Вы находитесь на странице: 1из 24

KERAJAAN ISLAM DI

INDONESIA

Kerajaan Perlak

Peta Konsep
Kerajaan Islam di
sekitar Selat Malaka

Kerajaan Samudra
Pasai
Kerajan Aceh

Kerajaan Demak
Kerajaan Islam di
Indonesia

Kerajaan Islam di
Pulau Jawa

Kerajaan Banten

Kerajaan Mataram

Kerajaan Islam di
Indonesia Timur

Kerajaan Gowa dan


Talo

Kerajaan Ternate
dan Tidore

Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam tertua di
Indonesia yang berdiri pada tahun 840 M. Hal ini sesuai
dengan bukti sejarah yaitu naskah-naskah tua berbahasa
Melayu, seperti Idharatul Haqfi Mamlakatil Ferlah Wal
Fasi, Kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sultan As Salathin,
serta Silsilah sultan-sultan Perlak dan Pasai.

Raja pertama dari kerajaan ini adalah Saiyid Abdul


Aziz yang bergelar Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul
Aziz Shah (840-964). Kerajaan ini mengalami masa jaya
pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1225-1263).

Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II


Johan Berdaulat mengawinkan putrinya yang bernama Putri
Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari
Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik
(Singapura) yakni Iskandar Syah yang kemudian bergelar
Sultan Muhammad Syah.
Raja terakhir Kerajaan Perlak adalah Sultan Makhdum
Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (1263-1292).
Setelah beliau wafat, Kerajaan Perlak disatukan dengan
Kerajaan Samudra Pasai oleh Muhammad Malikul Dhahir putra
Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Keberadaan Kerajaan Perlak ini dibuktikan dengan
adanya penemuan mata uangPerlak, yang terbuat dari emas
(dirham), dari perak (kupang) dan dari tembaga atau
kuningan.

Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus
sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai
terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang
(pantai timur Aceh).
Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di
Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai
adalah seperti berikut.
(1) Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan
Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain
melalui perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra
Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di Selat
Malaka.

(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah


sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak
kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 1348 M). Raja yang bernama asli
Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif
menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra
Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa
pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat
sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di
sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka,
Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai
diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai
kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul
kemudian.

Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi


Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau,
Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan
Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk
mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya
ialah Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi
panglima di Demak kemudian menjadi penguasa di Banten.
Bukti keberadaan kerajaan ini yaitu adanya catatan Ibnu
Battuta (Maroko) tahun 1345, yang mencatat bahwa Kerajaan
Samudra Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur.
Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke
sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di
Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebut
deureuham (dirham).

Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh semula merupakan wilayah Kerajaan Pedir. Kerajaan Aceh
berkembang setelah Kerajaan Samudra Pasai mengalami kemunduran dan
Malaka dikuasai oleh Portugis. Atas usaha Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh
melepaskan diri dari Kerajaan Pedir. Setelah berkuasa pusat pemerintahannya
dipindah ke Kutaraja (Banda Aceh).
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Aceh antara lain:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1528).
2. Sultan Alaudin Riayat Syah (1537-1568). Pada masa pemerintahannya, pernah
melakukan penyerangan terhadap Portugis.
3. Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kerajaan Aceh mengalami kemajuan pada
saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
4. Sultan Iskandar Thani (1636-1641).

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, hidup ulama


besar yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin As Sumtrani, Nuruddin Ar
Raniri, dan Abdurrauf. Keempat ulama ini sangat berpengaruh
bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke Jawa. Pada masa
pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda menciptakan buku
Undang-undang Hukum Mahkota Alam.
Setelah wafat, Sultan Iskandar Muda digantikan Sultan
Iskandar Thani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Thani wafat,
Kerajaan Aceh mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena
tidak ada pemimpin yang mampu mengendalikan Aceh sepeninggal
beliau. Selain itu, banyak daerah yang dikuasai Aceh melepaskan
diri dan terjadinya pertikaian yang terus-menerus.

Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau
Jawa yang didirikan oleh Raden Patah atas bantuan para wali. Raden
Patah berkuasa pada tahun 1500-1518 yang bergelar Sultan Alam Akhbar
al Fatah. Raden Patah putra dari Raja Brawijaya V, raja Majapahit yang
dalam beberapa sumber sejarah disebutkan kemungkinan telah masuk
Islam. Demak cepat berkembang sebagai kerajaan besar karena letaknya
yangstrategis (di daerah pantai), sehingga mudah berhubungan dengan
dunia luar. Selain itu, Demak mempunyai beberapa pelabuhan seperti
Jepara, Tuban, dan Gresik.
Pada masa pemerintahan Raden Patah tepatnya tahun 1513,
Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka (ekspedisi
militer I) di bawah pimpinanmenantunya seorang keturunan Persia yang
bernama Abdul Qadir bin Muhammad Yunus. Yang karena menjadi
Adipati Jepara diberi gelar Adipati bin Yunus kemudian masyarakat biasa
memanggilnya Pati Unus.

Raja yang memerintah Kerajaan Demak setelah Raden Patah antara lain:
a. Pati Unus
Setelah wafat, Raden Patah digantikan oleh Pati Unus, sesuai dengan
wasiat yang diberikan oleh Raden Patah. Pati Unus berkuasa
menggantikan mertuanya hanya tiga tahun yaitu tahun 1518-1521, karena ia
meninggal dalam memimpin ekspedisi militer II untuk menyerang Portugis,
walaupun ia sudah diangkat menjadi sultan Demak. Pati Unus dikenal sebagai
Pangeran Sabrang Lor, karena jasanya yang melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Malaka walau penyerangan tersebut mengalami kegagalan tetapi
menimbulkan korban jiwa yang sangat besar dari pihak Portugis. Setelah Pati
Unus wafat, terjadi perebutan kekuasaan antara Raden Kikin dan Pangeran
Trenggana (keduanya putra dari Raden Patah), yang berujung dengan
dibunuhnya Raden Kikin oleh Raden Mukmin di pinggir sungai sehingga beliau
dijuluki Pangeran Sekar Sedo ing Lepen (Pati Unus sebenarnya mempunyai 3
anak tetapi 2 diantaranya gugur dalam penyerangan ke Malaka dan seorang lagi
tidak kembali ke Demak, karena terjadi perebutan tahta di Demak dan menjadi
penasehat Kesultanan Banten).

b. Sultan Trenggana
Sultan Trenggana berkuasa dari tahun 1521-1546. Pada masa
pemerintahannya, ia memerintahkan Panglima perangnya yang bernama
Fatahillah guna mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Banten dan Cirebon pada
tahun 1522. Atas prakarsa Fatahillah, nama Sunda Kelapa diubah menjadi
Jayakarta (Jakarta). Sultan Trenggana wafat pada saat penyerangan ke
Pasuruan pada tahun 1546.
Sepeninggalnya, di kerajaan Demak terjadi perebutan kekuasaan lagi.
Perselisihan itu timbul antara Arya Penangsang (putra Raden Kikin) dan sultan
Demak, Raden Mukmin yang bergelar Sunan Prawoto (putra Sultan
Trenggana). Perselisihan itu mengakibatkan Sunan
Prawoto dibunuh oleh Rangkut orang suruhan dari Arya Penangsang (anak
Pangeran Sekar Sedo ing Lepen). Setelah naik tahta, kembali terjadi perebutan
kekuasaan sehingga Arya Penangsang meninggal dalam perang dengan
pasukan Jaka Tingkir, Adipati Pajang, (menantu Sultan Trenggana) pada tahun
1568. Jaka Tingkir menjadi raja tahun 1549-1587, yang bergelar Sultan
Hadiwijaya. Kemudian Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan
dari Demak ke Pajang.

Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya setelah naik tahta tidak
serta merta melupakan para pembantunya yang telah berjasa dalam membantu
mengalahkan Arya Penangsang. Misalnya Ki Ageng Pemanahan dihadiahi tanah
di Mataram (Yogyakarta), setelah wafat kedudukannya digantikan anaknya
yaitu Sutawijaya. Ki Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati. Bupati Surabaya
diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya,
dan Panarukan.
Sultan Hadiwijaya wafat pada tahun 1582, dan kedudukannya
digantikan putranya yakni Pangeran Benawa. Saat Pangeran Benawa berkuasa,
putra Sunan Prawoto yakni Arya Pangiri melakukan pemberontakan. Akan
tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan Pangeran Benawa dengan
bantuan Sutawijaya. Saat berkuasa Pangeran Benawa tidak dapat
menggantikan kedudukan ayahnya dengan baik sebagai raja. Oleh karena itu
Pangeran Benawa menyerahkan tahtanya kepada Sutawijaya yang pada waktu
itu menjabat sebagai Adipati Mataram. Setelah menjabat sebagai raja, pada
tahun 1586 Sutawijaya memindahkan Kerajaan Pajang ke Mataram.

