Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syariah
Oleh:
AKHMAD FAJRIN SHIDIQ
NIM: 72311006
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2011
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks.
Kpd Yth.
Hal
: Naskah Skripsi
A.n. Sdr. Akhmad Fajrin Shidiq
NIM
: 072311006
Semarang,
Januari 2012
Pembimbing I
Pembimbing II
ii
iii
Motto
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.1
iv
PERSEMBAHAN
vi
vii
DEKLARASI
Semarang,
Januari 2012
Deklarator,
viii
ABSTRAK
Penelitian ini didasari adanya pendapat Yusuf Qardhwi yang
memasukkan para tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu sabil di
masa sekarang. Menurut beliau, tunawisma masuk ke dalam ibnu sabil karena
para tunawisma merupakan anak dari jalanan, karena ayah dan ibu mereka adalah
jalan. Uniknya, para tunawisma tersebut dapat diberi zakat akibat sifat ibnu sabil
dan sifat faqir. Dari pemberian akibat sifat ibnu sabil, tunawisma dapat diberikan
sesuatu yang dapat mengeluarkan mereka dari jalanan, semisal memberikan
tempat tinggal yang layak. Sedangkan dari akibat sifat faqir, maka mereka dapat
diberikan sesuatu yang dapat memenuhi atau mencukupi penghidupannya tanpa
berlebihan atau kekurangan. Padahal dalam konteks pendapat ulama, pemberian
kepada ibnu sabil hanya sebatas pada kebutuhan yang diperlukan oleh ibnu sabil
dalam perjalanan. Oleh sebab itu, perlu kiranya diadakan penelitian terkait dengan
pendapat Yusuf Qardhwi tentang tunawisma sebagai penerima zakat dari
kelompok ibnu sabil.
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah mengapa
Yusuf Qardhwi menjadikan tunawisma sebagai penerima dari kelompok ibnu
sabil dan bagaimana istinbath hukum yang dilakukan oleh beliau dalam
pendapatnya tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Sumber bahan primer
dalam penelitian ini adalah pendapat Yusuf Qardhwi yang tertulis dalam Kitab
Fiqh al-Zakat. Sedangkan data sekundernya meliputi data-data yang berhubungan
dengan teori ibnu sabil dan tunawisma. Analisis penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis deskripsi.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah pendapat Yusuf Qardhwi
mengenai masuknya tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu sabil
kurang sesuai dan kurang dapat diterima. Penyebabnya di antaranya adalah
sebagai berikut: a) Esensi dan sifat tunawisma tidak memenuhi kriteria ibnu sabil.
b) Pemberian zakat yang disarankan Yusuf Qardhwi lebih cenderung pada
penghilangan kefakiran daripada menghilangkan kebutuhan bekal. Meski
demikian, pendapat Yusuf Qardhwi akan dapat dijadikan sebagai pengembangan
fiqh terutama terkait dengan tunawisma sebagai penerima zakat. Dari pendapat
tersebut dapat dibuat pengembangan klasifikasi tunawisma sebagai penerima
zakat sebagai berikut: a) Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan masih
memiliki sanak saudara, maka mereka dapat disebut sebagai ibnu sabil dan berhak
menerima zakat berupa biaya kepulangan ke daerah asalnya. b) Bagi tunawisma
yang terlantar di jalanan dan tidak memiliki sanak saudara lagi, maka mereka
dapat dimasukkan ke dalam penerima zakat dari kelompok fakir dan miskin. Oleh
sebab itu dapat diberikan zakat berupa pemberian rumah tinggal dan atau
kebutuhan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Istinbath
hukum yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi hanya mendasarkan pada kesamaan
keadaan yang dialami oleh tunawisma dengan makna harfiah ibnu sabil.
Sedangkan esensi sifat yang terkandung dalam ibnu sabil dan tunawisma tidak
dijadikan sebagai acuan dalam membandingkan penentuan status tunawisma yang
berdampak pada masuknya tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil sebagai
penerima zakat.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tiada kata yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Analisis Pendapat Yusuf
Qardhwi Tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok
Ibnu Sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat. Disusun sebagai kelengkapan guna
memenuhi sebagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat
berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. H. Imam Yahya, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah, yang telah
memberi kebijakan teknis di tingkat fakultas.
2. Drs. H. Abdul Ghofur, M. Ag. dan Dra. Hj. Nur Huda, M. Ag. selaku
pembimbing, yang dengan penuh kesabaran dan keteladanan telah
berkenan meluangkan waktu dan memberikan pemikirannya untuk
Penyusun,
xi
DAFTAR ISI
ii
vi
vii
ix
xi
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................
