Вы находитесь на странице: 1из 37

LAPORAN

DEPARTEMEN MEDIKAL
Ruang Hemodialisa Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) with MINERAL AND BONE DISORDER (MBD) /
GANGGUAN MINERAL DAN TULANG PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK (GMTPGK)

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners

Oleh :
Ni Made Putri Pratiwi
105070200111027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
LAPORAN PENDAHULUAN
DEPARTEMEN MEDIKAL RUANG HEMODIALISA

RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR MALANG


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) with MINERAL AND BONE DISORDER (MBD) /
GANGGUAN MINERAL DAN TULANG PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK (GMTPGK)
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
A. Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang
mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga ginjal tidak dapat
memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth,
2002). Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahuntahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap
dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, sebagai
berikut:
1.

Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan

2.

Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)

B. Etiologi
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak

sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan
ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya
tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu
pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit
dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi,
2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,
2006).
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan.Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan

yang

menurun.

Gejala

tersebut

dapat

berlangsung

lama

tanpa

diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya.
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001).Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid.Polikistik berarti banyak kista.Pada keadaan ini dapat ditemukan

kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula.Selain


oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit.Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
C. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2009).
D. Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter
akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar
kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot
yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum
merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini
disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi

tidak lagi 100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi
ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita
memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda tanda seseorang berada pada stadium
2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat berfungsi
dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan
diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat
yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa
sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada
tulang. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak
dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar
wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu
banyak cairan yang berada dalam tubuh.
Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin
bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk
buang air kecil di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang ahli
ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik serta
terapi terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal.
Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk
mendapatkan perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini
biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan protein namun tetap mewaspadai

kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam
darah tetap rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita
juga harus membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu
tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas
normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang juga
mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain pembatasan sodium
untuk penderita hipertensi.
Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15 30 persen saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi.
Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul
pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan
darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit
kardiovaskular lainnya.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :

Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak
dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar
wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu
banyak cairan yang berada dalam tubuh.

Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.

Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.

Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.

Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.

Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.

Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui
bau pernafasan yang tidak enak.

Sulit berkonsentrasi

Stadium 5 (gagal ginjal terminal)


Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :

Kehilangan napsu makan

Nausea.

Sakit kepala.

Merasa lelah.

Tidak mampu berkonsentrasi.

Gatal gatal.

Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.

Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.

Keram otot

Perubahan warna kulit

E. Manifestasi Klinis
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifesotasi klinik mengenai
dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:

Gangguan pada Gastrointestinal


Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya

zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh
bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu
sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis
erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan
terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.

Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan

gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.

Hematologi

Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik.
Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah
suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal
yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada
Gagal Ginjal Kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau
dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula
terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal
Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.

Sistem Saraf Otot


Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg

syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa
kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan
kesadaran atau koma.

Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya

hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau
sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang
sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang
disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan
elektrolit.

Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada

Gagal Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai
aminore. Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan
metabolik vitamin D.

Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit

dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia,
hiperforfatemi, hipokalsemia.
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular
(Sukandar, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
Urine

- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri,
lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan
adanya darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan
ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan
rasio urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin
16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang
ari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada
azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan Natrium atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
-

seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan


EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
Magnesium/Fosfat : Meningkat
Kalsium : Menurun
Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,

atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.


- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan
urine.
Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.

Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel


jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan
demineralisasi.
G. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2002)
H. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia).Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif.Terapi pemberian transfusi darah harus hatihati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK.Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit.Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi

tindakan

terapi

dialisis,

yaitu

indikasi

absolut

dan

indikasi

elektif.Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,


ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood

Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu
LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.Umumnya dipergunakan ginjal
buatan

yang

kompartemen

darahnya

adalah

kapiler-kapiler

selaput

semipermiabel (hollow fibre kidney).Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik


dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun.Kendala yang ada
adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

GANGGUAN MINERAL DAN TULANG PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK (GMT-PGK)


A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Penyakit ginjal kronik (PGK) ialah setiap kerusakan ginjal (kidney damage) atau
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR/Glomerular Filtration Rate) < 60
ml/menit/1,73m2 untuk jangka waktu 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah setiap
kelainan patologis, atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam darah,
urin atau studi pencitraan.

Tabel 1. Stadium penyakit ginjal kronik


Stadium
1

Deskripsi
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

LFG (ml/menit/173 m2)


90

meningkat
2

Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG

60-89

ringan
3

Penurunan LFG sedang (moderate)

Penurunan LFG berat

Gagal ginjal

30-59
15-29
< 15 (atau dialisis)

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah suatu
sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan
tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal-hal
berikut:
1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat,
hormon paratiroid dan vitamin D.

2. Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan
kekuatannya.
3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.
Klasifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu atau
kombinasi dari ketiga komponen di atas.

Tabel 2. Klasifikasi GMT-PGK

Tipe

Laboratorium

Gangguan Tulang

Kalsifikasi Vaskuler

Abnormal
+

atau Jaringan Lunak


-

LT

LK

LTK

+
+
+
Keterangan : L = Laboratorium, T = Tulang, K = Kalsifikasi Vaskuler

B. HOMEOSTASIS MINERAL DAN TULANG


1. Ginjal dan metabolisme fosfat
Fosfat inorganik (Pi) berperan untuk berbagai metabolisme sel dan mineralisasi
tulang. Fosfat merupakan bagian esensial dari asam nukleat dan membran sel,
berperan sebagai mediator penting sinyal intra seluler dan regulasi aktivitas
protein.
Kadar fosfor di dalam tubuh manusia sekitar 600 g (500-700 g), di antaranya 80%
hingga 85% adalah mineral tulang. Di dalam serum, sebagian besar fosfor berada
dalam bentuk Pi dengan konsentrasi normal 0,751,45 mmol/L (2,5-4,5 mg/dL).
Lebih dari 85% Pi di dalam serum adalah ion bebas dan kurang dari 15% terikat
dengan protein. Kadar HPO42- dan NaHPO4- dominan sekitar 75% dari total fosfor
dan H2PO4- bebas sekitar hampir 10%.
Konsentrasi fosfor serum terutama ditentukan oleh asupan diet, absorpsi fosfor di
gastrointestinal; terutama di usus halus, ekskresi fosfor melalui urin dan
pertukaran antara ruang ekstra dan intraseluler (Gambar 1). Abnormalitas pada
mekanisme

ini

hiperfosfatemia.

