Вы находитесь на странице: 1из 15

UJIAN AKHIR SEMESTER

MAKALAH SISTEM HUKUM ADMINISTRASI PUBLIK

OLEH

ANTHONY FRANS, SE
SEMESTER III

PROGRAM PASCA SARJANA


ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah


Berbagai peristiwa yang terjadi di negara Indonesia disadari atau tidak

seringkali merupakan dampak dari terbitnya berbagai keputusan pemerintah yang


merupakan implementasi dari kebijakan negara. Peristiwa pembalakan hutan secara
besar-besaran di Yamdena kepulauan maluku, oleh PT. Alam Nusa Segar (milik Liem
Swie Liong), berbagai sengketa agraria mengenai hak-hak ulayat yang kerap terjadi di
tanah air, peristiwa penolakan dwi fungsi ABRI oleh mayoritas kekuatan politik di
Indonesia, peristiwa penolakan secara besar-besaran terhadap Undang-undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB), kontroversi Undang-undang No. 22
tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah merupakan sedikit contoh dari
keputusan pemerintah yang berwujud suatu kebijakan dan menimbulkan masalah
ketika di implementasikan.
Realita di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Solichin A Wahab
(2005 : 1) bahwa peristiwa yang berlangsung di sekitar kita bukanlah terjadi secara
alami atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses perkembangan yang normal.
Berdasarkan berbagai contoh peristiwa yang telah diuraikan di awal maka kebijakan
negaralah yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap timbulnya peristiwa
tersebut. Dengan kata lain, kebijakan negaralah yang sebenarnya yang menjadi
penyebab timbulnya peristiwa-peristiwa yang ada disekitar kita sehingga kebijakan
negara sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari, baik kita sadari
atau tidak, dimengerti atau tidak.
Sebenarnya kegiatan pemerintah dalam membuat suatu keputusan yang
dituangkan dalam suatu kebijakan terdiri dari rangkaian proses yang panjang yaitu
terdiri dari formulasi (perumusan) kebijakan, implementasi (pelaksanaan) kebijakan
dan evaluasi kebijakan. Berbagai permasalahan bisa muncul ketika kebijakan
diformulasikan, atau ketika diimplementasikan atau ketika ada kegiatan evaluasi dari
kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.MERUBAH KEBIJAKAN PUBLIK


1. Memahami Advokasi
Upaya advokasi muncul ketika masyarakat yang menjadi suatu objek dari
kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak mau menerima atau merasa
keberatan dengan adanya kebijakan tersebut. Alasan tidak mau menerima kibajakan
bermacam-macam seperti merasa kepentingan atau kebutuhannya tidak terakomodasi
dalam kebijakan tersebut, bisa juga karena dengan adanya kebijakan tersebut maka
eksistensi masyarakat dapat terancam (contoh peristiwa pembalakan hutan secara
besar-besaran oleh PT. Alam Nusa Segar). Hutan yang dibabat tanpa kontrol yang
jelas dapat menyebabkan hutan menjadi gundul, lalu masyarakat setempat kehilangan
mata pencahariannya dan bencana alam dapat timbul karena hutan yang gundul.
Masyarakat bereaksi karena ketidaksetujuannya terhadap suatu kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, maka timbullah upaya advokasi.
Pengertian advokasi secara sederhana adalah sebagai kegiatan unjuk rasa atau
demostrasi dan protes terhadap suatu kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Dalam pengertian yang luas advokasi diartikan sebagai media mobilisasi pendapat
umum, sarana menyampaikan pernyataan politik, proses pemberdayaan dan
pengorganisasian masyarakat, alat perubahan sosial dan sebagainya. Sedangkan
Organisasi Non Pemerintah (Ornop) mengartikan advokasi sebagai kegiatan beracara
di pengadilan. Pengertian advokasi oleh Ornop ini karena terpengaruh oleh istilah
dalam bahasa Belanda yaitu advocaat, advocateur (yang berarti pengacara, pembela)
dan lazim digunakan selama ini.
Dari berbagai pengertian tentang advokasi di atas maka dapat dipahami secara
umum bahwa advokasi merupakan upaya untuk memperbaiki atau merubah suatu
kebijakan sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan
terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut. Artinya ketika masyarakat tidak setuju
atas suatu kebijakan yang ditetapkan pemerintah dan ada keinginan atau upaya-upaya