F. Sistematika Penulisan..................................................
12
15
18
19
20
B. Tunawisma
1. Pengertian dan Keadaan Tunawisma di Indonesia .
25
28
xii
BAB III
PENDAPAT
YUSUF
TUNAWISMA
QARDHWI
SEBAGAI
TENTANG
PENERIMA
ZAKAT
Yusuf
Qardhwi
tentang
30
Tunawisma
34
Hukum
Yusuf
Sebagai
Qardhwi
Penerima
Zakat
tentang
Dari
ANALISIS
PENDAPAT
YUSUF
34
39
QARDHWI
Pendapat
Yusuf
Qardhwi
tentang
45
57
Penutup
A. Kesimpulan .................................................................
64
B. Saran-saran .................................................................
65
C. Penutup .......................................................................
66
xiii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIOGRAFI PENULIS
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 1
Secara bahasa, istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yakni ibnu dan
sabil. Kata ibnu memiliki arti anak atau keturunan dari, dan kata sabil
memiliki arti jalan.2 Secara istilah, dari dua akar kata tersebut kemudian
diartikan sebagai orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. 3 Para fuqaha
selama ini memberikan arti dasar dari ibnu sabil dengan musafir yang
kehabisan bekal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Jawad
1
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. ke-2, 2002
hlm. 193.
5
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat, Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997, hlm.
84
6
Menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, orang kaya yang dapat menerima zakat
sebagai ibnu sabil adalah para mujahid. Meskipun mereka kaya di negeri asalnya, karena adanya
keterpuutusan dengan harta bendanya, maka mereka berhak menerima zakat sebagai ibnu sabil.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Yusuf Qardhwi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk.,
Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993, hlm. 656-657.
Pendapat ini sebagaimana dinyatakan oleh ulama dari mazhab Syafii sebagaimana
dikutip dalam ibid., hlm. 655.
menuju tempat
kemashlahatan.
Memang ada orang yang berpeluang menjadi tunawisma akibat dari
kehabisan bekal dalam perjalanan. Namun tidak sedikit pula orang yang
menyengajakan dirinya untuk menjadi tunawisma demi mendapatkan sedekah
dari orang lain. Jika hal ini dikembalikan pada pendapat Yusuf Qardhwi,
maka akan banyak orang yang menjadikan dirinya tunawisma di daerah lain
agar dapat memperoleh zakat sebagai ibnu sabil. Selain itu, pada hakekat
Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat, Beirut: Daar al-Marifat, t.th., hlm. 684-685.
umumnya, aspek yang melekat pada para tunawisma bukanlah dari akibat
perjalanan mereka namun lebih dari keadaan ekonomi mereka yang
menyebabkan mereka hidup di jalanan. Kalaupun mereka melakukan
perjalanan, hal itu tidak lain untuk mencari sedekah dan bukan merupakan
sebuah pekerjaan. Idealnya, keadaan yang dialami oleh para tunawisma
tersebut menjadikan mereka sebagai penerima zakat dari kelompok fakir
miskin dan bukan ibnu sabil.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat Yusuf Qardhwi yang
memasukkan tunawisma ke dalam ashnaf ibnu sabil sebagai penerima zakat
merupakan suatu pendapat yang menarik untuk ditelusuri lebih mendalam.
Penelusuran tersebut berhubungan dengan proses istinbath hukum Yusuf
Qardhwi serta pandangan Islam terhadap pendapat Yusuf Qardhwi. Dari
proses ini akan dapat diperoleh hasil langkah-langkah penetapan hukum Yusuf
Qardhwi dan tinjauan Islam mengenai pendapat Yusuf Qardhwi tersebut.
Penelitian ini akan diberi judul
Fakultas
Syariah
UIN
Sunan
Kalijaga
Yogyakarta
ini
Studi Analisis Terhadap Pemikiran Yusuf Al- Qardhwi Tentang AlMu'allafah Qulubuhum Sebagai Salah Satu Mustahik Zakat. Skripsi yang
ditulis oleh Rifkiati, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mendeskripsikan
pendapat hasil ijtihad kontemporer yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), dan bersifat
deskriptif analitik. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan,
yang diperoleh melalui sumber data primer dan sekunder. Adapun pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative dan
pendekatan sosio histories. Adapun metode yang digunakan dalam analisis
data ini adalah metode induktif. Konsep Muallafah Qulubuhum yang
ditawarkan oleh al- Qardhwi jika dipandang dari konteks ke-Indonesiaan
dapat dijabarkan sebagai berikut, untuk golongan muallaf yang muslim maka
dana zakat dapat dialokasikan untuk kepentingan pembinaan dari orang-orang
yang baru memeluk Islam, pembinaan dan peningkatan pengamalan
keagamaan demi kemajuan umat Islam sendiri, hal ini senada dengan pendapat
Masdar F. Masudi yang berbicara masalah muallaf dalam konteks keIndonesia-an. Sedangkan untuk golongan muallaf yang masih kafir dengan
segala kriteria yang ditawarkan oleh al- Qardhwi, di Indonesia belum bisa
diterapkan, hal ini untuk memfokuskan pada pembinaan dari umat Islam
sendiri, atau jika dana zakat untuk golongan muallaf dikembalikan untuk
kepentingan umat sendiri.
10
a. Data primer, yakni data yang berkaitan dan diperoleh langsung dari
sumber data tersebut.9 Dalam penelitian ini, data primernya adalah
kitab Fiqh al-Zakat karya Yusuf Qardhwi yang memuat pemikiran
beliau tentang tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu
sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat.
b. Data sekunder, yakni data yang dapat menunjang data primer dan
diperoleh tidak dari sumber primer.10 Data sekunder dalam penelitian
ini adalah buku, majalah, maupun arsip yang membahas tentang zakat
dan khususnya yang berhubungan dengan ibnu sabil.
