Вы находитесь на странице: 1из 6

Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh Perusahaan, yang

di dalamnya memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan (UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan). Sebuah Peraturan Perusahaan baru dikatakan sah dan mengikat
Perusahaan dan Karyawan apabila telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Ketenagakerjaan
dan Transmigrasi. Pengesahan itu dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk, yaitu kepala instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota (untuk perusahaan yang
terdapat dalam satu Kabupaten/Kota) dan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan tingkat Provinsi (untuk Perusahaan yang terdapat dalam lebih dari satu wilayah
Kabupaten/Kota).
Kewajiban membuat Peraturan Perusahaan berlaku terhadap Perusahaan yang memiliki paling
sedikit 10 orang Karyawan. Kewajiban itu tidak berlaku apabila Perusahaan telah
memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yaitu perjanjian antara Serikat Pekerja dan
Perusahaan yang di dalamnya mengatur syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban kedua belah
pihak.
Selain mengatur syarat-syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan,
Peraturan Perusahaan juga merinci lebih lanjut ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan. Dalam hal Peraturan Perusahaan mengatur
kembali (menegaskan) ketentuan peraturan perundang-undangan, maka ketentuan itu kondisinya
harus lebih baik dari peraturan perundang-undangan. Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya
memuat :
1.
2.
3.
4.
5.

Hak dan kewajiban Perusahaan.


Hak dan kewajiban Karyawan.
Syarat kerja.
Tata tertib perusahaan.
Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan.

Dalam satu Perusahaan hanya boleh dibuat satu Peraturan Perusahaan yang berlaku bagi seluruh
Karyawan. Jika Perusahaan memiliki cabang, maka selain Peraturan Perusahaan induk yang
berlaku bagi semua Karyawan, Perusahaan juga dapat membuat Peraturan Perusahaan turunan
yang berlaku khusus bagi Karyawan di masing-masing cabang Perusahaan sesuai dengan kondisi
masing-masing Perusahaan cabang. Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup,
dan masing-masing Perusahaan merupakan badan hukum yang berdiri sendiri-sendiri, maka
Peraturan Perusahaan harus dibuat oleh masing-masing Perusahaan itu sebagai badan hukum.
Menyusun Draf Peraturan Perusahaan
Tugas penyusunan Peraturan Perusahaan merupakan tanggung jawab dari Perusahaan. Sebelum
disahkan oleh Menteri, penyusunan itu dilakukan oleh Perusahaan dengan memperhatikan saran
dan pertimbangan dari Karyawan terhadap draf Peraturan Perusahaan. Karena masukan dari
Karyawan itu bersifat saran dan pertimbangan, maka pembuatan Peraturan Perusahaan tidak
dapat diperselisihkan bila terjadi perbedaan pendapat antara Karyawan dan Perusahaan. Karena
sifatnya saran dan pertimbangan, maka Karyawan dapat juga untuk tidak memberikan saran dan
pertimbangan tersebut meskipun telah diminta oleh Perusahaan.

Pemilihan wakil Karyawan dalam rangka memberikan saran dan pertimbangannya harus
dilakukan dengan tujuan untuk mewakili kepentingan para Karyawan. Pemilihan itu dilakukan
secara demokratis, yaitu dipilih oleh Karyawan sendiri terhadap Karyawan yang mewakili setiap
unit kerja di dalam Perusahaan. Apabila di dalam Perusahaan telah terbentuk Serikat Pekerja,
maka saran dan pertimbangan tersebut diberikan oleh pengurus Serikat Pekerja.
Untuk memperoleh saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan, pertama-tama Perusahaan
harus menyampaikan naskah rancangan Peraturan Perusahaan itu kepada wakil Karyawan atau
Serikat Pekerja. Saran dan pertimbangan tersebut harus sudah diterima kembali oleh Perusahaan
dalam waktu 14 hari kerja sejak tanggal diterimanya naskah rancangan Peraturan Perusahaan
oleh wakil Karyawan. Jika dalam waktu 14 hari kerja itu wakil Karyawan tidak memberikan
saran dan pertimbangannya, maka Perusahaan sudah dapat mengajukan pengesahan Peraturan
Perusahaan itu tanpa saran dan pertimbangan dari Karyawan dengan disertai bukti bahwa
Perusahaan telah meminta saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan namun Karyawan tidak
memberikannya.
Pengesahan Menteri
Permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan diajukan kepada Menteri melalui pejabat yang
ditunjuk. Pengajuan permohonan itu dilakukan dengan melengkapi:
1. Permohonan tertulis yang memuat keterangan mengenai Perusahaan.
2. Naskah Peraturan Perusahaan dalam rangkap 3 yang telah ditandatangani oleh
Perusahaan.
3. Bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan.
Setelah Pejabat yang ditunjuk meneliti kelengkapan dokumen-dokumen tersebut, dan dalam
naskah Peraturan Perusahaan juga tidak terdapat materi yang bertentangan dengan peraturan
perundangan-undangan, selanjutnya Pejabat yang ditunjuk wajib mengesahkan Peraturan
Perusahaan. Pengesahan itu dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan dalam waktu paling
lama 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.
Sebaliknya, Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka Pejabat yang ditunjuk akan
mengembalikan secara tertulis permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan kepada
Perusahaan yang bersangkutan dalam waktu paling lama 7 hari kerja sejak diterimanya
pengajuan permohonan pengesahan. Pengembalian itu disertai dengan catatan-catatan tentang
kelengkapan yang perlu diperbaiki. Perusahaan wajib menyampaikan Peraturan Perusahaan yang
telah dilengkapi atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 hari sejak tanggal diterimanya pengembalian
Peraturan Perusahaan. Jika Perusahaan tidak memenuhinya sesuai waktu yang telah ditentukan,
maka Perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan permohonan pengesahan Peraturan
Perusahaan sehingga dapat dianggap belum memiliki Peraturan Perusahaan.