untuk merubah kebijakan tersebut maka masyarakat dikatakan telah melakukan upaya
advokasi. Sehingga sasaran atau tujuan dari upaya advokasi adalah terjadinya
perubahan kebijakan publik.
Perubahan kebijakan yang diinginkan masyarakat secara aplikatif dapat
berupa :
(1) usulan agar kebijakan yang telah dibuat dicabut atau dihentikan,
(2) usulan agar kebijakan yang telah dibuat dirubah atau diganti dengan kebijakan
yang sudah direvisi,
(3) mengusulkan hal-hal yang perlu dirubah dalam kebijakan tersebut,
(4) mengusulkan konsep tandingan untuk kebijakan yang telah dibuat tersebut.
Advokasi sebenarnya hanyalah salah satu dari perangkat sekaligus prosesproses demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu advokasi dapat
dilakukan oleh warga negara untuk mengawasi dan melindungi kepetingan mereka
dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah
dalam suatu negara. Pengertian inilah yang harus dipahami secara benar untuk
menghindari berkembangnya pengertian yang salah.
Para aktivis Organisasi Non Pemerintah masih sering menganggap advokasi
adalah segala-galanya. Mereka menganggap bahwa advokasi identik dengan proses
revolusi yaitu proses dimana dilakukan perubahan pada sistem dan struktur
kemasyarakatan secara serentak dan holistik atau menyeluruh. Padahal sebenarnya
advokasi hanyalah bertujuan merubah atau menyempurnakan atau bahkan membela
suatu kebijakan publik tertentu.
Dari penjelasan tersebut sangat jelas perbedaan antara advokasi dengan proses
revolusi. Proses revolusi pada hakekatnya memiliki tujuan merebut kekuasaan politik
dan dengan kekuasaan politik itu melakukan perubahan menyeluruh sistem dan
struktur kemasyarakatan. Sedangkan advokasi dilandasi pada anggapan bahwa
perubahan sistem dan struktur kemasyarakatan yang lebih luas dan menyeluruh dapat
dilakukan melalui perubahan-perubahan bertahap maju dan semakin membaik
(gradual and incremental changes) dalam berbagai kebijakan pemerintah atau
kebijakan publik.

Dalam konteks pembahasan upaya advokasi maka kebijakan publik diartikan


sebagai suatu sistem pembuatan (formulasi), pelaksanaan (implementasi) dan
pengendalian

(control)

keputusan-keputusan

yang

menyangkut

kepentingan

masyarakat luas. Rangkaian sistem tersebut dibuat oleh pemerintah dan sejatinya
sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat luas. Karena kembali
diingatkan bahwa objek dari kebijakan publik sebenarnya adalah masyarakat luas.
Memperhatikan pengertian dan tujuan dari upaya advokasi maka yang
menjadi kekuatan upaya ini adalah kerangka analisis dari suatu kebijakan publik. Hal
ini dipahami bahwa sebelum mengusulkan perubahan atau pencabutan atas kebijakan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah maka kebijakan tersebut harus dianalisis
dahulu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk melihat suatu kebijakan
publik adalah dengan melihat kebijakan tersebut sebagai suatu sistem hukum
(system of law) yang terdiri dari :
a. Isi Hukum (content of law), yaitu uraian atau penjabaran tertulis dari suatu
kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, peraturanperaturan dan keputusan-keputusan pemerintah. Ada juga kebijakan-kebijakan
yang lebih merupakan kesepakatan umum (konvensi) tidak tertulis, tetapi
dalam hal ini kita lebih menitikberatkan perhatian pada naskah (text) hukum
tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.
b. Tata Laksana Hukum (structure of law), yaitu semua perangkat kelembagaan
dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup
lembaga-lembaga hukum (pegadilan, penjara, birokrasi pemerintahan, parpol
dan sebagainya) serta para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara,
polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen dan lain-lain)
c.

Budaya Hukum (culture of law), yaitu persepsi, pemahaman, sikap


penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap dua aspek
sistem hukum di atas (isi dan tata laksana hukum). Dalam pengertian ini juga
tercakup bentuk-bentuk tanggapan (reaksi atau respone), masyarakat luas
terhadap pelaksanaan isi dan tata laksana hukum tersebut. Karena itu hal ini
merupakan aspek kontekstual dari sistem hukum yang berlaku.

