Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
sebaliknya usaha dukungan untuk mengembalikan anak ke komunitasnya sangat rendah (Save
The Children Uk, 2004).
Makanya tahun 2001 organisasi Save The Children dari Inggris bekerja sama dengan
LSM local Philipina, sehingga pada tahun 2003 telah ada 2000 orang anak didiversikan dari
sistem peradilan pidana formal.
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada
pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan
melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus
anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum
sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian
terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate
treatment) (Walker, 1993; 1-2).
Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu: (1) Pelaksanaan kontrol secara sosial
(social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung
jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau
peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak
diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. (2) Pelayanan sosial
oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk
mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan
keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau
pelayanan. (3) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative
justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung
jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban
pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk
bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku (Kratcoski, 2004; 160).
PELAKSANAAN DIVERSI
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap
jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.
Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak
hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi.
Pelaksanaan diversi di New Zealand dapat menjadi gambaran keberhasilan penerapan
fungsi aparat penegak hukum dalam menangani masalah anak yang terlibat kasus pidana. Di
New Zealand sejarah diversi dimulai dengan kesuksesan family group conferencing yaitu
perundingan antara pihak korban dan pelaku dalam penyelesaian tindak pidana di masyarakat,
yang akhirnya dilakukan reformasi terhadap hukum peradilan anak pada tahun 1989 (Morris
and Maxwell., 2001; 114).
Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi
secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan
perlindungan anak dan diversi pada saat itu dapat kita lihat pada tabel berikut.
Tabel Restrukturisasi Peradilan Pidana Setelah Reformasi Hukum (Kenneht Folk., 2003; 3)
Proses
Kebijakan
Penyebab Kejahatan
Tindakan pencegahan Delikuensi
Tindak Pidana Oleh Anak
Dekriminalisasi
Ditangkap Polisi
Diversi
Pengadilan
Proses Peradilan Anak
Penjara
Deinstitutionalisation/Diskresi
98
99
dilihat dalam Children Protection and Young Offender Act 1979 di Australia Selatan dan
Childrens Criminal Proceedings Act 1987, 56 (a) di New South Wales yang berisi:
childrens have right and freedom before the law equal to those enjoyed by adults and
in penticipate in the process,
Dengan adanya ketentuan hukum tersebut masyarakat cendrung untuk memakai cara
lain seperti Family Group Confereces yang merupakan masukan baru dalam diversi. Menurut
Wundersitz inspirasi besar mengenai perubahan tersebut dengan adanya aturan peradilan anak
di New Zealand yang berlandaskan;
. Unless the public interst requires otherwise, criminal proceedings should not be
instituted against a child or young person if there is an alternatives means of dealing with
the mater terjemahan penulis: kecuali masyarakat menghendaki lain, maka model proses
pidana tidak harus di kenakan terhadap seorang anak atau orang muda jika masih ada hal
alternatif yang bisa lebih menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Hal senada juga terdapat dalam aturan butir 11 dari United Nations Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules"), yang
menyebutkan bahwa untuk kasus anak tidak seharusnya dilimpahkan ke pengadilan tapi lebih
kepada kebijakan diskresi dengan sanksi lain (United Nations Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules"), G.A. res. 40/33, annex, 40 U.N.
GAOR Supp. (No. 53) at 207, U.N. Doc. A/40/53 (1985) dikutip dari http://www1.umn.edu/
humanrts/instree/j3unsmr. htm.)
