Вы находитесь на странице: 1из 183

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU AMAN

KARYAWAN DI PT. SIM PLANT TAMBUN II TAHUN 2010

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH:
SITI HALIMAH
105101003304

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010 M / 1431 H

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Maret 2010

Siti Halimah

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, 10 Maret 2010
Siti Halimah, NIM : 105101003304
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Aman Karyawan Di PT. SIM
PLANT Tambun II Tahun 2010
xviii+ 165 Halaman, 11 Tabel, 9 Gambar, 7 Lampiran
ABSTRAK
Perilaku manusia yang berhubungan dengan keselamatan merupakan sebuah
pendekatan untuk menganilis apa yang dibutuhkan untuk membuat perilaku aman
lebih dimungkinkan dan mengurangi perilaku yang berisiko (Geller, 2001). PT SIM
(Suzuki Indomobil Motor) Plant Tambun II adalah salah satu perusahaan yang
memproduksi kendaraan roda empat yang bermerk SUZUKI. Berdasarkan data
kecelakaan akibat tindakan tidak aman di PT SIM Plant Tambun II mengalami
penurunan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku aman agar faktor-faktor tersebut dapat lebih dioptimalkan.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional.
Populasi pada penelitian ini berjumlah 1200 orang. Pengambilan data dilakukan
secara random dengan jumlah sampel 130 responden yang dilakukan menggunakan
metode simple random sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square
dan analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik ganda.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui 83,9% pekerja berperilaku aman dan
16,2% pekerja yang berperilaku tidak aman. Faktor-faktor yang tidak mempengaruhi
perilaku aman adalah pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, lama kerja,
ketersediaan APD, peraturan keselamatan, promosi keselamatan, dan pelatihan.
Sedangkan, faktor-faktor yang terbukti mempengaruhi perilaku aman adalah peran
pengawas dan peran rekan kerja.
Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar pengawas lebih berperan aktif dan
dilakukan pengawasan secara teratur dan konsisten. Selain itu, perlu ditingkatkan
kepedulian sesama rekan kerja melalui program STOP (Safety Observation Training
Program).

Daftar bacaan : 46 (1980-2006)

STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA


FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH PROGRAM STUDY
Undergraduate Thesis, Marc 10th 2010
Siti Halimah, NIM : 105101003304
Influence Factors of Workers Safety Behavior In PT. SIM PLANT Tambun II
Year 2010
xviii+ 165 pages, 11 tables, 9 pictures, 7 attachments
ABSTRACT
Behavioral safety is an approach for analyzing what needs to be done to make
safe behavior more probable and at-risk behavior less probable (Geller, 2001). PT
SIM (Suzuki Indomobil Motor) Plant Tambun II is the one of the car manufacturing
company which the branded is SUZUKI. Based on their report of unsafe act, there
was decreasing. Therefore, it must be done to research about Influence factors of
Workers Safety Behavior. In order to the those factors could be optimize.
The research was quantitative analyze with cross sectional method approach. The
Total responden were 1200 people, based on simple random sampling calculating
were 130 people as sample that chosen randomly. Then, the bivariate analyze with
statistically tested by chi square formula, and continued with logistic regression test
as multivariate analyze.
The results show that 83,9% the workers behavior are safe act and 16,2%
the workers behavior are unsafe act. The factors which not influence workers safety
behavior were knowledge, attitude, perception, motivation, age, work period,
availability of PPE, safety rule, safety promotion, and training. The result proved the
factors which influence the workers safety behavior were supervisor and peer
influence.
Therefore, it is recommended to increase contributing and monitoring of
supervison regularly and consistently and then to increase awareness between worker
with STOP (Safety Training Observation Program).

References : 46 (1980-2006)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU AMAN


KARYAWAN DI PT. SIM PLANT TAMBUN II TAHUN 2010

Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi


Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 19 Maret 2010

Yuli Amran, SKM, MKM


Pembimbing Skripsi I

Iting Shofwati, ST, MKKK


Pembimbing Skripsi II

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, 19 Maret 2010

Ketua

(Yuli Amran, SKM, MKM)

Anggota I

(Iting Shofwati, ST, MKKK)

Anggota II

(Dr. Drs. Tri Krianto, MKes)

CURICULUM VITAE
Nama
Tempat/Tgl Lahir
Jenis Kelamin
Agama
Status Materital
Kewarganegaraan
Alamat

: Siti Halimah
: Bekasi, 12 Desember 1986
: Perempuan
: Islam
: Belum Menikah
: Indonesia
: Kp. Siluman RT 005/005 No. 22
Desa Mangun Jaya, Tambun Bekasi 17510.
: 02199934033/085714683567
: sithy_halimah@yahoo.com

Telp/Hp
Email
Riwayat Pendidikan
Tahun
2005-2010

Riwayat Pendidikan
S1- Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
SMUN 1 Tambun Selatan
SLTPN 1 Tambun Selatan
SDN Mangun Jaya 03
TK Nurul Amin

