etnis Makassar
Etnis Toraja
Etnis lainnya

%
47,02
14,53
7,28
3,36
2,59
2,04
1,88
1,66
1,61
1,52
1,41
1,30
1,12
1,10
1,09
0,94
9,54

B. Masyarakat Multikultural dan Fragmentasi Etnis di Indonesia


Kemajemukan masyarakat adalah keanekaragaman penduduk dalam kesatuan masyarakat
atau golongan-golongan atau kelompok-kelompok secara horizontal atau tidak bertingkat.
Perwujudannya adalah penggolongan penduduk atas dasar perbedaan-perbedaan yang tidak
menunjukkan tingkatan, ras, suku bangsa dan agama.
Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih
komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki
struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Menurut Furnival, berdasarkan
susunan dan komunitas etniknya, masyarakat majemuk dibedakan menjadi empat kategori
sebagai berikut:
a. Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang
Merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau etnik yang
mempunyai kekuatan kompetitif yang kurang lebih seimbang. Koalisi antar etnis diperlukan
untuk membentuk suatu masyarakat yang stabil.

b. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan


Merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas etnik dengan
kekuatan kompetitif tidak seimbang, di mana salah satu kekuatan kompetitif yang merupakan
kelompok mayoritas memiliki kekuatan yang lebih besar daripada kelompok lainnya.
c. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan
Yaitu yang di antara komunitas atau kelompok etnisnya terdapat kelompok minoritas,
tetapi mempunyai kekuatan kompetitif di atas yang lain, sehingga kelompok tersebut
mendominasi bidang politik dan ekonomi.
d. Masyarakat majemuk dengan fragmentasi
Yaitu masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar komunitas atau kelompok etnis dan
tidak ada satu kelompok pun yang mempunyai posisi politik atau ekonomi yang dominan.
Sebuah bangsa dan Negara yang memiliki fragmentasi etnis dan kesukuan ataupun unsurunsur perbedaan social-kultural selalu merupakan ancaman bagi stabilitas dan pembangunan
social ekonomi. Oleh sebab itu, fragmentasi etnis yang terjadi di Indonesia yang disebabkan
oleh kemajemukan dan pluralitas kehidupan bangsa Indonesia harus dapat ditangani dengan
baik. Jika fragmentasi etnis tersebut tidak dapat terselesaikan, maka berbagai konflik
horizontal akan bermunculan di Indonesia, yang kedepannya dapat mengganggu keutuhan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pluralisme di Indonesia, khususnya di papua


Indonesia merupakan suatu gugusan kepulauan yang terdiri atas berbagai ragam
kebudayaan. Adapun masyarakatnya merupakan masyarakat yang multikultural. Banyak
konflik terjadi di Indonesia seperti kasus Sampit di Kalimantan, konflik di Poso dan
Ambon, konflik antarsuku di Papua, dan konflik-konflik lain. konflik tersebut lebih banyak
diakibatkan oleh kemajemukan dalam masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal.
Secara sosiologis, masyarakat multikultural memiliki potensi rawan konflik yang
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.

harga diri dan kebanggaan setiap pihak terusik;

2.

adanya perbedaan kebudayaan yang dimiliki setiap etnis;

3.

adanya benturan kepentingan (politik, ekonomi, kekuasaan);

4.

perubahan sosial yang terlalu cepat dapat mengganggu keseimbangan sistem.


Suku Asmat yang ada di Papua merupakan golongan suku yang teguh berpegang pada

adat dan kebudayaan. Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan suatu
permasalahan yang kompleks dan membutuhkan penyelesaian yang menyeluruh dan
integratif dari berbagai pendekatan. Terdapat dua elemen kuat yang sering bergabung
dalam konflik internal, seperti halnya yang terjadi di Indonesia, yaitu:

Identitas, yang berkaitan dengan mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas


komunal yang berdasarkan ras, agama, bahasa, dan seterusnya;

Distribusi, yaitu cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial, dan politik dalam
sebuah masyarakat. Ketika distribusi dianggap tidak adil yang berkaitan dengan
perbedaan identitas. Misalnya, suatu kelompok agama kekurangan sumber daya tertentu
yang didapat dari kelompok lain. Kita menemukan adanya potensi konflik yakni
kombinasi dari faktor kuat yang didasarkan pada identitas dengan persepsi yang lebih
luas

tentang

keadilan

ekonomi

dan

sosial

yang

sering

menyalakan konflik yang mengakar.