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian literer, maka metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan. Pengertian
dari metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data dengan
mencari bahan dalam buku-buku atau pustaka-pustaka tertentu. Dalam
penelitian ini, obyek kepustakaan meliputi seluruh buku atau jurnal yang
membahas tentang ibnu sabil serta kitab Fiqh al-Zakat sebagai sumber
primer penelitian.
Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:
a. Pengumpulan sumber data yang berkaitan dengan pendapat Yusuf
Qardhwi tentang tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok
ibnu sabil. Sumber-sumber data yang dikumpulkan meliputi sumber
data primer dan sumber data sekunder yang meliputi:
9
10
11
g) Buku karya Yusuf al-Qardhwi, al-Ijtihad al-Muashir baina alIndlibaath wa al-Infiraatshh, yang telah diterjemahkan oleh Abu
Barzani dengan judul Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai
Penyimpangan.
12
11
41
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, hlm.
13
14
BAB II
IBNU SABIL DAN TUNAWISMA
A. Ibnu sabil
1. Pengertian Ibnu sabil
Istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yakni ibnu dan sabil. Secara
bahasa, arti dari kedua kata tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
Artinya: Anak adalah hewan yang dilahirkan dari nutfah (air mani) orang
lain dari sejenisnya
Artinya:
idlafah. Dalam bentuk idlafah, terkandung makna min, fi, dan li di mana
dua kandungan makna yang pertama merupakan prioritas dalam memaknai
bentuk idlafah. Apabila kedua makna tersebut tidak dapat digunakan,
maka baru dapat dipergunakan makna li. Dari pengertian secara bahasa
kedua kata yang membentuk istilah ibnu sabil, dapat diketahui bahwa ibnu
sabil secara harfiah berarti anak manusia yang berada di jalan.
Imam Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Tarifat, Surabaya: Haramain, 2001,
hlm. 5.
2
Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XIII, t.kp: tp.,
1975, hlm. 340.
15
16
Artinya:
Artinya:
Imam Syafii berkata: bagian sabilillah -dalam ayat shodaqohitu diberikan kepada orang-orang yang hendak berperang dari
ahl shodaqoh baik dia fakir maupun kaya. Imam Syafii
Berkata: sedangkan ibn sabil termasuk ahl al-shodaqot; yaitu
orang yang menghendaki negara tapi bukan negaranya karena
suatu perkara yang wajib. Imam Syafii berkata: dan orang yang
berperang diberi alat transportasi, senjata, nafaqoh, pakaian,
sedangkan ibn sabil diberi kira-kira sesuatu yang bisa
menyampaikan pada Negara yang dikehendakinya dalam hal
nafaqoh dan alat transportasinya.
Menurut Ibnu Qudamah, ibnu sabil adalah sebagai berikut:
3
4
17
Artinya:
Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni Juz II,
Beirut: Daar al-Kitab al-Arabiy, t.th., hlm. 702.
6
Hal ini seperti dijelaskan dalam M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat
Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 205;
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 191;
Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia, 2008, hlm. 149150; Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk., Jakarta: Darus
Sunnah, 208, hlm. 216-217.
18
Artinya:
Artinya:
Artinya: Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:
"Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa
19
Artinya:
Muhammad Hamid al-Fiq, al-Insyaf Juz 3, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1956, hlm.
237.
8
20
atau karena peperangan. Selain itu, terdapat juga pengembangan ibnu sabil
dalam bentuk pemberian yang dilakukan sebelum orang melakukan
perjalanan. Pemberian ini diberikan karena adanya faktor ketidakmampuan
bekal dalam perjalanan yang akan dilakukannya. Hal ini salah satunya
diwujudkan dalam pemberian beasiswa kepada para pelajar. 9
4. Khilafiyah Ulama tentang Ketentuan-ketentuan terkait Pemberian kepada
Ibnu sabil
Dalam pemberian zakat kepada ibnu sabil, ada beberapa ketentuan
yang terkandung di dalamnya dan telah menjadi pembahasan dalam fiqh.
Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi ketentuan syarat, bentuk pemberian,
dan tata cara pemberian. Berikut ini akan dipaparkan khilafiyah terkait
dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
a. Khilafiyah mengenai syarat ibnu sabil
Secara umum, syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang
berhak menerima zakat sebagai ibnu sabil mencakup tiga hal, yakni:10
1) Sedang berada dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat
tinggalnya.
2) Perjalanan yang dilakukan bukan merupakan perjalanan maksiat
atau tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Pendapat tentang pengembangan ibnu sabil untuk beasiswa dinyatakan oleh Imam
Syafii, hal ini dapat dilihat dalam -- Penjelasan terkait dengan penerapan beasiswa sebagai bagian
ibnu sabil dapat dilihat dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002, hlm. 138-139; Lihat juga dalam T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman
Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 191.
10
Hikmat Karunia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia, 2008,
hlm. 150.
21
11
Ungkapan Syafii ini dapat dilihat dalam Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad bin Qudamah, loc. cit; Hal ini juga dijelaskan dalam T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, op.
cit., hlm. 191-192.