2002-2005
2000-2002
1995-2000
1994-1995

Pegalaman Pelatihan
Tahun
2008
2008

Pengalaman Pelatihan
Training Sistem Manajemen K3 OSHAS 18001 : 2007
Training Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004

Pengalaman Organisasi
Tahun
2008-2010
2008-2009
2006-2007
2003-2004

Pengalaman Organisasi
Anggota Forum Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Jurusan Kesehatan
Masyarakat (FSK3)
Sekretaris PASIFIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sekretaris Kelompok Ilmiyah Remaja (KIR) SMUN 1 Tambun Selatan

Lembar Persembahan





Di pelataran agungMu nan lapang
aku setitik noda yang menempel pada pekat
gumpalan yang menyeret warna bias kelabu
berputaran mengatur melaju luluh dalam gemuruh
talbiah, takbir dan tahmit ........
Dikejar dosa-dosa dalam kerumuman dosa ada sebaris
doa yang siap kuucapkan lepas terhanyut air mata
tersangkut di kiswah nan hitam.......
(K.H Mustafa Bisri)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT dengan segala Kekuatan dan RahmatNya sehingga penulis bisa menyelesaikan Skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan
manfaat dalam upaya memajukan ilmu pengetahuan, pengabdian kepada bangsa, dan
ibadah kepada Allah Yang Maha Memiliki Segalanya.
Skripsi dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempangaruhi Perilaku Aman
Karyawan di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 disusun sebagai salah satu
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi, dan semangat
kepada :
1. Keluargaku yang tiada letih melimpahkan kasih sayangnya, kebahagiannya,
semangatnya, dan perjuangan serta pengorbanannya yang tiada terhingga
untukku. Terutama untuk ibu dan bapakku, doa kalian ibarat sungai nil yang tak
kan pernah kering dan tiada tertandingi. Aku bersyukur mempunyai kalian.
Thanks to Allah yang memberikan kalian kepadaku. Tak lupa pula tuk adikku
yang memberikanku semangat baru untuk menjadi lebih baik lagi.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak dr. Yuli P. Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
5. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku Pembimbing I yang selalu siap memberikan
bimbingan dan pengarahan yang membangun dalam proses penyusunan skripsi,
terima kasih ibu atas bimbingan, nasihat, ilmu, motivasi, saran-saran, dan doa
yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku pembimbing II, Terima kasih kepada Ibu
yang secara tulus dan penuh kesabaran membimbing dan mengajarkan banyak hal
tentang kuliah dan kehidupan. Pengalaman dan pengetahuan ibu menjadikan ibu
sosok yang bijak, kuat, tegar dan tegas. Ibu adalah salah seorang yang menjadi
inspirasiku dalam kehidupan ini.

7. Bapak Dr Drs. Tri Krianto, MKes selaku dosen penguji dalam sidang skripsi,
terima kasih atas kesediaan Bapak menjadi penguji dan memberikan bimbingan,
saran-saran, kemudahan, dan motivasi selama penyusunan skripsi.
8. Bapak Yudi Prasetyo, SE selaku Staff Safety member yang penuh canda dan
secara terbuka menerima dan memberikan kritik dan saran yang bermanfaat
selama kegiatan skripsi berlangsung. Terima kasih atas semua waktu, bantuan,
perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.
9. Bapak Suhendra, SE selaku Safety Officer yang tak lelah memantau
perkembangan skripsi dan memberikan saran dan kritikan yang bermanfaat.
10. Bapak Bambang selaku HRD yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian.
11. Bapak Sasongko yang menambah kecerian dan semangat selama proses skripsi.
12. Seluruh staff safety member dan TC yang banyak memberikan dukungan dalam
proses penyusunan skripsi.
13. Om Gito Susilo yang telah membukakan jalan menuju gerbang PT. SIM Plant
Tambun II.
14. Seluruh Staff dan pekerja di PT. ISI Plant Tambun II, terimakasih atas waktunya,
bantuannya, dan perhatiannya.
15. Yuni Harti, teman seperjuangku selama penyusunan skripsi di PT. SIM Plant
Tambun II, terimaksih atas kebersamaan, bantuan, dukungan, dan canda tawanya
selama ini.
16. Sahabat-sahabat terbaikku yang walaupun jauh namun begitu erat memberikan
semangat, pemikiran, perhatiannya selama proses penyusunan skripsi dan
kehidupan ini, Thanks Unforgetable all of you.
17. Teman- teman UIN, FKIK, Kesmas, K3 Yang telah banyak memberikan
dukungan dan kebaikan selama perkuliahan hingga saat ini. Thanks 4 all.
18. For My Silvester, yang tiada lelah menemani dan memberikan bantuan, semangat,
dan perhatiannya dalam menyempurnakan penyusunan skripsi ini.
Akhir kata dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, penulis berharap
semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca
lain.

Jakarta, 19 Maret 2010

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ..........................................................................

ABSTRAK ........................................................................................................

ii

ABSRACT ......................................................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................

iv

PANITIA SIDANG ........................................................................................

