Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DOKUMEN TEKNIS - 2
KONVERSI KAWASAN HUTAN :
ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA
Tenaga Ahli :
1. Sulaefi, Ph.D.
2. Dr. Agus Surono, S.H., M.H.
3. Drs. Herry Yogaswara, M.A.
Daftar Isi
Halaman
Daftar Isi ........................................................................................
Daftar Tabel ...................................................................................
Daftar Gambar ...............................................................................
i
ii
iii
10
11
12
13
20
21
22
26
27
27
29
Lampiran
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1. Luas Lahan Terlantar di Indonesia 2005 / 2006 ............
15
ii
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1: Bagan Alir Kerangka Berpikir Analisis dan Solusi Pemecahan
Masalah Konversi Kawasan Hutan
Gambar 1. Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi ......
28
iii
Dokumen Teknis 2:
Konversi Kawasan Hutan :
Analisis Masalah dan Konsep Penyelesaian
1. Latar Belakang
Salah satu kebijakan Reforma Agraria yang didengungkan oleh
Presiden RI adalah tanah untuk keadilan dan kemakmuran, termasuk
mencoba apa yang disebut dengan Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN), yaitu salah satunya dengan cara distribusi tanah negara seluas 9,25
juta hektar, dimana 8,15 juta hektar berasal dari hutan konversi dan 1,1 juta
ha berasal dari tanah dibawah kewenangan langsung BPN (Winoto 2006 via
Fauzi, 2008 : 18). Dengan demikian, keberhasilan PPAN dari tolok ukur
luasan yang akan dibagikan kepada petani miskin akan sangat tergantung
dari ketersediaan tanah yang ada, dalam hal ini tanah-tanah yang masih
dalam juridiksi Departemen Kehutanan. Dengan kata lain, konversi kawasan
hutan menjadi suatu hal yang penting untuk menunjang keberhasilan
program ini.
Konversi kawasan hutan, di dalam nomenklatur Departemen
Kehutanan adalah perubahan status kawasan hutan yaitu perubahan status
sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan (Kepmenhut 70/KptsII/2001). Hal ini tampaknya perlu dibedakan dengan konsep perubahan
fungsi kawasan hutan yang merupakan perubahan sebagian atau seluruh
fungsi hutan dalam suatu kawasan hutan (Kepmenhut 70/Kpts-II/2001).
Dalam dokumen ini pengertiannya lebih mengacu pada pengertian perubahan
status kawasan hutan, khususnya untuk kegiatan-kegiatan di luar sektor
kehutanan. Fokus dokumen ini adalah melihat kemungkinan perubahan
kawasan hutan untuk program distribusi tanah negara. Konversi kawasan
hutan itu sendiri telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan untuk berbagai
keperluan, misalnya untuk lokasi transmigrasi, kawasan pertambangan,
kawasan perkebunan dan kebutuhan akan lahan lainnya.
Pemerintah melalui Departemen Kehutanan dan departemen lainnya
dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) telah memagari aturan-aturan
perubahan kawasan HPK untuk berbagai kepentingan. Untuk kepentingan
transmigrasi diatur melalui SKB 126/MEN/1994, No 422/Kpts-II/1994
tentang areal hutan untuk pemukiman transmigrasi. Sedangkan pelepasan
kawasan untuk pembangunan pertanian mengacu pada SKB Menhut, Mentan
dan BPN No. 364/Kpts-II/1990, 519/Kpts/JK.050/7/1990 tgl. 23-8-1990
tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk
Pengembangan Usaha Pertanian.
Data menunjukkan untuk perkebunan saja hingga tahun 2004 telah
dilepaskan kawasan hutan seluas 4.655,000 ha untuk 525 unit. Sedangkan
yang sudah mendapatkan ijin prinsip tetapi belum dilepaskan kawasannya
mencapai 4,055,000 ha dengan 274 unit ijin prinsip. Kemudian untuk
transmigrasi hingga tahun 2004 tercatat 956,672,81 ha, sementara ijin
prinsip lainnya telah tercatat seluas 601.658 ha, tetapi belum dilepaskan
karena belum dilakukan tata batas.