22
ibnu sabil tetap mendapatkan haknya dari zakat meskipun dia telah
mendapatkan hutang. 12
Sedangkan pendapat ulama mazhab Hanafi lebih merujuk pada
jalan tengah dengan menyatakan bahwa mencari hutang adalah utama
namun bukanlah suatu kewajiban bagi ibnu sabil karena dikhawatirkan
jika orang tersebut tidak mampu membayar hutangnya. Pendapat yang
hampir sama dikemukakan oleh Imam Nawawi dengan redaksi yang
berbeda. Menurut Imam Nawawi, ibnu sabil bisa mencari pinjaman
namun tidak mesti ia harus meminjamnya, akan tetapi orang yang akan
meminjami dapat memberikannya kepada ibnu sabil sebagai zakat
kepadanya.13
Namun, meskipun syarat pertama telah terpenuhi, belum tentu
seorang yang melakukan perjalanan dapat diberikan zakat sebagai ibnu
sabil. Syarat yang harus terpenuhi berikutnya adalah menyangkut
perjalanan yang dilakukan oleh seseorang. Syarat perjalanan yang
harus dilakukan adalah perjalanan yang baik atau untuk kemaslahatan.
Maksudnya
adalah apabila
perjalanan
yang
dilakukan untuk
12
Dua pendapat di atas sebagaimana dikutip dalam Yusuf Qardhwi, Hukum Zakat, terj.
Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin, Fiqhuz Zakat, Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1993,
hlm. 658.
13
Sebagaimana dijelaskan dalam Ibid. Kebolehan mencari pinjaman bagi ibnu sabil juga
dijelaskan dalam Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk,
Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm. 217.
23
tidak dapat menerima hak zakat sebagai ibnu sabil kecuali apabila dia
telah bertaubat terlebih dahulu.
Selain terkait dengan tujuan perjalanan, pemberian zakat
kepada seseorang yang melakukan perjalanan sebagai ibnu sabil juga
disandarkan pada tingkat kepentingan perjalanannya. Maksudnya
adalah bahwa perjalanan yang dilakukan tersebut harus benar-benar
perjalanan yang sangat diperlukan. Contoh perjalanan dalam bentuk ini
adalah perjalanan untuk berdarmawisata. Mengenai hal ini, terjadi
perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya di kalangan
Syafii dan Hanbali. Sebagian ulama berpendapat bahwa perjalanan
berdarmawisata dapat diberikan hak zakat sebagai ibnu sabil karena
bukan merupakan perjalanan untuk maksiat. Sedangkan sebagian
ulama lainnya berpendapat bahwa perjalanan untuk berdarmawisata
tidak dapat diberikan karena dalam perjalanan tersebut terkandung
bentuk adanya kelebihan harta.14
b. Khilafiyah mengenai bentuk pemberian kepada ibnu sabil
Pemberian kepada ibnu sabil dapat diwujudkan dalam beberapa
bentuk, yakni:
1) Diberikan kepada ibnu sabil seluruh biaya yang dibutuhkan selama
perjalanan dan tidak lebih dari itu.
2) Diberi biaya dan pakaian hingga mencukupi bagi orang yang tidak
memiliki harta sama sekali dalam perjalanannya. Tapi jika dia
14
24
Pemberian kendaraan
ini
dilakukan kepada ibnu sabil yang dalam keadaan lemah fisik untuk
berjalan
maupun
lemah
fisik
untuk
mengangkut
barang
harga
beli
kendaraan,
maka
kendaraan
untuk
kepadanya
kebutuhan
selama
menetap
dalam
perjalanannya
Terkait dengan pemberian zakat kepada ibnu sabil, ada
perbedaan pendapat mengenai waktu pemberian zakat dan kelebihan
sisa dari zakat ketika ibnu sabil telah sampai kembali ke negerinya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pemberian kepada ibnu sabil
dilakukan pada saat ketika akan pulang dan bukan di tengah
perjalanannya. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ibnu sabil
yang dapat diberikan hak zakat adalah ibnu sabil yang langsung pulang
setelah sampai pada tujuannya. Apabila ibnu sabil tersebut terlebih
dahulu tinggal, maka dia tidak dapat diberikan hak zakatnya sebagai
ibnu sabil. Dari perbedaan pendapat tersebut, ada pendapat tengah
yang dinyatakan oleh Imam Syafii. Beliau menyatakan bahwa ibnu
sabil yang tinggal di tempat yang dituju dan tidak langsung pulang
25
tetap dapat mendapat haknya sebagai ibnu sabil selama tidak melebihi
waktu untuk meng-qashar shalat, yakni kurang dari empat hari.
Namun jika melebihi batasan untuk meng-qashar shalat, maka ibnu
sabil tidak berhak untuk menerima zakat.15
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pemberian zakat
kepada ibnu sabil diwujudkan dengan membangun rumah untuk
penginapan ibnu sabil dan pemenuhan kebutuhan selama menginap.
Selain itu, Umar juga menyediakan sarana-sarana air minum dan
kebutuhan ibnu sabil yang dibangun di sepanjang jalan Mekkah
Madinah.16
Perbedaan pendapat juga terkait dengan sisa biaya yang
diperoleh ibnu sabil setelah sampai di tempat tujuan. Menurut Imam
Syafii, sisa biaya tersebut harus dikembalikan karena telah hilangnya
kebutuhan sebagai ibnu sabil. Sedangkan menurut ulama Hanafi, tidak
ada keharusan bagi ibnu sabil untuk mengembalikan sisa biaya yang
diperolehnya.
