Вы находитесь на странице: 1из 13

TUGAS MAKALAH PERMASALAHAN ARSITEKTUR

KOSMOLOGI ELEMEN PENYUSUN PENDHAPA SASANA SEWAKA


PADA KRATON SURAKARTA

OLEH :
TRI HESTI MILANINGRUM
14/372838/PTK/9890

PROGRAM STUDI S2 TEKNIK ARSITEKTUR


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keraton Kasunanan Surakarta disebut juga Keraton Surakarta
Hadiningrat merupakan simbol peninggalan sejarah pada waktu zaman
pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi. Didirikan oleh
Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744. Disebut juga
Kraton Surakarta Hadiningrat. Secara harfiah sura berarti gagah berani,
karta berarti tidak rusuh, hadi yang berarti besar, dan rat berarti dunia.
Jadi Surakarta Hadiningrat diartikan sebagai dunia besar yang gagah berani
dan makmur. Keraton Surakarta merupakan lambang kelestarian budaya
Jawa, sebagai pusat pelestarian adat istiadat yang diwariskan secara turun
temurun dan masih berlangsung hingga saat ini (Harjowirogo 1979:7). Dalam
pola pikir masyarakat Jawa, keraton merupakan representasi jagat raya
dalam bentuk kecil yaitu kesejajaran makrokosmos (jagad raya) dengan
mikrokosmos (keraton).

Hirarki Kraton Jawa


Sumber: Sumarjan dalam Kartono, 2005

Raja sebagai penjelmaan dari dewa yang menghubungkan alam


semesta (adikodrati) dan dunia (kodrati). Raja berkuasa mutlak, untuk
memberikan kesejahteraan rakyat. Karena raja adalah pusatnya maka
kraton merupakan titik tengah lingkaran dengan konsep kosentris. Kraton
merupakan gugusan bangunan yang membujur dari Utara hingga Selatan
membentuk pola kawasan yang khusus. Dengan ditandai adanya Gapura
Gladak yang terletak di sebelah Utara dan Gapura Gading di sebelah
Selatan.

Gapura Gladak (-ki) dan Gapura Gading (-ka)


Sumber : wikimapedia.org

Pola tata ruang Kraton Surakarta menggunakan konsep kosmogini,


sebuah konsep tata ruang berbentuk lingkaran berulang. Dimulai dari
lingkaran besar menuju lingkaran kecil sebagai pusat. Lingkaran luar
pertama berupa Negara Gung, lingkaran tengah berupa Kutaraga atau
Kutanegara atau Siti Narawita, sebuah wilayah yang mantap tidak bergerak
namun kuasa menggerakkan. Lingkaran kecil terdalam adalah Kedhaton
sebagai pusat kekuasaan (Haryono, 2010).
Bangunan kraton terdiri dari beberapa susunan, diantaranya adalah
pendhapa yang merupakan bagian utama yang mempunyai arti penting.
Pendhapa yang diberi nama Sasana Sewaka difungsikan sebagai tempat
menghadap para patih, sentana, maupun kerabat raja sebagai bagian dari
kraton. Kata sasana berarti tempat. Sewaka atau pasewakan berarti
saling menghadap. Sehingga Sasana Sewaka diartikan sebagai tempat
pertemuan raja dan para abdi dalemnya, atau tempat menghadap raja.
Sedangkan fungsi kraton sendiri sebagai tempat tinggal bagi raja dan
keluarganya. Sasana Sewaka berbentuk Joglo Pangrawit beratap sirap yang
merupakan bentuk dari Arsitektur Jawa Tengah. Hampir pada semua

bangunan kepemerintahan dan lembaga penting di Jawa Tengah memiliki


pendhapa yang berbentuk joglo dengan 4 tiang penyangga. Pendhapa
merupakan elemen penting bagi Arsitektur Jawa, sehingga masyarakat
menganggap bahwa pendhapa memiliki nilai historis, magis, dan simbolis.

Pendhapa Sasana Sewaka telah mengalami beberapa kali perbaikan,


diantaranya dibangun dan didirikan oleh PB IX pada tahun 1786 dengan
beberapa
penambahan
pada sisi kanan

Gambar potongan membujur Sasana Sewaka


Sumber : Dokumen Ashrori, 2009

yaitu
dan

kiri

dibuat emperan dan bangunan kecil tepat ditengah pendhapa. Tambahan


emperan disebut Paningrat, sedangkan bangunan paling luar disebut Maligi.
Pada tahun 1893 1939, PB X merenovasi kembali bangunan pendhapa
dengan mengganti lantai dengan batu pualam, dan ukiran tiangnya
diperhalus. Lantai pendhapa Sasana Sewaka lebih tinggi dari paningrat,
sedangkan lantai Paningrat sejajar dengan Maligi. Pendhapa Sasana
Sewaka mengalami kebakaran pada tahun 1985, dan dibangun kembali oleh
PB XII.
Di Pendhapa Sasana Sewaka biasanya diadakan pagelaran Tari
Bedhaya Ketawang yang diadakan di wilayah ruangan antara keempat saka
guru tepatnya dibawah kyai Remeng. Pagelaran Bedhaya merupakan
puncak dari upacara Tingalan Jumenengan raja di Kraton Surakarta, yang
merupakan acara simbolis, sakral, dan religius.Tari Bedhaya Ketawang
merupaan tari yang dikeramatkan karena memperlakukan khusus yang
ditujukan pada pusaka dan alat kebesaran lain yang disimpan di salah satu