Dari angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan
memang memegang peranan penting sebagai penyedia sumber daya lahan
untuk kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan itu sendiri. Namun,
sesuai dengan kebijakan pemerintah yang akan mendistribusikan tanah
negara, dan potensi luasan tanah tersebut ada di wilayah kawasan hutan,
maka perlu untuk membangun suatu mekanisme konversi kawasan hutan
untuk kepentingan distribusi tanah. Tampaknya perlu ada suatu mekanisme
yang lebih spesifik mengenai konservasi kawasan hutan untuk kepentingan
distribusi tanah, mengingat terdapat karakter yang berbeda antara pelepasan
kawasan untuk transmigrasi, perkebunan, dan pertambangan, dimana subyek
penerima tanah tersebut merupakan badan pemerintah atau swasta yang
relatif lebih established dibandingkan calon penerima tanah obyek distribusi
yang hampir seluruhnya adalah petani (miskin).
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
Gambar 1:
Bagan Alir Kerangka Berpikir Analisis dan Solusi Pemecahan Masalah Konversi Kawasan Hutan
Kondisi Obyektif Program PPAN
yang membutuhkan 8,25 juta ha
lahan hutan
Isu-Isu Konversi
1. Persepsi
tentang
kawasan hutan yang
dapat dikonversi
2. Penelantaran
kawasan
yang
sudah
dilepaskan
karena fokus untuk
pengambilan kayu
melalui IPK
3. Tumpang-tindih ijin
konversi
4. Berbagai ijin di
daerah untuk HPK
5. Berbagai ijin di
pemerintah pusat
pada HPK
Analisis :
- Analisis Peraturan
- Analisis Kelembagaan
- Analisis politik dan
kebijakan
Rekomendasi
- Penyempurnan
peraturan
- Penegakan Peraturan
dan Kordinasi
- Komitmen Dephut
dalam Reforma Agraria
selain
mempunyai
prinisp-prinsip
keadilan
dan
kemakmuran,
status/peruntukan
kawasan
hutan
adalah
fungsi
kawasan
hutan
adalah
suatu
proses
HGU-kan 2,4 juta hektar dan 2,3 juta hektar belum di HGU-kan
dicadangkan untuk bahan bakar nabati dan ketahanan pangan.
Berdasarkan PP No 47 tahun 1997 tentang RTRW Nasional dan
PP No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan ditegaskan
bahwa kawasan hutan merupakan bagian dari tata ruang nasional yang
wilayahnya dikuasai oleh negara (Ali Djajono, 2007). Kawasan hutan
dibagi ke dalam dua bagian wilayah sesuai fungsinya, yaitu kawasan
hutan yang berfungsi lindung, yaitu Hutan Lindung (HL), kawasan
pelestarian alam yang meliputi Taman Nasional (TN), Taman Hutan
Raya (Tahura), dan Taman Wisata Aalam (TWA); Kawasan Suaka Alam
yang meliputi Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM) dan Taman
Buru. Selanjutnya adalah Kawasan hutan yang berfungsi budi daya, yaitu
hutan prouksi yang meliputi Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan
Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi
(HPK)
Sesuai dengan UU 41/1999 yang disebut dengan Hutan
Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan. Selanjutnya yang disebut dengan Hutan
Produksi Terbatas adalah hutan alam produksi yang karena faktor
topografi, kepekaan jenis tanah dan iklim sehingga pemanfaatan hasil
hutan kayunya dibatasi berdasarkan limit diameter tebang sesuai
dengan
ketentuan
yang
berlaku
(Kepmenhut
88/kpts-II/2003.
kenyataannya
penunjukan
HPK
pada
waktu
lalu
tidak
yang
sebetulnya
layak
menjadi
obyek
tanah
yang
dapat
didistribusikan.