B. Tunawisma
1. Pengertian dan Keadaan Tunawisma di Indonesia
Istilah tunawisma terdiri dari dua kata, yakni tuna dan wisma. Kata
tuna memiliki arti luka, rusak, kurang atau tidak memiliki. 17 Sedangkan
15
26
Ibid., hlm. 1562. Lihat juga dalam Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 1130.
19
Tim Pusat Bahasa, op. cit., hlm. 1502.
20
Terkait dengan pemaknaan haraman dapat dilihat dalam Jamaluddin Muhammad bin
Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XV, t.kp: tp., 1975, hlm. 9.
27
a. Membecak
b. Memburuh (kuli)
c. Mencari puntung rokok, pecahan kaca
d. Melacurkan diri
e. Kerja di penampungan
f. Mengemis, dan lain-lain22
Dalam menjalani kehidupannya, tunawisma memiliki dua pola
sosial, yakni tunawisma perorangan dan kelompok. Tunawisma yang
hidup berkelompok umumnya memiliki ketua (pimpinan) dan mereka taat
kepada pimpinan mereka. Meskipun ada yang memiliki pekerjaan, namun
21
28
23
Ibid.
29
24
BAB III
PENDAPAT YUSUF QARDHWI TENTANG MASUKNYA
TUNAWISMA SEBAGAI PENERIMA ZAKAT DARI KELOMPOK IBNU
SABIL DALAM KITAB FIQH AL-ZAKAT
30
31
Ia mendapat
di
daerah
Zamalik.
Alasannya,
khutbah-khutbahnya
dinilai
Yusuf
mulai
Yusuf Qaradawi "Ibnu al- Qaryah wa at-Kuttab, Mesir: Dar al-Syuruq, 1426
H/2006 M, Juz, 3, hlm. 338-339.
2
Maktabah Wahbah, Syekh Yusuf ul-Qaradawi Syakhshiyah al-'am al-Islamiyah, Kairo:
M, Maktabah Wahbah, Cet ke-1, 1412 H/ 2000 M, hlm. 8.
32
berkenalan dengan tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah (w. 728 H)3 dan murid
beliau, Ibnu Qayyim,(w. 751 H)
beberapa
tokoh
ulama
Azhar
yang
banyak
Syekh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah, Mesir: Dar alFikir al-Arabi, t.th, hlm. 583.
4
Ibnu Qayyim, Madarij al-Salikin, Mesir: Dar al-Hadits, 1996, hlm. 7.
5
Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M, hlm. 641.
6
Muhammad Imarah, Al-Imam al-Akbar Syekh Muhammad Saltut, Mesir: alMajlis al-ala, 1422 H/ 2001 M, hlm. 9.
7
Dua syekh terakhir ini diungkapkan Yusuf dalam bukunya, al-Hayat al-Rabbaniyah
wa al-'ilmi, Mesir: Maktabah Wahbah, 1425 H/2005 M, hlm. 10.
33
Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M, hlm. 235.
9
Ibid., hlm. 25.
10
Ibid., hlm. 523.
11
Ibid., hlm. 657.
34
35
Artinya: Dan berkata Imam Syafii tentang ibnu sabil: dia adalah orang
yang terputus bekalnya dan termasuk orang yang bermaksud
melakukan perjalanan yang tidak mempunyai bekal, keduanya
diberi untuk memenuhi kebutuhan, karena orang yang
bermaksud melakukan perjalanan bukan untuk tujuan maksiat
adalah menyerupai orang yang bepergian yang kehabisan
bekal; karena kebutuhan keduanya terhadap biaya perjalanan,
walaupun penggunaan ibnu sabil untuk makna yang kedua ini,
berdasarkan ungkapan majaz.
36
Mengenai
pendapat
jumhur
ulama,
Yusuf
Qardhwi
12
Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 676; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, op. cit., hlm. 655.
37
didasarkan pada nash maupun qiyas. Hal ini seperti tertulis dalam
kalimat berikut ini di dalam kitab Fiqh al- Zakat:
adanya
pemilikan
pada
empat
sasaran
(dalam
Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 676-677; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, loc. cit.
38
bukan untuk dirinya sendiri. Berdasarkan itu maka sah pula, bagian
yang khusus dari zakat itu tidak diterima secara langsung melainkan
diberikan pada perusahaan penerbangan, pelayaran atau universitas
yang akan dituju dan yayasan yang akan membiayainya.14.
b. Tunawisma sebagai Penerima Zakat dari Kelompok Ibnu sabil
menurut Yusuf Qardhwi dalam Kitab Fiqh al-Zakat
Pendapat Yusuf Qardhwi tentang tunawisma sebagai penerima
zakat dari kelompok ibnu sabil dalam kitab Fiqh al-Zakat tertulis
sebagai berikut:
Artinya: Salah satu hal yang menyebabkan dahi kita berkerut, adalah
bahwa sampai saat ini kita terus melihat di banyak negara di
mana penduduknya mengaku beragama Islam, banyaknya
orang-orang yang tidak merasakan nikmatnya tempat tinggal
dan rumah. Mereka menjadikan pinggir dan lorong-lorong
jalan sebagai selimutnya. Mereka itulah anak jalanan, karena
jalan bagi mereka adalah ibu dan ayahnya. Sesungguhnya
mereka itu semua merupakan benalu bagi masyarakat yang
tinggal di daerah itu. Oleh karena itu tidak heran, apabila
Quran
memerlukan
menerangkan
mereka,
serta
14
Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 677; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, op. cit., hlm. 655-656.