CURICULUM VITAE ...................................................................................

vi

LEMBAR PERSEMBAHAN ..........................................................................

vii

KATA PENGANTAR ...................................................................................

viii

DAFTAR ISI .

DAFTAR TABEL ............................................................................................

xv

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

xvii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xviii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

1.2.Rumusan Masalah ..

1.3.Pertanyaan Penelitian .

1.4.Tujuan Penelitian

10

1.5.Manfaat Penelitian .

11

1.6.Ruang Lingkup .

11

TINJAUAN PUSTAKA ...................

12

2.1 Keselamatan Kerja ..

12

2.1.1. Konsep Keselamatan Kerja ...

12

2.1.2. Budaya Keselamatan Kerja ...

13

2.1.3. Kinerja Keselamatan Kerja

17

2.2 Kecelakaan Kerja

19

2.2.1. Pengertian Keselamatan Kerja ..

19

2.2.2. Teori ILCI Loss Coution Model

20

2.3 Perilaku ...

21

2.3.1 Pengertian Perilaku ...

21

2.3.2 Bentuk Perilaku .

22

2.4 Perilaku Aman

22

2.5 Teori Perubahan Perilaku

24

2.5.1 Teori Lawrence Green ...

24

2.5.2 Teori Perubahan Perilaku Aman

26

2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Aman ...

36

2.6.1 Pengetahuan ..

37

2.6.2 Sikap .

39

2.6.3 Persepsi .

43

2.6.4 Motivasi .

46

2.6.5 Umur .

52

2.6.6 Lama Bekerja

53

2.6.7 Ketersediaan APD .

55

2.6.8 Peraturan Keselamatan ..

56

2.6.9 Safety Promotions /Promosi Keselamatan Kerja ..

61

2.6.10 Pelatihan Keselamatan Kerja

64

2.6.11 Peran Pengawas ........

66

2.6.12 Peran Rekan Kerja

70

2.7 Kerangka Teori

71

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .......

73

3.1 Kerangka Konsep

73

3.2 Definisi Operasional

75

3.3 Hipotesis .

77

BAB IV METODE PENELITIAN .......

78

4.1 Desain Penelitian .

78

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...

78

4.3 Populasi dan Sampel

78

4.3.1 Populasi .

78

4.3.2 Sampel ..

79

4.4 Pengumpulan Data ..

79

4.5 Pengolahan Data ..

79

4.6 Instrumen penelitian

80

4.7 Analisa Data

84

4.7.1 Analisis Univariat .

84

4.7.2 Analisis Bivariat

85

BAB V

4.7.3 Analisis Multivariat ..

85

HASIL ...............................................................................................

88

5.1 Gambaran PT Suzuki Indomobil Motor (SIM)

88

5.2 Gambaran Perilaku Aman Pekerja ..

90

5.3 Gambaran Faktor Internal (Pengetahuan, sikap, persepsi,


motivasi, umur, dan Lama Bekerja) di PT SIM Plant Tambun II
Tahun 2010 ..

91

5.4 Gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan


keselamatan, safety promotion/promosi keselamatan, pelatihan
keselamatan, peran pengawas, dan pera rekan kerja) di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010

93

5.5 Hubungan faktor internal (Pengetahuan, sikap, persepsi,


motivasi, umur, dan Lama Bekerja) dengan perilaku aman di
PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010

95

5.6 Hubungan faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan


keselamatan, safety promotion/promosi keselamatan, pelatihan
keselamatan, peran pengawas, dan pera rekan kerja) dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010

98

5.7 Faktor yang paling dominan berhubungan terhadap perilaku


aman di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 ..

102

BAB VI PEMBAHASAN ...............................................................................

108

6.1 Keterbatasan Peneliitiian .

108

6.2 Perilaku Aman .

109

6.3 Hubungan antara variabel internal (Pengetahuan, Sikap,


Persepsi, Motivasi, Umur, dan Lama Bekerja) dengan perilaku
aman

111

6.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Aman ...

112

6.3.2 Hubungan Sikap dengan Perilaku Aman ..

114

6.3.3 Hubungan Persepsi dengan Perilaku Aman ..

117

6.3.4 Hubungan Motivasi dengan Perilaku Aman .

122

6.3.5 Hubungan Umur dengan Perilaku Aman ..

127

6.3.6 Hubungan Lama Kerja dengan Perilaku Aman

129

6.4 Hubungan faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan


keselamatan, safety promotion/promosi keselamatan, pelatihan
keselamatan, peran pengawas, dan pera rekan kerja) dengan
perilaku aman .

132

6.4.1 Hubungan Ketersediaan APD dengan Perilaku Aman ..

132

6.4.2 Hubunga Peraturan Keselamatan dengan Perilaku Aman.

136

6.4.3 Hubungan Promosi Keselamatan dengan Perilaku Aman.

141

6.4.4 Hubungan Pelatihan dengan Perilaku Aman.

144

6.4.5 Hubungan Peran Pengawas dengan Perilaku Aman

149

6.4.6 Hubungan Peran Rekan Kerja dengan Perilaku Aman .

152

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................