Kerajaan Mataram Islam


Setelah Kerajaan Pajang dipindah ke Mataram oleh Sutawijaya, maka
Mataram menjadi kerajaan sendiri. Sutawijaya menjadi raja tahun 1586-1601
yang bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pada
masa pemerintahannya banyak terjadi pemberontakan, seperti
pemberontakan Bupati Madiun, Ponorogo, Demak, Surabaya, Kediri yang ingin
memisahkan diri. Hal ini disebabkan Senopati telah mengangkat dirinya
sebagai Raja Mataram. Padahal, pengangkatan dan pengesahan sebagai raja di
wilayah Jawa biasanya dilakukan oleh wali.
Setelah Panembahan Senopati wafat, kedudukannya digantikan oleh
putranya yaitu Mas Jolang (1601-1613) yang bergelar Sultan Anyakrawati. Pada
masa pemerintahannya terjadi pemberontakan, seperti pemberontakan
Pangeran Puger (Demak) tahun 1602-1605 dan Pengeran Jayaraga (Ponorogo)
tahun 1608. Sultan Anyakrawati wafat dalam pertempuran di daerah Krapyak,
sehingga sering dikenal dengan sebutan Pangeran Sedo Ing Krapyak.
Kedudukan Mas Jolang digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645)
yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham Kalifatullah.

Pada masa pemerintahannya Mataram mengalami zaman keemasan.


Kemajuan dibidang sosial budaya yaitu: lahirnya Undang-Undang Surya Alam,
Penanggalan Jawa (perpaduan antara Tarikh Saka dan Tarikh Hijriyah), dan
beberapa buku karya sastra gending. Sultan Agung pernah melakukan
penyerang terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, akan tetapi
penyerangan tersebut mengalami kegagalan.
Sultan Agung dalam menjalankan sistem pemerintahannya membagi dalam:
1. Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang
oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).
2. Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan
dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
3. Mancanegara, daerah di luar negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan
dipegang oleh para Bupati.
4. Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para
Bupati atau Syahbandar.

Setelah Sultan Agung wafat kedudukannya digantikan Amangkurat I


(1645-1677). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang
dilakukan Trunojoyo dari Madura, hal ini disebabkan Amangkurat I menjalin
hubungan dengan Belanda. Dan pemberontakan itu dapat dipadamkan karena
bantuan Belanda.
Setelah Amangkurat I wafat, kedudukannya digantikan Amangkurat II (16771703). Pada masa pemerintahannya itu wilayah Mataram semakin sempit,
karena diambil oleh Belanda. Sehingga raja-raja yang berkuasa setelah
Amangkurat II tidak mampu menahan pengaruh Belanda yang semakin kuat.
Pada tahun 1755, diadakan Perjanjian Giyanti yang mengakibatkan Mataram
terpecah menjadi dua yaitu:
1. Ngayogyakarta Hadiningrat yang berpusat di Yogyakarta dengan Raja
Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I.
2. Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan Raja Susuhunan
Pakubuwono III.

Kerajaan Cirebon
Dalam salah satu sumber sejarah peletak dasar-dasar Kerajaan
Cirebon adalah Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan Sunan
Gunung Jati. Kemudian setelah beliau wafat kekuasaan Cirebon diserahkan
kepada menantunya yang bernama Fadhulah Khan (dalam aksen Portugis
menjadi Faletehan) yang mana setelah berhasil merebut Sunda Kelapa dari
Portugis diberi gelar Fatahillah yang berarti Kemenangan Allah. Fatahillah
sebelumnya adalah abdi dari Kerajaan Demak. Beliau diberi tugas oleh Sultan
Trenggana di Sunda Kelapa, Banten dan Cirebon untuk mengusir Portugis dari
wilayah tersebut.
Tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua yaitu Kasepuhan dan
Kanoman. Waktu itu VOC sudah bercokol kuat di Batavia. Dengan politik
Devide at Impera, Kesultanan Kanoman di bagi dua, yakni Kasultanan
Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian kekuasaan Cirebon terbagi
menjadi 3, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.