dapat

menyebabkan

terjadinya

hipofosfatemia

ataupun

Gambar 1. Keseimbangan fosfat


Ginjal adalah regulator utama homeostasis Pi melalui kapasitas reabsorpsi.
Ekskresi Pi di ginjal merupakan keseimbangan antara filtrasi glomerulus dan
reabsorpsi tubulus ginjal. Pada kondisi fisiologis yang normal, 80-90% dari fosfor
yang difiltrasi direabsorpsi kembali dan sisanya diekskresikan melalui urin.
Reabsorpsi tubulus ginjal terjadi terutama di tubulus proksimalis melalui proses
Na+ gradient-dependent transmembran (Na+/Pi cotransport) tipe IIa dan IIc (NaPi2a dan NaPi-2c) yang berlokasi di batas membran apikal. Keduanya diatur oleh
asupan makanan Pi, vitamin D, fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan hormon
paratiroid.
2. Ginjal dan metabolisme kalsium
Pemeliharaan homeostasis kalsium sangat penting karena kalsium merupakan
komponen utama dari kerangka tulang dan berfungsi sebagai media intraseluler
maupun ekstraseluler dalam berbagai peristiwa seluler seperti jaringan saraf,
respon imun, kontraksi otot dan sekresi hormon.
Total kalsium pada orang dewasa adalah sekitar 1-2 kg dan 99% dari total kalsium
berada dalam tulang, serta 1% kalsium tubuh berada dalam ruang ekstraseluler
(Gambar 2). Dari kompartemen cairan ekstraseluler, yang berisi sekitar 900 mg
kalsium, 10.000 mg kalsium difilrasi di glomerulus dan 500 mg ditambahkan ke
dalam tulang; dan kompartemen cairan ekstraseluler ditambahkan sekitar 200 mg

yang diserap dari diet, 9800 mg diserap kembali oleh tubulus ginjal, dan 500 mg
dari tulang. Konsentrasi kalsium dalam sirkulasi kisaran yang sempit (8,5-10,5
mg/dL) untuk itu mempertahankan homeostasis kalsium sangat penting.

Gambar 2. Metabolisme kalsium


Sekitar 40% kalsium plasma terikat protein dan 10% kalsium berada dalam ikatan
kompleks dengan anion seperti fosfat, sitrat, sulfat dan lain-lain. Hanya setengah
dari kalsium plasma dalam bentuk terionisasi (iCa2+) dan memegang fungsi
fisiologis yang sangat penting. Kalsium terionisasi secara ketat diatur oleh hormon
seperti hormon paratiroid, 1,25-dihydroxyvitamin D3 dan kalsitonin. Ginjal, usus,
dan tulang merupakan organ utama dalam regulator kalsium, namun ginjal
merupakan pemain kunci dalam regulasi eksresi kalsium.
3. Mekanisme hubungan timbal balik (feedback mechanism)
Secara fisiologis, terdapat mekanisme hubungan timbal balik (feedback
mechanism) antara ginjal, kelenjar paratiroid dan tulang. Hubungan timbal balik ini
bertujuan untuk membuat keseimbangan homeostasis antara kalsium (Ca), fospor
(P), vitamin D3 (vit D3) dan hormon paratiroid (HPT). Absorpsi Ca di saluran cerna

dibantu oleh vitamin D3, sedangkan Ca dapat menghambat produksi vit D3 oleh
ginjal. Kadar Ca yang rendah dapat merangsang produksi HPT, sedangkan HPT
dapat merangsang produksi vit D3. Kadar P darah yang tinggi dapat merangsang
produksi HPT, dan menurunkan kadar Ca melalui keseimbangan fisikokimiawi.
Demikian juga P darah yang tinggi dapat merangsang produksi fibroblast growth
factor (FGF23) oleh tulang. FGF23 ini dapat merangsang produksi vit D3 dan
menghambat produksi HPT. Vit D3 yang rendah dapat merangsang produksi HPT,
sebaliknya HPT dapat merangsang produksi vit D3 (Gambar 3). Pada PGK,
mekanisme ini terganggu akibat meningkatnya kadar P (akibat retensi) dan
menurunnya kadar vit D3 (akibat turunnya produksi).

Gambar 3. Interelasi antara Ca2+, P dan HPT, FGF23 dan 1,25(OH)2 D.


C. GEJALA KLINIS
Gejala klinis GMT-PGK tidak spesifik, diantaranya nyeri tulang, kelemahan otot,
pruritus, calciphylaxis (calcemic uremic arteriolopathy) dan fraktur. Calciphylaxis
dapat berupa nekrosis jaringan perifer, ulserasi kulit dan kalsifikasi vaskuler.
Fraktur tulang biasanya fraktur non trauma atau karena trauma minimal.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Abnormalitas biokimia sering ditemukan pada penyakit ginjal kronik dan
merupakan indikator utama untuk diagnosis maupun penatalaksanaan
gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik.

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis GMT-PGK dilakukan terhadap


petanda (marker) biokimia tulang dan mineral. Petanda tersebut ialah fosfat,
kalsium plasma, produk kalsium x fosfat (Ca x P), hormon paratiroid (HPTi),
total alkali fosfatase (AFT) dan bone spesific alkaline phosphatase (bALP).
Pemeriksaan disarankan dimulai pada PGK stadium 3 dan dilakukan secara
berkala, seperti yang diperlihatkan pada tabel 5 dan 6 di bawah ini.
Tabel 5 . Diagnosis laboratorium GMT-PGK
Petanda

Kadar
Meningkat

Laboratorium
Fosfat
Kalsium

Keterangan
Menurun

+
+
+
+
+
+
+

CaxP
HPTi
AFT
Balp

Fase awal
Fase lanjut
Kurang spesifik
Lebih spesifik

Tabel 6. Pemantauan terhadap kadar kalsium, fosfat plasma, CaxP dan HPTi plasma
PGK
stadium
3