15
Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 684; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, op. cit., hlm. 662-663.
39
ketergantungan
mereka
pada
yang dapat
jalan,
seperti
40
41
pendapat
itu
mempunyai
relevansi
dengan
pendapat
itu
lebih memprioritaskan
untuk
16
42
pendapat dalam
suatu
madzhab
yang
sebelumnya
keempat,
dan
seterusnya. Permasalahan
tentang
macam
pendapat.18
Sebagian besar ijtihad insyai ini terjadi pada masalah-masalah
baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama-ulama terdahulu
dan belum pernah
43
44
bahwa janin yang bakal lahir itu akan terkena cacat badan atau
kurang sehat akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat
disembuhkan.21
Dari penjelasan di atas dan terkait dengan pendapat Yusuf
Qardhwi tentang masuknya tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil
sebagai mustahik, maka dapat diketahui bahwa istinbath hukum yang
dilakukan oleh Yusuf Qardhwi adalah dengan jalan menggabungkan
metode ijtihad al-insyai dan al-intiqai. Proses ijtihad tersebut dapat
terlihat dari indikator-indikator berikut ini:
a. Pemaparan pendapat jumhur ulama maupun imam mazhab mengenai
ibnu sabil
b. Pemaparan tentang realitas
sekarang terkait
dengan masalah
tunawisma
c. Pernyataan beliau tentang tunawisma sebagai kelompok mustahik
zakat dari ibnu sabil yang bersumber dari pengembangan pendapat
yang telah ada sebelumnya yang disandarkan pada realitas yang terjadi
di masa sekarang.
21
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARDHWI TENTANG TUNAWISMA
SEBAGAI PENERIMA ZAKAT DARI KELOMPOK IBNU SABIL DALAM
KITAB FIQH AL-ZAKAT
Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusia, Alfiayh Ibn Malik, Kediri: Madrasah
hidayat al-Mubtadiin, t.th., hlm. 99.
45
46
Artinya: Anak adalah hewan yang dilahirkan dari nutfah (air mani) orang lain
yang sejenisnya.
Pemaknaan di atas memiliki pengertian bahwa anak dilahirkan karena
adanya nutfah dari kedua orang tuanya. Implikasinya anak memiliki kesamaan
sifat dan genetik dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, pemaknaan ibnu
sabil jika disandarkan pada pemaknaan anak di atas idealnya adalah adanya
hubungan sifat antara ibnu sabil dengan jalanan sebagai ibu dan ayahnya.
Dalam hal ini, hubungan sifat, tunawisma dalam konteks sebagai ibnu sabil
tidak memiliki hubungan dengan jalanan. Mereka tidak terlahir akibat adanya
2
hlm. 5.
Imam Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Tarifat, Surabaya: Haramain, 2001,
47
Artinya:
Ibnu sabil adalah al-musafir yaitu orang yang putus di tengah jalan,
dan ia menghendaki untuk pulang ke negaranya dan tidak
menemukan sesuatu yang bisa menyampaikannya, maka dia
mendapatkan bagian dari shodaqoh.
Artinya:
Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XIII, t.kp: tp.,
1975, hlm. 341.
4
Ibid.
48
Artinya:
dari
negerinya
ke
lain
negeri.
Kalimat
tersebut
Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni Juz II,
Beirut: Daar al-KITAB al-Arabiy, t.th., hlm. 702.
49
dalam perjalanannya, baik ketika akan menuju tempat tujuan maupun pada
saat akan kembali ke negerinya.
Makna jalan tidak lantas menjadi rujukan keberadaan yang berarti ibnu
sabil berada di jalan melainkan sebagai pertanda dari suatu kegiatan yang
dilakukan oleh ibnu sabil yang memiliki hubungan dengan jalan, yakni
kegiatan perjalanan. Esensi yang terkandung dalam pengertian ibnu sabil ini
adalah bahwa orang yang dalam perjalanan tidak memiliki batasan kriteria
status ekonomi, ibnu sabil dapat berasal dari golongan apapun, tidak harus
miskin. Orang kaya yang kehabisan bekal dalam perjalanannya dan terputus
dari harta bendanya di negerinya juga dapat dimasukkan ke dalam kelompok
ibnu sabil.6
Pada perkembangan pemikiran Islam, pengertian ibnu sabil kemudian
berkembang. Perjalanan tidak hanya dimaknai sebagai proses kegiatan yang
sengaja atau diinginkan oleh seseorang melainkan juga kegiatan perjalanan
yang terpaksa dilakukan. Perjalanan yang terpaksa dilakukan tersebut di
antaranya adalah perjalanan mencari suaka ke negeri lain maupun mengungsi
karena bencana alam atau karena peperangan. Selain itu, terdapat juga
pengembangan ibnu sabil dalam bentuk pemberian yang dilakukan sebelum
orang melakukan perjalanan. Pemberian ini diberikan karena adanya faktor
Hal ini seperti dijelaskan dalam M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat
Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 205;
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 191;
Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia, 2008, hlm. 149150; Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk., Jakarta: Darus
Sunnah, 208, hlm. 216-217.