156

7.1 Kesimpulan .

156

7.2 Saran

159

DAFTAR PUSTAKA ..

161

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1

Definisi Operasional ..

Tabel 5.1

Distribusi responden berdasarkan perilaku aman di PT SIM


Plant Tambun II tahun 2010 ..

Tabel 5.2

98

Hasil Analisis Bivariat antara faktor Internal dan eksternal


dengan perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahu 2010 ..

Tabel 5.7

95

Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal dengan


perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010 .

Tabel 5.6

93

Distribusi responden berdasarkan faktor internal dengan


perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010 .

Tabel 5.5

91

Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal di PT SIM


Plant Tambun II tahun 2010 ..........

Tabel 5.4

91

Distribusi responden berdasarkan faktor Internal di PT SIM


Plant Tambun II tahun 2010 ..........

Tabel 5.3

75

Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Antara


Pengetahuan,

Persepsi,

Motivasi,

Ketersediaan

APD,

103

Peraturan, Promosi keselamatan, Peran Pengawas, Peran rekan


kerja di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 ..
Tabel 5.8

Hasil Analisis Multivariat Antara Peran Pengawas dan Peran


rekan kerja dengan perilaku aman (model akhir) ..

Tabel 5.9

104

Hasil Uji Interaksi antara Peran Pengawas Dan Peran Rekan


Kerja Terhadap Perilaku Aman .

Tabel 5.10

104

105

Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Antara Peran


Pengawas dan Peran rekan kerja

106

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1

Grafik Kecelakaan Kerja Akibat Unsafe Act di area


produksi PT SIM Plant Tambun II

Gambar 2.1

Total budaya keselamatan yang memerlukan perhatian yang


berkesinambungan pada tiga jenis faktor penyokongnya .

Gambar 2.2

15

Aspek internal dan eksternal yang dapat menentukan


keberhasilan proses keselamatan ..

Gambar 2.3

16

Korelasi antara antisiden, determinan, dan komponenkomponen kinerja keselamatan

18

Gambar 2.4

The ILCI Loss Caution Model .

20

Gambar 2.5

Teori Lawrence Green ..

25

Gambar 2.6

ABC Model .

36

Gambar 2.7

Kerangka Teori ..

72

Gambar 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

74

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Bukti Penelitian

Lampiran

Kuesioner Penelitian

Lampiran

Pedoman Observasi

Lampiran

Pedoman Wawancara

Lampiran

Analisis Univariat

Lampiran

Analisis Bivariat

Lampiran

Analisis Multivariat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya pencegahan dari
kecelakaan dan melindungi pekerja dari mesin, dan peralatan kerja yang akan
dapat menyebabkan traumatic injury (Colling, 1990 dalam Kondarus (2006).
Secara keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) didefinisikan sebagai
ilmu dan penerapan teknologi tentang pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja. Dengan memberikan perlindungan K3 diharapkan pekerja dapat
bekerja dengan aman, sehat, dan produktif.
Menurut Bird (1990) yang dikutip oleh Sialagan (2008), kecelakaan
merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan dapat membahayakan orang,
menyebabkan kerusakan pada properti atau kerugian pada proses. Kecelakaan dan
penyakit akibat kerja yang terjadi dapat menganggu operasi perusahaan. Kerugian
yang dialami perusahaan dapat berupa kerugian ekonomi dan non ekonomi.
Kerugian ekonomi adalah segala kerugian yang bisa dinilai dengan uang, seperti
rusaknya bangunan, peralatan, mesin, dan bahan, biaya untuk pengobatan,
perawatan, dan santunan bagi tenaga kerja yang cidera/sakit, serta hari kerja yang
hilang karena operasi perusahaan yang terhenti sementara. Kerugian non ekonomi
antara lain yaitu rusaknya citra perusahaan, bahkan jika kejadian itu menimbulkan
kematian pada tenaga kerja (Sahab, 1997).

Berdasarkan Riset yang dilakukan badan dunia International Labour


Organization (ILO) (1989) dalam Sumamur (1996) memberikan kesimpulan
bahwa setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, hal ini setara dengan 1 orang
setiap 15 menit atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit dan kecelakaan kerja
yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang meninggal dua kali
lebih banyak dibanding wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan
pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah
menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam
pekerjaan seperti terkena zat kimia beracun.
Di Indonesia, kasus kecelakaan kerja (KK) menunjukkan grafik turun
naik. Berdasarkan data Jamsostek tahun 2003-2006, diketahui bahwa selama
tahun 2003 terjadi 105.846 KK, kemudian pada tahun 2004 turun menjadi 95.418
KK. Pada tahun 2005, angka kecelakaan kerja meningkat menjadi 99.023 KK.
Angka ini tahun 2006 turun menjadi 95,624 KK (Jamsostek, 2008). Data tersebut
belum termasuk kasus kecelakaan kerja yang tidak dilaporkan oleh perusahaanperusahaan yang tidak mengikuti program Jamsostek.
Sementara itu, jika kita melihat The Heinrich Triangle dalam Bird dan
Germain (1990) yang dikutip oleh Sialagan (2008) dapat terlihat rasio terjadinya
kecelakaan dengan perbandingan 1:29:300, dimana 1 adalah mayor injury, 29
adalah minor injuries, dan 300 adalah insiden near-miss. Begitu juga studi kasus
kecelakaan pada beberapa perusahaan yang dilakukan Bird menunjukan bahwa
begitu banyaknya kejadian near-miss yang melatarbelakangi terjadinya sebuah
kecelakaan serius. Dari studi tersebut Bird mengemukakan rasio terjadinya