Karakteristik yang menonjol dari konflik internal adalah tingkat ketahanannya karena
konflik seperti ini sering didasarkan pada isu identitas. Istilah yang sering digunakan dalam
konflik seperti ini adalah konflik etnis. Konflik disebabkan oleh faktor apapun (agama, ras,
budaya, keturunan, sejarah) yang dianggap sebagai identitas fundamental dan yang

menyatukan mereka menjadi sebuah kelompok maka merasa berkewajiban untuk melakukan
kekerasan demi melindungi identitas mereka yang terancam.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan identitas fundamental sering bercampur dengan
konflik dalam pendistribusian sumberdaya. Misalnya wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek
lapangan kerja, dan sebagainya. Ketika identitas dan isu pendistribusian dibaurkan, akan
menjadi kesempatan bagi pemimpin yang oportunistik untuk mengeksploitasi dan
memanipulasi. Hal ini menjadi potensi konflik yang paling tinggi dan banyak terjadi di
Indonesia, terutama setelah masa reformasi sampai sekarang.
Pendekatan pluralisme budaya merupakan sebuah alternatif dalam kaitannya dengan
relasi sosial di antara kelompok-kelompok etnis dan kebudayaan. Pendekatan ini dapat
dijadikan sebagai strategi pe-mecahan konflik dan pembangunan modal kedamaian sosial.
Pluralisme menunjuk pada sikap penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat
dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan
mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Daripada
berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara
integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman, seperti kata Kleden (2000:5),
...penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat, dan
terhadap potensi manusia.
B. Penyebab terjadinya konflik antarsuku di Papua
Perang suku atau lebih tepat disebut pertikaian antarsuku merupakan salah satu bentuk
konflik yang lazim terjadi dalam kehidupan di Papua, setidaknya sampai tahun 1987. Pada
sepuluh tahun belakangan ini, tampak ada gejala timbulnya pertikaian antarsuku dalam
bentuk yang lebih kompleks, sebagai contoh sebagaimana kejadian di Timika yang banyak
dimuat dalam berbagai berita media massa cetak maupun elektronik pada akhir tahun 2006.
Gejala timbulnya pertikaian antar suku-suku di Papua kini bukan hanya akibat struktur sosial
budaya setempat, melainkan bisa terjadi akibat mengakarnya faham kago (ratu adil) yang
secara psikologis membentuk perilaku konflik ketimpangan pembangunan dan kehidupan
sosial ekonomi.

Analisis konflik sosial dan penanganannya dibangun dari sebuah teori

psikologi sosial dengan pendekatan antropologi yang sederhana tetapi diperkuat dengan
penjelasan asal mula terjadinya perbedaan kepentingan yang dipersepsikan oleh pihak-pihak
yang berkonflik serta konsekuensinya terhadap pemilihan strategi penanganan pertikaian.

Hal ini didasarkan pada kerangka pikir tentang dampak kondisi sosial budaya terhadap
perilaku sosial. Beberapa penyebab terjadinya konflik di Papua antara lain :
1.

Banyaknya warga pendatang baru yang berasal dari luar Papua.


Timika sebagai daerah perusahaan merupakan magnet bagi para imigran yang datang

dari luar Papua untuk mencari kehidupan yang lebih layak dengan mencari pekerjaan di
Timika.

Lantaran adanya perusahaan asing bertaraf internasional yang kini mampu

menampung karyawan sebanyak 19.000 orang. Belum lagi banyaknya karyawan di sejumlah
perusahaan swasta maupun pemerintahan di Timika yang didominasi warga pendatang.
Kondisi ini menggambarkan bahwa jumlah Warga Luar Papua yang masuk ke Timika lebih
dari angka 200an/hari.

Hal ini pernah diakui oleh Kepala Distrik Mimika Baru, James

Sumigar S.Sos kepada wartawan, setiap hari warga pendatang baru yang mengurus Kartu
Tanda Penduduk (KTP) di Distrik Mimika Baru sebanyak 200 orang (Papua Leading News
Portal). Lantaran animo Warga Luar Papua yang datang ke Timika sangat tinggi, maka
jangan heran jika konflik antara sesama warga Timika selalu terjadi. Selain itu Timika
sebagai kota perusahaan dengan alasan pengamanan alat vital milik PT FI maka pemerintah
pusat selalu mengirim pasukan dalam jumlah tertentu. Oleh karena itu, tak jarang terjadi
konflik baik antara aparat keamanan dengan warga sipil maupun antara aparat keamanan
sendiri.

