Вы находитесь на странице: 1из 82

ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARDHWI TENTANG TUNAWISMA

SEBAGAI PENERIMA ZAKAT DARI KELOMPOK IBNU SABIL DALAM


KITAB FIQH AL-ZAKAT

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syariah

Oleh:
AKHMAD FAJRIN SHIDIQ
NIM: 72311006

JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG

2011

H. Abdul Ghofur, M.Ag


NIP. 19670117 199703 1 001
Dra. Nur Huda, M.Ag
NIP. 19690830 199403 2 003

PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks.

Kpd Yth.

Hal

Dekan Fakultas Syariah

: Naskah Skripsi
A.n. Sdr. Akhmad Fajrin Shidiq

IAIN Walisongo Semarang


Di Semarang

Assalamu'alaikum. Wr. Wb.


Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama

: Akhmad Fajrin Shidiq

NIM

: 072311006

Judul Skripsi : Analisis Pendapat Yusuf Qardhwi Tentang Tunawisma


Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu Sabil Dalam
Kitab Fiqh Al-Zakat
Dengan ini, saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan.
Demikian, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Semarang,

Januari 2012

Pembimbing I

Pembimbing II

H Abdul Ghofur, M.Ag


NIP. 19670117 199703 1 001

Dra. Nur Huda, M.Ag


NIP. 19690830 199403 2 003

ii

iii

Motto



Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.1

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan


Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Jakarta : PT Bumi Restu, 1976. hlm. 288.

iv

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan teruntuk:


Abah dan Ummi (H. Abu Shobirin Anwar & Hj. Maidah Djadun), karya
ini terangkai dari keringat, airmata dan doamu berdua. Setiap keringat dan
airmata yang keluar karenaku menjelma dalam setiap huruf, dan setiap
doa yang terpanjat untukku menyatu dalam diri menyampuli tiap karya
atas hidupku serta memberi cahaya padanya.
Al Maghfurllah KH Fachruddin BA (alm.), pertemuan kita (dalam
mimpiku) di akhir tahun kemarin (1433 H) adalah kado terindah untukku
dan setiap ucapanmu akan selalu ku ingat sebagai bekal dalam hidupku.
Semoga aku bisa menjelma menjadi sepertimu. (khairun nas anfauhum
lin nas).
Kakak-Kakakku tercinta (A Faisal, Johan Arifin & Husni Mubarok)
beserta istri-istrinya terimakasih atas bantuan kalian selama ini, (Nasya
Alyda Putri, Revan Alyda Mumtaz & Haykal Iqbal) semoga karya ini
menjelma menjadi pelecut untuk menjadikan diri ini sebagai uswatun
hasanah yang lebih baik dalam tholabul ilmi wa tholabul maisyatin
hasanah.
Keluarga Besar Bani Djadun dan

Keluarga Besar Bani H Abdur

Rahman, semoga Allah selalu menyatukan kita dalam Ridho-Nya.


Amien..
Buat bidadari kecilku (Lutfiana Pratita Dewi) yang selalu setia dan sabar
menunggu semua proses rangkaian hidupku, semoga Allah memilih
engkau mengisi tulang rusukku yang hilang.
Seluruh teman-teman baikku di Kost Tanjung_sari (Mamih IkA, Papih
Ofa (Bu Kost & pak Kost), Nurul_Iman at The-Galy, Ajib_Riau,
Apip_Demk, Joko_Dempet, Dicky: akan selalu kurindu canda tawa
v

kalian), Kontrakan R_W; Ringin Wook (Agus To_Ha Muhammad (special


thanks 4 you : no body perfect in self), Agus A Dib Mubarok (thanks so
much for evrything of holly), mz Yanzent (sukses selalu untuk proyeknya),
M Khasan Amrullah (Allah selalu ada dalam diri kita), M Romli (thanks
buat kepiting rebusnya), Samsul N Fazri (bertaubatlah untuk hal yang
lebih baik), Hendra Mahessaa (thanks to Kue Bandunge), Kiki, saifuddin,
saiful, faizah, dll), keraguan kalian akan hatiku telah menuntunku pada
jalan kehidupan yang lebih menantang.
Seluruh teman-teman sekelasku (MU_A-th2007); maaf jika selama kita
bersama terbesit kata & tingkah laku dariku yang kurang mengena pada
hati kalian. Semoga amal ibadah kalian selalu di terima di sisi Allah SWT.
Amien..
Teman-teman Terbaikku (Agus Himam Nas Ruddin) setiap apa yang kau
lakukan untukku, semoga Allah selalu membalas semua kebaikanmu.
Perjuangan kita semoga menjadi bekal kerinduan di masa depan.
(Rozikoh); maafkan kakakmu ini, semoga kau mendapatkan apa yang
terbaik untuk kehidupanmu. (Ahmad Hidayat); jangan pernah menyerah
atas setiap apa yang kamu inginkan, Allah pasti akan memberi yang
terbaik untukmu. (Ust. Abdul Hakim; UNISSULA) semoga Allah lekas
memberi jodoh untukmu.
Ibu Nyai Hj Mushodah Azizi & KH Abdul Rouf. Terimakasih akan doa
dalam setiap kebersamaan kita selama kurang lebih seumur hubunganku
dg anak kalian, semoga Allah selalu memberi kebahagian kepada kalian.
Terimakasih untuk Lailatus Syarifah; jangan pernah kau mengecewakan
orang lain, karena Allah pasti akan membalas setiap hal yang kau lakukan.
Jalan Allah itu penuh dengan coba & ujian, hadapilah apa yang akan
menjadi tanggung jawabmu. & jangan pernah menyesal akan setiap jalan
yang telah kau pilih.

vi

Fakultas (Syariah)ku tercinta, semoga karya ini menjadi bukti cintaku


kepadamu dan bukan menjadi lambang perpisahan antara engkau dan aku.
Seluruh dewan redaksi yang tak bisa beta sebut satu persatu. Semoga
Amal ibadah kita diterima disisi Allah SWT. Amien.

vii

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis


menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
telah pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian
juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang
lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.

Semarang,

Januari 2012

Deklarator,

Akhmad Fajrin Shidiq


NIM. 072311006

viii

ABSTRAK
Penelitian ini didasari adanya pendapat Yusuf Qardhwi yang
memasukkan para tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu sabil di
masa sekarang. Menurut beliau, tunawisma masuk ke dalam ibnu sabil karena
para tunawisma merupakan anak dari jalanan, karena ayah dan ibu mereka adalah
jalan. Uniknya, para tunawisma tersebut dapat diberi zakat akibat sifat ibnu sabil
dan sifat faqir. Dari pemberian akibat sifat ibnu sabil, tunawisma dapat diberikan
sesuatu yang dapat mengeluarkan mereka dari jalanan, semisal memberikan
tempat tinggal yang layak. Sedangkan dari akibat sifat faqir, maka mereka dapat
diberikan sesuatu yang dapat memenuhi atau mencukupi penghidupannya tanpa
berlebihan atau kekurangan. Padahal dalam konteks pendapat ulama, pemberian
kepada ibnu sabil hanya sebatas pada kebutuhan yang diperlukan oleh ibnu sabil
dalam perjalanan. Oleh sebab itu, perlu kiranya diadakan penelitian terkait dengan
pendapat Yusuf Qardhwi tentang tunawisma sebagai penerima zakat dari
kelompok ibnu sabil.
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah mengapa
Yusuf Qardhwi menjadikan tunawisma sebagai penerima dari kelompok ibnu
sabil dan bagaimana istinbath hukum yang dilakukan oleh beliau dalam
pendapatnya tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Sumber bahan primer
dalam penelitian ini adalah pendapat Yusuf Qardhwi yang tertulis dalam Kitab
Fiqh al-Zakat. Sedangkan data sekundernya meliputi data-data yang berhubungan
dengan teori ibnu sabil dan tunawisma. Analisis penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis deskripsi.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah pendapat Yusuf Qardhwi
mengenai masuknya tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu sabil
kurang sesuai dan kurang dapat diterima. Penyebabnya di antaranya adalah
sebagai berikut: a) Esensi dan sifat tunawisma tidak memenuhi kriteria ibnu sabil.
b) Pemberian zakat yang disarankan Yusuf Qardhwi lebih cenderung pada
penghilangan kefakiran daripada menghilangkan kebutuhan bekal. Meski
demikian, pendapat Yusuf Qardhwi akan dapat dijadikan sebagai pengembangan
fiqh terutama terkait dengan tunawisma sebagai penerima zakat. Dari pendapat
tersebut dapat dibuat pengembangan klasifikasi tunawisma sebagai penerima
zakat sebagai berikut: a) Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan masih
memiliki sanak saudara, maka mereka dapat disebut sebagai ibnu sabil dan berhak
menerima zakat berupa biaya kepulangan ke daerah asalnya. b) Bagi tunawisma
yang terlantar di jalanan dan tidak memiliki sanak saudara lagi, maka mereka
dapat dimasukkan ke dalam penerima zakat dari kelompok fakir dan miskin. Oleh
sebab itu dapat diberikan zakat berupa pemberian rumah tinggal dan atau
kebutuhan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Istinbath
hukum yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi hanya mendasarkan pada kesamaan
keadaan yang dialami oleh tunawisma dengan makna harfiah ibnu sabil.
Sedangkan esensi sifat yang terkandung dalam ibnu sabil dan tunawisma tidak
dijadikan sebagai acuan dalam membandingkan penentuan status tunawisma yang
berdampak pada masuknya tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil sebagai
penerima zakat.
ix

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tiada kata yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Analisis Pendapat Yusuf
Qardhwi Tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok
Ibnu Sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat. Disusun sebagai kelengkapan guna
memenuhi sebagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat
berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. H. Imam Yahya, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah, yang telah
memberi kebijakan teknis di tingkat fakultas.
2. Drs. H. Abdul Ghofur, M. Ag. dan Dra. Hj. Nur Huda, M. Ag. selaku
pembimbing, yang dengan penuh kesabaran dan keteladanan telah
berkenan meluangkan waktu dan memberikan pemikirannya untuk

membimbing dan mengarahkan peneliti dalam pelaksanaan penelitian dan


penulisan skripsi.
3. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag. selaku wali studi, yang selalu
memberikan pengarahan atas setiap kekurangan diri ini dalam dunia
kampus.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang yang
telah memberi bekal ilmu pengetahuan serta staf dan karyawan fakultas
syariah, dengan pelayanannya.
5. Bapak, Ibu, Kakak-kakak atas doa restu dan pengorbanan baik secara
moral ataupun material yang tidak mungkin terbalas.
6. Segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan, atas bantuannya baik moril
maupun materiil secara langsung atau tidak dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga semua amal dan kebaikannya yang telah diperbuat akan
mendapat imbalan yang lebih baik lagi dari Allah SWT dan penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin

Penyusun,

Akhmad Fajrin Shidiq


NIM.072311006

xi

DAFTAR ISI

Halaman Cover ......................................................................................


Halaman Persetujuan Pembimbing ......................................................

ii

Halaman Pengesahan .............................................................................

Halaman Motto ......................................................................................

vi

Halaman Persembahan ..........................................................................

vii

Halaman Deklarasi ................................................................................

ix

Halaman Abstraks .................................................................................

Halaman Kata Pengantar ......................................................................

xi

Halaman Daftar Isi ................................................................................

xiii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................

B. Rumusan Masalah...........................................................

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................

D. Kajian Pustaka ............................................................

E. Metodologi Penelitian .................................................

F. Sistematika Penulisan..................................................

12

IBNU SABIL DAN TUNAWISMA


A. Ibnu Sabil
1. Pengertian Ibnu Sabil ............................................

15

2. Dasar Hukum Ibnu Sabil .......................................

18

3. Perkembangan Makna Ibnu Sabil ..........................

19

4. Khilafiyah Ulama tentang Ketentuan-ketentuan


terkait Pemberian kepada Ibnu Sabil ......................

20

B. Tunawisma
1. Pengertian dan Keadaan Tunawisma di Indonesia .

25

2. Penyebab Munculnya Tunawisma .........................

28

xii

BAB III

PENDAPAT

YUSUF

TUNAWISMA

QARDHWI

SEBAGAI

TENTANG

PENERIMA

ZAKAT

DARI KELOMPOK IBNU SABIL DALAM KITAB


FIQH AL-ZAKAT
A. Biografi, Aktifitas dan Karya-Karya Yusuf Qardhwi . .
B. Pendapat

Yusuf

Qardhwi

tentang

30

Tunawisma

Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu Sabil


Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat .........................................

34

1. Pendapat Yusuf Qardhwi tentang Tunawisma


Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu
Sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat ..........................
2. Istinbath
Tunawisma

Hukum

Yusuf

Sebagai

Qardhwi

Penerima

Zakat

tentang
Dari

Kelompok Ibnu Sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat


BAB IV

ANALISIS

PENDAPAT

YUSUF

34

39

QARDHWI

TENTANG TUNAWISMA SEBAGAI PENERIMA


ZAKAT DARI KELOMPOK IBNU SABIL DALAM
KITAB FIQH AL-ZAKAT
A. Analisis

Pendapat

Yusuf

Qardhwi

tentang

Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok


Ibnu Sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat ........................

45

B. Analisis Istinbath Hukum Pendapat Yusuf Qardhwi


tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari
Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat .......
Bab V

57

Penutup
A. Kesimpulan .................................................................

64

B. Saran-saran .................................................................

65

C. Penutup .......................................................................

66

xiii

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIOGRAFI PENULIS

xiv

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ibnu sabil merupakan salah satu dari delapan kelompok yang berhak
menerima zakat (ashnaf). Hal ini sebagaimana disebutkan Allah dalam salah
satu firman-Nya yakni Q.S. at-Taubah ayat 60 sebagai berikut:



Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 1
Secara bahasa, istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yakni ibnu dan
sabil. Kata ibnu memiliki arti anak atau keturunan dari, dan kata sabil
memiliki arti jalan.2 Secara istilah, dari dua akar kata tersebut kemudian
diartikan sebagai orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. 3 Para fuqaha
selama ini memberikan arti dasar dari ibnu sabil dengan musafir yang
kehabisan bekal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Jawad
1

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan


Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Jakarta : PT Bumi Restu, 1976. hlm. 288.
2
Mengenai arti kata ibnu dan sabil dapat dilihat dalam Ahmad Warson, Kamus AlMunawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Maarif, 1997, hlm. 103.