Sebagai suatu kesatuan sistem, ketiga aspek hukum tersebut saling terkait
antara satu sama lain dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Oleh karena itu dikatakan
bahwa idealnya, suatu kegiatan atau program advokasi harus juga mencakup sasaran
perubahan ketiganya. Mengapa dikatakan demikian? Karena dalam kenyataannya,
perubahan yang terjadi pada salah satu aspek saja tidak dengan serta merta membawa
perubaan pada aspek lainnya. Perubahan suatu naskah undang-undang atau peraturan
pemerintah, tidak dengan sendirinya merubah mekanisme kerja lembaga atau aparat
pelaksananya. Banyak contoh selama ini dengan jelas menunjukkan bahwa naskah
undang-undang atau peraturan pemerintah yang betapapun baiknya secara normatif
apabila tidak didukung oleh kesiapan perangkat kelembagaan atau aparat pelaksana
yang memadai maka pada akhirnya hanya akan tersisa sebagai retorika murni belaka.
Begitu juga dengan budaya hukum. Suatu naskah hukum katakanlah sudah
ada dan memenuhi semua tuntutan normatif yang diperlukan, tersedia juga perangkat
kelembagaan dan aparat pelaksana yang handal dan terpercaya. Tetapi sikap dan
perilaku masyarakat kadangkala justru tidak mendukung isi maupun tata laksana
hukum tersebut, akibatnya maka peraturan dalam bentuk suatu kebijakan tersebut
akan menjadi sia-sia belaka. Contoh dari kasus tersebut adalah adanya aturan tentang
larangan untuk merokok di sembarang tempat yang berlaku di daerah Jakarta. Naskah
aturan sudah ada dan memenuhi syarat normatif sebagai suatu Peraturan Daerah
(Perda) kemudian aparat penegak Perda tersebut juga sudah siap, namun kembali lagi
bahwa sikap dan perilaku masyarakat tidak mendukung tegaknya aturan yang
menjadi kebijakan Pemeritah DKI Jakarta Tersebut. Akibatnya kebijakan untuk tidak
merokok di sembarang tempat cenderung hanya menjadi slogan semata.
Sebaliknya juga demikian, tata laksana hukum yang berubah tidak secara
otomatis merubah isi hukum yang berlaku. Itulah sebabnya maka timbul pendapat
bahwa undang-undang atau peraturannya sudah bagus namun oknum-oknum
pelaksananya yang tidak becus menegakkan undang-undang tersebut. Sama halnya
denganbudaya hukum yang berubah, tidak secara otomatis merubah tata laksana
maupun isi hukum yang sudah ada. Dalam banyak kasus, para aparat pelaksana
hukum yang mencoba melakukan amanat hukum berdasarkan kata hati nurani dan
rasa keadilan umum (budaya hukum), dalam istilah baku ilmu hukum disebut sebagai

rechtmatigheid, melakukan suatu exclusion (perkecualian hukum), meskipun terpaksa


harus menentang isi atau naskah hukum yang berlaku, justru sering atau bahkan
selalu akhirnya berhadapan dengan kekakuan naskah hukum dan kepentingan politik
kekuasaan dibaliknya.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa sasaran perubahan terhadap suatu
kebijakan publik seharusnya mencakup ketiga aspek hukum atau kebijakan tersebut.
Ini sama artinya suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan
sistematis memang dirancang untuk mendesakkan terjadinya suatu perubahan
kebijakan baik dalam isi, tata laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Namun
perubahan bisa saja terjadi tidak sekaligus pada ketiga aspek hukum tersebut, bisa
juga perubahan terjadi secara bertahap mulai dari salah satu aspek hukum tersebut
yang dianggap bisa sebagai titik tolak paling crucial, kemudian berlanjut ke aspekaspek hukum selanjutnya. Intinya bahwa perubahan yang terjadi secara bertahap dan
menyeluruh.
Analisis terhadap suatu kebijakan publik dengan perspektif tiga aspek hukum
tersebut tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama. Upaya advokasi yang dilakukan
harus berbeda pendekatannya dalam mengkaji tiga aspek hukum, karena ketiganya
terbentuk dari proses-proses yang khas. Isi hukum dibentuk melalui proses-proses
legislasi dan juridiksi, sementara tata laksana hukum dibentuk melalui proses-proses
politik dan manajemen birokrasi, dan budaya hukum terbentuk melalui proses-proses
sosialisasi dan mobilisasi. Tiap proses memiliki tata caranya sendiri. Secara garis
besar, ketiga jenis proses itu dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Proses-proses legislasi dan juridiksi. Proses ini terdiri dari proses penyusunan
suatu rancangan undang-undang atau peraturan (legal drafting) sesuai dengan
konstitusi dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di suatu negara. Mulai dari
pengajuan gagasan atau usul dan tuntutan perlunya penyusunan undang-undang
atau peraturan baru, perdebatan parlemen untuk membahas gagasan atau tuntutan
tersebut, pembentukan kelompok kerja dalam kabinet dan parlemen, seminar
akademik untuk penyusunan naskah awal (academic draft), penyajian naskah
awal kepada pemerintah, pengajuan kembali ke parlemen, sampai pada akhirnya
disepakati atau disetujui dalam pemungutan suara di parlemen. Pengertian proses