Selanjutnya berdasarkan PP 44/2004 (ibid : 1-2), kriteria HPK
adalah sebagai berikut : (1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng,
jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka
penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, di luar kawasan
10
11
12
areal
pencadangan
pengganti
berupa
kawasan
kemudian
tim
perumus
(tahun
2000)
kembali
beradasarkan
pengaruh-pengaruh
politik
lokal
hingga
13
14
maupun
15
Tabel 1
Luas Tanah Terlantar di Indonesia, 2005/2006
Pulau
Luas Lahan
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
Total
Ha
3.039.390
53.330
913.785
7.424.375
987.176
Td
12.418.056
%
24,5
0,4
7,4
59,8
7,9
td
100
tanah
terlantar
ini
sebetulnya
telah
disadari
sepenuhnya oleh pemerintah baik pada masa lalu hingga masa kini.
UUPA sendiri telah memberikan beberapa pasal agar penelantaran
tanah tidak terjadi. Misalnya pasal 27, Pasal 34 dan pasal 40 dalam
UUPA (Parlindungan, 2003). Kemudian Peraturan Pemerintah No
Menurut Klarifikasi dari Depnakertrans lokasi tanah redistran yang pemukiman mendapat 10%
artinya untuk transmigrasi swakarsa mandiri artinya dia akan berpindah dengan sendirinya
waktu lokasi sudah berkembang akan dialokasikan tanah yang ada di situ. Sekarang sedang
mengadakan kerjasama permintaan dengan Perkebunan yang ada di sekitar permukiman
1
16
pertaniannya
menghadapi
kendala
perijinan
untuk
Namur
mendapatkan
ijin
sebetulnya
membuka
para
pengusaha
hutan
(berupa
itu
hanya
IPK),
ingin
kemudian
hak
tanggungan
adalah
urusan
privat,
sedangkan
Mengambil
pengalaman
17
pengetahuan
dari
para
peserta,
menunjukkan bahwa hanya 3 kasus saja yang diproses ke BPN pusat. Ini
memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah. Padahal tanah-tanah
terlantar tersebut adalah tanah pertanian, artinya sangat berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat
Sedangkan
Parlindungan
(2003)
mengidentifikasikan
18
ladang yang berasal dari kawasan hutan, hutan tua, belukar yang selama
2-3 tahun tidak dimanfaatkan dianggap sebagai tanah terlantar.
Sedangkan untuk obyek tanah sawah apabila 5 tahun tidak dikerjakaan
dianggap sebagai tanah terlantar (ibid : 5-6)
Masalah penelantaran tanah sebetulnya dapat diantisipasi
melalui peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang. Menurut
Prof Maria Sumardjono prakarsa yang diawali dengan pengaturannya
dalam konsep RUU Hak Milik sepatutnya didukung dan perlu
diupayakan elaborasinya untuk selanjutnya dapat diterapkan pula
terhadap hak-hak atas tanah lainnya, kecuali HGU (Sumardjono, 2008 :
16). Namun RUU Hak Milik itu belum ada juga (Majalah Parlementaria,
5 Agustus 2007). Padahal dalam Prolegnas 2006-2009 RUU Hak Milik
menempati nomor urut pertama.
Kemudian perlu dilakukan elaborasi yang menyangkut lima hal
(Sumardjono,
op.cit
16-17),
yaitu
(1)
pengertian
tidak
19
hutan
HPK
untuk
kebutuhan
non
kehutanan
tanpa
menunjukan
bahwa
berbagai
rencana
investasi
yang
20
masyarakat
peramu
masyarakat
di
kawasan
hutan
itu
untuk
21
adanya
otonomi
daerah,
provinsi
Papua
telah
kegiatan
pembangunan,
termasuk
menikmati
hasil-hasil
dapat
menimbulkan
konflik
perijinan
22
Sehingga pada obyek yang sama terjadi tumpang tindih perijinan dan ini
merupakan masalah dan mengakibatkan deforestasi yang tidak
terkendali.
Kepmenhut
No.
418/Kpts-II/1993
Tentang
Penetapan
Tambahan
23
SKB
Menteri
Kehutanan,
Menteri
Pertanian
dan
Kepala
Badan
hidup
dan
kelestarian
hutan
(SK
Mentan
No.