Mughniyah yang mengartikan Ibnu sabil sebagai orang asing yang


menempuh perjalanan ke negeri lain dan sudah tidak punya harta lagi. 4 Juga
penjelasan Ahmad Azhar Basyir yang menyatakan bahwa Ibnu sabil adalah
orang yang sedang dalam perantauan atau perjalanan dan kekurangan atau
kehabisan bekal, untuk melanjutkan perjalanan sehingga ia pulang ke tempat
asalnya. Golongan ini di antaranya adalah pengungsi-pengungsi yang
meninggalkan kampung halamannya untuk menyelamatkan diri atau
agamanya dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang. 5
Bahkan orang kaya yang dapat masuk ke dalam kriteria ibnu sabil
adalah orang yang benar-benar terputus dari harta bendanya. Artinya,
seseorang tersebut tidak mungkin melakukan penerimaan harta bendanya
karena faktor keadaan yang tidak memungkinkan. Namun apabila masih
memungkinkan untuk menerima harta bendanya, maka orang tersebut tidak
dapat disebut sebagai ibnu sabil.6 Selain faktor kehabisan bekal, dalam
perkembangan pendapat di kalangan ulama, ibnu sabil juga dapat dari orang
yang membutuhkan bekal untuk melakukan suatu perjalanan. Misalkan saja,
seseorang yang akan belajar di daerah yang jauh namun tidak memiliki bekal,

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. ke-2, 2002

hlm. 193.
5

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat, Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997, hlm.

84
6

Menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, orang kaya yang dapat menerima zakat
sebagai ibnu sabil adalah para mujahid. Meskipun mereka kaya di negeri asalnya, karena adanya
keterpuutusan dengan harta bendanya, maka mereka berhak menerima zakat sebagai ibnu sabil.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Yusuf Qardhwi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk.,
Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993, hlm. 656-657.

maka ia dapat dimasukkan ke dalam penerima zakat dari kelompok ibnu


sabil.7
Dari penjelasan di atas dapat diketahui kriteria penerima zakat dari
kelompok ibnu sabil yakni seseorang yang kehabisan atau membutuhkan
bekal dan dalam suatu perjalanan atau perantauan. Kedua kriteria tersebut
merupakan syarat utama. Implikasinya, siapa saja yang sedang kehabisan
bekal dalam perjalanan atau perantauan, baik kaya maupun fakir miskin, tetap
berhak menerima zakat sebagai ibnu sabil. Kedua kriteria tersebut di atas
harus melekat jadi satu atau terpenuhi. Jika hanya terpenuhi salah satunya,
maka belum dapat dikatakan sebagai ibnu sabil. Seseorang yang kehabisan
bekal namun tidak dalam perjalanan atau dalam perantauan, maka orang
tersebut tidak dapat masuk dalam kelompok ibnu sabil. Misalkan saja,
seseorang yang kehabisan bekal makanan di rumahnya, maka orang tersebut
tidak dapat dikategorikan sebagai ibnu sabil namun dapat masuk dalam
kriteria fakir atau miskin. Begitu pula seseorang yang sedang dalam perjalanan
atau perantauan namun tidak kehabisan bekal, maka orang tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai ibnu sabil. Pada dasarnya, pemberian zakat kepada ibnu
sabil adalah untuk memudahkan mereka kembali kepada tempat harta benda
mereka.
Namun tidak selamanya ibnu sabil hanya disandarkan pada habisnya
bekal dan bertujuan untuk memberi bekal menuju tempat harta benda para
ibnu sabil. Hal ini sebagaimana pendapat oleh Yusuf Qardhwi yang
7

Pendapat ini sebagaimana dinyatakan oleh ulama dari mazhab Syafii sebagaimana
dikutip dalam ibid., hlm. 655.

memasukkan para tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu


sabil di masa sekarang. Menurut beliau, tunawisma masuk ke dalam ibnu sabil
karena para tunawisma merupakan anak dari jalanan, karena ayah dan ibu
mereka adalah jalan. Uniknya, para tunawisma tersebut dapat diberi zakat
akibat sifat ibnu sabil dan sifat faqir. Dari pemberian akibat sifat ibnu sabil,
tunawisma dapat diberikan sesuatu yang dapat mengeluarkan mereka dari
jalanan, semisal memberikan tempat tinggal yang layak. Sedangkan dari
akibat sifat faqir, maka mereka dapat diberikan sesuatu yang dapat memenuhi
atau mencukupi penghidupannya tanpa berlebihan atau kekurangan.8
Dari pendapat Yusuf Qardhwi tentang tunawisma sebagai ibnu sabil
dapat diketahui bahwa pemaknaan ibnu sabil tidak lagi disandarkan pada
aspek adanya perjalanan yang dilakukan namun lebih disandarkan pada aspek
jalanan sebagai tempat tinggal. Pendapat tersebut tentu berbeda dengan
hakekat utama dari ibnu sabil yang mendasarkan pada adanya aspek
perjalanan dari suatu tempat

menuju tempat

lainnya untuk suatu

kemashlahatan.
Memang ada orang yang berpeluang menjadi tunawisma akibat dari
kehabisan bekal dalam perjalanan. Namun tidak sedikit pula orang yang
menyengajakan dirinya untuk menjadi tunawisma demi mendapatkan sedekah
dari orang lain. Jika hal ini dikembalikan pada pendapat Yusuf Qardhwi,
maka akan banyak orang yang menjadikan dirinya tunawisma di daerah lain
agar dapat memperoleh zakat sebagai ibnu sabil. Selain itu, pada hakekat

Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat, Beirut: Daar al-Marifat, t.th., hlm. 684-685.

umumnya, aspek yang melekat pada para tunawisma bukanlah dari akibat
perjalanan mereka namun lebih dari keadaan ekonomi mereka yang
menyebabkan mereka hidup di jalanan. Kalaupun mereka melakukan
perjalanan, hal itu tidak lain untuk mencari sedekah dan bukan merupakan
sebuah pekerjaan. Idealnya, keadaan yang dialami oleh para tunawisma
tersebut menjadikan mereka sebagai penerima zakat dari kelompok fakir
miskin dan bukan ibnu sabil.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat Yusuf Qardhwi yang
memasukkan tunawisma ke dalam ashnaf ibnu sabil sebagai penerima zakat
merupakan suatu pendapat yang menarik untuk ditelusuri lebih mendalam.
Penelusuran tersebut berhubungan dengan proses istinbath hukum Yusuf
Qardhwi serta pandangan Islam terhadap pendapat Yusuf Qardhwi. Dari
proses ini akan dapat diperoleh hasil langkah-langkah penetapan hukum Yusuf
Qardhwi dan tinjauan Islam mengenai pendapat Yusuf Qardhwi tersebut.
Penelitian ini akan diberi judul

Analisis Pendapat Yusuf Qardhwi

Tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil


Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengapa Yusuf Qardhwi menjadikan tunawisma sebagai penerima zakat
dari kelompok ibnu sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat?

2. Bagaimana istinbath hukum Yusuf Qardhwi tentang tunawisma sebagai


penerima zakat dari kelompok ibnu sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa alasan Yusuf Qardhwi menjadikan
tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu sabil dalam Kitab
Fiqh Al-Zakat?
2. Untuk mengetahui istinbath hukum pendapat Yusuf Qardhwi tentang
tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu sabil dalam Kitab
Fiqh Al-Zakat?
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sarana penulis dalam
mempraktekkan ilmu-ilmu pengetahuan (teori) yang telah penulis
dapatkan selama belajar di institusi tempat penulis belajar.
2. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan dan media
pembanding dalam khazanah keilmuan di bidang muamalah, khususnya
berkaitan dengan perkembangan pemikiran Islam dalam hal mustahik
zakat.
D. Kajian Pustaka
Sebelum penelitian ini, telah ada penelitian terdahulu yang
memusatkan kajian pada pemikiran Yusuf Qardhwi. Penelitian yang
dimaksud adalah penelitian yang dilakukan oleh Puji Astuti dengan judul

penelitian Analisis Pemikiran Yujsuf Qardhwi Tentang Zakat Hasil Tanah


Pertanian Yang Disewakan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
pemikiran Yusuf Qardhwi tentang zakat hasil tanah pertanian yang
disewakan adalah lebih berprinsip pada keadilan dan perimbangan
penghasilan, karena dalam masalah tersebut ada dua pihak yaitu pemilik dan
penyewa yang sama-sama memperoleh hasil. Zakatnya sebesar 5 % atau 10 %
sesuai dengan sifat pengairannya.
Konsep Riqab Dan Kontekstualisasinya Sebagai Mustahik Zakat (Studi
Pemikiran Yusuf Al- Qardhwi). Skripsi yang ditulis oleh Muhamad Arif,
mahasiswa

Fakultas

Syariah

UIN

Sunan

Kalijaga

Yogyakarta

ini

dilatarbelakangi oleh keingintahuan mengenai ijtihad yang dilakukan oleh


Yusuf Qardhwi terkait dengan pengembangan mustahik riqab di masa
sekarang. Penelitian ini merupakan penelitian literer yang menggunakan
analisis induktif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa terkait dengan
konsep riqab dan kontektualisasinya di masa kini, al- Qardhwi berpendapat
bahwa konsep riqab sebagai mustahik zakat adalah memerdekakan budak
secara umum, baik budak mukatab maupun gairu mukatab, riqab juga tetap
memiliki bagian dalam harta zakat, apabila memang dimungkinkan
kebutuhannya. Di masa kini, bagian riqab dapat pula digunakan untuk
membebaskan tawanan perang. Adapun saat ini perbudakan sudah lenyap dari
muka bumi, maka dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang paling
peduli untuk mengentaskan perbudakan di muka bumi.

Studi Analisis Terhadap Pemikiran Yusuf Al- Qardhwi Tentang AlMu'allafah Qulubuhum Sebagai Salah Satu Mustahik Zakat. Skripsi yang
ditulis oleh Rifkiati, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mendeskripsikan
pendapat hasil ijtihad kontemporer yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), dan bersifat
deskriptif analitik. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan,
yang diperoleh melalui sumber data primer dan sekunder. Adapun pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative dan
pendekatan sosio histories. Adapun metode yang digunakan dalam analisis
data ini adalah metode induktif. Konsep Muallafah Qulubuhum yang
ditawarkan oleh al- Qardhwi jika dipandang dari konteks ke-Indonesiaan
dapat dijabarkan sebagai berikut, untuk golongan muallaf yang muslim maka
dana zakat dapat dialokasikan untuk kepentingan pembinaan dari orang-orang
yang baru memeluk Islam, pembinaan dan peningkatan pengamalan
keagamaan demi kemajuan umat Islam sendiri, hal ini senada dengan pendapat
Masdar F. Masudi yang berbicara masalah muallaf dalam konteks keIndonesia-an. Sedangkan untuk golongan muallaf yang masih kafir dengan
segala kriteria yang ditawarkan oleh al- Qardhwi, di Indonesia belum bisa
diterapkan, hal ini untuk memfokuskan pada pembinaan dari umat Islam
sendiri, atau jika dana zakat untuk golongan muallaf dikembalikan untuk
kepentingan umat sendiri.

Penelitian-penelitian di atas sama dengan penelitian yang penulis


laksanakan, yakni bertujuan untuk mengetahui pendapat dan ijtihad Yusuf
Qardhwi. Namun demikian, dari penelitian yang telah ada, tidak ada satupun
yang memusatkan kajian pada pendapat Yusuf Qardhwi tentang ibnu sabil.
Oleh sebab itulah penulis merasa yakin untuk tetap melaksanakan penelitian
ini.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Penelitian yang akan penulis laksanakan merupakan penelitian
literer atau kepustakaan (library research). Disebut sebagai penelitian
literer atau kepustakaan karena sumber data dalam penelitian ini
merupakan sumber data literer atau kepustakaan. Sedangkan pendekatan
penelitian yang digunakan dalam penelitian yang akan dilaksanakan oleh
penulis adalah pendekatan perbandingan hukum. Maksudnya adalah dalam
menganalisa data, penulis membandingkan dua teori hukum yang
berkaitan dengan obyek penelitian. Dalam hal ini adalah teori zakat
menurut hukum Islam dan pendapat Yusuf Qardhwi tentang masuknya
tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu sabil dalam Kitab
Fiqh Al-Zakat.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
dengan penjelasan sebagai berikut:

10

a. Data primer, yakni data yang berkaitan dan diperoleh langsung dari
sumber data tersebut.9 Dalam penelitian ini, data primernya adalah
kitab Fiqh al-Zakat karya Yusuf Qardhwi yang memuat pemikiran
beliau tentang tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok ibnu
sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat.
b. Data sekunder, yakni data yang dapat menunjang data primer dan
diperoleh tidak dari sumber primer.10 Data sekunder dalam penelitian
ini adalah buku, majalah, maupun arsip yang membahas tentang zakat
dan khususnya yang berhubungan dengan ibnu sabil.
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian literer, maka metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan. Pengertian
dari metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data dengan
mencari bahan dalam buku-buku atau pustaka-pustaka tertentu. Dalam
penelitian ini, obyek kepustakaan meliputi seluruh buku atau jurnal yang
membahas tentang ibnu sabil serta kitab Fiqh al-Zakat sebagai sumber
primer penelitian.
Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:
a. Pengumpulan sumber data yang berkaitan dengan pendapat Yusuf
Qardhwi tentang tunawisma sebagai penerima zakat dari kelompok
ibnu sabil. Sumber-sumber data yang dikumpulkan meliputi sumber
data primer dan sumber data sekunder yang meliputi:
9

Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 91


Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 1993, hlm. 11.