kecelakaan dengan perbandingan 1-10-30-600, dimana 1 adalah cidera berat, 10


adalah cidera ringan, 30 adalah kerusakan harta benda, dan 600 adalah kecelakaan
hampir cidera (near-miss) (Sialagan, 2008).
Kecelakaan kerja secara umum disebabkan oleh 2 hal pokok yaitu perilaku
kerja yang tidak aman (unsafe act) dan kondisi kerja yang tidak aman (unsafe
conditions). Heinrich (1980) memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil
kontribusi perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa perilaku manusia merupakan unsur yang memegang
peranan penting dalam mengakibatkan suatu kecelakaan.
Beberapa pendekatan dilakukan untuk mengurangi atau mencegah
terjadinya cidera akibat kecelakaaan dan berdasarkan hasil komparasi yang
dilakukan oleh Stephen Guastello (1993) dalam Geller (2001) terhadap beberapa
pendekatan untuk mengurangi cidera di tempat kerja menunjukan bahwa
pendekatan terhadap perilaku mencapai hasil yang paling berhasil untuk
mengurangi cidera di tempat kerja yaitu sebesar 59,6% diikuti dengan pendekatan
ergonomi sebesar 51,6%, dan pendekatan engineering control sebesar 29%.
Selain itu, Geller (2001) menggambarkan pentingnya pendekatan perilaku yang
didasari keselamatan (behavior based safety) dalam upaya meningkatkan
keselamatan kerja baik yang bersikap reaktif atau proaktif. Dalam perspektif
reaktif upaya keselamatan ditelusuri dari perilaku yang berisiko atau tidak aman
(at risk behavior) yang berakibat pada kerugian. Hal ini dapat diartikan bahwa
upaya reaktif menunggu terjadinya tidak aman dulu. Sedangkan dalam perspektif
proaktif upaya keselamatan kerja ditelusuri dari perilaku aman (safe behavior)

yang menghasilkan suatu kesuksesan pencegahan kecelakaan kerja. Geller (2001)


juga menyebutkan agar pencapaian behavior based safety berhasil adalah lebih
baik dengan menggunakan pendekatan yang berupaya mendorong terjadinya
peningkatan perilaku aman. Upaya ini berujung pada usaha pencegahan terjadinya
kecelakaan di tempat kerja atau hal ini dapat dikatakan juga berupa pendekatan
yang bersifat proaktif dalam manajemen keselamatan.
Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku manusia terdapat
faktor-faktor yang berpengaruh, diantaranya faktor dari dalam (Internal) seperti
susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belajar, dan sebagainya.
Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) sperti lingkungan fisik/non
fisik, iklim, manusia sosial, dan ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya
(Notoadmodjo, 2003).
Beberapa penelitian menyebutkan beberapa faktor yang berhubungan
dengan perilaku aman, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Hendrabuwana (2007) pada tahun 2007 yang dilakukan pada pekerja Departemen
Cor PT Pindad Persero Bandung dengan penelitian deskriptif yang menggunakan
metode cross sectional diperoleh 45,1% (23 orang) berperilaku kerja selamat dan
54,9% (28 orang) berperilaku tidak selamat. Sedangkan variabel yang
berhubungan dengan perilaku bekerja selamat adalah pengawasan, peraturan, dan
lingkungan.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Sialagan (2008) pada pekerja
PT EGS Indonesia yang dilakukan pada bulan November tahun 2008, dengan
jumlah pekerja sebanyak 31 orang yang terdiri dari 10 orang personil kantor dan