LFG

Frekuensi
2

(ml/min/1,73m )
30-59

15-29

<15

Ca koreksi

pemeriksaan total
Setiap 12

plasma
Nilai normal

panduan

Produk

plasma

CaxP

2,7-4,6

< 55
2

HPTi

35-70
2

bulan

laboratoriu

mg/dl

mg /dl

pg/ml

Setiap 3

m
Nilai normal

2,7-4,6

< 55

70-110

bulan

laboratoriu

mg/dl

mg2/dl2

pg/ml

Setiap bulan

m
8,4-9,5

3,5-5,5

< 55

150-

mg/dl
Sebagai

Fosfat

praktis

pada

pengelolaan

mg/dl
GMT-PGK

mg /dl
lebih

300

pg/ml
dianjurkan

menggunakan parameter kadar kalsium dan fosfor plasma secara sendiri-sendiri


daripada menggunakan produk Ca x P, karena kadar fosfor serum lebih
berfluktuasi dibanding kadar kalsium.
Alkali fosfatase total (AFT) adalah enzim yang mengurai fosfat dari protein dan
nukleotida, berfungsi optimal pada pH alkali. Nilai enzim ini tidak spesifik, karena
terdapat di seluruh tubuh, kadar tertinggi di liver dan tulang. Peningkatan AFT bisa
dijumpai pada gangguan liver dan tulang (peningkatan aktivitas tulang/metastasis
tulang). Bone specific alkaline phosphatase (b-ALP) adalah petanda yang lebih

spesifik untuk gangguan tulang. Berbeda dengan pemeriksaan AFT yang tersedia
luas, pemeriksaan b-ALP masih sangat terbatas.
Baik AFT maupun b-ALP meningkat pada hiperparatiroid primer dan sekunder,
osteomalasia, metastasis tulang atau Pagets disease. Kidney disease improving
global outcomes (KDIGO) menganjurkan pemeriksaan AFT sebagai pemeriksaan
tambahan, akan tetapi bila hasilnya meningkat harus diperiksa fungsi hati untuk
menyingkirkan adanya gangguan fungsi hati. AFT dapat digunakan untuk
memantau terapi atau menentukan status turnover bila hasil HPTi meragukan.
2. Pemeriksaan pencitraan
Kelainan radiologis tulang pada GMT-PGK baru tampak setelah terjadi kerusakan
tulang yang berat, sehingga pemeriksaan radiologis tidak dapat dipakai untuk
diagnosis dini GMT-PGK. Pemeriksaan pencitraan (imaging) GMT-PGK meliputi
pemeriksaan radiologi, ekhokardiografi dan USG.
Untuk mendeteksi kalsifikasi vaskuler dianjurkan dengan pemeriksaaan foto polos
abdomen posisi lateral. Ekhokardiografi dapat digunakan untuk mendeteksi
kalsifikasi katup jantung sebagai alternatif pemeriksaan computed tomographybase imaging. USG kelenjar paratiroid umumnya dikerjakan untuk menentukan
lokasi kelenjar paratiroid sebelum dilakukan paratirodektomi. Pemeriksaan
tersebut juga bermanfaat untuk memberikan informasi klinis terhadap tingkat
keparahan (severity) serta respon terapi terhadap hiperparatiroid. USG kelenjar
paratiroid bukan dimaksudkan untuk diagnosis hiperparatiroid sekunder.

3. Biopsi tulang
Biopsi tulang pada GMT-PGK merupakan cara diagnostik yang sangat baik dan
informatif
Biopsi

untuk

tulang

menentukan

merupakan

adanya

baku emas

kelainan
(gold

dalam

turnover

tulang.

standard).

Idealnya

semua

pemeriksaan biokimiawi dan non-invasif dirujuk dengan hasil biopsi tulang, akan
tetapi biopsi tulang tidak dilakukan secara rutin. Indikasi biopsi tulang pada PGK
adalah sebagai berikut:

Adanya fraktur tanpa trauma atau akibat trauma yang minimal.


Kadar HPTi intak antara 100-500 pg/ml disertai hiperkalsemia yang tidak dapat
dijelaskan, nyeri tulang yang hebat, atau peningkatan aktifitas bone spesific

alkaline phosphatase (bALP) yang tidak dapat dijelaskan.


Kecurigaan penyakit tulang aluminium (aluminium bone disease) atas dasar
gejala klinis atau riwayat terpapar aluminium.
Biopsi tulang mempunyai berbagai kelemahan antara lain merupakan
metode invasif dan mengakibatkan rasa sakit pada penderita, teknik dan
peralatan yang sulit, memerlukan tenaga histomorphometrist yang terlatih,

proses yang sulit dan belum adanya standarisasi nomenklatur. Oleh


karenanya biopsi tulang tidak dikerjakan secara rutin.
E. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan hiperfosfatemia
a. Diet rendah fosfor
Pada PGK stadium 3-5 dianjurkan diet rendah fosfor 800-1000 mg/hari. Kadar
fosfat serum dievaluasi setiap bulan setelah dimulai pemberian diet rendah
fosfor. Daftar kandungan fosfor dan kalsium di dalam makanan dapat dilihat
pada lampiran 1.
b. Pemberian obat pengikat fosfat
Pada PGK stadium 3-4, kadar fosfor dipertahankan pada angka normal (2,74,6 mg/dl), sedangkan pada stadium 5 kadar fosfor diusahakan mendekati
normal. Untuk kadar kalsium, pada PGK stadium 3-5 sebaiknya dipertahankan
pada angka normal.Pada PGK stadium 3-5, dianjurkan menggunakan pengikat
fosfat untuk mengelola hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang digunakan sesuai
dengan preparat yang tersedia dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kerugiannya seperti terlihat pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Obat-obat pengikat fosfat
Pengikat fosfat
Kalsium
Karbonat