legislasi dapat juga berarti : (1) prakarsa pengajuan rancangan tanding (counter
draft legislationa). (2) pengujian substansi dan peninjauan ulang undang-undang
(judicial review). (3) jurisprudensi (keputusan mahkamah peradilan yang
memiliki kekuatan hukum sebagai preseden bagi keputusan-keputusan hukum
berikutnya). Jurisprudensi termasuk dalam proses legislasi karena pada dasarnya
jurisprudensi juga membentuk isi hukum, oleh karena itu proses-proses letigasi
(beracara dipengadilan) masuk dalam pengertian ini juga.
b. Proses-proses politik dan birokrasi. Proses ini meliputi semua tahap formasi dan
konsolidasi organisasi pemerintahan sebagai perangkat kelembagaan dan
pelaksana kebijakan publik. Bagian terpenting dan paling menentukan dalam
keseluruhan proses ini adalah seleksi, rekrutmen dan induksi para aparat
pelaksana pada semua tingkatan birokrasi yang terbentuk. Karena itu, seluruh
tahapan tersebut sangat diwarnai oleh proses-proses politik dan manajemen
hubungan kepentingan-kepentingan di antara berbagai kelompok yang terlibat di
dalamnya, mulai dari lobby, mediasi, negosiasi, tawar menawar, kolaborasi
bahkan sampai pada praktek-praktek intrik, sindikasi, konspirasi dan manipulasi.
c. Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi. Proses ini meliputi semua bentuk
kegiatan pembentukan kesadaran dan pendapat umum serta tekanan massa
terorganisir. Kegiatan ini pada akhirnya akan membentuk suatu pola perilaku
tertentu dalam mensikapi suatu masalah bersama. Karena itulah dikatakan bahwa
proses-proses ini terwujud dalam berbagai bentuk tekanan politik (political
pressure), mulai dari penggalangan pendapat dan dukungan (bisa berupa
kampanye,

debat

umum,

rangkaian

diskusi

dan

seminar,

pelatihan),

pengorganisasian (pembentukan basis-basis massa dan konstituen, pendidikan


politik kader), sampai ke tingkat pengerahan kekuatan (unjuk rasa, mogok,
boikot, blokade).
Walaupun ketiga proses di atas mempunyai bentuk yang berbeda, namun
tujuan akhir dari ketiga proses itu adalah sama yaitu dalam rangka merubah suatu
kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Masing-masing proses
mempunyai domain kegiatan tersendiri. Ada pendapat bahwa suatu kegiatan
advokasi, walaupun sasarannya adalah perubahan kebijakan publik sebagai bagian

dari sistem hukum, namun tidak berarti hanya dapat dilakukan melalui jalur-jalur
legal (proses-proses legislasi dan jurisdiksi) saja, melainkan juga dapat ditempuh
melalui jalur-jalur paralegal (proses-proses politik dan birokrasi serta proses-proses
sosialisasi dan mobilisasi).
B.