Kerajaan Banten
Semenjak menjadi kerajaan merdeka yang terlepas dari Kerajaan
Demak, Kerajaan Banten mengalami kemajuan yang pesat begitu juga dengan
agama Islam. Raja pertama Kerajaan Banten yaitu Sultan Hasanuddin (15521570), putra tertua dari Fatahillah.
Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Banten setelah
Sultan Hasanudin yaitu Panembahan Yusuf (1570-1580); Maulana Muhammad
(1580-1596); Abu Mufakhir (1596-1640); Abu Muali Ahmad Rahmatullah (16401651); Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan di bawah pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahannya, terjadi penyerangan
terhadap VOC sebanyak tiga kali. Dengan siasat Devide at Impera, Sultan
Ageng Tirtayasa diadu domba dengan putranya sendiri yaitu Sultan Haji.
Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditangkap dan diasingkan hingga wafat.
Penggantinya, Sultan Haji memiliki kedekatan yang dekat dengan VOC,
sehingga VOC dapat menguasai Banten.

Kerajaan Makassar
Kerajaan Makassar merupakan kerajaan gabungan antara Kerajaan Gowa dan
Tallo dengan ibukotanya di Sombaopu. Raja Gowa, Daeng Manrabia menjadi Raja
Makassar pertama yang bergelar Sultan Alauddin, sementara Raja Tallo, Kraeng
Mantoaya menjadi Perdana Menteri yang bergelar Sultan Abdullah. Pada masa
pemerintahan Sultan Alauddin, agama Islam masuk dan berkembang di Makassar.
Pengganti Sultan Alauddin ialah Sultan Muhammad Said (1639-1653). Kemudian Sultan
Muhammad Said diganti putranya bernama Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang dijuluki
Ayam Jantan dari Timur.
Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan Hasanuddin. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama
dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar.
Karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur
perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade'Allapialing Bicarana Pabbalri'e, sebuah
tata hukum niaga dan perniagaan dari sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna
Gappa.

Karena ketakutan Belanda, maka Belanda menyerang Kerajaan


Makassar dengan bantuan Raja Bone yaitu Aru Palaka. Dan akhirnya pada
tahun 1667, Belanda dapat memaksa Sultan Hasanuddin untuk
menandatangani Perjanjian Bongaya. Isi dari Perjanjian Bongaya yaitu:
Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar;
Belanda mendirikan benteng pertahanan di Makassar; Makassar harus
melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar Makassar; Aru
Palaka diakui sebagai Raja Bone. Kemudian Sultan Hasanuddin diganti oleh
Mapasomba. Tetapi Mapasomba berkuasa tidak terlalu lama karena adanya
pengaruh Belanda yang besar. Akhirnya seluruh Sulawasi Selatan dapat
dikuasai Belanda.

Kerajaan Ternate dan Tidore


Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13
dengan raja Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di
Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur sebagai
raja.
Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang
karena Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat
hasil rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu
tidak berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua
kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut terjadi
persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai
sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku pada
tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi
pertikaian terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin
memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa
Eropa itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran
agama mereka.

Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan Khairun
(1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, Sultan Khairun
dibunuh oleh Portugis.

Setelah sadar bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan


membaik kembali. Sultan Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (15701583). Pada masa pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan
itu tidak terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil
memperluas daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina.
Sementara itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada
masa pemerintahan Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore
sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai di selatan dan Misol di Irian.
Dengan masuknya Spanyol dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama dan
bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan Islam. Pengaruh
Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan sangat terasa di Maluku
bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat terasa di sekitar Maluku bagian selatan.

Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang


sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah komoditi yang
menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para
pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya
dengan rempah-rempah. Proses perdagangan ini pada awalnya
menguntungkan masyarakat setempat. Namun, dengan
berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran
di berbagai bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.

Kerajaan Banjar
Atas bantuan dari Kerajaan Demak, Pangeran
Tumenggung Samudra dapat menjadi Raja Banjar. Setelah masuk
Islam, Pangeran Tumenggung Samudra berganti nama menjadi
Sultan Suryanullah. Selain Sultan Suryanullah, tokoh yang
berperan mengembangkan Islam di wilayah ini diantaranya Datuk
Ri Bandang, Tuan Tunggang Parangan, dan Aji di Langgar.
Kerajaan Banjar mencapai masa kejayaan pada masa
pemerintahan Pangeran Antasari yang sangat anti terhadap
penjajahan Belanda.

Вам также может понравиться