Kalsium asetat

Jenis

Keuntungan
Murah
Tersedia

Efek Samping / kerugian


Hiperkalsemia
Kalsifikasikasi

Kapasitas

ekstraskeletal
Konstipasi
Hiperkalsemia

mengikat fosfat
lebih tinggi dan
absorbsi kalsium

Kalsifikasi
ekstraskeletal
Konstipasi

lebih sedikit
daripada kalsium
karbonat
Mengandung
Magnesium

Beban kalsium
lebih sedikit

Diare
Potensi

toksisitas

magnesium
Sevelamer

Tidak

Potensi hiperkalemia
Memerlukan disus

meningkatkan

besar/ ukuran pil besar

beban kalsium

yang dapat

mempengaruhi
kepatuhan pasien
Menurunkan

karbonat

yang

dapat

meningkatkan asidosis
metabolik
Berpotensi
mempengaruhi absorpsi
vitamin-vitamin larut
lemak
Gangguan

saluran

cerna
Tidak

Lanthanum
carbonate

meningkatkan

Mengandung

Aluminium

aluminium

hidroksida

beban kalsium
Kapasitas

Mahal
Potensi akumulasi
Lanthanum di tulang
Berpotensi tinggi terjadi

mengikat fosfat

toksisitas aluminium

tinggi

dan gangguan

Tidak menambah
beban kalsium
Murah
Tersedia

mineralisasi tulang pada


pemakaian jangka
panjang
Konstipasi
Gangguan
gastrointestinal
Rasa

seperti

kapur

(chalky taste)
Pada PGK stadium 3-5 dengan hiperkalsemia, pengikat fosfat yang
mengandung kalsium hendaknya tidak dipergunakan. Pada PGK dengan
hiperkalsemia,

sebaiknya

menggunakan

pengikat

fosfat

yang

tidak

mengandung kalsium (misalnya lanthanum carbonate, sevelamer, aluminium


hidroksida). Bila menggunakan pengikat fosfat yang mengandung aluminium,
hanya boleh diberikan untuk satu tahap terapi, maksimal 4 minggu.
c. Dialisis yang adekuat
Tindakan dialisis hanya sedikit membuang fosfat. Klirens fosfat pada
hemodialisis adalah 32,5 mmol dalam 4 jam, sedang pada CAPD adalah

sebesar 12 mol dalam 24 jam. Ekskresi fosfat juga dipengaruhi oleh jenis
dialisat dan jenis membran.
2. Penatalaksanaan hipokalsemia
Pada dasarnya tidak diperlukan terapi khusus untuk hipokalsemia pada PGK
sebab dengan turunnya kadar fosfat setelah terapi hiperfosfatemia, kadar kalsium
akan naik dengan sendirinya, hal ini terjadi karena adanya keseimbangan
fisikokimiawi antara fosfat dan kalsium.
a. Hipokalsemia pada PGK stadium 3-5
Penatalaksanaan

hipokalsemia

pada

PGK

stadium

3-5

dengan

hiperfosfatemia lebih diutamakan memakai pengikat fosfat yang mengandung


kalsium.
b. Hipokalsemia pada PGK stadium 5 dengan dialisis (PGK stadium 5D)
Penatalaksanaan hipokalsemia pada PGK stadium 5D lebih diutamakan
menggunakan cairan dialisat dengan kadar kalsium antara 1,25-1,50 mmol/l
(2,5-3,0 mEq/l).
3. Penatalaksanaan hiperparatiroid sekunder
a. Pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4
Pemberian kalsitriol/vitamin D analog boleh diberikan pada PGK stadium 3-4.
Namun, pemeriksaan HPTi dianjurkan sebelum pemberian kalsitriol/vitamin D
analog. Calcitriol/vitamin D analog diberikan bila kadar HPTi > 70 pg/ml untuk
PGK stadium 3 dan > 110 pg/ml pada PGK stadium 4 (tabel 8).

Tabel 8. Kadar optimal HPTi pada PGK9


Stadium PGK
3
4
5

Rentang LFG
(ml/men/1,73 m2)
30-59
15-29
< 15 atau dialisis

Target HPTi
35-70 pg/ml
70-110 pg/ml
150-300 pg/ml

Syarat memulai terapi calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4 adalah: nilai
kalsium serum total < 9,5 mg/dl, nilai fosfor serum < 4,6 mg/dl dan produk Ca x P < 55
mg2/dl2. Selain itu untuk data awal

dianjurkan pemeriksaan foto polos abdomen

lateral. Dosis calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4 dapat dilihat pada
tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9. Rekomendasi dosis vitamin D


HPTi

Ca

plasma

serum

serum

Pg/ml
CKD 3 >

mg/dl

mg/ml

< 9,5

< 4,6

70
CKD

P
Kalsitriol

Dosis oral
Paricalcitol Alfacalcidol Doxercalciferol
1 g/hari

0,25

atau

0,25 g /

0,25 g 3x/

g/hari

2 g

hari

minggu

4>110

3x/minggu

Untuk pemantauan terapi calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4,


selama terapi dengan kalsitriol/vitamin D analog, kalsium dan fosfat diperiksa satu
kali sebulan (selama tiga bulan) sesudah terapi dimulai, selanjutnya setiap 3
bulan.Bila HPTi plasma turun di bawah target, terapi kalsitriol/vitamin D analog
dihentikan dulu sampai nilai HPTi naik di atas target. Kemudian terapi diteruskan
dengan kalsitriol/vitamin D analog setengah dosis/hari. Bila HPTi masih tetap
turun, maka berikan terapi dengan setengah dosis selang sehari (alternate day).
Bila kalsium serum naik > 9,5 mg/dl tunda terapi kalsitriol/vitamin D analog sampai
kalsium < 9,5 mg/dl, kemudian lanjutkan dengan setengah dosis awal.Bila fosfor
serum naik > 4,6 mg/dl tunda terapi calsitriol/vitamin D analog. Berikan pengikat
fosfat sampai kadar fosfat < 4,6 mg/dl. Kemudian terapi calsitriol/vitamin D analog
dilanjutkan dengan dosis yang sama dengan keadaan awal. Jika kadar HPTi turun
hingga dua kali di bawah kadar normal sebaiknya pemberian kalsitriol/vitamin D
analog dikurangi atau dihentikan.
b. Pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK stadium 5D
Pasien dalam dialisis (hemodialisis atau dialisis periitoneal) dengan kadar
HPTi > 300 pg/ml dianjurkan untuk mendapat kalsitriol/vitamin D analog
(paricalcitol, alfacalcidol, atau doxercalciferol).
Syarat pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK 5D yaitu
diberikan pada pasien dengan kadar kalsium serum < 9,5 mg/dl jika kadar
HPT plasma 300-600 pg/ml, atau kadar kalsium serum < 10 mg/dl pada HPTi
plasma 1000 pg/dl. Dosis kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK stadium
5 dengan hemodialisis berdasarkan kadar HPTi, kalsium, fosfor dan produk Ca
x P diperlihatkan pada tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10.

