Вы находитесь на странице: 1из 4

EPISTEMOLOGI POLITIK BIAS JENDER

Oleh: Triyono Lukmantoro


Ketika hasil sementara Pemilihan Umum 2004 diumumkan,
sedikit sekali pembicaraan peran perempuan dalam politik. Padahal,
menjelang momentum penting ini berlangsung, isu tentang kuota 30
persen perempuan sebagai calon anggota legislatif sedemikian keras
disuarakan. Alasan yang paling sering dilontarkan adalah kader
perempuan berpendidikan rendah sehingga tidak cakap untuk
bertarung dalam perpolitikan yang bersifat publik.
Benarkah pendidikan mampu menyajikan garansi munculnya faham
kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan? Jawaban tegas yang
harus diberikan: Belum tentu! Ini disebabkan dunia pendidikan
ternyata didominasi berbagai dasar pengetahuan (epistemologi) yang
digulirkan kalangan pemikir laki-laki. Untuk menangani persoalan
krusial ini, kita harus melakukan pembongkaran epistemologi dunia
pendidikan yang mempunyai pengaruh dominan pada wilayah
perpolitikan.
Filosof Arthur Schopenhauer pernah menyatakan, manusia
berjenis kelamin perempuan merupakan sebentuk lelaki yang sakit dan
kekanak-kanakan. Jauh sebelumnya, gagasan serupa
pernah
dikemukakan Aristoteles yang mengungkapkan darah menstruasi
adalah cairan yang gagal menjadi benih. Pernyataan ini jelas
merupakan usaha mendukung teorinya yang menegaskan bahwa
perempuan adalah kelompok manusia yang mengalami kegagalan
menjadi pria. Tidak terkecuali gagasan psikoanalisis Sigmund Freud
yang juga menempatkan laki-laki sebagai "pusat kebenaran" ketika
menyatakan perempuan tidak memiliki organ seks sebagaimana halnya
laki-laki, sehingga dalam arti tertentu, perempuan jelas telah terkebiri.
Kemudian, Freud mengungkapkan konsep tentang penis envy (keirian
karena tidak mempunyai penis) yang diderita perempuan.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan pendidikan tidak
mempunyai karakteristik universal, netral, bebas nilai, serta terbebas
dari bias jender. Ilmu pengetahuan tetaplah kumpulan gagasan,
pemikiran, serta konsep yang disusun sistematis, namun menunjukkan
watak malestream (mempunyai arus pokok pada pemikiran dan secara
otomatis juga kepentingan pria). Tetapi, karena proses munculnya ilmu
pengetahuan itu bersumber dari fakta kehidupan konkret maka entitas
yang sebenarnya malestream itu dapat bertransformasi menjadi
mainstream (arus utama untuk semua lingkup kehidupan). Gagasan
yang menyelimuti kekuasaan pria dengan tameng pengetahuan
akhirnya dianggap benar secara mutlak.
Menguntungkan laki-laki
Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan selalu menunjukkan
watak menguntungkan laki-laki? Pertanyaan krusial ini dapat terjawab
bila kita mempelajari bidang kajian epistemologi, cabang filsafat yang