Di negara bagian Tasmania Australia Undang-undang Youth Justice Act 1997
mengizinkan polisi melakukan diskresi langsung terhadap pelaku anak dengan memberikan
peringatan informal (nasihat) (Pasal 8), peringatan formal (tertulis) (Pasal 10), peringatan
melalui pertemuan, pertemuan dengan anggota masyarakat conferencing melalui proses
diversi (Pasal 13-19) atau diteruskan ke peradilan. Pertemuan yang dibuat polisi sama dengan
model wagga wagga (Wagga wagga adalah model pertemuan untuk menyelesaikan kasus oleh
bangsa Maori, suku asli di benua Australia. Proses ini juga terdapat dalam pembahasan
mengenai restorative justice) dan hasilnya dinyatakan sebagai peringatan resmi pihak polisi
(Folk, 2003; 14). Ketika petugas polisi memberikan peringatan resmi akan ada pilihan yang
diberikan terhadap pelaku anak, seperti membayar kompensasi, membuat kerja pertanggung
jawaban, melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat selama 35 jam untuk keperluan
korbannya melalui lembaga sosial atau lainnya atau tindakan lain yang tepat (Pasal 10 (2)).
Pilihan-pilihan itu diputuskan melalui rapat para petugas polisi dan juga masyarakat.
Polisi dapat juga menyerahkan pelaku anak kepada penanganan formal jika mereka
yakin bahwa permasalahan yang terjadi cukup serius seperti pembunuhan, percobaan
pembunuhan, pelanggaran konsumsi alkohol dan keselamatan jalan raya maka pengadilan
formal lebih sering dilakukan. Pelanggaran selain itu diputuskan dengan diskresi oleh polisi.
Biasanya peringatan formal diberikan oleh anggota polisi yang dipercaya menangani
anak. Peringatan diberikan dengan menghadirkan orang tua anak di kantor polisi atau polisi
langsung datang ke rumah anak tersebut. Berikutnya dipertimbangkan secara restorative justice
apakah lebih berat kerusakan dan kerugian dibanding sisi pelanggaran hukumannya. Peringatan
yang terperinci terhadap pelaku dicatat dalam catatan pelaku (arsip) yang mana catatan ini akan
dilakukan penghapusan setelah 5 tahun. Jika pelanggaran dilakukan pengulangan sebanyak dua
kali akan di Knoxlink Program, setelah itu jika masih mengulangi akan dikirim ke pengadilan
untuk diproses secara pidana.
Di Negara bagian Northern Territory Australia peringatan formal maupun
penyelesaian dengan perundingan telah diterapkan oleh pemerintah menjadi ketetapan hukum.
100
penangkapan diberi hak untuk memegang peranan secara tersendiri dalam menentukan
kebijakannya sendiri melakukan tindakan diversi.
Ada 2 kelompok pemegang kebijakan di Northamptenshire yaitu pertama petugas
tahanan yang membuat kebijakan pertama dan yang kedua pelaksana proses (process makers)
yang menerima kasus dari petugas tahanan untuk diteliti. Pelaksanaan proses didasarkan atas
dukungan administrasi masing-masing bagian di lembaga kepolisian yang mempunyai
tanggung jawab masing-masing.
Menurut Kay Pranis, dalam rangka memberikan pemahaman mengenai jalannya
proses restorative justice di area pilot projek ada beberapa langkah untuk membangun
keterlibatan masyarakat dalam mengambil inisiatif pelaksanaan restorative justice. Langkahlangkah tersebut seperti (Kay Pranis, 1998; 14): (1) Pelatihan dan informasi tentang restorative
justice dan model apa yang dapat diterapkan dalam masyarakat. (2) Memberikan pendidikan
secara mandiri kepada aparat pelaksana restorative justice tentang kondisi masyarakat tempat
pilot projek tersebut dilakukan. (3) Mengidentifikasi pemimpin-pemimpin yang
berkemampuan dan berpengaruh dalam masyarakat sekitarnya melalui informasi-informasi
atau catatan-catatan mengenai orang-orang tersebut. (4) Memahami peran kelompok
masyarakat yang memungkinkan untuk diajak bekerja sama. (5) Menjelaskan kepada
masyarakat tujuan yang ingin diambil dalam pelaksanaan restorative justice secara jelas dan