ruangan Prabasuyasa.Pada saat upacara, Pendhapa Sasana Sewaka dibagi


menjadi dua wilayah yang sama dan sebangun antara sisi kanan dan kiri.
Diantara dua wilayah tersebut terdapat lorong yang membujur dari Maligi
sampai ujung Bangsal Parasedya yang merupakan singgasana raja.

Tari Bedhaya Ketawang dihadapan raja


Sumber : tjoen-sojourner.blogspot.com

Adanya sesaji pada Pagelaran Bedhaya


Sumber : tjoen-sojourner.blogspot.com

4
Para sesepuh dan kerabat berbaris di Sasana Parasedya
Sumber : tjoen-sojourner.blogspot.com

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut :
-

Bagaimana elemen struktur penyusun Pendhapa Sasana Sewaka?

Apa makna atau filosofi yang terkandung pada elemen penyusun


Pendhapa?

Bagaimana elemen penyusun Pendhapa sebagai simbolisasi kehidupan


manusia dengan alam semesta?

1.3. Tujuan Penulisan


Dari penjabaran sebelumnya, maka didapatkan tujuan dari penulisan ini,
yaitu mengetahui bagaimana elemen penyusun Pendhapa Sasana Sewaka
menjadi satu kesatuan yang menjadi simbolisasi kehidupan manusia dengan
alam semesta dengan melihat dari makna atau filosofi yang terkandung pada
elemen elemen tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

Konsep Ruang dalam Pendhapa Sasana Sewaka


2.1.1. Pola Simetris terhadap Konsep Keselarasan
Pembagian simetris Pendhapa Sasana Sewaka saat
upacara dengan tempat duduk raja sebagai titik pusat yang
posisinya berada di belakang dua saka guru. Pola simetris ini
berkaitan dengan konsep keselarasan yang mengikuti aluran alam
semesta sehingga mempengaruhi alam kehidupan manusia. Kesimetris-an ini juga dapat dilihat dari bentuk ruangan, desain
ornamen ukiran, jumlah saka, letak tata lampu kristal, garis garis
atap, tanaman hias, dan dua patung yang berada di sisi kanan
dan

sisi

kiri.Susunan

simetri

mencerminkan

makna

citra

kestablian, ketenangan, dan kewibawaan (Mangunwijaya, 1992).

Tampak Luar Sasana Sewaka yang simetris


Sumber : soloblitz.co.id

Ruang Dalam Pendhapa Sasana Sewaka


Sumber : flickr.com

Dalam Kosmologi Jawa, alam semesta dibagi menjadi dua


; Pangiwa dan Panengen. Pangiwa dengan unsur jahat, kasar, dan
nafsu untuk menghancurkan. Sedangkan Panengen berkebalikan
dengan Pangiwa, yaitu bersifat tenang, halus, dan nafsu untuk
membangun. Walaupun keduanya bertentangan, namun saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
Pada konfigurasi ruang rumah Jawa dikenal adanya
dualisme (oposisi binair), antara luar dan dalam, antara kiri dan
kanan, antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit
laki-laki (tempat plasenta yang biasanya terletak sebelah kanan)

dan spirit wanita (tempat plasenta yang biasanya terletak pada


bagian kiri), sentong kanan dan sentong kiri.
Contoh kegiatan dari pembagian dua ini pada saat
pagelaran wayang, dimana layar diletakkan sepanjang peringgitan,
dalang dan perangkatnya di bagian pendapa dengan penonton
laki-laki sedangkan perempuan menonton dari bagian belakang
(bayangannya) dibagian emperan rumah.

Rumah
tradisional
Jawa
Skema
Konfigurasi
Dualisme masyarakat
pada pertunjukkan
wayangumumnya
Sumber
Kartono,Utara
2005 - Selatan yang diyakini
menggunakan orientasi
dari : sumbu
sebagai tempat tinggal penguasa laut selatan dan Dewi pelindung
kerajaan Mataram yaitu Nyi Roro Kidul. Sedangkan arah Timur Barat cenderung dihindari oleh masyarakat Jawa karena arah
Timur diyakini sebagai tempat tinggal dewa pencabut nyawa.
Berikut arah mata angin berdasarkan dewa penunggunya :
(1) timur ditunggui oleh Maha Dewa,

(2) barat ditunggui oleh Batara Yamadipati,


(3) utara ditunggui oleh Batara Wisnu, dan
(4) selatan ditunggui Batara Brahma
Dalam mitologi Jawa, Batara Yamadipati adalah dewa
kematian.