intensif mengungkap serta menjawab bermacam pertanyaan tentang


pengetahuan, sehingga ada yang menegaskan epistemologi tidak lain
merupakan teori tentang pengetahuan.
Dalam lingkup epistemologi inilah asal-mula, objek, implikasi nilai,
serta moralitas mengenai pengetahuan dibicarakan. Jadi, epistemologi
memiliki sifat kritis yang selalu mempertanyakan segala klaim
kebenaran pengetahuan.
Dari sudut pandang epistemologi, munculnya pengetahuan
adalah akibat interaksi bersifat terbuka antara subjek yang mengetahui
dengan objek yang diketahui. Tidak menjadi persoalan terlalu krusial
jika jalinan relasional itu terdapat dalam ilmu alam sebab objek yang
dikaji adalah gejala alam yang bersifat tetap dan mempunyai kausalitas
jelas. Intinya, ilmuwan dapat menjaga jarak serta bersikap netral
karena objek yang dikaji benda alam yang cenderung statis.
Berbeda dengan ilmu sosial dan humaniora yang objek kajiannya
sosok manusia berwatak dinamis. Dapatkah manusia dimasukkan
dalam proses objektivikasi tanpa jarak emosional? Masih relevankah
memosisikan relasi subjek-objek? Mungkinkah tidak terdapat
kepentingan dalam pembentukan pengetahuan? Apakah persoalan
jender dapat dibuang begitu saja karena dianggap akan "mengotori"
objektivitas ilmu?
Dari segi konteks penemuan, terbentuknya ilmu pengetahuan
pasti melibatkan lingkungan sosial, yang berarti ilmu pengetahuan
(sosial dan humaniora) tidak ditemukan dalam kevakuman sosial.
Ruang dan waktu yang berarti lingkup sosiologis dan historis pasti
mempunyai kemampuan melakukan intervensi terhadap aktivitas
ilmuwan dalam membentuk konsep, cara pandang, bahkan pada
pengajuan asumsi.
Beberapa hal pembentuk dasar pengetahuan adalah penggunaan
pikiran dan penalaran, logika, serta bahasa. Dalam hal ini pikiran
mengajukan pertanyaan yang relevan dengan persoalan, sedangkan
penalaran merupakan proses bagaimana pikiran menarik kesimpulan
dari hal-hal yang sebelumnya diketahui. Peran logika adalah menjadi
seperangkat asas yang mengarahkan supaya berpikir menjadi benar (J
Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan,
2002: 38-40). Logika memang belum tentu dapat menarik kesimpulan
dengan benar. Ironisnya, logika itu sendiri dapat tercampur berbagai
mitos yang sudah dianggap tepat dalam cara bernalar masyarakat.
Contohnya, penarikan kesimpulan menggunakan silogisme
kategoris yang mengandaikan kebenaran kodrati, seperti berikut:
"Semua perempuan memiliki sifat emosional. Wati adalah perempuan.
Jadi Wati pasti emosional". Berbeda halnya jika subjek itu diganti lakilaki, maka silogisme yang muncul: "Semua laki-laki adalah rasional.
Budi adalah laki-laki. Jadi Budi pasti rasional". Bukankah logika
semacam ini dianggap realitas sosial serta kebenaran yang niscaya?
Mitos masyarakat dengan berbagai kepentingannya telah
terhunjam sedemikian dalam, sehingga terbentuklah sejenis oposisi

duaan yang mempertentangkan antara laki-laki yang rasional dan


perempuan yang emosional. Dalam sudut pandang manusia modern
yang dianggap lebih unggul dan terhormat adalah mereka yang
rasional. Sebaliknya, sikap emosional dianggap buruk dan tidak
bermartabat. Implikasi dalam dunia perpolitikan kita adalah politik
menuntut rasionalitas tinggi. Sedangkan yang memenuhi kriteria
semacam itu hanya lelaki.
Tata bahasa
Lebih memprihatinkan lagi adalah ketika logika berpikir itu
dimasukkan dalam tata bahasa yang juga berperan membentuk
pengetahuan. Harus disadari, bahasa bukan medium menyampaikan
gagasan yang netral. Bahasa selalu saja tercelup dalam kekuatan
kepentingan yang dominan. Padahal, dalam bahasa itulah kita
memahami realitas. Dengan demikian, melalui bahasa itu pula kita
berpikir, menemukan makna, dan sampai puncaknya bahasa
merupakan wilayah bagaimana cara kita berada dalam ruang sosial.
Jika menempatkan bahasa dalam ruang lingkup pengetahuan
layaknya cermin netral, pastilah akan menemukan banyak kegagalan
sebab bagaimanapun bahasa tidak lebih dari sistem representasi yang
sekadar menghadirkan kembali sejumlah gejala dan fakta sosial.
Konsekuensi yang tidak terhindarkan ketika bahasa dipahami sebagai
sistem representasi adalah posisinya sebagai ajang berlangsungnya
pertarungan kepentingan. Maka muncullah formula bahwa dalam
bahasa itu pun telah tergelar situs perjuangan yang tidak pernah
berhenti antara kekuatan dominan dengan kekuatan subordinat.
Secara implisit gagasan di atas pernah dikemukakan feminis
Luce
Irigaray.
Dengan
mengadopsi
cara
berpikir
yang
dikonseptualisasikan Jacques Lacan, Irigaray menyatakan bahasa pada
prinsipnya berwatak maskulin dan patriarkal. Dalam kaitan ini, yang
menjadi pusat sebagai Sang Diri (the Self) adalah laki-laki yang
menentukan semua kebenaran pemaknaan. Selebihnya, yang
diposisikan sebagai Sang Lain (the Other) adalah perempuan yang
sekadar berperan sekunder dan harus taat terhadap the Self. Irigaray
menyimpulkan, baik subjek ilmu pengetahuan maupun bahasa (orang
ketiga tunggal) yang bersifat netral pun memiliki jenis kelamin lakilaki.
Dengan demikian, perempuan dalam ilmu pengetahuan tidak bisa
lain kecuali harus mengikuti kepastian hukum kebahasaan yang
cenderung merepresi dirinya sendiri. Ini berarti perempuan yang
seakan-akan sebagai subjek serba menentukan, pada dasarnya juga
telah tertindas dengan sendirinya (the subjected subject).
Jadi, bahasa menentukan kesadaran kita bukan saja pada taraf
gagasan yang bersifat abstrak, tetapi juga diperkuat rujukan dari fakta
sosial yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Konklusi yang
harus ditegaskan adalah bahasa sebagai dasar pembentukan
pengetahuan pun sudah mengarahkan pada pembagian kerja yang bias