Dosis Vitamin D pada pasien hemodialisis berdasarkan kadar HPTi,


kalsium, fosfor dan produk Ca x P

HPTi
plasma

Dosis

Ca serum Ca serum Produk Dosis Kalsitriol

(pg/ml)
300-600

(mg/dl)

(mg/dl) Ca x P

< 9,5

< 5,5

tiap HD

Paricalcitol Doxercalciferol
tiap HD
2,5 g (i.v)

0,5-1,5 g

< 55

Dosis
tiap HD
5 g (oral)
2 g (i.v)

(i.v)
0,5-1,5 g
(oral)
1-3 g (i.v)

6-10 g

5-10 g

1000

1-4 g (oral)

(i.v)

(oral)

> 1000

1-5 g (i.v)
3-7 g (oral)

10-15

2-4 g (i.v)
10-20 g

g(i.v)

(oral)

600-

< 9,5

< 10

< 5,5

< 5,5

< 55

< 55

4-8 g (i.v)

Cek Kadar PTHi : > 300 pg/ml

Pada PGK stadium 5D pemberian kalsitriol/vitamin D analog secara intermiten


Dosis 0,04-0,1g/Kg
(g setiap
HD serum dibandingkan dengan
lebih efektif dalam
menurunkanBBkadar
HPTi

pemberian secara oral tiap hariatau


(Gambar 7).
PTHi/120 (gsetiap HD)

Dosis titrasi

Cek PTHi setelah 2-4


Dosis awal tidak melebihi 10 g
minggu
setiap HD
PTHi < 30%

PTHi < 30-60

PTHi > 300

Ca < 11.5

Ca < 11.5

Ca x P < 70

Ca x P < 70
Dosis 2 g
setiap HD

Cek kadar Ca & P tiap


PTHi < 150
PTHi < 150

minggu
PTHi 60%

Ca < 11.5

Ca > 11.5

Ca x P < 70

Ca x P > 75

Dosis 2 g
setiap HD

Dosis tetap

Cek PTHi
minggu

setelah

2-4

: mg/dl

PTHi

: pg/dl

Ca < 10.4
Ca x P < 65

Lanjutkan kembali
dengan dosis 2 g
setiap HD

Ca < 11.5
Ca x P < 70

Dosis diturunkan 2
mg atau stop
sementara

sementara

PTHi < 150300

: mg/dl

Ca x P > 75

Stop

Lakukan penurunan dosis


Cektiap
kadar
seperti di atas
2-4 Ca & P tiap
minggu hingga
minggu
diperoleh
dosis untuk mencapai
target PTHi 150-300

Ca

Ca > 11.5

Cek PTHi setiap 3 bulan


Cek Ca & P

PTHi < 150300pertahankan


HD

Ca < 11.5
Ca x P < 70

dosis

setiap

Gambar 7. Algoritma terapi injeksi paricalcitol


Pada pasien PGK stadium 5 dengan dialisis peritoneal dapat diberikan kalsitriol
oral dengan dosis 0,5-10 mcg atau doxercalciferol oral 2,5-5,0 mcg.
Sebagai pemantauan, kadar kalsium dan fosfat serum diperiksa tiap 2 minggu
selama 1 bulan dan sesudah itu tiap bulan. Kadar HPTi plasma diperiksa setiap 1
bulan dan kemudian tiap 3 bulan sesudah kadar HPTi mencapai target.

c. Pemberian calcimimetic
Calcimimetic adalah allosteric modulator dari kalsium reseptor, mempunyai
efek meningkatkan sensitivitas kalsium sensing receptor, dengan demikian
akan meningkatkan kalsium intra sel dan menurunkan sekresi hormon
paratiroid. Calcimimetic tidak meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor di
saluran cerna, oleh karena itu pemberian obat ini tidak mempengaruhi kadar
kalsium dan fosfor di dalam plasma. Contoh preparat calcimimetic addalah
cinacalcet.
Indikasi pemberian calcimimetic adalah pada PGK dengan kadar HPT melebhi
target sesuai stadium PGK dan kalsium serum > 8,4 mg/dl.Hiperfosfatemia
tidak merupakan kontraindikasi pemberian calcimimetic.
Dosis obat calcimimetic (cinacalcet) 30 mg satu kali per hari. Dosis dapat
dinaikkan secara bertahap 60 mg, 90 mg, 120 mg, 180 mg sesuai kebutuhan
untuk mencapai target HPTi 150-300 pg/ml. Dosis maksimal 180 mg per hari.

Pemberian calcimimetic cenderung akan menurunkan kadar kalsium serum,


karena itu diperlukan pemantauan kadar kalsium dan penyesuaian dosis
sesuai dengan kadar kalsium serum. Bila kadar kalsium antara 7,5-8,4 mg/dl
atau bila ditemukan gejala hipokalsemia, berikan pengikat fosfat mengandung
kalsium dan/atau kalsitriol untuk meningkatkan kadar kalsium. Bila kadar
kalsium < 7,5 mg/dl atau gejala hiokalsemia menetap dan dosis kalsitriol tidak
dapat dinaikkan, pemberian calcimimetic dihentikan sampai kadar kalsium
8,4 mg/dl dan/atau gejala hipokalsemia teratasi. Setelah itu mulai pemberian
calcimimetic dengan dosis paling rendah. Bila HPTi < 150-300 pg/ml,
pemberian calcimimetic dan/atau kalsitriol dihentikan atau dosis diturunkan.
d. Paratiroidektomi
Paratiroidektomi diindikasikan pada pasien dengan hiperparatiroid sekunder
berat yang ditandai dengan kadar HPTi menetap > 800 pg/ml (88,0 pmol/l)
serta berhubungan dengan hiperkalsemia dan atau hiperfosfatemia yang tidak
teratasi dengan obat-obatan. Selain itu paratiroidektomi juga diindikasikan
pada kadar HPTi 500 pg/ml-800 pg/ml dengan keluhan yang menonjol sepert
pruritus yang sangat mengganggu, nyeri tulang dan sendi yang progresif, serta
adanya kalsifilaksis.
Sebelum

paratiroidektomi,

dilakukan

USG

kelenjar

paratiroid

untuk

menentukan lokasi kelenjar paratiroid. Pemeriksaaan tersebut juga bermanfaat


untuk memberikan informasi klinis terhadap tingkat keparahan (severity) serta
respon terapi terhadap hiperparatiroid sekunder. Sebelum paratiroidektomi,
obat pengikat fosfat dihentikan atau diturunkan dosisnya sesuai dengan kadar
fosfor.
Paratiroidektomi dapat dilakukan melalui tindakan bedah (surgical) dan non
bedah (medical). Paratiroidektomi bedah dapat berupa paratiroidektomi
subtotal, atau paratiroidektomi total dengan implantasi kelenjar pada lengan
atas. Paratiroidektomi non bedah dapat dilakukan dengan penyuntikan alkohol
absolut atau paricalcitol ke kelenjar paratiroid.
Pasca paratiroidektomi perlu dilakukan pemantauan kadar kalsium ion secara
ketat, yaitu sebagai berikut:

Kadar kalsium ion diukur tiap 4-6 jam pertama dalam 48 sampai 72 jam
pasca operasi, serta dua kali sehari sesudahnya sampai kadarnya stabil
normal (4,6-5,4 mg/dl).