24
seperti
BPN,
Transmigrasi
dan
Pertanian/Perkebunan
telah
25
26
27
hutan
melalui
program-program
seperti
PHBM,
Hutan
28
(HPK)
luasannya
belum
memadai
dan
masih
untuk
memberikan
petunjuk
mengenai
tata-cara
29
akses
kepada
masyarakat
untuk
memanfaatkan
sendiri
mengandung
beberapa
ketidak-jelasan
mengenai
otonomi
daerah
telah
menimbulkan
konflik
Rekomendasi
1. Diperlukannya suatu Kepres yang secara khusus mencadangkan
kawasan hutan untuk kepentingan reforma agraria, yaitu distribusi
tanah bagi masyarakat miskin. Apabila pemerintah sebelumnya telah
berani mengeluarkan Perpu untuk kepentingan usaha pertambangan,
30
31
Lampiran 1
MenTrans dan
Perambah Hutan
Surat Permohonan
Penerimaan
Prinsip
Pencadangan
Kawasan Hutan
Penerimaan
Persetujuan
Prinsip
Pencadangan
Kawasan Hutan
Disampaikan
permohonan
melalui
Dirjen
Inventarisasi
Melaksanakan
Kegiatan dalam Surat
Persetujuan
Melakukan
Persiapan
Pembangunan
BAP
Penerimaan
Prinsip
Pencadangan
Kawasan Hutan
Proses
Penyusunan
Pertimbangan
Surat
Permohonan
Kanwil
Kehutanan
Penerimaan
Permohonan
Pertimbangan
Penerimaan
Permohonan
Pertimbangan
Mengajukan
Surat
Permohonan
Permohonan Hak
Pengelolaan
Ke BPN
Tim Pertimbangan
Sekjen Kehutanan
Menteri
Kehutanan
Saran dan
Pertimbangan
Penyampaian
Saran dan
Pertimbangan
Permohonan
Kawasan
a
d
a
T
i
d
a
HPH
Penolakan
Permohonan
Menunggu Jawaban
Untuk Penguasaan
Hasil Hutan
selama 3 hari
Disampaikan
melalui ke
Kanwil
Kehutanan
melalui
Penerimaan
BAP
Jawaban
a
d
Pengelolaa
?
oleh HPH
SK Pelepasan
(Syarat untuk
sertifikasi
pengelolaan)
Gambar 2:
Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi
T
d
k
a
d
Pengelolaan oleh
perusahaan lain
atau koperasi
n:
Kewajiban
Pungutan ijin
hasil hutan
(2) pungutan
lainnya
32
Lampiran 2
:
LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN/
Forest Area Based on Decree of Minister of Forestry
PROPINSI
LUAS DARATAN
PROPINSI
(Ha)
*)
Surat Keputusan
KSA dan KPA
HL
Nomor
Tanggal
Jumlah
Perairan
Daratan
HPT
HP
HPK
DI Aceh
5.539.000,00 170/Kpts-II/2000
29 Juni 2000
1.066.733,00
231.400,00
835.333,00
1.844.500,00
37.300,00
601.280,00
SUMBAR
4.289.800,00 422/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
846.175,00
39.900,00
806.275,00
910.533,00
246.383,00
407.849,00
Jambi
5.343.600,00 421/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
676.120,00
676.120,00
191.130,00
340.700,00
971.490,00
2.179.440,00
Bengkulu**)
1.978.900,00 420/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
444.882,00
444.882,00
252.042,00
189.075,00
34.965,00
920.964,00
Lampung
3.538.500,00 256/Kpts-II/2000
23 Agustus 2000
462.030,00
462.030,00
317.615,00
33.358,00
191.732,00
1.004.735,00
DKI Jakarta
66.400,00 220/Kpts-II/2000
2 Agustus 2000
108.272,34
108.000,00
272,34
44,76
158,35
475,45
Jawa Barat
4.317.700,00 419/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
252.604,00
46.187,35
206.416,65
240.402,00
213.412,00
338.653,00
998.883,65
JATENG
3.254.900,00 435/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
115.086,00
110.117,30
4.968,70
75.538,00
174.185,00
396.751,00
651.442,70
Jawa Timur
4.792.300,00 417/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