50
Penjelasan tersebut dapat dilihat dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian
Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 138-139;
51
52
kemudian hilang dan berganti dengan status ibnu sabil manakala kehabisan
bekal dalam perjalanan pulang dari berperang. Ini terjadi karena telah adanya
perbedaan keadaan yang secara otomatis juga akan merubah sifat yang
melekat pada diri penerima zakat.
Ibnu Qudamah juga memberikan penjelasan yang sama terkait dengan
perbedaan keadaan yang berdampak pada perbedaan status yang disandang
oleh penerima zakat. Hal ini dapat terlihat dalam pendapat Ibnu Qudamah
berikut ini:
Artinya:
Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, loc. cit.
53
54
55
56
melakukan klasifikasi
lebih
mendetail tentang
pemberian
57
B. Analisis
Istinbath
Hukum
Pendapat
Yusuf
Qardhwi
Tentang
Mengenai tata urut ijtihad dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum
Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 109-110.
58
a. Al-Quran, yakni sebagai sumber utama dari segala sumber hukum Islam
yang merupakan firman Allah (Kalamullah) yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW
b. Sunnah, yakni segala sesuatu perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
Nabi Muhammad SAW. Sunnah merupakan penjelas hukum yang belum
ada kejelasan secara detail atau bahkan belum ada ketentuan hukumnya
dalam al-Quran.
c. Ijtihad, yakni pengambilan suatu hukum yang belum ada kejelasannya
dalam al-Quran dan al-Hadits. Metode ini dapat digunakan secara
perorangan maupun secara bersama-sama (jamaah).
Proses penetapan hukum atas tunawisma sebagai mustahik dari
kelompok ibnu sabil yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi ditinjau dari
sumber hukum Islam merupakan sebuah hasil ijtihad. Ijtihad yang
dilakukannya adalah ijtihad perorangan. Dalam sejarah perkembangan fiqh,
ijtihad perorangan telah banyak dilakukan oleh para imam mazhab.
Dalam konteks Syafiiyah, yang berhujjah pada ijtihad Imam Syafii,
penggunaan nalar (akal) sebagai media untuk menetapkan suatu hukum yang
berkesesuaian dengan zaman tidak dapat dilakukan oleh akal sendiri
melainkan harus mendasarkan pada dalil syari. Oleh sebab itulah kemudian
lahirlah metode ijtihad yang dikenal dengan istilah qiyas. Dalam metode ini,
suatu peristiwa yang baru akan diqiyaskan dengan dalil syari yang telah ada.
Sebelum Syafiiyah, metode ijtihad dengan penggunaan akal juga telah
dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang sangat dikenal sebagai ahl al-rayu.
59
Metode ijtihad yang dilakukan oleh Abu Hanifah memiliki kemiripan dengan
Imam Syafii namun berbeda dalam prakteknya. Pada ijtihad Imam Abu
Hanifah, rayu difungsikan sebagai media penafsir dari dalil syari yang
kemudian akan diambil hukum dari penafsiran tersebut.
Meskipun berbeda dalam penggunaan metode ijtihad, pada dasarnya
kedua ijtihad yang digunakan oleh dua imam mazhab memiliki kesamaan
esensi, yakni tidak melepaskan kerja akal dari sumber dalil syari yang telah
ada. Terkait dengan keberadaan pendapat yang telah ada sebelumnya, tidak
serta merta diterima oleh kedua imam mazhab tersebut namun ditelaah
terlebih dahulu. Penelaahan tersebut didasarkan pada telaah sumber hukum
yang menjadi dasar pendapat terdahulu. Dengan demikian, lagi-lagi telaah
tidak hanya dilakukan dengan memaksimalkan kerja akal semata namun
dilandasi dengan landasan hukum dalam sumber hukum Islam.
Terkait dengan model ijtihad yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi
tentang tunawisma dalam kelompok ibnu sabil sebagai penerima zakat pada
kitab Fiqh al-Zakat, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yusuf Qardhwi
hanya memaparkan pendapat-pendapat yang terdahulu. Dalam hal ini, dasar
hukum yang digunakan beliau hanya realitas sosial yang terjadi. Sedangkan
pada aspek dalil syari yang seharusnya menjadi sumber dalam menggali suatu
hukum kurang begitu diperhatikan. Pada kitab tersebut, beliau memaparkan
ayat-ayat yang berkaitan dengan ibnu sabil dan ruang lingkup perjalanan yang
terkandung dalam al-Quran.
60
Artinya:
Artinya:
61
rizki, mereka memiliki tujuan tempat dan juga tempat untuk kembali,
sedangkan pada tunawisma tidak ada tujuan tempat secara pasti. Perbedaan
kedua, hakekat mencari rizki antara tunawisma dengan orang yang bekerja.