Masa Berlakunya Peraturan Perusahaan


Masa berlakunya Peraturan Perusahaan paling lama adalah 2 tahun, dan setelahnya wajib
diperbaharui kembali. Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila Serikat Pekerja
menghendaki untuk diadakannya perundingan Perjanjian Kerja Bersama, maka Perusahaan
wajib melayaninya. Namun jika perundingan itu tidak mencapai kesepakatan, maka Peraturan
Perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktunya.

PERJANJIAN merupakan suatu perbuatan, yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang


mempunyai akibat hukum. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh
seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekwensinya.
Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan
sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu
meliputi perbuatan-perbuatan:

Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran harga barang dalam


perjanjian jual beli barang.
Melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan pembangunan jembatan dalam
perjanjian pemborongan pekerjaan.
Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja di tempat lain selain
perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja.

Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Para
pihak ini berdiri berhadap-hadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang
berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas
pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur. Dalam perjanjian jual beli mobil, sebagai penjual
Gareng berhak memperoleh pembayaran uang harga mobil, dan disisi lain ia juga berkewajiban
untuk menyerahkan mobilnya kepada Petruk. Sebaliknya, sebagai pembeli Petruk wajib
membayar lunas harga mobil itu dan ia sekaligus berhak memperoleh mobilnya.
Selain orang-perorangan (manusia secara biologis), para pihak dalam perjanjian bisa juga
terdiri dari badan hukum. Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum yang dapat menjadi
salah satu pihak atau keduanya dalam perjanjin. Kedua-duanya merupakan subyek hukum,
yaitu pihak-pihak yang dapat melakukan perbuatan hukum, pihak-pihak yang mengemban hak
dan kewajiban. Suatu badan hukum segala perbuatan hukumnya akan mengikat badan hukum itu
sebagai sebuah entitas legal (legal entity). Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili
pemimpinnya misalnya Direktur dalam Perseroan Terbatas namun perbuatan itu tidak
mengikat pemimpin badan hukum itu secara perorangan, melainkan mewakili perusahaan
sebagai legal entity.
Dalam pelaksanaannya, jika terjadi pelanggaran perjanjian, misalnya salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) sehingga menimbulkan kerugian pada hak pihak yang
lain, maka pihak yang dirugikan itu dapat menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar. Kalau
Gareng sepakat untuk menjual mobilnya kepada Petruk, demikian juga Petruk sepakat untuk
membeli mobil itu dari Gareng, maka keteledoran Petruk melakukan pembayaran harga mobil
secara tepat waktu akan melanggar hak Gareng. Selain melanggar hak, keteledoran Petruk juga
dapat merugikan Gareng karena Gareng tidak bisa menjual mobil itu ke pihak lain yang memiliki
komitmen lebih tinggi secara waktu Gareng telah dirugikan.
Tujuan perjanjian layaknya membuat undang-undang, yaitu mengatur hubungan hukum dan
melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat
secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan
kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap melek hukum, maka terhadap semua undangundang masyarakat telah dianggap mengetahuinya sehingga bagi mereka yang melanggar,

siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari hukuman. Demikian pula perjanjian, bertujuan
mengatur hubungan-hubungan hukum namun sifatnya privat, yaitu hanya para pihak yang
menandatangani perjanjian itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan
sengketa, perjanjian itu dapat dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna menyelesaikan
sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum para pihak merupakan sebuah fakta
hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan bagaimana
seharusnya hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.
Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan punya kekuatan
mengikat secara hukum. Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan membuat perjanjian itu
menjadi tidak sah. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian terdiri dari:
Syarat Subyektif (Mengenai subyek atau para pihak)
Kata Sepakat
Kata sepakat berarti adanya titik temu (a meeting of the minds) diantara para pihak tentang
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam perjanjian jual beli mobil, Gareng punya
kepentingan untuk menjual mobilnya karena ia membutuhkan uang. Sebaliknya, Petruk membeli
mobil Gareng karena ia punya kepentingan memiliki kendaraan. Pertemuan kedua kepentingan
itu akan mencapai titik keseimbangan dalam perjanjian.
Cakap
Cakap berarti dianggap mampu melakukan perbuatan hukum. Prinsipnya, semua orang berhak
melakukan perbuatan hukum setiap orang dapat membuat perjanjian kecuali orang yang
belum dewasa, dibawah pengampuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang oleh undangundang.
Syarat Obyektif (Mengenai obyek perjanjian)
Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan jelas, dapat ditentukan baik jenis
maupun jumlahnya. Misalnya, Gareng menjual mobil Toyota Avanza Nomor Polisi B 1672 RI
dengan harga Rp. 180.000.000 kepada Petruk. Obyek perjanjian tersebut jenisnya jelas, sebuah
mobil dengan spesifikasi tertentu, dan begitupun harganya.
Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang tapi
diperbolehkan oleh hukum. Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan melanggar
hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum. Misalnya perjanjian
perdagangan manusia atau senjata ilegal.

Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif dan obyektif di atas dapat menyebabkan perjanjian
menjadi tidak sah. Perjanjian yang tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu syarat
subyektif akan mengakibatkan perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh
salah satu pihak. Maksudnya, salah satu pihak dapat menuntut pembatalan itu kepada hakim
melalui pengadilan. Sebaliknya, apabila tidak sahnya perjanjian itu disebabkan karena tidak
terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nul and void), yaitu
secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Selain syarat sahnya perjanjian,
suatu perjanjian juga baru akan mengikat para pihak jika dalam pembuatan dan pelaksanaannya
memenuhi asas-asas perjanjian.

Вам также может понравиться