Jika kadar kalsium ion < 3,6 mg/dl atau kalsium total < 7,2 mg/dl, segera
berikan infus kalsium glukonas 10 mg per jam dalam cairan isotonik

sampai mencapai kadar kalsium ion dalam batas normal (4,6-5,4 mg/dl).
Infus kalsium diturunkan bertahap bila kadar kalsium ion mencapai kadar

normal.
Jika pasien sudah mampu menerima asupan per oral, pasien sebaiknya
mendapat kalsium karbonat 1-2 g, 3 kali sehari, serta kalsitriol sampai 2
g/hari. Pengobatan ini harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk
mencapai kalsium terionisasi dalam batas normal.

4. Penatalaksanaan kalsifikasi vaskuler dan kalsifikasi metastatik


Kalsium dapat menumpuk di tunika media dan intima pembuluh darah. Khusus
pada pasien GMT-PGK tumpukan terutama pada tunika media, sehingga terjadi
kekakuan pembuluh darah yang menyebabkan gangguan kardiovaskuler.
Pencegahan kalsifikasi vaskuler dan kalsifikasi metastatik pada pasien dialisis
terdiri dari:

Mempertahankan kadar fosfor pada kisaran 3,5 -5,5 mg/dl.


Mempertahankan Ca x P kurang dari 55 mg2/dl2.
Mempertahankan HPTi antara 150-300 pg/ml.
Mengontrol hipertensi.
Menghindari keseimbangan kalsium yang positif:
a. Memberikan kalsium dialisat dengan konsentrasi 2,5 mEq/l.
b. Mengurangi asupan kalsium, termasuk dari pengikat fosfat < 2000 mg/hari.
Menghindari penekanan berlebihan kelenjar paratiroid dan tulang adinamik.
Mengendalikan kadar glukosa darah pada diabetes.
Berhenti merokok.
Meminimalkan proses inflamasi, antara lain dengan menggunakan ultrapure

(pyrogen-free) dialisate.
Mengurangi penggunaan warfarin.

5. GMT-PGK pada transplantasi ginjal


Pasca transplantasi ginjal, GMT tidak segera pulih, oleh karenanya perlu
dilakukan pemantauan terhadap kadar serum kalsium, fosfor dan HPTi plasma.
Pemakaian obat-obat imunosupresan pasca transplantasi, diantaranya steroid,
dapat menyebabkan komplikasi tulang yang akan memperberat GMT yang belum
pulih. Dalam minggu pertama sesudah transplantasi ginjal, kadar fosfor serum
harus diukur tiap hari. Frekuensi pemeriksaan selanjutnya dapat dilihat pada tabel
11. Resipien transplantasi ginjal dengan kadar fosfor serum rendah yang menetap
(< 2,5 mg/dl) harus diterapi dengan suplementasi fosfor.

Tabel 11. Frekuensi pemantauan laboratorium


Parameter

3 bulan pertama

3 bulan sampai 1 tahun

Kalsium

Tiap 2 minggu

Tiap bulan

Fosfor

Tiap 2 minggu

Tiap bulan

HPTi

Tiap bulan

Tiap 3 bulan

Untuk memperkecil kehilangan massa tulang serta osteonekrosis, dosis obat


steroid harus disesuaikan hingga mencapai dosis terendah yang masih efektif.
Densitas massa tulang pasca transplantasi ginjal sebaiknya diukur dengan dual
energy X-ray absorptiometry (DEXA) untuk menentukan adanya osteoporosis.
DEXA scan dilakukan pada saat transplantasi ginjal, setahun dan 2 tahun sesudah
transplantasi ginjal. Jika BMD t-score sama atau kurang dari -2 saat transplantasi
ginjal atau pada evaluasi sesudahnya, terapi dengan amino-bifosfonat parenteral
harus dipertimbangkan.
Pencegahan dan terapi GMT pasca transplantasi ginjal meliputi:

Pencegahan umum
a. Mengatur terapi imunosupresan
- Gunakan dosis steroid serendah mungkin dan pertimbangkan terapi selang
-

sehari (alternate day)


Gunakan
dosis
steroid

sesuai

protokol

transplantasi

dengan

mempertimbangkan efek samping terhadap tulang


b. Bila diuretika diperlukan sebaiknya gunakan golongan thiazide dan hindari
diuretika loop
Perbaiki fungsi gonad dan tiroid
Hentikan merokok
Olahraga
Pengobatan hiperparatiroid persisten
- Tatalaksana kalsium secara optimal
- Pemberian vitamin D secara optimal
- Gunakan calcimimetic bila memungkinkan
- Paratiroidektomi
g.
Pengobatan penyebab lain dari hiperkalsemia
h.
Pengobatan hipofosfatemia persisten
i.
Pengobatan hipomagnesemia persisten
Terapi vitamin D
a. Kolekalsiferol atau ergokalsiferol 600 Unit sampai 1200 Unit per hari
b. Senyawa vitamin D aktif
- Alfacalsidol
- Calcitriol
- Doxercalciferol
- Paricalcitol
Suplementasi kalsium
- Asupan kalsium 1000 mg per hari
- Wanita menopause 1500 mg per hari
Bifosfonat
c.
d.
e.
f.

a.
-

Penggunaan bifosfonat dipertimbangkan:


Sebagai pengobatan osteopenia berat atau fraktur pada pasien dengan LFG

stabil > 50-60 ml/menit/1,73 m2.