21 orang personil lapangan dengan menggunakan penelitian deskriptif dan


pendekatan cross sectional diperoleh 94% responden termasuk dalam kategori
baik berperilaku aman. Selain itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara
faktor pengetahuan, motivasi, persepsi, peran rekan kerja, dan penyelia terhadap
perilaku aman. Penelitian lainnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Helliyanti
(2009) pada pekerja Dept. Utility and Operation PT Indofood Sukses Makmur
Tbk Divisi Bogasari Flour Mills tahun 2009 diperoleh responden yang
berperilaku aman sebanyak 60% sedangkan yang tidak berperilaku aman
sebanyak 40%.
Berdasarkan hasil penelitian Karyani (2005) menyebutkan bahwa dari 113
pekerja di Schlumberger Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa supervisor
(pengawas) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku aman,
yaitu sebanyak 51 (45,13%) responden yang menyatakan peran pengawas yang
kurang baik berpengaruh terhadap perilaku pekerja yang tidak aman dibanding
peran pengawas yang baik (8,85%). Hasil perhitungan Odds Ratio menunjukkan
peran pengawas yang kurang baik cenderung 9,633 kali mendorong pekerja
berperilaku tidak aman daripada peran pengawas yang baik (95% CI 3.97023.376). Faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan perilaku tidak aman
yaitu peran rekan kerja yang rendah (40,71%), persepsi yang rendah (36,63%),
dan motivasi yang rendah (40,71%).
Pada penelitiannya, Karyani (2005) juga memaparkan bahwa supervisor
dan rekan kerja di tempat kerja merupakan pelaksana pengawasan. Pengawasan
yang dilakukan oleh supervisor dan rekan kerja tidak hanya untuk tenaga kerja

baru tetapi juga untuk pekerja lama yang telah lama berada di lokasi kerja. Selain
itu, pengawasan terhadap pekerja untuk berperilaku aman akan kurang efektif
apabila para pekerja memiliki motivasi yang rendah dalam bekerja.
Semakin

baik

peran

supervisor

dalam

K3 maka

akan

sangat

mempengaruhi perilaku aman pekerja di tempat tersebut. Adapun peran


supervisor pada hakikatnya adalah kepemimpinan yang merupakan refleksi sistem
manajemen yang ada. Jadi, supervisor (pengawas) yang baik akan menumbuhkan
rasa tanggung jawab yang pada akhirnya akan membentuk perilaku kerja yang
aman (Karyani, 2005).
PT. SIM Plant Tambun II atau PT Suzuki Indomobil Motor Plant Tambun
II merupakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia yang memproduksi
kendaraan roda empat bermerk SUZUKI. Berikut ini adalah data kecelakaan
akibat Unsafe Act di area produksi PT SIM Plant Tambun II, yaitu :

Ringan;
Sedang;
2006; 2006;
3
3

Sedang; 2007; 2

Sedang;
Berat;
2008;2008;
2 2
Ringan

Berat; 2006; 1Ringan; 2007;


Berat;
1 2007; 1

Sedang
Berat

Ringan; 2008; 0

Gambar 1.1 Grafik Kecelakaan Kerja Akibat Unsafe Act di Area


Produksi PT SIM Plant Tambun II
Sumber : Administrasi P2K3 PT. SIM

Berdasarkan data kecelakaan pada gambar 1.1 dapat disimpulkan bahwa


tingkat kecelakaan kerja akibat unsafe act semakin menurun. Meskipun demikian,
dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 dan 2008 terjadi peningkatan kecelakaan
yang berat seperti dua jari tangan dan punggung telapak tangan yang terjepit
mesin, dan luka bakar pada tangan karena terkena cairan soda api.
Kecelakaan akibat unsafe act yang terjadi di PT SIM Plant Tambun II ini
karena bekerja dengan tergesa-gesa dan kurang berhati-hati, meletakan APD di
tempat yang tidak seharusnya, kurang memahami cara bekerja yang aman,
bekerja yang kurang ergonomis, pekerja yang menaruh komponen di tempat yang
salah, membersihkan mesin pada saat mesin menyala, membersihkan tangan
sembarangan.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa unsafe act dan unsafe condition
mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan. Kehatihatian dan perilaku pekerja yang aman sangat dibutuhkan untuk menghindari
terjadinya kecelakaan akibat unsafe act karena pendekatan terhadap pekerjalah
yang dapat dilakukan apabila mesin sulit dikendalikan. Selain itu, Heinrich (1980)
memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi perilaku kerja yang tidak
aman (unsafe act).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PT SIM Plant
Tambun II pada bulan Oktober 2009 diperoleh 7 dari 15 pekerja yang berperilaku
tidak aman (46,67%) seperti tidak memakai APD (Alat Pelindung Diri) lengkap,
duduk di jig (tempat meletakkan komponen) dan Pallet (Rak komponen) dan 8

