Konflik agraria tidak bisa selesai apabila pemerintah hanya
mengandalkan Badan Pertahanan Nasional dan sejumlah kementerian untuk memproses sengketa. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah radikal, salah satunya melalui pembentukan badan independen untuk menyelesaikan konflik dan sengketa lahan. Jumlah konflik dalam satu dekade terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak ada satu pun unit dari pemerintah yang bisa menyelesaikan konflik itu, kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun: Membenahi Masalah Agraria-Prioritas Kerja Jokowi-JK pada 2015, Selasa (23/12), di Jakarta. Menurut data KPA, jumlah konflik sengketa lahan terus meningkat setiap tahun tanpa ada penyelesaian konkret. Pada 2012, jumlah konflik agraria 198 kasus, lalu meningkat menjadi 369 kasus pada 2013. Jumlah itu bertambah lagi pada 2014 dengan jumlah 472 kasus. Pada 2004-2010 terdapat 1.520 konflik agraria dengan luas areal konflik 6,5 juta hektar. Padahal, sejumlah lembaga memiliki wewenang untuk memproses sengketa agraria. Misalnya, Deputi Penyelesaian Konflik Agraria di Badan Pertahanan Nasional (BPN) ataupun Dewan Kehutanan Nasional di bawah Kementerian Kehutanan. Ada pula proses hukum melalui pengadilan tata usaha negara dan Peradilan Perdata. Sayangnya, fungsi mereka kurang memadai. Supremasi hukum sering kali tidak sejalan dengan supremasi keadilan, kata Iwan. Anggota Subkomisi Pemantauan Komnas HAM, Dianto Bachriadi, menilai, kementerian dan BPN justru lebih banyak mengurusi persoalan administratif penerbitan izin hak guna usaha (HGU). Adapun anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, mengatakan, langkah radikal perlu diambil pemerintah saat ini dengan membentuk badan independen seperti Badan Penyelesaian Konflik Agraria. Badan itu nantinya memiliki fungsi memeriksa ulang izin HGU perusahaan, kemudian memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk mengembalikan hak masyarakat atas tanahnya. Badan ini sebaiknya di luar BPN dan kementerian, tetapi langsung di bawah pimpinan Presiden. Pada hari yang sama, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengeluarkan catatan akhir tahun 2014 dengan mencatat persoalan kejahatan HAM masa lalu, serta pelanggaran perburuhan dan sektor agraria yang meningkat dan makin memprihatinkan.
Pengadilan masih menjadi panggung sandiwara. Kasus Waduk Jatigede saat
ini mirip dengan kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo. Penguasa dan pemodal bersama menyingkirkan hak orang kecil. Itu menjadi kecenderungan umum, kata Ketua Badan Pekerja Yayasan LBH Indonesia Alvon Kurnia Palma. (AGE/ONG) Sumber: Kompas | 24 Desember 2014