Timika juga dikenal dengan daerah perputaran uang paling tinggi.

Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2008 di Kabupaten Mimika sebesar Rp 2
Triliun (Papua Leading News Portal). Dana sebanyak itu harus dihabiskan dalam waktu tak
lebih dari enam bulan. Banyaknya uang yang beredar di Timika juga menjadi penyebab
terjadinya konflik. Belum lagi jika PT FI memberikan 1 persen kepada Suku Amungme dan
Kamoro dalam jumlah ratusan miliar rupiah per tahun, walaupun tak semua Orang Amungme
dan Kamoro menikmatinya. Bahkan hidupnya mereka sangat miskin dan melarat.
2.

Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan di Papua


Faktor penyubur konflik lainnya misalnya sektor pendidikan dan kesehatan yang tak

berjalan baik.

Ibaratnya jika tingkat pendidikan baik maka masyarakat tak mudah

terpengaruh oleh rayuan provokator sehingga tak mudah timbul konflik. Begitupun dengan
kesehatan, jika warganya sehat dengan asupan gizi yang cukup maka tak ada alasan bagi
masyarakat setempat untuk terlibat dalam konflik.

Persoalan yang selalu menimbulkan

terjadinya konflik juga lantaran penjualan minuman keras (miras) yang tak terkontrol.
Sejumlah pengusaha beroperasi walaupun tak memiliki izin penjualan dari pihak pemerintah
daerah setempat. Terdapat juga miras oplosan yang berbahaya bagi tubuh manusia. Dalam

banyak kasus, miras juga menjadi penyebab konflik yang berkepanjangan di Timika. Namun
hal ini tak pernah disikapi pemerintah daerah setempat.
3.

Kalangan pemuda yang tidak menuruti ketua adat


Pada kasus konflik antara suku Dani dan suku Damal, setelah ada korban meninggal

kepala suku salah satu dari kedua suku tersebut telah memberikan tanda damai. Namun
beberapa kalangan anak muda justru tidak mendengarkan perintah dari kepala suku.
Akibatnya terjadi konflik lagi karena dendam yang harus dibalaskan. Dalam kondisi seperti
ini, aparat keamanan diterjunkan untuk melerai konflik, namun sering kali justru aparat
keamanan yang ditudu menjadi penyebab karena mungkin sudah geram dengan aksi dari
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
4.

Balas dendam masih menjadi budaya di Papua


Sejumlah kasus kekerasan terjadi di Papua, selain penembakan, perang antar suku juga

kerap terjadi. Polisi menengarai hal ini karena adanya dendam antar kelompok. "Memang
antar suku di Papua sering terjadi masalah kecil, seperti masalah perbatasan dan lain-lain
yang kecil-kecil.

Maka terjadi perselisihan antar mereka dan membawa sukunya untuk

menyerang antar suku sehingga terjadilah suatu benturan suku," ujar Kabareskrim Mabes
Polri Komjen Pol Sutarman usai rapat tentang Century dengan pimpinan DPR dan anggota
DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/6/2012) (detiknews). Untuk menghindari
terjadinya perang antarsuku, mungkin bisa saja menggunakan pendekatan pencegahan.
Caranya adalah dengan menyampaikan imbauan ke masyarakat agar menyelesaikan masalah
tidak dengan cara perang. "Karena memang budaya di sana menyelesaikan masalah dengan
cara-cara balas dendam, jadi banyak persoalan di Papua akhirnya menimbulkan korban jiwa
yang dibayar mahal antar kelompok," sambung Sutarman. Tim dari Bareskrim Polri telah
dikirim ke Papua untuk mem-back up pasukan. Sementara itu pasukan telah disiagakan di
sejumlah wilayah seperti Mimika, Puncak Jaya, dan di beberapa daerah lainnya. Sayangnya
komunikasi dan transportasi di Papua cukup sulit, sehingga jika terjadi bentrokan melibatkan
banyak orang menjadi korban.
5.

Profokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab


Peperangan antarsuku yang terjadi di Papua salah satunya juga disebabkan karena ulah

provokasi baik dari anggota masyarakat suku ataupun orang yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai contoh ketika warga dari suku Wamena menghancurkan pemukiman warga suku
Yoka karena warga suku Wamena terprovokasi dengan nada dering / ring tone yang dibuat
oleh seseorang dari suku Yoka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat suku di Papua sangat
mudah terprovokasi dengan isu-isu yang ada dalam masyarakat.
10

Apalagi budaya balas

dendam masih menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Jika satu nyawa hilang, maka dibalas
dengan satu nyawa juga.
C. Dampak dari konflik antar suku di Papua
Konflik antarsuku yang terjadi di Papua memang sudah terjadi beberapa tahun terakhir.
Konflik yang terjadi tidak hanya di satu daerah saja, tetapi di beberapa daerah dengan sebab
yang berbeda. Konflik yang terjadi di Papua adalah seputar balas dendam, tidak setuju
dengan kebjakan pemerintah sehingga timbul pertikaian dengan aparat keamanan, konflik
dengan perusahaan yang ada di Papua, dan lain-lain. Beberapa dampak dari adanya konflik
di Papua antara lain:
a.

Rusaknya fasilitas umum.

b.

Hancurnya pemukiman warga.

c.

Jatuhnya korban, baik yang luka-luka maupun tewas.

d.

Warga yang tidak bersalah juga ikut menjadi korban, sehingga dapat menimbulkan
dampak psikologis.

e.

Masyarakat merasa tidak aman dengan adanya konflik yang terjadi.

f.

Menimbulkan perpecahan di masyarakat.

g.

Hilangnya rasa kepercayaan dalam masyarakat.

D. Sikap pemerintah terhadap konflik yang terjadi


Adanya konflik di Papua yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir telah
menimbulkan kerugian di masyarakat. Konflik yang terjadi seharusnya dapat terselesaikan
dengan baik agar tidak terulang lagi di masyarakat. Namun pada kenyataannya ketika ada
konflik terjadi kemudian masalahnya selesai, setelah itu konflik terjadi lagi dan tentunya
menimbulkan dampak yang merugikan lagi bagi masyarakat. Dengan terjadinya konflik yang
tidak tuntas secara keseluruhan menjadikan kesan bahwa Negara ini tidak aman. Ketika di
Timur Tengah rakyat Palestina bersatu untuk melawan tentara Israel, di Negara kita malah
sesama warga Negara konflik, bahkan antara warga Negara dengan pemerintah (negara).
Robert M. Maclver mendefinisikan Negara sebagai asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum
yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa. (The state is an association which, acting through law as pormulgated by a
government endowed to this end with coercive power, maintains within a community
territorially demarcated the universal external conditions of social order). Negara merupakan
suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang
berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya
11

melalui penguasaan (control) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah. Dalam hal ini,
pemerintah sebagai lembaga yang menjalankan pemerintahan harus melakukan tindakantindakan penyelesaian terhadap kejadian konflik antarsuku yang terjadi di Papua. Memang
sudah ada beberapa penyelesaiaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upayanya
menyelesaikan konflik di Papua, namun hal itu hanya bersifat sesaat. Sebagai contoh ketika
dua suku di Papua berkonflik, penyelesaian yang dilakukan adalah dengan ganti rugi menurut
adat setempat. hal ini hanya akan berlangsung senbentar, karena setelah beberapa waktu
kemungkinan terjadinya konflik akan sangat mungkin untuk terjadi. Bahkan konflik lanjutan
dapat terjadi dengan menggunakan isu yang berbeda dari konflik sebelumnya.
Dalam menangani konflik di Papua, pemerintah harus melakukan upaya yang benerbenar serius.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah dalam menangani

konflik antarsuku di Papua. Langkah-langkah tersebut antara lain :


1. Melakukan sosialisasi tentang pentingnya kebersamaan.
Kebersamaan merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap warga Negara dalam
kehidupan bernegara.