10

11

1) Sumber data primer yakni kitab Fiqh al-Zakat karya Yusuf


Qardhwi yang didukung dengan terjemahannya yang berjudul
Hukum Zakat.
2) Sumber data sekunder yang meliputi kitab-kitab, buku-buku,
maupun kamus-kamus yang berkaitan dengan data sekunder yang
meliputi biografi Yusuf Qardhwi, ijtihad Yusuf Qardhwi, teori
tentang ibnu sabil dalam hokum Islam, teori tentang tunawisma.
Sumber data sekunder yang dikumpulkan di antaranya adalah:
a) Kitab al-Mughni, karya Ibnu Qudamah
b) Kitab al-Inshaf, karya Muhammad Hamid
c) Kitab Tarifat, karya Muhammad al-Jurjani
d) Kamus Lisan al-Arab, karya Jamaluddin Muhammad
e) Buku karya Ahmad Azhar Basyir yang berjudul Hukum Zakat
f) Buku karya Muhammad Jawad Mughniyah yang berjudul Fiqih
Lima Mazhab

g) Buku karya Yusuf al-Qardhwi, al-Ijtihad al-Muashir baina alIndlibaath wa al-Infiraatshh, yang telah diterjemahkan oleh Abu
Barzani dengan judul Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai
Penyimpangan.

Serta buku dan kitab-kitab lainnya yang memiliki relevansi


dengan materi penelitian ini.
b. Pemilihan data yang disesuaikan dengan kategorisasi data sebagaimana
telah disebutkan di atas.

12

c. Penyusunan data sesuai dengan sistematika penulisan dalam skripsi


ini.
4. Metode Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
analisis data deskriptif kualitatif dengan pendekatan bahasa. Maksudnya
adalah proses analisis yang akan didasarkan pada kaidah deskriptif dan
kaidah kualitatif. Kaidah deskriptif adalah bahwasanya proses analisis
dilakukan terhadap seluruh data yang telah didapatkan dan diolah dan
kemudian hasil analisa tersebut disajikan secara keseluruhan. Sedangkan
kaidah kualitatif adalah bahwasanya proses analisis tersebut ditujukan
untuk mengembangkan teori dengan jalan membandingkan teori dengan
tujuan untuk menemukan teori baru yang dapat berupa penguatan terhadap
teori lama, maupun melemahkan teori yang telah ada tanpa menggunakan
rumus statistik. 11
Jadi analisis data deskriptif kualitatif adalah analisis data yang
dilakukan terhadap seluruh data yang diperoleh untuk mengembangkan
dan menemukan teori, kemudian hasil analisis tersebut disajikan secara
keseluruhan tanpa menggunakan rumusan statistik.
F. Sistematika Penulisan
Penyusunan hasil penelitian yang penulis laksanakan terbagi menjadi
tiga bagian dengan penjelasan sebagai berikut:

11

41

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, hlm.

13

Bagian awal yang isinya meliputi halaman judul, halaman nota


pembimbing, halaman pengesahan, halaman pernyataan, halaman motto,
halaman persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi.
Bagian isi yang merupakan bagian utama dari penulisan ini. Bagian ini
terdiri dari lima bab dengan penjelasan sebagai berikut:
Bab I, yakni pendahuluan yang isinya meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab II, yakni Ibnu sabil dan Tunawisma. Bab ini menjelaskan teori
tentang ibnu sabil dan tunawisma. Penjelasan mengenai ibnu sabil mencakup
pengertian, dasar hukum, dan khilafiyah ulama tentang pemberian kepada ibnu
sabil. Sedangkan penjelasan mengenai tunawisma meliputi pengertian dan
keadaan tunawisma di Indonesia serta penyebab munculnya tunawisma.
Bab III, yakni Pendapat Yusuf Qardhwi Tentang Tunawisma Sebagai
Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat. Bab
ini terdiri dari dua sub bab yakni sub bab pertama adalah biografi, aktifitas dan
karya-karya Yusuf Qardhwi. Sedangkan sub bab kedua pemaparan Pendapat
Yusuf Qardhwi tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok
Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat yang isinya meliputi Pendapat Yusuf
Qardhwi tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu
sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat, dan istinbath hukum Pendapat Yusuf
Qardhwi tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu
sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat.

14

Bab IV yakni Analisis Pendapat Yusuf Qardhwi Tentang Tunawisma


Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh AlZakat. Bab ini mencakup Analisis terhadap Pendapat Yusuf Qardhwi tentang
Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab
Fiqh Al-Zakat dan Analisis Istinbath Hukum Pendapat Yusuf Qardhwi
tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam
Kitab Fiqh Al-Zakat.
Bab V yakni penutup yang isinya meliputi simpulan, saran-saran, dan
penutup.
Sedangkan bagian yang terakhir adalah bagian akhir yang isinya
meliputi daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan biografi penulis.

BAB II
IBNU SABIL DAN TUNAWISMA

A. Ibnu sabil
1. Pengertian Ibnu sabil
Istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yakni ibnu dan sabil. Secara
bahasa, arti dari kedua kata tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

Artinya: Anak adalah hewan yang dilahirkan dari nutfah (air mani) orang
lain dari sejenisnya

Artinya:

Sabil adalah thariq (jalan) dengan orang-orang yang berjalan di


atasnya, baik laki-laki maupun wanita
Dua kata di atas, dalam kaidah bahasa Arab merupakan bentuk

idlafah. Dalam bentuk idlafah, terkandung makna min, fi, dan li di mana
dua kandungan makna yang pertama merupakan prioritas dalam memaknai
bentuk idlafah. Apabila kedua makna tersebut tidak dapat digunakan,
maka baru dapat dipergunakan makna li. Dari pengertian secara bahasa
kedua kata yang membentuk istilah ibnu sabil, dapat diketahui bahwa ibnu
sabil secara harfiah berarti anak manusia yang berada di jalan.

Imam Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Tarifat, Surabaya: Haramain, 2001,

hlm. 5.
2

Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XIII, t.kp: tp.,
1975, hlm. 340.

15

16

Sedangkan secara istilah, ada beberapa arti yang melekat pada


istilah ibnu sabil dari beberapa pendapat para ulama. Berikut ini akan
dipaparkan beberapa pendapat ulama mengenai pengertian ibnu sabil,
Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari memberikan
definisi ibnu sabil sebagai berikut:

Artinya:

Ibnu sabil adalah al-musafir yaitu orang yang putus di tengah


jalan, dan ia menghendaki untuk pulang ke negaranya dan tidak
menemukan sesuatu yang bisa menyampaikannya, maka dia
mendapatkan bagian dari shodaqoh.
Imam Syafii, sebagaimana dikutip oleh Jamaluddin Muhammad,

memberikan definisinya sebagai berikut:

Artinya:

Imam Syafii berkata: bagian sabilillah -dalam ayat shodaqohitu diberikan kepada orang-orang yang hendak berperang dari
ahl shodaqoh baik dia fakir maupun kaya. Imam Syafii
Berkata: sedangkan ibn sabil termasuk ahl al-shodaqot; yaitu
orang yang menghendaki negara tapi bukan negaranya karena
suatu perkara yang wajib. Imam Syafii berkata: dan orang yang
berperang diberi alat transportasi, senjata, nafaqoh, pakaian,
sedangkan ibn sabil diberi kira-kira sesuatu yang bisa
menyampaikan pada Negara yang dikehendakinya dalam hal
nafaqoh dan alat transportasinya.
Menurut Ibnu Qudamah, ibnu sabil adalah sebagai berikut:

3
4

Ibid., hlm. 341.


Ibid.

17

Artinya:

Ibnu sabil adalah seseorang yang melakukan perjalanan


(musafir) yang tidak memiliki kemampuan untuk kembali ke
negerinya, dan untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju
negerinya maka diberi kepadanya sesuai kebutuhan yang dapat
mengembalikannya ke negerinya
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa ibnu sabil

memiliki substansi seseorang yang kehabisan bekal akibat dari perjalanan


yang dilakukannya dari suatu negeri ke negeri lainnya demi kemaslahatan.
Makna jalan tidak lantas menjadi rujukan keberadaan yang berarti ibnu
sabil berada di jalan melainkan sebagai pertanda dari suatu kegiatan yang
dilakukan oleh ibnu sabil yang memiliki hubungan dengan jalan, yakni
kegiatan perjalanan. Esensi yang terkandung dalam pengertian ibnu sabil
ini adalah bahwa orang yang dalam perjalanan tidak memiliki batasan
kriteria status ekonomi, ibnu sabil dapat berasal dari golongan apapun,
tidak harus miskin. Orang kaya yang kehabisan bekal dalam perjalanannya
dan terputus dari harta bendanya di negerinya juga dapat dimasukkan ke
dalam kelompok ibnu sabil.6

Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni Juz II,
Beirut: Daar al-Kitab al-Arabiy, t.th., hlm. 702.
6
Hal ini seperti dijelaskan dalam M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat
Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 205;
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 191;
Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia, 2008, hlm. 149150; Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk., Jakarta: Darus
Sunnah, 208, hlm. 216-217.

18

2. Dasar Hukum Ibnu sabil


Ibnu sabil sebagai salah satu kelompok yang memiliki hak untuk
menerima pemberian sedekah telah dijelaskan oleh Allah dalam beberapa
firman-Nya sebagai berikut:
Q.S. al-Isra ayat 26


Artinya:

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan


haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.

Q.S. ar-Rum ayat 38



Artinya:

Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya,


demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang
beruntung.

Q.S. al-Baqarah ayat 215




Artinya: Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:
"Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa

19

saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha


mengetahuinya.
Q.S. at-Taubah ayat 60

Artinya:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang


fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.

3. Perkembangan Makna Ibnu sabil


Pada perkembangan pemikiran Islam, pengertian ibnu sabil
kemudian berkembang. Oleh Ulama Hanbali, pengemis dimasukkan ke
dalam kelompok ibnu sabil. Hal ini didasarkan pada keadaan yang dialami
oleh para pengemis ketika berada di jalanan. 7 Di samping pengemis, yang
dapat masuk ke dalam kelompok ibnu sabil adalah orang yang mengalami
kegagalan dalam mencari rizki di kota.8
Selain itu, esensi perjalanan dalam istilah ibnu sabil tidak hanya
dimaknai sebagai proses kegiatan yang sengaja atau diinginkan oleh
seseorang melainkan juga kegiatan perjalanan yang terpaksa dilakukan.
Perjalanan yang terpaksa dilakukan tersebut di antaranya adalah perjalanan
mencari suaka ke negeri lain maupun mengungsi karena bencana alam
7

Muhammad Hamid al-Fiq, al-Insyaf Juz 3, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1956, hlm.

237.
8

M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran dan


Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 206.

20

atau karena peperangan. Selain itu, terdapat juga pengembangan ibnu sabil
dalam bentuk pemberian yang dilakukan sebelum orang melakukan
perjalanan. Pemberian ini diberikan karena adanya faktor ketidakmampuan
bekal dalam perjalanan yang akan dilakukannya. Hal ini salah satunya
diwujudkan dalam pemberian beasiswa kepada para pelajar. 9
4. Khilafiyah Ulama tentang Ketentuan-ketentuan terkait Pemberian kepada
Ibnu sabil
Dalam pemberian zakat kepada ibnu sabil, ada beberapa ketentuan
yang terkandung di dalamnya dan telah menjadi pembahasan dalam fiqh.
Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi ketentuan syarat, bentuk pemberian,
dan tata cara pemberian. Berikut ini akan dipaparkan khilafiyah terkait
dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
a. Khilafiyah mengenai syarat ibnu sabil
Secara umum, syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang
berhak menerima zakat sebagai ibnu sabil mencakup tiga hal, yakni:10
1) Sedang berada dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat
tinggalnya.
2) Perjalanan yang dilakukan bukan merupakan perjalanan maksiat
atau tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Pendapat tentang pengembangan ibnu sabil untuk beasiswa dinyatakan oleh Imam
Syafii, hal ini dapat dilihat dalam -- Penjelasan terkait dengan penerapan beasiswa sebagai bagian
ibnu sabil dapat dilihat dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002, hlm. 138-139; Lihat juga dalam T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman
Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 191.
10
Hikmat Karunia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia, 2008,
hlm. 150.

21

3) Benar-benar dalam keadaan yang membutuhkan untuk sampai


kepada negerinya.
Terkait dengan syarat pertama, apabila seseorang yang berada
dalam atau melakukan perjalanan telah memiliki bekal, maka dia tidak
berhak diberi hak zakat sebagai ibnu sabil meskipun dia dalam
perjalanan yang dimaksud dalam ibnu sabil. Meski demikian, tidak
semua ibnu sabil yang kehabisan bekal dapat diberikan zakat sebagai
ibnu sabil. Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan ekonomi di
negerinya dan belum mencari hutangan, maka dia berhak diberi zakat
sebagai ibnu sabil. Tetapi jika dia telah mencari pinjaman, maka dia
tidak dapat diberikan zakat sebagai ibnu sabil. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Imam Syafii yang menyatakan bahwa apabila ibnu
sabil yang kehabisan bekal, khususnya orang yang memiliki
kemampuan ekonomi di negerinya, menemukan orang yang dapat
memberinya hutang untuk biaya perjalanan, maka orang tersebut tidak
dapat diberikan zakat dari kelompok ibnu sabil. Sebaliknya, apabila
dia tidak menemukan orang yang dapat memberinya pinjaman, maka
dia berhak untuk mendapatkan zakat sebagai ibnu sabil.11 Pendapat
tersebut berlawanan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Arabi
dan Imam Qurtubi. Kedua ulama ini secara tegas menyatakan bahwa

11

Ungkapan Syafii ini dapat dilihat dalam Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad bin Qudamah, loc. cit; Hal ini juga dijelaskan dalam T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, op.
cit., hlm. 191-192.