Kaedah azas Advokat


Dalam bahsa Indonesia , Lawyer diterjemahkan menjadi Pengacara. Kadang

disebut juga Advokat, Ajuster, Pembela, Penasihat hukum, Prokol. Dari banyaknya
istilah tersebut yang paling sering didengar adalah advokat, pembela, pengacara, dan
penasihat hukum. Khususnya di Indonesia sendiri Lawyer pada awalnya disebut
Penasihat hukum. Istilah ini mengacu pada beberapa undang-undang yang berlaku
seperti KUHAP, UU Mahkamah Agung dan UU Peradilan Umum, namun lambat
laun sebutan tersebut mulai bergeser sehingga yang sering digunakan adalah
Advokat, seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang Advokat No.18 tahun
2003.
Profesi Advokat adalah instrument Badan Peradilan untuk menegakkan
hukum dan kebenaran dalam Negara Hukum, selain dari pada itu Advokat juga
berperan di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat pada saat sekarang
semakin meningkat, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat
terutama dalam memasuki kehidupan dalam pergaulan antar bangsa. Melalui
pemberian jasa konsultasi, negoisasi, maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak
dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya dibidang ekonomi dan
perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Sedangkan menurut Undang-Undang Advokat No. 18 tahun 200, Advokat
diartikan sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UndangUndang ini. Dimana jasa Hukum uitu sendir adalah jasa yang diberikan Advokat
berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien atau orang, badan hukum, atau lembaga lain yang
menerima jasa hukum dari Advokat.

Salah satu tugas advokat dalam melaksanakan profesinya adalah melayanai


klien. Namun dalam hal ini tentunya seorang advokat terlebih dahulu harus
menguasai hukum-hukum positif, yang merupakan bekal yang memadai untuk
kebutuhan klien. Adatiga pelayanan yang bias diberikan oleh advokat kepada klien
yaitu pelayanan pasif atau aktif. Untuk kategori layanan pasif dan non litigasi,
seorang advokat dapat memberikan pelayanan berupa :
1.

Konsultasi hukum

2.

Pembuatan pendapat hukum (Legal Opinion)

3.

Inventarisasi berkas-berkas perkara (Legal Audit)


Sementara untuk yang bersifat aktif seorang pengacara bIsa memberikan

pelayanan berupa :
1.

Pembelaan (litigasi). Bias dilakukan untuk dan atas nama klien mulai dari
proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, penyidikan dan penunttan di
kejaksaan hingga persidangan di pengadilan.

2.

Pelayanan aktif lainnya yang bersifat non litigas, seorang advokat bisa
menjalankan usaha menjalankan kuasanya untuk penyelesaian kasus secara
alternative, seperti negosiasi, mediasi, perizinan, kontrak dan arbitrase.

Kewajiban Advokat
Adapun beberapa kewajiban advokat dalam menjalankan tugas diantaranya yaitu :
1. Kesetiaan pada masyarakat (public service).
Kewajiban diatas memberikan konsekwensi bahwa seorang advokat harus orang
yang jujur

dan cakap, suka menolong orang miskin (legal aid), tidak mencari

cari perkara, tidak membantu praktek hukum yang tidak sah.


2. Kesetiaan pada peradilan.
Advokat harus menghormati pejabat peradilan seperti polisi, jaksa, hakim dan
badan peradilan itu sendiri. Tidak menyuap/mempengaruhi officer of court,
termasuk tidak banyak bicara pada pers untuk menghindari trial by the pres.
3. Kesetiaan pada klien
Klien adalah orang yang mencari perlindungan hukum (bukan hanya minta
tolong) pada advokat. Oleh karena itu advokat harus melindungi termasuk
kehormatan dari klien.

10

4. Kesetiaan sesama rekan sejawat.


Kewajiban untuk saling menghargai dan menjaga kehormatan dengan cara
menjaga kualitas profesi baik moral maupun tehnis berperkara.

Hubungan Advokat dengan klien


Adapun hubungan advokat dengan klien dalam penanganan kasusnya, diantaranya
yaitu :
a.

Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian


dengan jalan damai.

b.

Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan


klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.

c.

Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang


ditanganinya akan menang.

d.

Dalam menentukan besarnya honorarium advokat wajib mempertimbangkan


kemampuan klien.

e.

Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak


perlu.

f.

Advokat dalam mengurus perkara Cuma-Cuma harus memberikan perhatian


yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang.

g.

Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak


mempunyai dasar hukumnya.

h.

Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan


klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu, setelah berakhirnya
hubungan antara advokat dan klien itu.

i.

Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada


saat-saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat itu akan dapat
menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang
bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 huruf (a).

j.

Advokat mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan

11

tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan-pertentangan kepentingan


antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k.

Hak retensi advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan
kerugian kepentingan klien.