Sosialisasi dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada

masyarakat agar lebih bisa saling menghargai antarsuku dan tidak saling mencela. Namun
hal ini biasanya menemui kendala, karena ada beberapa suku yang reweldan tidak
menghiraukan imbauan yang telah diberikan.
2. Memperbaiki tingkat pendidikan di Papua.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa tingkat pendidikan di Papua bisa dibilang masih
jauh dari kemakmuran. Walaupun sudah banyak orang-orang Papua yang menempuh sampai
tingkat pendidikan tinggi, namun tidak sedikit pula yang masih belum mengenyam
pendidikan, terutama masyarakat suku adat. Pendidikan belum tersebar merata di Papua,
mengingat kondisi geografis di Papua juga sulit untuk dicapai.
Terlepas dari semua kendala yang ada di Papua, pemerintah dalam hal ini adalah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan harus mempunyai cara yang efektif untuk bisa
meningkatkan mutu pendidikan anak-anak Papua. Ketika anak-anak Papua dapat menikmati
pendidikan yang layak, mereka akan sedikit demi sedikit merubah pola pikir merka yang
tradisional ke pemikiran yang lebih modern.

Logika mereka akan berjalan dengan

semestinya. Mereka akan sadar tentang arti kebersamaan dan pentingnya saling menghargai
antar suku. Penalaran dan logika sebagai dasar pengetahuan akan bisa menuntun masyarakat
menjadi warga Negara yang patuh dan menghargai adanya hukum.

Oleh karena itu,

pemerintah harus lebih bisa menanamkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan masyarakat
di Papua dalam kaitannya dengan kewarganegaraan.
12

a. Memberikan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat Papua.


Kemiskinan yang ada di Papua salah satunya disebabkan karena lapangan kerja yang
tidak tersedia secara menyeluruh. Ketika beberapa perusahaan besar yang ada di Papua
memberikan pekerjaan bagi masyarakat di Papua, itu tidak menjamin kalangan masyarakat
banyak yang bekerja. Apalagi pekerja dari luar Papua juga semakin banyak yang bekerja di
perusahahan asing yang ada di Papua seperti PT. Freeport Indonesia. Pemerintah seharusnya
bisa mendidik masyarakat Papua untuk lebih berjiwa wirausaha, agar dapat menciptakan
lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga tidak akan terjadi konflik antara masyarakat
dengan pihak perusahaan maupun dengan sesama masyarakat. Angka kemiskinan pun akan
bisa sedikit demi sedikit terkurangi.
b. Meningkatkan kewaspadaan aparat keamanan di daerah-daerah yang rawan dengan
konflik.
Aparat keamanan yang ada di Papua, seharusnya dapat bergerak lebih cepat jika
dibandingkan dengan warga yang biasanya melekukan provokasi misalnya dengan
melakukan aksi penembakan.

Aparat keamanan harus lebih sigap dalam menyikapi

terjadinya konflik jika tidak mau dicap sebagai dalang dari kerusuhan. Sering kali aparat
keamanan dituduh menjadi sumber kerusuhan di masyarakat, terutama pada saat melerai
kubu yang berkonflik. Sistem keamanan mungkin harusnya lebih wapada seperti pada masa
orde baru, ketika ada sedikit isu mengenai konflik, aparat langsung bertindak. Sehingga
belum sampai terjadi konflik isu sudah mereda dan konflik tidak akan terjadi.
E. Penyelesaian agar konflik tidak terulang kembali
Konflik di Papua terjadi hampir beberapa tahun terakhir. Hal ini karena belum adanya
penanganan secara tuntas mengenai konflik itu sendiri, selain kendala sosial maupun
geografis di Papua tentunya.

Kesadaran akan hukum dan kebersamaan masyarakat

khususnya masyarakat adat Papua yang masih rendah juga menyebabkan sulitnya
penyelesaian konflik secara tuntas. Namun, tidak ada salahnya mencoba dan terus berusaha
mencari solusi dan melakukan tindakan agar konflik terselesaikan. Perlunya kerja sama dari
setiap elemen masyarakat, baik dari warga, pihak-pihak perusahaan penyedia lapangan
pekerjaan, dan juga pemerintah akan sedidik demi sedikit menyelesaikan konflik.
Masyarakat bisa melakukannya dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya hukum dan
saling menghargai sesama manusia.

Pihak perusahaan dapat memberikan kebijakan

perusahaan kepada para karyawannya dengan lebih demokratis. Sementara pemerintah dan
aparat keamanan lebih membentuk konsep peningkatan kewaspadaan dan kecepatan melerai
konflik agar tidak meluas dan berkelanjutan.
13

BAB IV
KESIMPULAN
Konflik antar suku di Papua hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi setiap warga
Negara di Indonesia.