22

ibnu sabil tetap mendapatkan haknya dari zakat meskipun dia telah
mendapatkan hutang. 12
Sedangkan pendapat ulama mazhab Hanafi lebih merujuk pada
jalan tengah dengan menyatakan bahwa mencari hutang adalah utama
namun bukanlah suatu kewajiban bagi ibnu sabil karena dikhawatirkan
jika orang tersebut tidak mampu membayar hutangnya. Pendapat yang
hampir sama dikemukakan oleh Imam Nawawi dengan redaksi yang
berbeda. Menurut Imam Nawawi, ibnu sabil bisa mencari pinjaman
namun tidak mesti ia harus meminjamnya, akan tetapi orang yang akan
meminjami dapat memberikannya kepada ibnu sabil sebagai zakat
kepadanya.13
Namun, meskipun syarat pertama telah terpenuhi, belum tentu
seorang yang melakukan perjalanan dapat diberikan zakat sebagai ibnu
sabil. Syarat yang harus terpenuhi berikutnya adalah menyangkut
perjalanan yang dilakukan oleh seseorang. Syarat perjalanan yang
harus dilakukan adalah perjalanan yang baik atau untuk kemaslahatan.
Maksudnya

adalah apabila

perjalanan

yang

dilakukan untuk

kemaslahatan, maka seseorang tersebut dapat menerima hak zakat


sebagai ibnu sabil. Sedangkan pada perjalanan yang dilakukan bukan
untuk kemaslahatan melainkan untuk maksiat, maka orang tersebut

12

Dua pendapat di atas sebagaimana dikutip dalam Yusuf Qardhwi, Hukum Zakat, terj.
Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin, Fiqhuz Zakat, Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1993,
hlm. 658.
13
Sebagaimana dijelaskan dalam Ibid. Kebolehan mencari pinjaman bagi ibnu sabil juga
dijelaskan dalam Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk,
Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm. 217.

23

tidak dapat menerima hak zakat sebagai ibnu sabil kecuali apabila dia
telah bertaubat terlebih dahulu.
Selain terkait dengan tujuan perjalanan, pemberian zakat
kepada seseorang yang melakukan perjalanan sebagai ibnu sabil juga
disandarkan pada tingkat kepentingan perjalanannya. Maksudnya
adalah bahwa perjalanan yang dilakukan tersebut harus benar-benar
perjalanan yang sangat diperlukan. Contoh perjalanan dalam bentuk ini
adalah perjalanan untuk berdarmawisata. Mengenai hal ini, terjadi
perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya di kalangan
Syafii dan Hanbali. Sebagian ulama berpendapat bahwa perjalanan
berdarmawisata dapat diberikan hak zakat sebagai ibnu sabil karena
bukan merupakan perjalanan untuk maksiat. Sedangkan sebagian
ulama lainnya berpendapat bahwa perjalanan untuk berdarmawisata
tidak dapat diberikan karena dalam perjalanan tersebut terkandung
bentuk adanya kelebihan harta.14
b. Khilafiyah mengenai bentuk pemberian kepada ibnu sabil
Pemberian kepada ibnu sabil dapat diwujudkan dalam beberapa
bentuk, yakni:
1) Diberikan kepada ibnu sabil seluruh biaya yang dibutuhkan selama
perjalanan dan tidak lebih dari itu.
2) Diberi biaya dan pakaian hingga mencukupi bagi orang yang tidak
memiliki harta sama sekali dalam perjalanannya. Tapi jika dia

14

Yusuf Qardhwi, op. cit., hlm. 656.

24

memiliki harta namun tidak mencukupi, maka hanya diberi harta


sesuai dengan kebutuhannya saja.
3) Diberikan kepadanya kendaraan.

Pemberian kendaraan

ini

dilakukan kepada ibnu sabil yang dalam keadaan lemah fisik untuk
berjalan

maupun

lemah

fisik

untuk

mengangkut

barang

bawaannya. Dalam memenuhi kebutuhan kendaraan bagi ibnu


sabil tidak harus dengan jalan membeli. Apabila harta zakat tidak
memenuhi

harga

beli

kendaraan,

maka

kendaraan

untuk

kepentingan ibnu sabil dapat diperoleh dengan jalan sewa.


4) Diberikan

kepadanya

kebutuhan

selama

menetap

dalam

perjalanannya
Terkait dengan pemberian zakat kepada ibnu sabil, ada
perbedaan pendapat mengenai waktu pemberian zakat dan kelebihan
sisa dari zakat ketika ibnu sabil telah sampai kembali ke negerinya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pemberian kepada ibnu sabil
dilakukan pada saat ketika akan pulang dan bukan di tengah
perjalanannya. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ibnu sabil
yang dapat diberikan hak zakat adalah ibnu sabil yang langsung pulang
setelah sampai pada tujuannya. Apabila ibnu sabil tersebut terlebih
dahulu tinggal, maka dia tidak dapat diberikan hak zakatnya sebagai
ibnu sabil. Dari perbedaan pendapat tersebut, ada pendapat tengah
yang dinyatakan oleh Imam Syafii. Beliau menyatakan bahwa ibnu
sabil yang tinggal di tempat yang dituju dan tidak langsung pulang

25

tetap dapat mendapat haknya sebagai ibnu sabil selama tidak melebihi
waktu untuk meng-qashar shalat, yakni kurang dari empat hari.
Namun jika melebihi batasan untuk meng-qashar shalat, maka ibnu
sabil tidak berhak untuk menerima zakat.15
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pemberian zakat
kepada ibnu sabil diwujudkan dengan membangun rumah untuk
penginapan ibnu sabil dan pemenuhan kebutuhan selama menginap.
Selain itu, Umar juga menyediakan sarana-sarana air minum dan
kebutuhan ibnu sabil yang dibangun di sepanjang jalan Mekkah
Madinah.16
Perbedaan pendapat juga terkait dengan sisa biaya yang
diperoleh ibnu sabil setelah sampai di tempat tujuan. Menurut Imam
Syafii, sisa biaya tersebut harus dikembalikan karena telah hilangnya
kebutuhan sebagai ibnu sabil. Sedangkan menurut ulama Hanafi, tidak
ada keharusan bagi ibnu sabil untuk mengembalikan sisa biaya yang
diperolehnya.
B. Tunawisma
1. Pengertian dan Keadaan Tunawisma di Indonesia
Istilah tunawisma terdiri dari dua kata, yakni tuna dan wisma. Kata
tuna memiliki arti luka, rusak, kurang atau tidak memiliki. 17 Sedangkan

15

Ibid., hlm. 660.


Ibid., hlm. 653.
17
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: Gramedia,
2008, hlm. 1502.
16

26

kata wisma memiliki arti bangunan untuk tempat tinggal. 18 Penggabungan


dua kata tersebut kemudian menghasilkan arti orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal atau gelandangan. 19
Sedangkan dalam istilah bahasa Arab, tunawisma dikenal dengan
istilah mahruman min al-mawa. Istilah tersebut pada dasarnya juga terdiri
dari dua kata, yakni mahruman dan al-mawa. Kata mahruman berasal
dari akar kata haram yang artinya sesuatu yang terhalang atau dilarang.
Sedangkan kata al-mawa berarti tempat tidur. Arti dari pertemuan dua
kata tersebut adalah orang yang terhalang untuk memiliki tempat
beristirahat.20
Tunawisma merupakan permasalahan sosial yang hampir menjadi
masalah di setiap negara. Di Indonesia, jumlah tunawisma tidak diketahui
secara pasti. Masih ada perselisihan di antara para pihak yang
berkompeten dalam masalah tuna wisma. Badan Pusat Statistik,
berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada tahun 2010 menyatakan
bahwa jumlah tuna wisma di Indonesia sekitar 18.935 orang. Hasil ini
berbeda dengan survey yang dilakukan oleh Kementerian Sosial
(Kemensos) yang menyatakan jumlah tunawisma di Indonesia 25.662
orang. Sedangkan menurut Iman Sugena, pengamat ekonomi nasional,
jumlah tersebut masih kecil. Menurutnya, jumlah tersebut belum seberapa
dengan perkiraan beliau mengenai jumlah tunawisma yang ada di Jakarta
18

Ibid., hlm. 1562. Lihat juga dalam Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 1130.
19
Tim Pusat Bahasa, op. cit., hlm. 1502.
20
Terkait dengan pemaknaan haraman dapat dilihat dalam Jamaluddin Muhammad bin
Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XV, t.kp: tp., 1975, hlm. 9.

27

yang mencapai ratusan ribu. Lebih lanjut menurutnya, Pemerintah harus


segera menyelesaikan masalah tunawisma dan tidak hanya berkutat pada
jumlah angka semata. Solusi yang dapat ditempuh oleh Pemerintah
menurut beliau adalah dengan membangun rumah-rumah singgah yang
berdekatan dengan lokasi para tunawisma. 21
Tunawisma tidak seluruhnya terdiri dari orang yang tidak memiliki
pekerjaan. Ada beberapa kelompok tunawisma yang memiliki pekerjaan.
Meski demikian, mereka tetap tidak memiliki tempat tinggal dan memilih
tinggal di emperan toko, di stasiun, di emperan jalan dan lain sebagainya.
Pekerjaan tunawisma di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Membecak
b. Memburuh (kuli)
c. Mencari puntung rokok, pecahan kaca
d. Melacurkan diri
e. Kerja di penampungan
f. Mengemis, dan lain-lain22
Dalam menjalani kehidupannya, tunawisma memiliki dua pola
sosial, yakni tunawisma perorangan dan kelompok. Tunawisma yang
hidup berkelompok umumnya memiliki ketua (pimpinan) dan mereka taat
kepada pimpinan mereka. Meskipun ada yang memiliki pekerjaan, namun

21

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/10/31/272625/293/14/Pemerintah-Berkutatpada-Angka-Tuna-Wisma-Merajalela diakses tanggal 11 Desember 2011.


22
www.http//: elearning.gunadarma.ac.id/.../bab8_masalah_sosial_dan_manfaat_sosial
hlm. 101. diakses tanggal 11 Nopember 2011.

28

pada kenyataannya, para tunawisma masih belum mampu untuk


mencukupi kebutuhan keseharian dan lebih utama kebutuhan akan tempat
tinggal. 23
2. Penyebab munculnya tunawisma
Kemunculan tunawisma dapat disebabkan oleh beberapa hal yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Sebab-sebab yang berhubungan dengan jasmani dan rohani, seperti:
1) Frustasi (tekanan jiwa)
2) Cacat fisik
3) Cacat mental
4) Malas bekerja

b. Sebab-sebab sosial/kemasyarakatan, seperti:


1) Pengaruh-pengaruh buruk dalam masyarakat seperti madat, judi,
dan lain-lain
2) Gangguan keamanan dan bencana yang menyebabkan masyarakat
mengungsi ke daerah lain
3) Pengaruh konflik sosial
c. Sebab-sebab ekonomi, seperti:
1) Kesulitan menanggung biaya hidup, lebih-lebih yang memiliki
anggota keluarga banyak
2) Kecilnya pendapatan perkapita

23

Ibid.

29

3) Kegagalan bidang pertanian dan belum berkembangnya industry


sehingga tidak dapat menyerap tenaga kerja.24

24

Ibid., hlm. 100.

BAB III
PENDAPAT YUSUF QARDHWI TENTANG MASUKNYA
TUNAWISMA SEBAGAI PENERIMA ZAKAT DARI KELOMPOK IBNU
SABIL DALAM KITAB FIQH AL-ZAKAT

A. Biografi, Aktifitas dan Karya-Karya Yusuf Qardhwi


Yusuf Qardhwi adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal
dari Mesir. Ia dikenal sebagai seorang mujtahid pada era modern ini. Selain
sebagai seorang mujtahid beliau juga dipercaya sebagai seorang ketua majelis
fatwa. Banyak dari fatwa yang telah dikeluarkan digunakan sebagai bahan
rujukan atas permasalahan yang terjadi. Namun banyak pula yang mengkritik
fatwa-fatwanya.
Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah
Delta Sungai Nil, pada tanggal 9 September 1926. Pada usia 10 tahun, ia
sudah hafal al-Qur'an. Yusuf Qardhwi menyelesaikan pendidikan ibtidaiyah
dan tsanawiyah di salah satu pondok pesantren yang berada di Thanta dan
Yusuf Qardhwi selalu mendapatkan rangking teratas serta mendapatkan
peringkat ke dua untuk tingkat nasional sekalipun dengan kondisi ekonomi
yang sangat memprihatinkan.1 Setelah menamatkan pendidikan di Ma'had
Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qardhwi terus melanjutkan ke Universitas alAzhar, Fakultas Ushuluddin dan lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru
ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi "Zakat dan Dampaknya Dalam
Penanggulangan Kemiskinan", yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh

30

31

Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat


dengan nuansa modern.
Keterlambatannya dalam meraih gelar doktor karena sempat
meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Beliau
terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan
Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, beliau juga
mendirikan Pusat

Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi.

Ia mendapat

kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.


Dalam perjalanan hidupnya, Qardhwi pernah mengenyam "pendidikan"
penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui
tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam
pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, beliau ditangkap lagi
saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali beliau mendekam
di penjara militer selama dua tahun. Qardhwi terkenal dengan khutbahkhutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah
masjid

di

daerah

Zamalik.

Alasannya,

khutbah-khutbahnya

dinilai

menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.1


Masa kecil Yusuf Qardhwi telah identik dengan buku. Pada saat
duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyyah, beliau sering membaca karya-karya
dari Imam Ghazali. 2 Akan tetapi pada fase berikutnya

Yusuf

mulai

Yusuf Qaradawi "Ibnu al- Qaryah wa at-Kuttab, Mesir: Dar al-Syuruq, 1426
H/2006 M, Juz, 3, hlm. 338-339.
2
Maktabah Wahbah, Syekh Yusuf ul-Qaradawi Syakhshiyah al-'am al-Islamiyah, Kairo:
M, Maktabah Wahbah, Cet ke-1, 1412 H/ 2000 M, hlm. 8.

32

berkenalan dengan tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah (w. 728 H)3 dan murid
beliau, Ibnu Qayyim,(w. 751 H)

sehingga kedua tokah ini yang cukup

banyak mempengaruhi pola pikir Yusuf. Bahkan menurut asumsi Yusuf,


kedua tokoh ini mampu untuk menkolaborasikan antara salaf dan tajdid
sekaligus menolak taqlid dan fanatisme mazhab, akan tetapi Yusuf tidak
semerta-merta menolak pola pikir Imam Ghazali. 4
Di antara dari

beberapa

tokoh

ulama

Azhar

yang

banyak

memberikan kontribusi pemikiran terhadap Yusuf adalah : Syekh Muhamad


Khidir Husin (w.1378),5 Syekh Mahmoed Saltoet (w. 1383 H.),6 Syekh
DR. Muhammad Abdullah Daraz, Syekh DR. Muhammad Yusuf Musa,
Syekh Abdul Halim Mahmud, Syekh Muhammad Audan dan tokoh Azhar
lainnya yang mampu mengkolaborasikan antara orisinalitas ilmu dan
keshalehan spiritual. 7
Yusuf Qardhwi telah mengenal Ikhwanul Muslimin (IM) semenjak
kelas satu ibtidaiyah dan setelah tiga tahun berikutnya Yusuf menjadi salah
satu kader inti IM. Dimasa remajanya Yusuf sangat mengagumi pendiri
IM, Hasan al-Bana, (w. 1949 M) sekaligus mengakui pengaruh Imam
Syahid dalam membentuk pola pikir Yusuf selanjutnya.