C. Advokasi dan Organisasi NGO


Banyak definisi yang dilekatkan pada konsep advokasi. Definisi ini banyak
disesuaikan dengan berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh NGO dalam
melakukan advokasi. Miller and Convey (1997) menjelaskan bahwa advokasi
berkaitan dengan politik dan perubahan, dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan,
dengan kesadaran dan pengetahuan. Advokasi juga tentang mempengaruhi penguasa
terkait masalah yang menyangkut rakyat. Disamping itu, advokasi juga tentang
membangun

organisasi

demokratis

yang

kuat

untuk

membuat

penguasa

bertanggungjawab, serta peningkatan keterampilan dan pengertian rakyat tentang


bagaimana kekuasaan itu bekerja.
Untuk melakukan advokasi, ada 3 konsep terkait yang perlu dicermati, yaitu:
legitimasi (siapa yang diwakili oleh organisasi dan bagaimana hubungannya);
kredibilitas (seberapa jauh organisasi dapat dipercaya); dan Pertanggungjawaban
(bertanggungjawab atas kerjanya). Dalam hal ini, Avina (1993) membagi
akuntabilitas/pertanggungjawaban menjadi dua kategori, yaitu (1) akuntabilitas
fungsional yang terkait dengan penggunaan sumber daya dan hasil dari kegiatan, dan
(2) akuntabilitas strategis yang terkait dengan dampak dari kerja-kerja organisasi; dan
kekuasaan (unilateral - memaksa dan otoriter, atau relasional timbal-balik dan
transformasi).

Proses Advokasi
Menurut Miller and Convey (1997), advokasi dilakukan melalui 9 langkah yang
saling bertindih, yaitu: (1) pembayangan visi bersama masyarakat sebagai kondisi
ideal yang didambakan; (2) analisis konteks sosial makro dan seleksi serta analisis
masalahnya; (3) definisi persoalan dan membingkai isu; (4) penentuan tujuan; (5)
identifikasi dan analisis atas para stakeholder advokasi dan sasaran (analisis SWOT);

12

(6) penyusunan strategi, taktik, dan garis waktu; (7) pelaksanaan strategi dan taktik;
(8) evaluasi dampak; dan (9) penerapan pelajaran untuk advokasi kedepan.

13

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Maraknya penentangan atau penolakan suatu kebijakan publik yang telah
diputuskan oleh pemerintah adalah sebagai akibat tidak adanya keseimbangan baik
dalam formulasi maupun implementasinya. Keseimbangan yang dimaksud adalah
kebijakan publik tersebut tidak dapat mengakomodasi apa yang menjadi kepentingan
pemerintah dan juga tidak dapat mengakomodasi apa yang menjadi kebutuhan atau
kepentingan masyarakat. Dua pihak ini harus diperhatikan eksistensinya karena
memang kedua pihak inilah yang menjadi domain berlakunya suatu kebijakan publik.
Pemerintah tidak bisa menutup mata dalam arti tidak memperhatikan dampak
dari diberlakukannya suatu kebijakan publik. Demikian juga dengan masyarakat tidak
bisa terlalu memaksakan apa yang menjadi keinginan atau kebutuhannya dimasukkan
dalam penyusunan suatu kebijakan publik. Untuk mencapai kondisi ideal inilah
sehingga muncul apa yang dinamakan upaya advokasi. Upaya advokasi dilakukan
dalam rangka meniadakan gap tersebut, setidaknya mengurangi, karena memang
untuk mencapai kondisi ideal seperti posisi lingkaran hijau sangat sulit. Hal ini
disebabkan banyaknya persinggungan kepentingan.
Sasaran akhir dari upaya advokasi adalah merubah suatu kebijakan publik
yang tidak berpihak kepada masyarakat dengan mengajukan beberapa alternatifalternatif perubahan. Substansi perubahan atas suatu kebijakan publik tersebut
bersifat flexibel. Artinya upaya advokasi mengusulkan perubahan suatu kebijakan
bisa dalam bentuk usulan agar kebijakan publik yang dibuat dapat dirubah atau
direvisi, bisa juga dalam bentuk usulan agar kebijakan publik tersebut diganti dengan
rumusan yang baru atau bisa juga usulan yang diajukan berupa pembuatan konsep
tandingan dari suatu konsep kebijakan publik yang berasal dari pemerintah.

14

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid Attamimi, Teori Peraturan perundang-undangan Indonesia, Fakultas


Hukum UI, Jakarta, 1992
Riant Nugroho D, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi,
PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Saiful Bahri, 2004, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi
Publik Indonesia, Yogyakarta
Amir,Ari YusufSH.,MH., Strategi Bisnis Jasa Advokat, Navila Idea, Yogyakarta,
2010.

15

Вам также может понравиться