terbuka pada masyarakat. Penjelasan yang disampaikan berupa pentingnya restorative justice,
apa yang akan dilaksanakan dan keuntungan apa yang kita dapat dari restorative justice dan
lain-lain. (6) Merangkul pendukung pontensial dalam sistem peradilan pidana dan memberikan
pendidikan terhadap para pemimpinnya tentang restorative justice. (7) Kerja sama yang baik
dengan pemimpin masyarakat untuk menjelajahi keinginan yang ada dan berkembang dan
mengundang partisipasi masyarakat dalam setiap program yang dijalankan. (8) Setiap
perekrutan mediator diusahakan untuk melibatkan anggota masyarakat. (9) Tetap melakukan
pertukaran informasi dengan anggota masyarakat dan menampung pendapatnya terutama dari
komponen kelompok masyarakat yang tidak selamanya terlibat dalam pengambilan keputusan
saat pembuatan restorative justice. (10) Berusaha semaksimal mungkin melibatkan anggota
masyarakat dalam setiap proses terutama pihak yang diperlukan dalam proses seperti korban,
pelaku organisasi pemuda, organisasi mesjid atau oraganisasi lainnya. (11) Menyediakan
training dasar mengenai keadilan, restorative justice penyelesaian konflik dan pembangunan
lingkungan masyarakat kepada staf sistem peradilan pidana dan anggota masyarakat serta
membuat acuan sistem dan tata tertib pelaksanaannya. (12) Menjelaskan tanggung jawab
masing-masing pihak yang terlibat dalam pelaksanaan restorative justice kepada masyarakat.
Di Indonesia dalam sistem peradilan pidana ada empat komponen sub sistem yaitu
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat sub
sistem ini harus bekerja sama secara terpadu.
Polisi sebagai gerbang pertama yang menangani anak yang berkonflik dengan hukum
menjadi penentu apakah seorang anak akan dilanjutkan ke proses peradilan atau tindakan
informal lainnya. Untuk tindak pidana yang serius seperti pembunuhan, pemerkosaan,
pencurian dengan kekerasan, polisi melanjutkan proses ke pengadilan atau melakukan
penahanan. Penahanan yang dilakukan terhadap anak tetap berpedoman kepada aturan hukum
mengenai hak anak yang tercantum dalam aturan yang ada mengenai hak anak yaitu konvensi
hak anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Hak
Asasi Manusia dan Beijing Rules. Anak dibedakan tempat penahannya dengan orang dewasa
pemenuhan fasilitas yang melindungi perkembangan anak, pendidikan, hobi, akses dengan
keluarga, perlindungan hak propesi anak, pelindungan dari penyiksaan dan perlakuan fisik dan
mental dan proses peradilan yang singkat dan cepat.
102
peradilan pidana anak. Untuk itu dalam memahami dan melaksanakan kedua konsep tersebut
dilakukan dengan memberikan pemahaman dan pengertian secara kontinu agar tumbuh
pemahaman tentang perlindungan terhadap anak. Karena kurangnya pemahanan terhadap
kedua konsep tersebut sehingga dalam pelaksanaanya penuntut umum masih mempunyai
keinginan untuk melanjutkan proses penuntutan terhadap anak ke proses lebih lanjut yaitu
proses pengadilan. Berikut pendapat informan penuntut umum akan melakukan tuntutan
terhadap anak jika tersangka pelaku anak menurut penilaian melakukan tindak pidana yang
berat.
Di Amerika Serikat penuntutan terhadap anak memilih kebijakan penempatan
disposisi dalam kasus peradilan anak yang memperhatikan keinginan dari pelaku, korban dan
masyarakat. Dalam pembuatan kebijakan disposisi ini pengadilan menggunakan pendekatan
kesetaraan (balanced) yaitubertanya kepada pelaku apa yang menjadi keinginannya untuk
mengurangi kecendrungannya untuk mengulangi tindakan pidana kembali sebagai contoh
penuntut bertanya apa yang dapat dilakukannya untuk pelaku, apa yang menjadi keinginan
korban untuk merasakan perbaikan atas kerugiannya, apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat/keinginan masyarakat untuk terjaga dari tindakan pelaku, selanjutya konsep ini
disebut dengan konsep restorative justice.