Syekh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah, Mesir: Dar alFikir al-Arabi, t.th, hlm. 583.
4
Ibnu Qayyim, Madarij al-Salikin, Mesir: Dar al-Hadits, 1996, hlm. 7.
5
Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M, hlm. 641.
6
Muhammad Imarah, Al-Imam al-Akbar Syekh Muhammad Saltut, Mesir: alMajlis al-ala, 1422 H/ 2001 M, hlm. 9.
7
Dua syekh terakhir ini diungkapkan Yusuf dalam bukunya, al-Hayat al-Rabbaniyah
wa al-'ilmi, Mesir: Maktabah Wahbah, 1425 H/2005 M, hlm. 10.

33

Di antara tokoh IM lainnya adalah; Syekh Muhammad Baha Khuli


(w.1397 H),8 Syekh Muhammad Ghazali (w. 1416 H),9 Sayyid Sabiq
Penulis buku Fiqih Sunnah, Abdul Aziz Kamil, Abdul Qadir Audah
(w. 1374)10 yang meninggal di tiang gantungan, penulis buku Undangundang Pidana Islam, Sayyid Quthub (w.1386)11 dan beberapa tokoh IM
lainnya.
Dalam bidang Fiqh dan Usul Fiqh. Sebagai seorang ahli fiqh,
Qardhwi telah menulis sedikitnya 14 buah buku, baik Fiqh maupun Ushul
Fiqh. Antara lain, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (Halal dan Haram dalam
Islam), Al-Ijtihad fi al-Shari'at al-Islamiah (Ijtihad dalam syariat Islam), Fiqh
al-Siyam (Hukum Tentang Puasa), Fiqh al-Taharah (Hukum tentang Bersuci),
Fiqh al-Ghina' wa al-Musiqa (Hukum Tentang Nyayian dan Musik ).
Dalam bidang ekonomi Islam, buku karya Qardhwi antara
lain, Fiqh al-Zakat, Bay'u al-Murabahah li al-Amri bi al-Shira (Sistem jual
Beli al-Murabah), Fawa'id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram (Manfaat
Diharamkannya Bunga Bank), Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisad
al-Islami (Peranan Nilai dan Akhlak Dalam Ekonomi Islam), serta Dur alZakat fi Alaj al-Musykilat al-Iqtisadiyyah (Peranan zakat dalam Mengatasi
Masalah Ekonomi).

Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M, hlm. 235.
9
Ibid., hlm. 25.
10
Ibid., hlm. 523.
11
Ibid., hlm. 657.

34

Qardhwi juga menulis tentang al-Quran dan al-Sunnah. Sejumlah


buku dan kajian mendalam terhadap metodologi mempelajari Alquran, cara
berinteraksi dan pemahaman terhadap Alquran maupun Sunnah telah ditulis
beliau. Buku-bukunya antara lain Al-Aql wa al-Ilm fi al-Quran (Akal
dan Ilmu dalam al-Quran), Al-Sabru fi al-Quran (Sabar dalam al-Quran),
Tafsir Surah al-Ra'd dan Kayfa Nata'amal ma'a al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Bagaimana berinteraksi dengan sunnah).
Dalam bidang aqidah, Qardhwi menulis sekitar emnpat buku,
antara lain Wujud Allah (Adanya Allah), Haqiqat al-Tawhid (Hakikat
Tauhid), Iman bi Qadr (Keimanan kepada Qadar),
Selain karya diatas, Qardhwi juga banyak menulis buku tentang
Tokoh-tokoh Islam seperti Al-Ghazali, Para Wanita Beriman dan Abu Hasan
Al-Nadwi. Qardhwi juga menulis buku Akhlak berdasarkan Alquran dan alSunnah, Kebangkitan Islam, Sastra dan Syair serta banyak lagi yang lainnya.
B. Pendapat Yusuf Qardhwi tentang Masuknya Tunawisma Sebagai
Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat
1. Pendapat Yusuf Qardhwi tentang Masuknya Tunawisma Sebagai
Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat
a. Ibnu sabil menurut Yusuf Qardhwi dalam Kitab Fiqh al-Zakat
Dalam kitab Fiqh al-Zakat, Yusuf Qardhwi tidak serta merta
langsung memberikan pendapat beliau tentang ibnu sabil. Beliau
terlebih dahulu memaparkan pendapat jumhur ulama dan pendapat
Imam Syafii tentang ibnu sabil. Setelah itu, beliau memberikan

35

komentar terhadap pendapat terdahulu dalam bab pendapatnya tentang


ibnu sabil. Berikut ini adalah pendapat jumhur ulama dan Imam
Syafii:

Artinya: Berkata jumhur ulama:


1. Karena sabil adalah jalan, sedangkan ibnu sabil adalah orang
yang berada di jalan. Sebagaimana dikatakan (Ibnu Lalil) buat
orang yang sering keluar di waktu malam. Orang yang tinggal
di negerinya tentu tidak berada di jalan. Tidak berlaku hukum
yang ada selama perjalanan. Karenanya, maka tidaklah berlaku
hukum perjalanan hanya dengan keinginan untuk
melakukannya tanpa langsung melakukannya,
2. Dan karena sesungguhnya tidaklah dimaksud dengan ibnu
sabil kecuali orang asing, bukan orang yang ada di tanah
airnya atau di rumahnya, walaupun sudah selesai maksud dan
tujuannya.

Artinya: Dan berkata Imam Syafii tentang ibnu sabil: dia adalah orang
yang terputus bekalnya dan termasuk orang yang bermaksud
melakukan perjalanan yang tidak mempunyai bekal, keduanya
diberi untuk memenuhi kebutuhan, karena orang yang
bermaksud melakukan perjalanan bukan untuk tujuan maksiat
adalah menyerupai orang yang bepergian yang kehabisan
bekal; karena kebutuhan keduanya terhadap biaya perjalanan,
walaupun penggunaan ibnu sabil untuk makna yang kedua ini,
berdasarkan ungkapan majaz.

36

Mengenai

pendapat

jumhur

ulama,

Yusuf

Qardhwi

memberikan pengakuan bahwa pendapat pertama (jumhur ulama) yang


menyatakan bahwa tidak setiap orang yang melakukan perjalanan
berhak diberikan zakat sebagai pendapat yang lebih dekat pada tujuan
syariat. Meskipun tujuan perjalanan itu untuk kemanfaatan tertentu,
seperti perjalanan mencari penghidupan atau mengistirahatkan fikiran.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh al-zakat berikut ini:

Artinya: Sesungguhnya pendapat yang pertama lebih sesuai dengan


sifat (ibnu sabil) pada ayat ini, dan lebih dekat pada tujuan
syariat, maka tidaklah setiap orang yang menginginkan atau
bermaksud untuk melakukan perjalanan, berhak diberi bagian
zakat, walaupun tujuan perjalanannya untuk kemanfaatan
tertentu, seperti perjalanan mencari penghidupan atau
mengistirahatkan fikiran.
Sedangkan untuk pendapatnya Imam Syafii, menurut Yusuf
Qardhwi, dapat dipergunakan bagi orang yang bepergian atau
melakukan perjalanan demi kemaslahatan umum yang manfaatnya
kembali kepada agama Islam atau masyarakat Islam dengan syarat
berdasarkan pertimbangan ahli ilmu dan ahli agama. Menurut Yusuf
Qardhwi, pemberian kepada ibnu sabil dengan sifat seperti itu
menyerupai pemberian pada sabilillah dan menyerupai pemberian pada
orang karena mendamaikan dua pihak yang bersengketa yang dapat

12

Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 676; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, op. cit., hlm. 655.

37

didasarkan pada nash maupun qiyas. Hal ini seperti tertulis dalam
kalimat berikut ini di dalam kitab Fiqh al- Zakat:

Artinya: Adapun pendapat Imam Syafii bisa dipergunakan menurut


pendapat saya bagi orang yang melakukan perjalanan demi
kemaslahatan umum, yang manfaatnya kembali pada agama
Islam atau pengetahuan. Hal tersebut ditetapkan oleh seseorang
yang dianggap dari ahli ilmu pengetahuan dan agama.

Di antara alasan yang memperkuat pendapat beliau (Yusuf


Qardhwi) adalah bahwa ibnu sabil dalam ayat 60 surat Taubah
diatafkan pada sasaran fi sabilillah, yang seolah-olah Allah berfirman:
fi sabilillah dan fi ibnu sabil. Pada sebagian sasaran zakat dengan
kalimat fi gunanya adalah untuk kemaslahatan, maka diserahkan
dengan fi ha, dan yang bersifat individual diserahkan dengan lahu.
Sehingga apabila salah seorang dari mereka menerima bagian dari
zakat, maka sesungguhnya ia menerima dengan sifatnya yang
berhubungan dengan kemaslahatan umum. Karenanya itu tidak
disyariatkan

adanya

pemilikan

pada

empat

sasaran

(dalam

memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan


Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan) berdasarkan
pendapat yang sahih. Ibnu sabil berdasarkan apa yang telah
dikemukakan beliau adalah menyerupai kemaslahatan umum dan
13

Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 676-677; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, loc. cit.

38

bukan untuk dirinya sendiri. Berdasarkan itu maka sah pula, bagian
yang khusus dari zakat itu tidak diterima secara langsung melainkan
diberikan pada perusahaan penerbangan, pelayaran atau universitas
yang akan dituju dan yayasan yang akan membiayainya.14.
b. Tunawisma sebagai Penerima Zakat dari Kelompok Ibnu sabil
menurut Yusuf Qardhwi dalam Kitab Fiqh al-Zakat
Pendapat Yusuf Qardhwi tentang tunawisma sebagai penerima
zakat dari kelompok ibnu sabil dalam kitab Fiqh al-Zakat tertulis
sebagai berikut:

Artinya: Salah satu hal yang menyebabkan dahi kita berkerut, adalah
bahwa sampai saat ini kita terus melihat di banyak negara di
mana penduduknya mengaku beragama Islam, banyaknya
orang-orang yang tidak merasakan nikmatnya tempat tinggal
dan rumah. Mereka menjadikan pinggir dan lorong-lorong
jalan sebagai selimutnya. Mereka itulah anak jalanan, karena
jalan bagi mereka adalah ibu dan ayahnya. Sesungguhnya
mereka itu semua merupakan benalu bagi masyarakat yang
tinggal di daerah itu. Oleh karena itu tidak heran, apabila
Quran
memerlukan
menerangkan
mereka,
serta
14

Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 677; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, op. cit., hlm. 655-656.
15
Yusuf Qardhwi, Fiqh al-Zakat Juz VIII, op. cit., hlm. 684; Yusuf Qardhwi,
Hukum Zakat, op. cit., hlm. 662-663.

39

menjelaskannya dengan sifat yang khusus, selain sifat fakir


dan miskin, memastikan bagian buat mereka dari pajak Islam
yang utama, yaitu: zakat. Tidak aneh pula apabila mereka
diberi dari harta zakat dengan sifat mereka sebagai anak
jalanan, dan sifat kefakirannya juga. Maka berdasarkan
sifatnya yang pertama, sesuatu yang mengeluarkan mereka dari
ketergantungannya pada jalan, misalnya dipersiapkan buat
mereka rumah yang layak, kemudian mereka diberi
berdasarkan sifat yang kedua, sesuatu yang dapat mencukupi
kebutuhan dan memberikan penghidupan yang baik, sehingga
nyata terpenuhi kebutuhan manusiawinya tanpa berlebihan
atau kekurangan.
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa tunawisma
menurut Yusuf Qardhwi orang-orang yang menjadikan pinggir dan
lorong-lorong jalan sebagai selimutnya serta ibu dan ayahnya. Menurut
beliau, para anak jalanan berhak menerima zakat dengan sifat ibnu
sabil dan juga dengan sifat fakir. Berdasarkan sifat yang pertama (ibnu
sabil), maka tunawisma berhak diberikan zakat
mengeluarkan

ketergantungan

mereka

pada

yang dapat

jalan,

seperti

mempersiapkan rumah untuk mereka. Sedangkan berdasarkan sifat


yang kedua, tunawisma dapat diberikan zakat berupa sesuatu yang
mencukupi kebutuhan dan memberikan penghidupan yang baik
sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusiawinya tanpa berlebihan
atau kekurangan.
2. Istinbath Hukum Pendapat Yusuf Qardhwi Tentang Tunawisma Sebagai
Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat
Dalam kitab Fiqh al-Zakat, Yusuf Qardhwi tidak menyebutkan
secara langsung ijtihad yang digunakan beliau dalam menetapkan

40

pendapatnya tentang masuknya tunawisma ke dalam kelompok mustahik


dari ibnu sabil. Beliau hanya memaparkan beberapa pendapat ulama
tentang ibnu sabil dan memberikan komentar terhadap pendapat tersebut
serta kemudian memberikan kesimpulan pendapatnya tentang ibnu sabil.
Begitu pula dalam hal masuknya tunawisma ke dalam kelompok
mustahik dari ibnu sabil, beliau hanya memaparkan pendapat dari Imam
Ahmad tentang masuknya pengemis ke dalam kelompok ibnu sabil.
Setelah itu, beliau memaparkan tentang realitas kehidupan masa sekarang
dan kemudian memberikan kesimpulan pendapatnya tentang masuknya
tunawisma ke dalam ibnu sabil sebagai mustahik.
Dari pemaparan pendapat beliau tentang masuknya tunawisma ke
dalam kelompok ibnu sabil sebagai mustahik, dapat diketahui bahwa
metode yang beliau gunakan adalah mengambil salah satu pendapat yang
telah ada dan memiliki kemiripan dengan keadaan kehidupan sosial saat
ini yang kemudian beliau kembangkan kembali.
Dalam melakukan ijtihad, Yusuf Qardhwi menggunakan metode
ijtihad hasil temuannya yang diklasifikasikan menjadi tiga (3) dengan
penjelasan sebagai berikut:
a. Ijtihad Intiqai
Ijtihad intiqai atau tarjih, yaitu memilih satu pendapat dari
beberapa pendapat terkuat di kalangan madzhab. Ijtihad yang
dimaksud di sini meliputi pengadaan studi komparatif terhadap
pendapat-pendapat para ulama, meneliti kembali dalil-dalil yang