- Pengobatan osteoporosis pada menopause
- Sebagai profilaksis (data yang mendukung masih belum cukup)
b. Bifosfonat harus dihindarkan apabila:
- LFG < 40 ml/menit/m2
- Hiperparatiroid sekunder atau tersier
- Hipervitaminosis D
- Pada wanita pre menopause
6. Asidosis metabolik pada GMT-PGK
Pada keadaan asidosis metabolik tulang akan melakukan mekanisme buffer. Hal
ini akan memperberat gangguan mineral dan tulang. Pada PGK stadium 3-5 kadar
HCO3 harus diukur. Frekuensi pengukuran kadar HCO 3 serum dapat dilihat pada
tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12. Frekuensi pengukuran kadar HCO3
LFG (ml/menit/1,73 m2)

Frekuensi pengukuran

30-59

tiap 12 bulan

15-29

tiap 3 bulan

< 15

tiap 3 bulan

Tahap PGK

Dialisis

tiap bulan

Atasi asidosis metabolik dengan pemberian bikarbonat, target HCO3 > 22 mEq/l.
7. Intoksikasi aluminium pada GMT-PGK
Untuk

mencegah

toksisitas

aluminium,

pemberian

preparat

mengandung

aluminium secara rutin dihindari, kadar aluminium dalam dialisat hendaknya < 10
g/l. Perlu dilakukan pemeriksaan aluminium serum setiap tahun, dan setiap 3
bulan pada yang memakai preparat aluminium. Kadar normal aluminium serum <
20 g/l.
Bila didapati kenaikan aluminium serum (60-100 g/l) atau ada gejala dan tanda
keracunan aluminium, atau sebelum operasi paratiroid, bila pasien pernah
terpapar aluminium, perlu dilakukan uji deferoxamine (DFO).
Untuk menghindari neurotoksisitas yang diinduksi DFO pada pasien dengan
aluminium serum > 200 g/l, DFO ditunda sampai pasien selesai menjalani
hemodialisis intensif (6 hari dalam seminggu) dengan membran dialisis high-flux

dan dengan kandungan aluminium dalam dialisat < 5 g/l, sampai kadar
aluminium serum sebelum dialisis mencapai < 200 g/l.
Uji DFO dilakukan dengan memberi infus DFO 5 mg/kgBB pada jam terakhir
dialisis, setelah terlebih dahulu mengambil darah untuk pemeriksaan aluminium.
Aluminium diperiksa 2 hari kemudian, sebelum dialisis berikutnya. Uji dianggap
positif bila ada kenaikan kadar aluminium 50 g/l.
Keberadaan penyakit tulang aluminium dapat diprediksi bila terjadi kenaikan kadar
aluminium serum setelah pemberian DFO digabung dengan kadar HPTi plasma <
150 pg/ml (16,5 pmol/l). Baku emas diagnosis penyakit tulang aluminium adalah
biopsi tulang.
Pada penyakit tulang aluminium biopsi tulang menunjukkan aluminium-staining
pada permukaan (15-25%). Hasil yang sama sering dijumpai pada penyakit tulang
adinamik atau osteomalasia.

HEMODIALISIS
1. Definisi

Hemodialisis adalah suatu proses memisahkan sisa metabolisme yang tertimbun


dalam darah dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit juga asam basa melalui
sirkulasi ekstrakorporeal dengan menggunakan ginjal buatan. Beberapa aspek yang
mempunyai hubungan erat dengan masalah keperawatan antara lain : Ginjal buatan,
Dialisat, Pengolahan Air, Akses Darah, Antikoagulan, tekhnik Hemodialisa, Perawatan
Pasien Hemodialisa, Komplikasi akut hemodialisa dan pengelolaannya, peranan perawat
yang bekerja di luar HD (ruang perawatan biasa)
a. Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh,
bila fungsi kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit, mengeluarkan racun-racun atau toksin yang merupakan
komplikasi dari Gagal Ginjal. Sedangkan fungsi hormonal/ endokrin tidak dapat
diambil alih oleh ginjal buatan. Dengan demikian ginjal buatan hanya berfungsi
sekitar 70-80 % saja dari ginjal alami yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
- Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena darah dalam
ginjal ini sangat banyak sekitar 1000 cc, disamping cara menyiapkannya sangat
sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
- Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai karena
volume darah dalam ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc, sehingga bila
terjadi kebocoran pada ginjal buatan darah yang terbuang banyak. Ginjal ini
juga memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya juga memerlukan waktu
yang lama.
- Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam ginjal
buatan sangat sedikit sekitar 60-80 cc, disamping cara menyiapkannya mudah
dan cepat.
b. Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya mempunyai
tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
-

Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme


Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa

Tabel perbandingan darah dan dialisat :


Komponen elektrolit
Natrium/sodium

Darah
136mEq/L

Dialisat
134mEq/L

Kalium/potassium
Kalsium
Chloride
Magnesium

4,6mEq/L
4,5mEq/L
106mEq/L
1,6mEq/L

2,6mEq/L
2,5mEq/L
106mEq/L
1,5mEq/L

Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat :


-

Batch Recirculating
Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah diolah dengan perbandingan
1 : 34 hingga 120 L dimasukan dalam tangki air kemudian mengalirkannya

ke ginjal buatan dengan kecepatan 500 600 cc/menit


Batch Recirculating/single pas
Hampir sama dengan cara batch recirculating hanya sebagian langsung

buang.
Proportioning Single pas
Air yang sudah diolah dan dialisat pekat dicampus secara konstan oleh
porpropotioning dari mesin cuci darah dengan perbandingan air : dialisat =
34 : 1 cairan yang sudah dicampur tersebut dialirkan keginjal buatan secara
langsung dan langsung dibuang, sedangkan kecepatan aliran 400 600

cc/menit
c. Pengolahan air/ Water Treatment
Tujuan :
a. Mencegah infeksi nosokongial (sepsis
b. Mencegah intoksikasi (trace element).
Air untuk mencampur dialisat pekat tidak perlu steril tetapi seharusnya tidak
mengandung zat/elektrolit, mikroorganisme dan benda-benda asing lainnya. Pada
kenyataannya kandungan air biasanya cukup bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh
letak geografis jenis sumber air, musim, sistim instalasi dan penjernihan air.
d. Akses Darah
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6 jam/minggu pada
pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan menjalani kronik
hemodialisa sekitar 6 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan aliran darah yang
besar ( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2jam sangatlah sulit. Biasannya pada
pasien akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran
darah yang besar. Pada pasien dengan program HD berkala yaitu 2 -3
kali/minggu harus disiapkan penyambungan pembuluha darah arteri dan vena.
Ada 2 macam cara :
- Pintas (shunt) eksternal
Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri langsung ke vena yang
berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan dengan konektor sehingga
pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri dihubungkan ke slang yang
mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula vena untuk memasukkan darah
kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang sering terjadi, seperti pembekuan

darah infeksi, oleh karena itu pemakaian pintas ini biasanya dibatasi lama
pamakaiannya, paling lama 6 bulan. Hal ini jarang dilakukan lagi.
-