diantaranya berperilaku aman (53,33%) seperti bekerja sesuai prosedur yang


ditentukan, memakai APD, menjaga kebersihan dan kerapihan area kerja.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Geller (2001) menyebutkan
pentingnya pendekatan perilaku yang didasari keselamatan (behavior based
safety) dalam upaya meningkatkan keselamatan kerja. Dengan meningkatnya
keselamatan kerja maka dapat meningkatkan produktivitas pekerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan. Selain itu, manusia
merupakan salah satu aset terbesar dalam mencapai keberhasilan perusahaan.
Berdasarkan beberapa penelitian dan teori yang dipaparkan diatas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku aman karyawan di area produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Adapun faktor-faktor yang akan diteliti antara lain, faktor internal meliputi
pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, lama bekerja, status karyawan, dan
faktor eksternal seperti peraturan keselamatan, ketersediaan APD, safety
promotions/promosi K3, pelatihan K3, peran pengawas dan peran rekan kerja.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan data kecelakaan akibat unsafe act di PT SIM Plant Tambun
II terdapat peningkatan jenis kecelakaan yang berat dari tahun 2008 ke tahun
2009 seperti jari kelingking tangan dan punggung telapak tangan yang terjepit
mesin, dan tangan yang terkena cairan soda api. Selain itu, berdasarkan hasil studi
pendahuluan di PT SIM Plant Tambun II pada bulan Oktober 2009 diperoleh 7
dari 15 pekerja yang berperilaku tidak aman (46,67%) dan 8 orang diantaranya
berperilaku aman (53,33%). Selain itu juga, belum diketahuinya faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun


2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II
tahun 2010?
2. Bagaimana gambaran faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi,
umur, dan lama bekerja) di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010?
3. Bagaimana gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja, pelatihan
keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) di PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010?
4. Bagaimana hubungan antara faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi,
motivasi, umur, dan lama bekerja) dengan perilaku aman karyawan di PT
SIM Plant Tambun II tahun 2010?
5. Bagaimana hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja, pelatihan
keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) dengan perilaku aman di
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010?
6. Faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman
karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010?

1.4 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku aman
karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran perilaku aman karyawan di PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010.
2. Diketahuinya gambaran faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi,
motivasi, umur, dan lama bekerja) di PT SIM Plant Tambun II tahun
2010.
3. Diketahuinya gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja,
pelatihan keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010.
4. Diketahuinya hubungan antara faktor internal (pengetahuan, sikap,
persepsi, motivasi, umur, dan lama bekerja) dengan perilaku aman
karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
5. Diketahuinya hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD,
peraturan keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan
Kerja, pelatihan keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja)
dengan perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.

6. Diketahuinya faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan


perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi PT. SIM Plant Tambun II
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perusahaan
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku aman karyawan
sehingga dapat lebih dioptimalkan dalam mencapai keberhasilan perusahaan.
2. Bagi FKIK UIN Jakarta
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan referensi tentang
perilaku aman (safety behavior).
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi, bahan bacaan, dan
bahan referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai perilaku aman (safety
behavior).
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mengetahui

faktor-faktor

yang

mempengaruhi perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 Maret 2010. Metode
penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional (potong lintang) dengan
pengambilan data primer berupa data-data perusahaan dan data pendukung
lainnya, dan data sekunder melalui penyebaran kuesioner, observasi, dan
wawancara.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keselamatan Kerja


2.1.1. Konsep Keselamatan Kerja
Menurut Colling (1990), kesehatan dan keselamatan kerja adalah
upaya pencegahan dari kecelakaan dan melindungi pekerja dari mesin,
dan peralatan kerja yang akan dapat menyebabkan traumatic injury .
Menurut ILO/WHO (1980) keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah
promosi dan pemeliharaan terhadap faktor fisik, mental dan sosial pada
semua pekerja yang terdapat di semua tempat kerja, mencegah gangguan
kesehatan yang disebabkan kondisi kerja, melindungi pekerja dan semua
orang dari hasil risiko dan dari faktor yang dapat mengganggu kesehatan,
menempatkan dan menjaga pekerja pada lingkungan kerja yang adaptif
terhadap fisiologis dan psikologis dan dapat menyesuaikan antara
pekerjaan dengan manusia dan manusia lain sesuai jenis pekerjaannya
(Kondarus, 2006).
Dalam UU RI No. 1 Tahun 1970 dinyatakan bahwa setiap tenaga
kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam
melakukan pekerjaan dan perlu diadakan segala upaya untuk membina
norma-norma perlindungan kerja. Berbagai upaya dilakukan oleh
perusahaan sebagai tempat bekerja untuk melindungi pekerjanya dari

bahaya kecelakaan kerja. Upaya-upaya itu antara lain pengendalian


rekayasa (Engineering control), pengendalian administratif, dan
pengendalian perilaku.
Menurut Sumamur (1996), tujuan dari keselamatan kerja antara
lain :
a. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam
melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan
produksi serta produktivitas nasional.
b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat
kerja.
c. Sumber produksi terpelihara dan dipergunakan secara aman dan
efisien.
2.1.2. Budaya Keselamatan Kerja
Budaya keselamatan (safety culture) yang dipaparkan oleh Hale
(2002) dalam Neal dan Griffin (2002) adalah sesuatu yang berkenaan
dengan sikap, keyakinan, dan persepsi yang didapat dari kelompoknya
sebagai penentu norma atau nilai yang menentukan bagaimana mereka
bereaksi sehubungan dengan risiko dan system control risiko.
Geller (2001) memaparkan sebuah misi dalam mengembangkan
total budaya keselamatan (Total Safety Culture) yang berperan sebagai
suatu petunjuk atau standar yang diperkenalkan dalam bukunya yang
berjudul The Psychology of Safety Hanbook. Pernyataan misi budaya
keselamatan ini mencakup :

a. Mempromosikan suatu lingkungan pekerjaan yang didasarkan pada


keterlibatan

karyawan,

kepemilikan,

kerjasama

kelompok,

pendidikan, pelatihan, dan kepemimpinan.