Mengingat di daerah-daerah lain di Indonesia juga sering terjadi

konflik, maka semua elemen masyarakat harus bisa bekerja sama menyelesaikan konflok
yang terjadi. Papua yang kaya akan sumber daya alam harus mempunyai sumber daya
manusia yang baik agar kekayaan alam Papua tidak terus menerus diekspolitasi oleh pihak
asing.
Penyebab-penyebab terjadinya konflik di Papua harus segera diatasi.

Dengan

pertimbangan yang matang, penyebab konflik hars dianalisa secara mendalam. Beberapa
penyebab adanya konflik antar suku di Papua antara lain :
a.

Banyaknya warga pendatang baru yang berasal dari luar Papua.

b.

Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan di Papua

c.

Kalangan pemuda yang tidak menuruti ketua adat

d.

Balas dendam masih menjadi budaya di Papua

e.

Profokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab


Ketika penyebab konflik dapat dianalisa dengan baik, konflik akan bisa diwaspadai.

Sebelum terjadi konflik, aparat sudah bertindak dengan menanggapi isu isu yang
berkembang, sehingga konflik tidak dapat terjadi. Jikalau konflik terjadi, mungkin dampak
yang ditimbulkan tidak akan terlalu parah. Meskipun idealnya konflik ada dalam masyarakat,
namun meredam konflik juga tidak ada salahnya.

Apalagi jika konflik meluas dan

menimbulkan dampak yang merugikan. Dampak konflik antar suku yang sering terjadi di
Papua, yang mengganggu keamanan di Papua itu antara lain :
a.

Rusaknya fasilitas umum.

b.

Hancurnya pemukiman warga.

c.

Jatuhnya korban, baik yang luka-luka maupun tewas.

d.

Warga yang tidak bersalah juga ikut menjadi korban, sehingga dapat menimbulkan
dampak psikologis.

e.

Masyarakat merasa tidak aman dengan adanya konflik yang terjadi.

f.

Menimbulkan perpecahan di masyarakat.

g.

Hilangnya rasa kepercayaan dalam masyarakat.

14

Pemerintah dalam hal ini adalah yang mengatur kegiatan bernegara untuk rakyat harus
segera melakukan tindakan untuk menyelesaikan konflik antar suku yang terjadi di Papua.
Beberapa tindakan yang bisa dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut :
a.

Melakukan sosialisasi tentang pentingnya kebersamaan.

b.

Memperbaiki tingkat pendidikan di Papua.

c.

Memberikan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat Papua.

d.

Meningkatkan kewaspadaan aparat keamanan di daerah-daerah yang rawan dengan


konflik.
Perlunya kerja sama dari setiap elemen masyarakat, baik dari warga, pihak-pihak

perusahaan penyedia lapangan pekerjaan, dan juga pemerintah akan sedikit demi sedikit
menyelesaikan konflik. Masyarakat bisa melakukannya dengan meningkatkan kesadaran
akan pentingnya hukum dan saling menghargai sesama manusia. Pihak perusahaan dapat
memberikan kebijakan perusahaan kepada para karyawannya dengan lebih demokratis.
Sementara pemerintah dan aparat keamanan lebih membentuk konsep peningkatan
kewaspadaan dan kecepatan melerai konflik agar tidak meluas dan berkelanjutan. Oleh
karena itu, sebagai pengamalan dari sila-sila pancasila, terutama sila kedua dan ketiga,
sebagai warga Negara kita hendaknya saling menghargai antar sesama manusia untuk bisa
bersatu dalam kebersamaan rakyat Indonesia.

15

REFERENSI

Budiardjo, Prof. Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2007
Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Desa. Jakarta: Pustaka LP3ES
Yusra, Abrar. 2002. Tanah Ombak. Jakarta:Kompas

http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=47110&idc=41
http://news.detik.com/read/2012/06/06/144049/1934310/10/dendam-antar-kelompokpenyebab-kekerasan-di-papua
http://referensiregistrasi.blogspot.com/2010/11/peperangan-antar-suku-di-papua-akibat.html
http://tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1643:pprnperjuangkan-hak-hak-dasar-orang-asli-papua&catid=89:lembar-olah-raga&Itemid=90

16

Вам также может понравиться