230.248,30
230.248,30
315.505,30
811.452,70
1.357.206,30
10 DI Yogyakarta
318.600,00 171/Kpts-II/2000
29 Juni 2000
910,34
910,34
2.057,90
13.851,28
16.819,52
11 Bali
563.300,00 433/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
26.293,59
3.415,00
22.878,59
95.766,06
6.719,26
1.907,10
127.271,01
12 NTB **)
2.015.300,00 418/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
139.025,00
11.064,00
127.961,00
421.854,00
334.409,00
126.278,00
1.010.502,00
13 NTT
4.734.900,00 423/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
350.330,00
253.922,00
96.408,00
731.220,00
197.250,00
428.360,00
101.830,00
1.555.068,00
14 KALBAR
14.680.700,00 259/Kpts-II/2000
23 Agustus 2000
1.645.580,00
77.000,00
1.568.580,00
2.307.045,00
2.445.985,00
2.265.800,00
514.350,00
9.101.760,00
15 KALSEL
3.653.500,00 453/Kpts-II/1999
17 Juni 1999
175.565,00
175.565,00
554.139,00
155.268,00
688.884,00
265.638,00
1.839.494,00
JUMLAH LUAS
DARATAN KAWASAN
HUTAN
189.346,00
3.318.413,00
2.560.386,00
33
16 SULSEL
6.248.300,00 890/Kpts-II/1999
14 Oktober 1999
789.066,00
580.765,00
208.301,00
1.944.416,00
855.730,00
188.486,00
102.073,00
3.299.006,00
17 SULUT
2.748.800,00 452/Kpts-II/1999
17 Juni 1999
518.130,00
89.065,00
429.065,00
341.447,00
552.573,00
168.108,00
34.812,00
1.526.005,00
18 SULTRA
3.814.000,00 454/Kpts-II/1999
17 Juni 1999
1.664.069,00 1.471.800,00
192.269,00
1.061.270,00
419.244,00
633.431,00
212.123,00
2.518.337,00
19 SULTENG
6.368.900,00 757/Kpts-II/1999
23 September 1999
676.248,00
676.248,00
1.489.923,00
1.476.316,00
500.589,00
251.856,00
4.394.932,00
20 Maluku
7.787.100,00 415/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
443.345,00
324.747,00
1.809.634,00
1.653.625,00
1.053.171,00
2.304.932,00
7.146.109,00
21 Irian Jaya
42.198.100,00 891/Kpts-II/1999
14 Oktober 1999
2.054.110,00 10.585.210,00
9.262.130,00
40.298.365,00
22 SUMSEL
10.925.400,00 76/Kpts-II/2001
15 Maret 2001
714.416
431.445,00
4.416.837,00
23 KALTIM
21.098.500,00 79/Kpts-II/2001
15 Maret 2001
2.165.198
118.598,00
9.704.300,00 1.926.475,00
7.777.825,00 10.619.090,00
500,00
714.416
760.523
217.370
2.293.083
2.164.698
2.751.702
4.612.965
5.121.688
14.651.053,00
24 SUMUT
7.168.000,00
25 R i a u
9.456.100,00
26 KALTENG
15.356.400,00
JUMLAH
192.257.000,00
Sumber/ Source :
Keterangan/Note :
- Data TN (L) Wakatobi seluas 1.390.000 ha belum dimasukkan dalam SK Penunjukkan Kawasan Hutan Prop. Sulawesi Tenggara No.454/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999
- Untuk 3 propinsi (Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah) saat ini sedang diproses di Daerah.
*) Data luas didasarkan pada perhitungan secara manual (belum digitasi)
**) Hutan Fungsi Khusus (HFK) di Prop. Bengkulu seluas 6.865 ha (Pusat Latihan Gajah) dimasukkan kedalam fungsi pokok kawasan hutannya (HPT) dan di Propinsi Nusa Tenggara Barat
seluas 403 ha (Hutan Penelitian) kedalam Hutan Lindung (HL)
104.893.504,63
Lampiran 3
34
35
Kepustakaan :
C:\Budi
Cahyono\Majalah
PP\Th
2002\Edisi
27\Abdul
Basyar.rtf Halaman
http://jayono.blogspot.com/2007/05/reforma-agraria.html
Hakim