Pada orang yang bekerja, mencari rizki memiliki hakekat kerja yakni
penerimaan hak (upah) karena adanya kewajiban yang telah dipenuhinya,
sedangkan pada tunawisma, mencari rizki mereka tidak berdasarkan
pertemuan kewajiban dan hak melainkan didasarkan pada pemberian hak
kepada tunawisma tanpa adanya pemenuhan kewajiban kerja terlebih dahulu.
Perbedaan kedua di atas, yakni hakekat mencari rizki, idealnya
dijadikan landasan oleh Yusuf Qardhwi dalam menentukan posisi atau status
dari tunawisma. Hal ini disandarkan pada aspek status yang disandang oleh
tunawisma akibat tidak adanya kepemilikan harta benda dan kemampuan
kerja. Sifat-sifat yang dimiliki oleh tunawisma tersebut lebih dekat dengan
sifat fakir sebagaimana disebutkan oleh Abi al-Muthi Muhammad bin Umar
Nawawi al-Jawi (Imam Nawawi) sebagai berikut:
Artinya:
Abi Muthi Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Imam Nawawi), Nihayat al-Zain fi
Arsyad al-Mubtadi-in, Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah, 1971, hlm. 175.
62
Artinya:
63
beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.
Dari ayat di atas sangat jelas sekali dibedakan antara ibnu sabil dengan
peminta-minta sebagai pihak yang berhak atas pemberian zakat maupun infak
dan sedekah. Oleh sebab itulah maka selayaknya tunawisma tidak dapat
dikategorikan sebagai ibnu sabil karena sifat utama yang melekat pada
keduanya tidak sama. Di samping itu, keduanya juga tidak dapat memasuki ke
lain kelompok dengan sifat asalnya.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa istinbath hukum yang
dilakukan oleh Yusuf Qardhwi hanya mendasarkan pada kesamaan keadaan
yang dialami oleh tunawisma dengan makna harfiah ibnu sabil. Sedangkan
esensi sifat yang terkandung dalam ibnu sabil dan tunawisma tidak dijadikan
sebagai acuan dalam membandingkan penentuan status tunawisma yang
berdampak pada masuknya tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil sebagai
penerima zakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendapat Yusuf Qardhwi mengenai masuknya tunawisma sebagai
mustahik dari kelompok ibnu sabil kurang sesuai dan kurang dapat
diterima. Penyebabnya di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Esensi dan sifat tunawisma tidak memenuhi kriteria ibnu sabil.
b. Pemberian zakat yang disarankan Yusuf Qardhwi lebih cenderung
pada penghilangan kefakiran daripada menghilangkan kebutuhan bekal
Meski demikian, pendapat Yusuf Qardhwi akan dapat dijadikan sebagai
pengembangan fiqh terutama terkait dengan tunawisma sebagai mustahik.
Dari pendapat tersebut dapat dibuat pengembangan klasifikasi tunawisma
sebagai mustahik zakat sebagai berikut:
a. Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan masih memiliki sanak
saudara, maka mereka dapat disebut sebagai ibnu sabil dan berhak
menerima zakat berupa biaya kepulangan ke daerah asalnya.
b. Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan tidak memiliki sanak
saudara lagi, maka mereka dapat dimasukkan ke dalam mustahik zakat
dari kelompok fakir dan miskin. Oleh sebab itu dapat diberikan zakat
64
66
66
DAFTAR PUSTAKA
Abi Muthi Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Imam Nawawi), Nihayat alZain fi Arsyad al-Mubtadi-in, Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah, 1971.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat, Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997.
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Jakarta : PT Bumi Restu, 1976.
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002.
Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia,
2008.
Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni
Juz II, Beirut: Daar al-Kitab al-Arabiy, t.th.
Ibnu Qayyim, Madarij al-Salikin, Mesir: Dar al-Hadits, 1996.
Imam Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Tarifat, Surabaya: Haramain, 2001.
Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XIII, t.kp: tp.,
1975.
_______, Lisan al-Arab Juz XV, t.kp: tp., 1975.
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran
dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006
M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Maktabah Wahbah, Syekh Yusuf ul-Qaradawi Syakhshiyah al-'am al-Islamiyah,
Kairo: M, Maktabah Wahbah, Cet ke-1, 1412 H/ 2000 M.
Muhammad Imarah, Al-Imam al-Akbar Syekh Muhammad Saltut, Mesir: alMajlis al-ala, 1422 H/ 2001 M.
Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusia, Alfiayh Ibn Malik, Kediri:
Madrasah hidayat al-Mubtadiin, t.th.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk., Jakarta:
Darus Sunnah, t.th.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk, Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2008.
Muhammad Hamid al-Fiq, al-Insyaf Juz 3, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1956.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. ke-2,
2002.
Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M.
Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M.
Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Maarif, 1997.
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
Syekh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah, Mesir: Dar
al-Fikir al-Arabi, t.th.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
Gramedia, 2008.
Yusuf al-Qardhwi, al-Ijtihad al-Muashir baina al-Indlibaath wa alInfiraatshh, diterjemahkan Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer Kode Etik
dan Berbagai Penyimpangan, Surabaya: Risalah Gusti, 1985.
_______, "Ibnu al- Qaryah wa at-Kuttab, Mesir: Dar al-Syuruq, 1426 H/2006 M,
Juz, 3
_______, Fiqh al-Zakat, Beirut: Daar al-Marifat, t.th.
_______, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk., Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993.