41

dijadikan pedoman, yang paling sesuai dengan kemaslahatan, dan


sesuai dengan tuntunan zaman. Pada akhirnya dapat dipilih
pendapat yang terkuat sesuai dengan kaidah tarjih. Dalam hal
ini ada banyak kaidah tarjih, di antaranya:
1) Hendaknya

pendapat

itu

mempunyai

relevansi

dengan

kehidupan pada zaman sekarang


2) Hendaknya pendapat itu mencerminkan kelemahlembutan dan
kasih sayang kepada manusia
3) Hendaknya pendapat itu lebih mendekati kemudahan yang
ditetapkan oleh hukum Islam
4) Hendaknya

pendapat

itu

lebih memprioritaskan

untuk

merealisasikan maksud-maksud syara, kemaslahatan manusia, dan


menolak marabahaya dari mereka.16
Dalam ruang lingkup di mana kita memilih pendapat-pendapat ini, kita
boleh mencari pendapat yang kuat dari empat madzhab, baik pendapat
itu dijadikan fatwa dalam suatu madzhab atau tidak. Karena fatwa
yang dijadikan pedoman dalam suatu komunitas, belum tentu cocok
untuk dijadikan pedoman pada komunitas yang lain. Hal ini, terkait
dengan perubahan zaman dan kondisi setempat. Berkaitan dengan
itu, maka kegiatan mengadakan perbaikan pendapat (tashhih) dan
kegiatan mencari pendapat terkuat (tarjih) dalam satu madzhab

16

Yusuf al-Qardhwi, al-Ijtihad al-Muashir baina al-Indlibaath wa al-Infiraatshh,


diterjemahkan Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,
Surabaya: Risalah Gusti, 1985, hlm. 24-25.

42

berbeda-beda dan bervariasi dari masa ke masa. Misalnya, banyak


pula

pendapat dalam

suatu

madzhab

yang

sebelumnya

ditinggalkan, tetapi generasi berikutnya berusaha menampilkan dan


dipopulerkan kembali. 17
b. Ijtihad Insyai
Ijtihad insyai, yaitu pengembalian konklusif hukum baru dari satu
persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Atau cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pendapat
baru dalam masalah itu yang belum diperoleh dalam pendapat ulamaulama salaf, baik itu persoalan lama atau persoalan baru. Adanya
permasalahan ijtihad yang menyebabkan perselisihan di kalangan
para pakar fiqih terdahulu atas dua pendapat, maka boleh seorang
mujtahid kontemporer memunculkan pendapat ketiga. Apabila mereka
berselisih pendapat atas tiga pendapat, maka ia boleh menampilkan
pendapat

keempat,

dan

seterusnya. Permasalahan

tentang

perselisihan ini menunjukkan bahwa masalah tersebut menerima


berbagai

macam

interpretasi dan pandangan serta perbedaan

pendapat.18
Sebagian besar ijtihad insyai ini terjadi pada masalah-masalah
baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama-ulama terdahulu
dan belum pernah

terjadi pada masa mereka. Andaikata mereka

sampai mengetahuinya, mungkin hanya dalam skala terkecil yang


17
18

Ibid., hlm. 27.


Ibid., hlm. 43.

43

menurut mereka belum waktunya untuk melakukan penelitian agar


memperoleh penyelesaian. 19
c. Integrasi antara Intiqai dan Insyai
Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah integrasi antara ijtihad
intiqai dan ijtihad insyai, yaitu memilih berbagai pendapat ulama
terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam
pendapatnya ditambah juga unsur-unsur ijtihad baru.20
Contoh ijtihad ini adalah mengenai fatwa yang dikeluarkan oleh
Lajnah Fatwa di Kuwait, yaitu tentang abortus yang diperbolehkan dan
yang diharamkan. Lajnah Fatwa telah mengadakan seleksi terhadap
pendapat-pendapat para pakar fiqih Islam sekaligus menambahkan
unsur-unsur kreatif baru yang dituntut oleh kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan ilmu kedokteran modern. Fatwa yang dikeluarkan
pada tanggal 29 September 1984 M. berisi:
Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan dari
seorang wanita sesudah genap (usia kandungan itu) 120 hari,
semenjak
berbentuk
segumpal
darah,
kecuali
untuk
menyelamatkan kehidupan si wanita (ibu) dari marabahaya yang
ditimbulkan oleh kandungannya itu. Seorang dokter boleh
menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan kedua belah
pihak, yaitu suami dan istri, sebelum kandungan itu genap
berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah.
Apabila usia kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan
belum sampai 120 hari, maka dalam keadaan seperti ini tidak
boleh dilakukan abortus, kecuali dalam dua kondisi berikut ini: 1)
Bila kandungan itu tetap dipertahankan, maka akan
menimbulkan bahaya bagi kesehatan sang ibu, di mana bahaya itu
sulit untuk dihilangkan. Justru bahaya itu akan terus-menerus
berlangsung sehabis melahirkan. 2) Bila sudah dapat dipastikan
19
20

Ibid., hlm. 45.


Ibid., hlm. 47.

44

bahwa janin yang bakal lahir itu akan terkena cacat badan atau
kurang sehat akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat
disembuhkan.21
Dari penjelasan di atas dan terkait dengan pendapat Yusuf
Qardhwi tentang masuknya tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil
sebagai mustahik, maka dapat diketahui bahwa istinbath hukum yang
dilakukan oleh Yusuf Qardhwi adalah dengan jalan menggabungkan
metode ijtihad al-insyai dan al-intiqai. Proses ijtihad tersebut dapat
terlihat dari indikator-indikator berikut ini:
a. Pemaparan pendapat jumhur ulama maupun imam mazhab mengenai
ibnu sabil
b. Pemaparan tentang realitas

sekarang terkait

dengan masalah

tunawisma
c. Pernyataan beliau tentang tunawisma sebagai kelompok mustahik
zakat dari ibnu sabil yang bersumber dari pengembangan pendapat
yang telah ada sebelumnya yang disandarkan pada realitas yang terjadi
di masa sekarang.

21

Ibid., hlm. 53-54.

BAB IV
ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARDHWI TENTANG TUNAWISMA
SEBAGAI PENERIMA ZAKAT DARI KELOMPOK IBNU SABIL DALAM
KITAB FIQH AL-ZAKAT

A. Analisis Terhadap Pendapat Yusuf Qardhwi Tentang Tunawisma


Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh AlZakat
Untuk melakukan analisis terhadap pendapat Yusuf Qardhwi
mengenai tunawisma ke dalam kelompok mustahik zakat ibnu sabil perlu
dilakukan dengan pertimbangan kaidah bahasa sebagai landasan analisis. Hal
ini perlu dilakukan karena pendapat beliau lebih didasarkan pada asumsi
beliau bahwa jalan bagi anak jalanan (tunawisma) adalah ibu dan ayah.
Asumsi tersebut seolah-olah terkandung dua pengertian tentang tunawisma,
yakni tunawisma adalah orang-orang yang tidak memiliki bekal yang berada
di jalanan dan orang-orang yang memiliki ketergantungan pada jalanan.
Dalam kaidah bahasa, istilah ibnu sabil merupakan bentuk idlafah
yang terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Pada dua pembentuk kata dalam
idlafah secara implisit terkandung hubungan yang dapat diberikan makna min
(dari), fi (di dalam) dan li (untuk). Umumnya, idlafah terkandung makna
hubungan min dan fi, namun jika kedua makna hubungan tersebut tidak dapat
diterapkan, maka dapat diterapkan makna hubungan li.1

Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusia, Alfiayh Ibn Malik, Kediri: Madrasah
hidayat al-Mubtadiin, t.th., hlm. 99.

45

46

Bersandar pada penjelasan makna hubungan antara mudhaf dan


mudhaf ilaih pada idlafah, maka asumsi Yusuf Qardhwi yang menyatakan
bahwa tunawisma masuk ke dalam ibnu sabil karena adanya ketergantungan
yang disebabkan anggapan bahwa jalan adalah ibu dan ayah dari anak jalanan
lebih cenderung memberikan makna hubungan min dalam istilah ibnu sabil.
Dalam konteks pendapat beliau dengan keberadaan makna hubungan tersebut
berarti memiliki arti bahwa tunawisma adalah anak (ibnu) dari jalanan (sabil)
sebagai ibu dan ayahnya.
Konsekuensi dari adanya makna hubungan dari (min) adalah
tunawisma dilahirkan oleh jalan. Hal ini dapat didukung dengan pemaknaan
ibnu dalam konteks bahasa sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ali bin
Muhammad al-Jurjani, memiliki pengertian sebagai berikut:2

Artinya: Anak adalah hewan yang dilahirkan dari nutfah (air mani) orang lain
yang sejenisnya.
Pemaknaan di atas memiliki pengertian bahwa anak dilahirkan karena
adanya nutfah dari kedua orang tuanya. Implikasinya anak memiliki kesamaan
sifat dan genetik dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, pemaknaan ibnu
sabil jika disandarkan pada pemaknaan anak di atas idealnya adalah adanya
hubungan sifat antara ibnu sabil dengan jalanan sebagai ibu dan ayahnya.
Dalam hal ini, hubungan sifat, tunawisma dalam konteks sebagai ibnu sabil
tidak memiliki hubungan dengan jalanan. Mereka tidak terlahir akibat adanya
2

hlm. 5.

Imam Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Tarifat, Surabaya: Haramain, 2001,

47

jalanan melainkan terlahir karena faktor ekonomi. Sebaliknya, keberadaan


jalan telah dijadikan tempat tinggal oleh para tunawisma.
Dalam kaidah makna hubungan fi, seakan-akan tunawisma dapat
masuk sebagai mustahik dari kelompok ibnu sabil karena keberadaan mereka
di jalanan. Namun demikian, tidak lantas dapat disetujui bahwa tunawisma
dapat dimasukkan sebagai ibnu sabil. Hal ini lebih dikarenakan sifat yang
dimiliki atau terkandung dalam tunawisma tidak seluruhnya sama dengan sifat
dari ibnu sabil. Untuk mengetahui sifat-sifat yang terkandung dalam ibnu
sabil, maka berikut ini akan penulis paparkan beberapa pendapat tentang ibnu
sabil:

Artinya:

Ibnu sabil adalah al-musafir yaitu orang yang putus di tengah jalan,
dan ia menghendaki untuk pulang ke negaranya dan tidak
menemukan sesuatu yang bisa menyampaikannya, maka dia
mendapatkan bagian dari shodaqoh.

Artinya:

Imam Syafii berkata: bagian sabilillah -dalam ayat shodaqoh- itu


diberikan kepada orang-orang yang hendak berperang dari ahl
shodaqoh baik dia fakir maupun kaya. Imam Syafii Berkata:
sedangkan ibn sabil termasuk ahl al-shodaqot; yaitu orang yang

Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XIII, t.kp: tp.,
1975, hlm. 341.
4
Ibid.

48

menghendaki negara tapi bukan negaranya karena suatu perkara


yang wajib. Imam Syafii berkata: dan orang yang berperang diberi
alat transportasi, senjata, nafaqoh, pakaian, sedangkan ibn sabil
diberi kira-kira sesuatu yang bisa menyampaikan pada negara yang
dikehendakinya dalam hal nafaqoh dan alat transportasinya.

Artinya:

Ibnu sabil adalah seseorang yang melakukan perjalanan (musafir)


yang tidak memiliki kemampuan untuk kembali ke negerinya, dan
untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju negerinya maka
diberi kepadanya sesuai kebutuhan yang dapat mengembalikannya
ke negerinya

Berdasarkan pengertian-pengertian ibnu sabil di atas dapat diketahui


bahwa pada dasarnya esensi dari ibnu sabil bukanlah pada keberadaan jalan
melainkan pada aspek perjalanan yang dilakukannya. Hal ini terlihat dari
adanya istilah-istilah berikut ini:
a. rujua ila biladihi yang berarti kembali ke negerinya dan yarjiu bihi
ila biladihi yang berrati kembali dari perjalanan menuju negerinya.
Kalimat ini mengindikasikan bahwa ibnu sabil adalah orang yang telah
melakukan perjalanan dan kehabisan bekal pada saat akan kembali ke
negerinya.
b. Yuridu biladihi ghairu biladihi yang memiliki arti yang melakukan
perjalanan

dari

negerinya

ke

lain

negeri.

Kalimat

tersebut

mengindikasikan bahwa ibnu sabil adalah orang yang kehabisan bekal

Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni Juz II,
Beirut: Daar al-KITAB al-Arabiy, t.th., hlm. 702.

49

dalam perjalanannya, baik ketika akan menuju tempat tujuan maupun pada
saat akan kembali ke negerinya.
Makna jalan tidak lantas menjadi rujukan keberadaan yang berarti ibnu
sabil berada di jalan melainkan sebagai pertanda dari suatu kegiatan yang
dilakukan oleh ibnu sabil yang memiliki hubungan dengan jalan, yakni
kegiatan perjalanan. Esensi yang terkandung dalam pengertian ibnu sabil ini
adalah bahwa orang yang dalam perjalanan tidak memiliki batasan kriteria
status ekonomi, ibnu sabil dapat berasal dari golongan apapun, tidak harus
miskin. Orang kaya yang kehabisan bekal dalam perjalanannya dan terputus
dari harta bendanya di negerinya juga dapat dimasukkan ke dalam kelompok
ibnu sabil.6
Pada perkembangan pemikiran Islam, pengertian ibnu sabil kemudian
berkembang. Perjalanan tidak hanya dimaknai sebagai proses kegiatan yang
sengaja atau diinginkan oleh seseorang melainkan juga kegiatan perjalanan
yang terpaksa dilakukan. Perjalanan yang terpaksa dilakukan tersebut di
antaranya adalah perjalanan mencari suaka ke negeri lain maupun mengungsi
karena bencana alam atau karena peperangan. Selain itu, terdapat juga
pengembangan ibnu sabil dalam bentuk pemberian yang dilakukan sebelum
orang melakukan perjalanan. Pemberian ini diberikan karena adanya faktor

Hal ini seperti dijelaskan dalam M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat
Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 205;
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 191;
Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia, 2008, hlm. 149150; Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk., Jakarta: Darus
Sunnah, 208, hlm. 216-217.