Sehingga

bagi

orang

yang

mempercayai,

arah

menghadap ke barat harus dihindari karena secara simbolik berarti


sama dengan mengharap kematian.
Pendhapa

Sasana

Sewaka

merupakan

bukti

mengimplementasi dasar kepercayaan Jawa. Dalam konsep Dewa


Raja, Raja pada saat pasewakan ageng Jumeneng Ndalem duduk
Dhampar menghadap ke Timur

2.1.2. Makna Simbolis pada Elemen Struktur


Aspek simbolis yang berpengaruh pada makna dalam arsitektur
perlu ditunjukkan pada posisi setiap aspek dalam kaitan yang
menyeluruh :

Halaman disebelah timur disebut Manikmaya memiliki maksud


jauh dari penyakit, banyak rezeki, selamat, dan tenteram

Pada bagian langit-langit, usuk dibiarkan terbuka sehingga


dapat terlihat yang merupakan simbolisasi dari sebuah
payung yang sedang dibuka, dengan usuk-usuk sebagai
tangkai-tangkai jerujinya, sehingga disebut.

Mangunwijaya

mengatakan bahwa bentuk atap pendapa (bermager payung


atap joglo) juga merupakan simbolisasi dari gunung. Bentuk
langit-langit yang menyerupai payung itu, dimaksudkan
sebagai simbol keagungan rumah Jawa.

Lantai

pendhapa

dibuat

dari

marmer

putih

mengkilat

berbentuk persegi sama sisi sehingga dapat sebagai cermin,


memiliki nilai makna agar semua yang duduk di pendhapa
suci dapat selalu intropeksi diri

Penggunaan petungan neptu dan pasaran dalam menentukan


hari baik dalam mendirikan pendhapa juga diperhitungkan

Tumpang Sari merupakan balok yang susunannya seperti


piramida, semakin ke atas semakin menyempit (7 tingkatan).
Lubang pada tumpang sari ditutup papan kayu atau langit
langit yang disebut ceplok. Letak ceplok dibuat secara
simetris, baik bentuk, ragam hias, maupun warnanya. Motif
yang digunakan tumbuhan dan hewan.

Dhadhapeksi, balok yang letaknya ditengah Tumpang Sari.


Tepat ditengah dhadhapeksi terdapat hiasan dengan motif
geometris yang disebut bulan bintang, yang juga digunakan
sebagai penutup bagian atas antungan lampu Kyai Remeng.
Ragam hias pada dhadhapeksi melambangkan ketuhanan.

Pada Pamidhangan diukir motif hias kuku bimo pada sudut


balok dhadhapeksi dan pananggap dengan warna kuning
keemasan dan merah tua. Motif kuku bimo mempunyai makna
bahwa manusia diberikan karunia berupa akal dan pikiran
supaya peka dan tajam dalam membedakan baik dan buruk.
Diibaratkan kuku Bima (ksatria Pandawa)

Saka
o

Pendhapa ditopang oleh sejumlah tiang penyangga


berupa saka yang berwarna merah kecoklatan, dihiasi
ukiran dedaunan warna keemasan

10

Saka Guru pada Pendhapa Sasana Sewaka


Sumber : yogyakarta.panduanwisata.id

4 Saka guru dengan ukuran lebih besar diantara tiang lain


di bagian tengah dari bangunan (menopang inti ruang
atau Brunjung)

Tiang pada lapisan kedua berjumlah 12 yang disebut


saka penanggap (menopang atap yang mengelilingi
Brunjung)

Saka lain berjumlah 20 disebut saka rawa (menopang


emper atau Panitih)

Di sisi luar saka rawa ditempatkan sebuah patung putri


berwarna hitam.

Diantara para saka juga digantung lampu kristal sebanyak


24 buah, dan salah satu yang paling besar disebut Kyai
Remeng yang dipasang ditengah tengah keempat saka
guru

Saka Guru dibagi menjadi 3 bagian, saka (badan tiang),


mayangkara (penguat/bagian atas saka guru), dan
umpak.

Umpak/ompak terbuat dari batu alam berwarna hitam.


Bentuknya menciut keatas dan terdapat lubang persegi
sebagai lubang purus tiang. Hiasan umpak bermotif embrio
dengan 2 embrio yang terletak ditengah umpak. Bagian atas
dihias

buah

embrio

dalam

bentuk

separuh.

Motif

menggunakan warna keemasan yang melambangkan awal


kehidupan

manusia

dan

ditempatkan

di

bumi

agar

berkembang biak.

11

Saka Guru berfungsi sebagai penyangga pamidhangan yang


memiliki motif tumbuhan. Diukir dari atas ke bawah di
keempat isinya.

Mayangkara, diambil dari nama tokoh perwayangan yang


memiliki sifat kepemimpinan yang baik, jujur, berani, sakti,
serta tangguh.

Pembagian badan Saka Panangap dan Panitih hampir sama


dengan Saka Guru. Yang membedakan adalah ukuran tiang
dan umpak. Saka Guru dibuat paling besar diantara tiang
lainnya.

12

Вам также может понравиться