Berdasarkan undang-undang Repubik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 10 ayat 2 yang berbunyi badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Meliter, dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Pasal 15 ayat 1
disebutkan yang dimaksud dengan Pengadilan Khusus dalam ketentuan ini antara lain adalah
Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, dan pengadilan
Pajak di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dengan demikian Pengadilan Anak berada
dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pengadilan anak mempunyai fungsi khusus, kekhususan itu secara normatif
dicerminkan hakim yang dapat menyidangkan perkara anak diangkat secara khusus artinya
tidak semua hakim dapat mengadili perkara anak, kemudian kekhususan juga terletak acara
persidangan (hukum acaranya), hakim tidak boleh pakai toga, jaksa tidak boleh memakai
pakaian dinas. Pemeriksaan anak di persidangan diwajibkan untuk didampingi oleh
pendamping, pendamping itu bukan pengacara melainkan lembaga dan proses persidangan
tertutup serta pemeriksaan dengan hakim tunggal.
Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 13 Agustus 2004 telah membuat ruang
khusus untuk persidangan perkara anak dan ruang tunggu khusus anak. Pembuatan ruang
khusus untuk anak tersebut didasari suatu kenyataan bahwa selama ini anak yang berkonflik
dengan hukum disidangkan di ruang sidang formal tempat persidangan umum dan ruang
tunggu selama menunggu proses persidangan disampurkan dengan orang dewasa. Ruang
tunggu ini berjeruji besi sebagai tempat tahanan dewasa.
Ide untuk membuat ruang khusus untuk persidangan anak merupakan hasil diskusi
yang diadakan oleh UNICEF pada tahun 2004 di Jakarta. Selanjutnya ketua Pengadilan Negeri
Bandung berkeinginan mewujudkan hasil diskusi yang diadakan dengan UNICEF tersebut
dalam bentuk nyata. Proses untuk mewujudkan ruang sidang anak berkat bantuan dari
pemerintah kota Bandung, UNICEF dan pemerhati masalah-masalah anak DR Ignatius Pohan,
Dra Rinni Sutiarny, Psi sebagai psikologi anak dan Ir Anton Yuliarto Sigit sebagai Desai
Interior dan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat (LPA Jawa Barat).
Lembaga pengadilan selaku institusi negara penegak hukum yang bertugas menerima,
memeriksa dan memutus perkara. Pengadilan merupakan institusi ketiga (setelah kepolisian
dan kejaksaan) yang mengadili anak berkonflik dengan hukum. Untuk itu diperlukan
104
Marni Emmy Mustafa. 2005. Prosedur Khusus Peduli Anak dan Upaya Diversi di Pengadilan
Negeri Bandung, Seminar Pedoman Diversi untuk Perlindungan bagi anakyang
Berhadapan dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.
Nicholas M.C. Bala dan Rebecca Jaremko Bromwich Chapter 1, Introduction: An International
Perspective On Youth Justice dalam buku Nicholas M.C. Bala, et al. 2002. Juvenile
Justice System an International Comparison of Problem and Solutions. Toronto:
Eduacational Publishing, Inc.
Office of the High Commissioner for Human Rights. 1985. United Nations Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules"), G.A. res.
40/33, annex, 40 U.N. GAOR Supp. (No. 53) at 207, U.N. Doc. A/40/53.
Peter C. Kratcoski. 2004. Correctional Counseling and Treatment. USA: Waveland Press Inc.
Randall G. Shelden. 1997. Detention Diversion Advocacy: An Evaluation, Washington DC
U.S. Department of Justice.
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The
Beijing Rules"), G.A. res. 40/33, annex, 40 U.N. GAOR Supp. (No. 53) at 207, U.N.
Doc. A/40/53 (1985).
Walker. 1993. Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice 1950-1990.
New York: Oxford University Press.
106
107
Dr. Marlina, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sriwijaya tahun 1998,
memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana USU tahun 2001 dan
memperoleh gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana USU tahun 2006, Dosen Fakultas Hukum
USU.
108