50

ketidakmampuan bekal dalam perjalanan yang akan dilakukannya. Hal ini


salah satunya diwujudkan dalam pemberian beasiswa kepada para pelajar. 7
Penjelasan di atas mengandung pengertian bahwa pemberian zakat
kepada ibnu sabil tidak didasarkan pada sifat fakir yang melekat pada
kehidupan ibnu sabil melainkan didasarkan pada sifat (kalau boleh
menggunakan kata fakir) fakir yang sementara yakni sifat kehabisan bekal
yang dialami dalam perjalanannya. Implikasinya, pemberian kepada ibnu sabil
bukan untuk menghilangkan kefakiran dalam kehidupan orang yang sedang
melakukan perjalanan melainkan untuk menghilangkan kefakiran yang
dialami dalam perjalanan akibat habisnya bekal.
Jadi, meskipun perjalanan tersebut ditujukan untuk mencari rizki
keluarga (mata pencaharian) yang dilakukan oleh orang miskin, tetap saja ia
hanya akan mendapatkan zakat sebagai ibnu sabil untuk kepentingan
perjalanannya dan bukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Jika disandarkan pada penjelasan di atas, maka ada kemungkinan
tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil sebagai mustahik zakat. Namun
tidak semua tunawisma dapat dimasukkan ke dalam kriteria ibnu sabil, hanya
tunawisma yang memenuhi syarat ibnu sabil yang dapat masuk ke dalamnya
(ibnu sabil). Dengan demikian, dapat dipersempit bahwa tunawisma yang
dapat masuk ke dalam kelompok ibnu sabil harus memiliki kriteria sebagai
berikut:
7

Penjelasan tersebut dapat dilihat dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian
Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 138-139;

51

a. Tunawisma dalam perjalanan yang disebabkan habisnya bekal sehingga


terlantar di jalan dan menjadikan jalanan sebagai tempat tinggalnya. Hal
ini dapat terjadi dalam perjalanan menuju tujuan atau dalam perjalanan
kembali ke tempat asalnya.
b. Tunawisma karena mengungsi yang disebabkan tidak dimilikinya bekal
yang cukup dalam pengungsiannya. Hal ini dapat terjadi pada kelompok
pengungsi akibat perang maupun bencana alam.
Selain terkait dengan sifat yang melekat yang disandarkan pada
keadaan yang dialami oleh kelompok yang menjadi mustahik, kurang tepatnya
pendapat Yusuf Qardhwi terkait dengan tunawisma sebagai mustahik dari
kelompok ibnu sabil adalah dalam aspek pemberian yang diterima oleh
tunawisma sebagai ibnu sabil. Menurut beliau, tunawisma bisa menerima
zakat yang dapat menghilangkan ketergantungannya kepada jalan atas sifat
ibnu sabilnya, yakni dengan mempersiapkan rumah atau tempat tinggal.
Pemberian zakat kepada ibnu sabil tidak karena sifat yang melekat
pada diri seseorang sebelum adanya perjalanan, melainkan sifat yang melekat
pada saat perjalanan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafii
dalam penjelasan mengenai ibnu sabil di atas. Pada penjelasannya Imam
Syafii menyebutkan bahwa sabilillah dapat menerima zakat sebagai ibnu
sabil manakala kehabisan bekal dalam perjalanan pulang menuju negerinya
setelah berperang. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat berperang, status
yang melekat adalah sabilillah yang berimplikasi pemberian zakat pada saat
peperangan akan disandarkan pada sifat sabilillah. Akan tetapi status tersebut

52

kemudian hilang dan berganti dengan status ibnu sabil manakala kehabisan
bekal dalam perjalanan pulang dari berperang. Ini terjadi karena telah adanya
perbedaan keadaan yang secara otomatis juga akan merubah sifat yang
melekat pada diri penerima zakat.
Ibnu Qudamah juga memberikan penjelasan yang sama terkait dengan
perbedaan keadaan yang berdampak pada perbedaan status yang disandang
oleh penerima zakat. Hal ini dapat terlihat dalam pendapat Ibnu Qudamah
berikut ini:

Artinya:

Ibnu sabil yang fakir di dalam negerinya, maka diberi karena


fakirnya. Adapun ibnu sabil yang ingin mewujudkan urusannya
(dengan melakukan perjalanan) maka diberikan zakat sebagai ibnu
sabil sebanyak yang dibutuhkan (kebutuhannya) dalam
perjalanan.

Pendapat di atas tentu akan menjadi dasar untuk menolak pendapat


Yusuf Qardhwi yang memperbolehkan pemberian tempat tinggal kepada
tunawisma. Karena pada dasarnya yang menyebabkan adanya ibnu sabil
bukanlah karena tidak adanya tempat tinggal melainkan karena habinya bekal.
Misal saja kelompok pengungsi akibat bencana alam yang mana rumahnya
hancur akibat bencana tersebut. Selama dalam pengungsian, maka ia akan
diberi zakat sebagai ibnu sabil. Sedangkan apabila ia tidak mampu
membangun kembali rumahnya, maka zakat diberikan kepadanya bukan
karena ia mengungsi namun lebih karena ia tidak memiliki kemampuan
8

Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, loc. cit.

53

ekonomi untuk membangun kembali rumahnya. Dengan demikian, ketika


berada dalam pengungsian, kelompok pengungsi akan menerima zakat sebagai
ibnu sabil sedangkan apabila telah kembali dan membutuhkan bantuan untuk
membangun rumahnya, maka dia akan menerima zakat bukan sebagai ibnu
sabil melainkan dari kelompok fakir. Selama dalam pengungsian, bisa jadi
pengungsi mendapatkan tempat tinggal atau biaya untuk tempat tinggal,
namun itu semua tidak lantas menjadi hak milik pengungsi namun hanya
bersifat sementara, yakni selama mereka dalam pengungsian.
Oleh sebab itu, pendapat tunawisma yang dimaksud oleh Yusuf
Qardhwi sebagai mustahik zakat dari kelompok ibnu sabil akan sulit
diterima. Hal ini dikarenakan tunawisma yang dimaksud oleh Yusuf Qardhwi
adalah orang-orang yang terlantar di jalanan dan mencari penghidupan di
jalanan sehingga dianggap sebagai benalu oleh masyarakat. Istilah dianggap
benalu tidak lain dikarenakan kegiatan keseharian dari para tunawisma yang
tidak ada kepastian tujuan, selain mencari sumber penghidupan. Dengan
istilah lain, tunawisma yang dimaksud oleh Yusuf Qardhwi berada di jalan
bukan karena sifat perjalanan melainkan karena faktor kemiskinan atau
kefakiran.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui terdapat perbedaan antara
tunawisma yang dimaksud oleh Yusuf Qardhwi dengan karakteristik ibnu
sabil. Perbedaan tunawisma dan ibnu sabil dapat dijelaskan dalam beberapa
hal sebagai berikut:

54

a. Hakekat makna jalan bagi tunawisma dan ibnu sabil


Hakekat makna jalan bagi tunawisma dan ibnu sabil memiliki perbedaan.
Bagi tunawisma, jalan memiliki arti sesungguhnya sebagai sesuatu yang
dipergunakan dan memiliki sifat untuk dilewati. Sedangkan bagi ibnu
sabil, hakekat jalan yang melekat padanya adalah lebih cenderung pada
makna perjalanan, yakni proses mencapai tujuan dari suatu tempat tertentu
menuju tempat tertentu. Jadi pada ibnu sabil bukan terkandung makna
orang yang berada di jalan, melainkan orang yang sedang melakukan
perjalanan.
b. Fungsi jalan bagi tunawisma dan ibnu sabil
Perbedaan hakekat jalan akan berakibat pada perbedaan fungsi. Pada
tunawisma, jalan berfungsi atau difungsikan sebagai tempat tinggal
sekaligus sebagai tempat untuk mencari penghidupan. Sedangkan pada
ibnu sabil, jalan difungsikan sebagai media untuk mencapai suatu tujuan,
bukan sebagai tempat tinggal.
c. Penyebab keberadaan di jalan
Meskipun memiliki kesamaan obyek penyebab keberadaan tunawisma dan
ibnu sabil di jalan, yakni terkait dengan bekal, namun pada hakekatnya
penyebabnya berbeda. Pada sebagian besar tunawisma, penyebab
keberadaan mereka di jalan adalah karena faktor ekonomi. Sedangkan
pada ibnu sabil, penyebab keberadaan mereka di jalan lebih karena faktor
finansial (keuangan) sebagai bekal dalam perjalanan. Kedua faktor
tersebut, yakni ekonomi dan keuangan merupakan dua faktor yang hampir

55

mirip namun memiliki perbedaan yang signifikan. Faktor ekonomi


merupakan faktor yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan usaha
pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang meliputi faktor keuangan,
sumber keuangan, kemampuan kerja, kesempatan kerja dan kekayaan.
Sedangkan faktor keuangan adalah bagian dari faktor ekonomi yang hanya
berhubungan dengan materi uang yang dimiliki oleh seseorang pada
keadaan, waktu serta tempat tertentu.
Jadi pada dasarnya, apabila seseorang memiliki permasalahan pada faktor
ekonomi, sudah pasti akan berdampak pada aspek-aspek kehidupan yang
lainnya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki masalah keuangan pada
keadaan, waktu serta tempat tertentu belum tentu memiliki atau bersumber
dari permasalahan ekonomi.
d. Tujuan keberadaan tunawisma dan ibnu sabil di jalan
Perbedaan-perbedaan di atas akhirnya akan mengerucut pada tujuan
keberadaan tunawisma dan ibnu sabil di jalanan. Para tunawisma
menjadikan jalanan sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai tempat
bekerja mereka. Artinya, jalanan menjadi tujuan dari para tunawisma
yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat mencari uang.
Sedangkan ibnu sabil tidak menjadikan jalanan sebagai tujuan melainkan
sebagai syarat menuju suatu tempat.
Meski dalam analisis di atas penulis menyatakan bahwa pendapat
Yusuf Qardhwi mengenai tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil kurang

56

dapat diterima, bukan berarti pendapat tersebut harus dihilangkan. Menurut


penulis, pendapat tersebut merupakan sebuah terobosan dalam dunia fiqh yang
belum ada penjelasannya dalam al-Quran dan hadits secara detail. Selain itu,
pendapat Yusuf Qardhwi tentang tunawisma juga merupakan gambaran
realitas kehidupan yang dapat ditemukan dengan mudah di setiap wilayah
negara, termasuk negara Islam. Oleh sebab itu, pendapat tentang keberadaan
tunawisma sebagai mustahik zakat perlu mendapat perhatian.
Namun pada sisi pemberian zakat kepada tunawisma, dengan segala
kerendahan dan keterbatasan pengetahuan penulis, ada baiknya Yusuf
Qardhwi

melakukan klasifikasi

lebih

mendetail tentang

pemberian

tunawisma. Sebab idealnya, pemberian kepada tunawisma tidak didasarkan


pada kefakiran yang melekat dalam kehidupannya melainkan disandarkan
pada kefakiran yang melekat dalam ketelantarannya di jalanan. Dengan
demikian, pemberian ideal yang dapat diterima tunawisma sebagai ibnu sabil
bukanlah rumah. Terkait dengan pendapat Yusuf Qardhwi, sekali lagi dengan
segala kerendahan dan keterbatasan pengetahuan penulis, maka berikut ini
akan diberikan solusi terhadap pendapat Yusuf Qardhwi:
a. Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan masih memiliki sanak
saudara, maka mereka dapat disebut sebagai ibnu sabil dan berhak
menerima zakat berupa biaya kepulangan ke daerah asalnya.
b. Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan tidak memiliki sanak saudara
lagi, maka mereka dapat dimasukkan ke dalam mustahik zakat dari
kelompok fakir dan miskin. Oleh sebab itu dapat diberikan zakat berupa

57

pemberian rumah tinggal dan atau kebutuhan mata pencaharian untuk


mencukupi kebutuhan hidupnya.

B. Analisis

Istinbath

Hukum

Pendapat

Yusuf

Qardhwi

Tentang

Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam


Kitab Fiqh Al-Zakat
Yusuf Qardhwi merupakan salah seorang ulama yang dikenal dengan
ijtihad kontemporernya. Meski mempunyai status sebagai ulama kontemporer,
dalam proses ijtihadnya, Yusuf Qardhwi tidak lantas melupakan syarat-syarat
berijtihjad dan hasil-hasil ijtihad terdahulu.
Pada metode ijtihad yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi tampak
sekali bahwa penalaran memainkan peranan penting dalam mengambil suatu
pendapat tentang suatu hukum yang disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Hal ini lumrah dalam alam ijtihad namun tidak berarti akan dapat
dilakukan dengan begitu mudahnya.
Dalam hukum Islam terdapat aturan-aturan yang berkaitan dengan
penentuan hukum terhadap sesuatu hal. Aturan-aturan tersebut tidak lain
adalah mengenai tata urut pengambilan hukum terhadap sesuatu masalah yang
secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:9

Mengenai tata urut ijtihad dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum
Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 109-110.