Fistula Arteriovenisa Interna


Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali dibuat oleh Brescia dan Cimino
pada tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan vena yang berdekatan
dengan cara operatif, biasanya dilakukan pada daerah tangan. Aliran dan
tekanan darah dalam vena akan meningkat sehingga menyebabkan pelebaran
lumen vena dan arterialisasi vena secara perlahan-lahan. Dengan demikian
memudahkan penusukan pembuluh darah sesuai dengan yang diharapkan.

Antikoagulan
Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar tidak terjadi
pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin.

Pemakaian heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :


1) Heparinisasi sistemik
Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil. Bolus heparin 1000 5000
unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak diberikan lagi.
2) Heparinisasi regional(sedang haid) bolus heparin tetap diberikan sebanyak
1000 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan dan protamine
sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk kedalam tubuh penderita.
Jadi heparin diberikan pada sirkulasi ekstrakorporeal saja.
3) Heparinisasi minimal
Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan karena penderita cenderung
berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
e. Teknik hemodialisa
Sebelum berbicara tentang tekhnik hemodialisa terlebih dahulu menjelaskan
beberapa istilah :
- Sirkulasi ekstrakorporeal
- Sirkulasi diluar tubuh selama terjadi hemodialisa.
- Sirkulasi sistemik
- Sirkulasi dalam tubuh
- Selaput semipermiabel
- Selaput yang sangat tipis mempunyai pori-pori halus, hanya dapa dilihat
-

dengan mikroskop.
Blood pump (Roller Pump)
Pompa mesin hemodialisa yang gunanya mengalirkan darah dari sirkulasi
sistemik ke sirkulasi ekstrakorporea dan kembali lagi ke sirkulasi sistemik

selama proses hemodialisa.


Blood Lines, selang darah yang mengalirkan darah dari tubuh penderita ke
dyalizer disebut arteria blood lines/inlet, sedangkan selang yang mengalirkan
darah dari dyalizer ke tubuh penderita disebut venous blood line/outlet.

Persiapan mesin dan perangkat HD


a.
b.
c.
d.

Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan


Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan tempat

dialisat yang telah disiapkan


e. Tunggu sampai lampu hijau
f. Tes conductivity dan temperatur
g. Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin
h.
i.
j.
k.
l.

sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth


Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pas
Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak2
Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (primin)
Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu
jalankan blood pump (sirkulasi tertutup)

Persiapan Penderita :
Indikasi hemodialisa
a. Segera/ indikasi mutlak : over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi, oliguri
berat atau anuria, asidosis, hipertensi maligma.
b. Dini/ profilaksis : gejala uremia (mual muntah) perubahan mental, penyakit
tulang, gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan kualitas hidup.
Bila penderita baru yang datang di ruang HD, sebelum kita melakukan HD terlebih
dahulu periksa kembali hasil-hasil pemeriksaan yang penting (Hb, hematokrit, ureum,
kreatinin, dan HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan tindak lanjut sperlu untuk
menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD
a. Timbang dan catat BB
b. Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan
kelebihan cairan)
c. Tentukan akses darah yang akan ditusuk.
d. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70%
kemudian ditutup pakai duk steril.
e. Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :spuit 2,5cc sebanyak 1,
f.
g.
h.
i.

spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steri
Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonestdan heparin.
Pakai masker dan sarung tangan steril.
Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusu
Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000unit pada inlet

sedangkan outlet sebanyak 1000 unit.


j. Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan.
k. Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menitkemudian dinaikkan
l.

perlahan sampai 200 ml/menit.


Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan.

m. Segera ukur kemabali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang
digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
Perawatan pasien Hemodialisa
Terbagi 3 yaitu ;
a.

Perawatan sebelum hemodialisa


Mempersiapkan perangkat HD
Mempersiapkan mesin HD
Mempersiapkan cara pemberian heparin
Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor BioPsikososial,

agar penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD


Mempersiapkan akses darah
Menimbang berat bada, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
Menentukan berat badan kering
Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b. Perawatan Selama Hemodialisa
Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu penderita dan mesin
HD
1) Observasi terhadap pasien HD
Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dalam status
Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya dalam

2)

status
Akses darah dihentikan
Observasi terhadap mesin HD
Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.

Perawatan sesudah Hemodialisa


Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD pada
1)

pasien dan mesin HD


Cara mengakhiri HD pada pasien

Ukur tekanan darah nadi sebelum slang inlet dicabut


Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal sebanyak
50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam sirkulasi

ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik


Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga darah
berhenti dari luka tusukan
Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
Timbang berat badan lalu dicatat

Kirimkan darah ke laboratorium


2)

Cara mengakhiri mesin HD


Kembalikan tekanan negative, tekanan positif, ke posisi nol
Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat lalu
kembalikan ke Hansen connector
Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride pekat)

sebanyak 250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc


Formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan kembali.
9. Pengkajian
Pengkajian Pre HD
a. Riwayat penyakit, tahap penyakit
b. Usia
c. Keseimbangan cairan, elektrolit
d. Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
e. Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
f. Respon terhadap dialysis sebelumnya
g. Status emosional
h. Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
i. Sirkuit pembuluh darah.
1. Pengkajian Post HD
a. Tekanan darah: hipotensi
b. Keluhan: pusing, palpitasi
c. Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa:
Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan
untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih
bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By
Mosby-Year book.Inc,Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia, USA
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications,
Philadelphia, USA
Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilit II, Edisi III, BP FKUI Jakarta.
Hundak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC.
Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta :
EGC
Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta:
EGC; 2000
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Suwitra, K., Prodjosudjadi, W., Lubis, H. and Susalit, E. 2009. Konsensus Gangguan
Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik (GMT-PGK).PERNEFRI.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Вам также может понравиться