jender. Tragisnya pengetahuan yang bias jender ini sudah ditanamkan


dalam lembaga pendidikan semenjak anak-anak mulai belajar
membaca.
Triyono Lukmantoro Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi
Sosiologi UGM Yogyakarta
sumber: Harian Kompas Senin, 24 Mei 2004

Вам также может понравиться

  • Kop Surat Binawan
    Kop Surat Binawan
    Документ2 страницы
    Kop Surat Binawan
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • LPJ Lansia
    LPJ Lansia
    Документ14 страниц
    LPJ Lansia
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Leaflet Epilepsi & Asma
    Leaflet Epilepsi & Asma
    Документ4 страницы
    Leaflet Epilepsi & Asma
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Tak Halusinasi Sesi 2
    Tak Halusinasi Sesi 2
    Документ18 страниц
    Tak Halusinasi Sesi 2
    Muh Dian Juliansyah
    0% (2)
  • Bab II Askep CHF
    Bab II Askep CHF
    Документ15 страниц
    Bab II Askep CHF
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Satuan Acara Penyuluhan Penanganan Epilepsi
    Satuan Acara Penyuluhan Penanganan Epilepsi
    Документ5 страниц
    Satuan Acara Penyuluhan Penanganan Epilepsi
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • EKSISTENSI
    EKSISTENSI
    Документ2 страницы
    EKSISTENSI
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • ASKEP Dyspnea
    ASKEP Dyspnea
    Документ22 страницы
    ASKEP Dyspnea
    Muh Dian Juliansyah
    76% (17)
  • 1000 Bintang
    1000 Bintang
    Документ10 страниц
    1000 Bintang
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Resiko Pasien Jatuh
    Resiko Pasien Jatuh
    Документ12 страниц
    Resiko Pasien Jatuh
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Retensio Urine Print
    Retensio Urine Print
    Документ11 страниц
    Retensio Urine Print
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Dianpinru Pramuka
    Dianpinru Pramuka
    Документ8 страниц
    Dianpinru Pramuka
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Pathway Askep Gastritis
    Pathway Askep Gastritis
    Документ5 страниц
    Pathway Askep Gastritis
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Dyspnea
    Dyspnea
    Документ54 страницы
    Dyspnea
    Margareth Sitorus
    100% (7)
  • Surat Keputusan TeamWork
    Surat Keputusan TeamWork
    Документ4 страницы
    Surat Keputusan TeamWork
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет
  • Askep Hepatitis
    Askep Hepatitis
    Документ18 страниц
    Askep Hepatitis
    Muh Dian Juliansyah
    Оценок пока нет