58

a. Al-Quran, yakni sebagai sumber utama dari segala sumber hukum Islam
yang merupakan firman Allah (Kalamullah) yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW
b. Sunnah, yakni segala sesuatu perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
Nabi Muhammad SAW. Sunnah merupakan penjelas hukum yang belum
ada kejelasan secara detail atau bahkan belum ada ketentuan hukumnya
dalam al-Quran.
c. Ijtihad, yakni pengambilan suatu hukum yang belum ada kejelasannya
dalam al-Quran dan al-Hadits. Metode ini dapat digunakan secara
perorangan maupun secara bersama-sama (jamaah).
Proses penetapan hukum atas tunawisma sebagai mustahik dari
kelompok ibnu sabil yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi ditinjau dari
sumber hukum Islam merupakan sebuah hasil ijtihad. Ijtihad yang
dilakukannya adalah ijtihad perorangan. Dalam sejarah perkembangan fiqh,
ijtihad perorangan telah banyak dilakukan oleh para imam mazhab.
Dalam konteks Syafiiyah, yang berhujjah pada ijtihad Imam Syafii,
penggunaan nalar (akal) sebagai media untuk menetapkan suatu hukum yang
berkesesuaian dengan zaman tidak dapat dilakukan oleh akal sendiri
melainkan harus mendasarkan pada dalil syari. Oleh sebab itulah kemudian
lahirlah metode ijtihad yang dikenal dengan istilah qiyas. Dalam metode ini,
suatu peristiwa yang baru akan diqiyaskan dengan dalil syari yang telah ada.
Sebelum Syafiiyah, metode ijtihad dengan penggunaan akal juga telah
dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang sangat dikenal sebagai ahl al-rayu.

59

Metode ijtihad yang dilakukan oleh Abu Hanifah memiliki kemiripan dengan
Imam Syafii namun berbeda dalam prakteknya. Pada ijtihad Imam Abu
Hanifah, rayu difungsikan sebagai media penafsir dari dalil syari yang
kemudian akan diambil hukum dari penafsiran tersebut.
Meskipun berbeda dalam penggunaan metode ijtihad, pada dasarnya
kedua ijtihad yang digunakan oleh dua imam mazhab memiliki kesamaan
esensi, yakni tidak melepaskan kerja akal dari sumber dalil syari yang telah
ada. Terkait dengan keberadaan pendapat yang telah ada sebelumnya, tidak
serta merta diterima oleh kedua imam mazhab tersebut namun ditelaah
terlebih dahulu. Penelaahan tersebut didasarkan pada telaah sumber hukum
yang menjadi dasar pendapat terdahulu. Dengan demikian, lagi-lagi telaah
tidak hanya dilakukan dengan memaksimalkan kerja akal semata namun
dilandasi dengan landasan hukum dalam sumber hukum Islam.
Terkait dengan model ijtihad yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi
tentang tunawisma dalam kelompok ibnu sabil sebagai penerima zakat pada
kitab Fiqh al-Zakat, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yusuf Qardhwi
hanya memaparkan pendapat-pendapat yang terdahulu. Dalam hal ini, dasar
hukum yang digunakan beliau hanya realitas sosial yang terjadi. Sedangkan
pada aspek dalil syari yang seharusnya menjadi sumber dalam menggali suatu
hukum kurang begitu diperhatikan. Pada kitab tersebut, beliau memaparkan
ayat-ayat yang berkaitan dengan ibnu sabil dan ruang lingkup perjalanan yang
terkandung dalam al-Quran.

60

Pada dalil syari yang dipergunakannya, khususnya yang berhubungan


dengan klasifikasi perjalanan, Yusuf Qardhwi menyebutkan bahwa salah satu
jenis perjalanan yang diperintahkan dalam al-Quran adalah perjalanan
mencari rizki atau karunia Allah. Hal ini sebagaimana dituliskan dalam
kitabnya sebagai berikut:


Artinya:

Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian


dari rezki-Nya. (QS. 67:15)



Artinya:

Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian


karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan
Allah. (QS. 73:20)

Berdasarkan dalil-dalil di atas dapat diketahui bahwa dalam


mengambil dan menetapkan hukum tentang tunawisma dalam perspektif
Yusuf Qardhwi sebagai kelompok ibnu sabil disandarkan pada dua keadaan
yang terkandung dalam dalil-dalil yang dipergunakannya, yakni keadaan
perjalanan mencari rizki atau karunia dan di jalanan (sabil).
Kedua keadaan tersebut sekilas akan mirip dengan keadaan ibnu sabil
bagi orang yang kehabisan bekal dalam upaya mencari rizki. Akan tetapi jika
dikaji lebih mendalam, maka akan ada perbedaan yang mendasar antara
tunawisma dengan ketentuan ibnu sabil. Perbedaan pertama adalah ada dan
tidak adanya tujuan dalam mencari rizki. Pada orang yang bekerja mencari

61

rizki, mereka memiliki tujuan tempat dan juga tempat untuk kembali,
sedangkan pada tunawisma tidak ada tujuan tempat secara pasti. Perbedaan
kedua, hakekat mencari rizki antara tunawisma dengan orang yang bekerja.
Pada orang yang bekerja, mencari rizki memiliki hakekat kerja yakni
penerimaan hak (upah) karena adanya kewajiban yang telah dipenuhinya,
sedangkan pada tunawisma, mencari rizki mereka tidak berdasarkan
pertemuan kewajiban dan hak melainkan didasarkan pada pemberian hak
kepada tunawisma tanpa adanya pemenuhan kewajiban kerja terlebih dahulu.
Perbedaan kedua di atas, yakni hakekat mencari rizki, idealnya
dijadikan landasan oleh Yusuf Qardhwi dalam menentukan posisi atau status
dari tunawisma. Hal ini disandarkan pada aspek status yang disandang oleh
tunawisma akibat tidak adanya kepemilikan harta benda dan kemampuan
kerja. Sifat-sifat yang dimiliki oleh tunawisma tersebut lebih dekat dengan
sifat fakir sebagaimana disebutkan oleh Abi al-Muthi Muhammad bin Umar
Nawawi al-Jawi (Imam Nawawi) sebagai berikut:

Artinya:

Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan


yang layak, yang salah satu dari keduanya atau keduanya tidak
bisa mencukupinya, baik segi makan, pakaian, tempat tinggal dan
lain-lain yakni dari sesuatu yang memenuhi kebutuhannya dan
orang-orang yang menjadi kewajibannya.

Menurut hemat penulis, tunawisma tanpa harus mencari rizki idealnya


telah mendapatkan bagian dari zakat karena keadaan yang melekat pada diri
10

Abi Muthi Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Imam Nawawi), Nihayat al-Zain fi
Arsyad al-Mubtadi-in, Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah, 1971, hlm. 175.

62

mereka. Zakat tersebut terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup dari


tunawisma dari tidak adanya kemampuan harta dan kerja yang dimiliki oleh
tunawisma. Pendapat yang dapat menguatkan adalah pendapat Ibnu Qudamah
yang menyatakan bahwa seorang fakir yang masih menetap dalam negerinya
akan diberi zakat sebagai fakir dan baru akan diberi zakat sebagai ibnu sabil
manakala ia menjadi musafir yang kehabisan bekal. Hal ini sama dengan
gambaran tunawisma yang dimaksud oleh Yusuf Qardhwi yang digambarkan
orang yang berada di suatu wilayah yang menjadi benalu bagi masyarakat di
daerah itu.
Keadaan yang dialami oleh tunawisma yang dimaksud oleh Yusuf
Qardhwi akan lebih dapat disebut sebagai kelompok peminta-minta dan
bukan ibnu sabil. Kedua kelompok ini jelas sangat berbeda dan tidak dapat
saling memasuki di antaranya dengan tetap menggunakan sifat yang melekat.
Hal ini dapat disandarkan pada Q.S. al-Baqarah ayat 177 sebagai berikut:







Artinya:

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu


suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah

63

beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.
Dari ayat di atas sangat jelas sekali dibedakan antara ibnu sabil dengan
peminta-minta sebagai pihak yang berhak atas pemberian zakat maupun infak
dan sedekah. Oleh sebab itulah maka selayaknya tunawisma tidak dapat
dikategorikan sebagai ibnu sabil karena sifat utama yang melekat pada
keduanya tidak sama. Di samping itu, keduanya juga tidak dapat memasuki ke
lain kelompok dengan sifat asalnya.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa istinbath hukum yang
dilakukan oleh Yusuf Qardhwi hanya mendasarkan pada kesamaan keadaan
yang dialami oleh tunawisma dengan makna harfiah ibnu sabil. Sedangkan
esensi sifat yang terkandung dalam ibnu sabil dan tunawisma tidak dijadikan
sebagai acuan dalam membandingkan penentuan status tunawisma yang
berdampak pada masuknya tunawisma ke dalam kelompok ibnu sabil sebagai
penerima zakat.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendapat Yusuf Qardhwi mengenai masuknya tunawisma sebagai
mustahik dari kelompok ibnu sabil kurang sesuai dan kurang dapat
diterima. Penyebabnya di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Esensi dan sifat tunawisma tidak memenuhi kriteria ibnu sabil.
b. Pemberian zakat yang disarankan Yusuf Qardhwi lebih cenderung
pada penghilangan kefakiran daripada menghilangkan kebutuhan bekal
Meski demikian, pendapat Yusuf Qardhwi akan dapat dijadikan sebagai
pengembangan fiqh terutama terkait dengan tunawisma sebagai mustahik.
Dari pendapat tersebut dapat dibuat pengembangan klasifikasi tunawisma
sebagai mustahik zakat sebagai berikut:
a. Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan masih memiliki sanak
saudara, maka mereka dapat disebut sebagai ibnu sabil dan berhak
menerima zakat berupa biaya kepulangan ke daerah asalnya.
b. Bagi tunawisma yang terlantar di jalanan dan tidak memiliki sanak
saudara lagi, maka mereka dapat dimasukkan ke dalam mustahik zakat
dari kelompok fakir dan miskin. Oleh sebab itu dapat diberikan zakat

64

66

berupa pemberian rumah tinggal dan atau kebutuhan mata pencaharian


untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
2. Ijtihad yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi merupakan integrasi antara
metode intiqai dan insyai. Sedangkan istinbath hukum yang dilakukan
oleh Yusuf Qardhwi lebih mengarah pada penggunaan dalil secara makna
harfiah semata dan mempertemukannya dengan realitas sosial yang ada.
Pada dasarnya, jika mengacu pada esensi sifat yang terkandung dalam
tunawisma, maka tunawisma yang dimaksud oleh Yusuf Qardhwi
idealnya masuk ke dalam kategori fakir.
B. Saran-saran
Dari penelitian yang telah dilakukan ini, dengan penuh kerendahan hati
dan keterbatasan pengetahuan penulis, maka ada beberapa catatan yang
diperoleh selama penelitian, yaitu:
1. Meski masih berpeluang menimbulkan kerancuan, pendapat Yusuf
Qardhwi tentang ibnu sabil dapat dipergunakan sebagai titik tolak dalam
mengklasifikasikan ibnu sabil pada masa sekarang. Namun demikian,
tetap diperlukan analisa yang mendalam dalam melakukan klasifikasi
tersebut agar tidak lepas dari esensi ibnu sabil yang telah ditentukan oleh
syara.
2. Perlu adanya penelitian pengembangan terkait dengan istinbath hukum
yang menjadi dasar pendapat-pendapat Yusuf Qardhwi. Hal ini
dipandang penting karena ijtihad yang dilakukan oleh Yusuf Qardhwi
merupakan ijtihad yang dikembangkan dengan metodenya sendiri. Dengan

66

adanya penelitian pengembangan tersebut, diharapkan akan lebih


memperluas kajian dan ruang lingkup ijtihad di masa kontemporer.
C. Penutup
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan dengan selesainya proses
penyusunan skripsi ini. Berkaca pada ungkapan bijak bahwa tak ada gading
yang tak retak, maka penulis dengan kerendahan hati memohon kritik dan
saran yang bersifat membangun sebagai bahan evaluasi hasil karya ini. Di
balik kekurangan dan kesalahan karya ini, penulis berharap semoga karya ini
mampu menjadi setitik air dalam lautan ilmu pengetahuan. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Abi Muthi Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Imam Nawawi), Nihayat alZain fi Arsyad al-Mubtadi-in, Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah, 1971.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat, Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997.
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Jakarta : PT Bumi Restu, 1976.
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002.
Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: QultumMedia,
2008.
Ibnu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni
Juz II, Beirut: Daar al-Kitab al-Arabiy, t.th.
Ibnu Qayyim, Madarij al-Salikin, Mesir: Dar al-Hadits, 1996.
Imam Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Tarifat, Surabaya: Haramain, 2001.
Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab Juz XIII, t.kp: tp.,
1975.
_______, Lisan al-Arab Juz XV, t.kp: tp., 1975.
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran
dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006
M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Maktabah Wahbah, Syekh Yusuf ul-Qaradawi Syakhshiyah al-'am al-Islamiyah,
Kairo: M, Maktabah Wahbah, Cet ke-1, 1412 H/ 2000 M.
Muhammad Imarah, Al-Imam al-Akbar Syekh Muhammad Saltut, Mesir: alMajlis al-ala, 1422 H/ 2001 M.
Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusia, Alfiayh Ibn Malik, Kediri:
Madrasah hidayat al-Mubtadiin, t.th.

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk., Jakarta:
Darus Sunnah, t.th.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat, terj. Suharlan dkk, Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2008.
Muhammad Hamid al-Fiq, al-Insyaf Juz 3, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1956.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. ke-2,
2002.
Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M.
Mustasydr Abdullah Uqail Sulaiman, Min a'alam al-Dakwah wa al-Harakah alIslamiyah, Mesir: Dar al-Tauzi, 1426 H/ 2005 M.
Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Maarif, 1997.
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
Syekh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah, Mesir: Dar
al-Fikir al-Arabi, t.th.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
Gramedia, 2008.
Yusuf al-Qardhwi, al-Ijtihad al-Muashir baina al-Indlibaath wa alInfiraatshh, diterjemahkan Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer Kode Etik
dan Berbagai Penyimpangan, Surabaya: Risalah Gusti, 1985.
_______, "Ibnu al- Qaryah wa at-Kuttab, Mesir: Dar al-Syuruq, 1426 H/2006 M,
Juz, 3
_______, Fiqh al-Zakat, Beirut: Daar al-Marifat, t.th.
_______, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk., Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993.

Вам также может понравиться