b. Membangun

penghargaan

pada

diri

sendiri,

empowerment,

kebanggaan, gairah, optimis, dan dorongan inovasi.


c. Penguatan

kebutuhan

akan

karyawan

yang

secara

aktif

memperhatikan teman sekerja mereka.


d. Mempromosikan filosofi keselamatan yang merupakan bukanlah
suatu prioritas yang dapat disampaikan lagi, tetapi suatu nilai yang
dihubungkan dengan setiap prioritas.
e. Mengenali kelompok dan prestasi individu.
Misi total budaya keselamatan ini lebih mudah dikatakan daripada
prakteknya, tetapi terjangkau melalui suatu sumber variasi proses
keselamatan; yang diawali dari disiplin psikologi dan engineering. Pada
umumnya, suatu total budaya keselamatan memerlukan perhatian yang
berkesinambungan pada ke tiga faktor, yaitu (Geller, 2001):
1. Faktor lingkungan (termasuk peralatan, equipment, layout fisik,
standar, prosedur, dan temperatur).
2. Faktor orang (termasuk sikap masyarakat, kepercayaan, dan
kepribadian).
3. Faktor perilaku (termasuk praktek kerja aman dan beresiko (tidak
aman), seperti halnya melampaui panggilan tugas untuk campur
tangan atas keselamatan orang lain).

Ketiga faktor tersebut biasanya dinamakan "tiga serangkai


keselamatan (The Safety Triad)" (Geller, 2001) yang digambarkan pada
gambar 2.1 di bawah ini :

Lingkungan

Orang
Pengetahuan, Ketrampilan,
Kemampuan, Inteligensi,
Motif, Kepribadian

Equipment, peralatan,
mesin, Housekeeping,
Panas/Dingin, Engineering,
Standar, prosedur operasi

Budaya
Keselamatan

Perilaku
Persetujuan, Pelatihan,
Pengenalan, Komunikasi,
Pertunjukan, kepedulian yang
aktif

Sumber : Geller (2001)


Gambar 2.1
Total Budaya Keselamatan Yang Memerlukan Perhatian Yang
Berkesinambungan Pada Tiga Jenis Faktor Penyokongnya
Menurut

Geller

(2001),

ketiga

faktor

tersebut

saling

mempengaruhi satu dengan yang lainnya dalam proses pencapaian


keselamatan di perusahaan dan jika terjadi perubahan pada salah satu
faktor tersebut maka kedua faktor lainnya pun ikut berubah. Geller
(2001) juga menyebutkan bahwa faktor perilaku dan faktor orang
merupakan aspek manusia dan biasanya kedua faktor tersebut lebih
sedikit diperhatikan dari pada faktor lingkungan. Kemudian Geller (2001)
mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut dan berdasarkan hasil

integrasi diperoleh dua faktor internal dan eksternal. Hal ini dapat terlihat
dari gambar dibawah ini (Geller, 2001):
Manusia

Internal
Status ciri-ciri:
Sikap, kepercayaan,
perasaan, pemikiran,
kepribadian, persepsi, dan
nilai-nilai, tujuan

Eksternal
Perilaku:
Pelatihan, Pengenalan,
Persetujuan, komunikasi,
dan menunjukan
kepedulian secara aktif.

Pendidikan
Person Based
Teori Kognitif
Survey Persepsi

Pelatihan
Behavior based
Ilmu Perilaku
Audit Perilaku

Sumber : Geller (2001)


Gambar 2.2
Aspek internal dan eksternal yang dapat menentukan keberhasilan
proses keselematan
Berdasarkan gambar 2.2 dapat dipaparkan bahwa keberhasilan
proses keselamatan kerja terdiri dari dua faktor internal (meliputi sikap,
kepercayaan, perasaan, pemikiran, kepribadian, persepsi, dan nilai-nilai,
tujuan) dan eksternal (meliputi pelatihan, pengenalan, persetujuan,
komunikasi, dan menunjukan kepedulian secara aktif). Selain itu, Geller
(2001) menggambarkan pentingnya pendekatan keselamatan yang
didasari perilaku (behavior based safety) dalam upaya meningkatkan
keselamatan kerja baik yang bersikap reaktif atau proaktif. Dalam

perspektif reaktif upaya keselamatan ditelusuri dari perilaku yang


berisiko atau tidak aman (at risk behavior) yang berakibat pada kerugian.
Hal ini dapat diartikan upaya reaktif menunggu terjadi tidak aman dulu.
Sedangkan dalam perspektif proaktif upaya keselamatan kerja ditelusuri
dari perilaku yang menghasilkan suatu keberhasilan pencegahan
kecelakaan kerja. Sedangkan, pencapaian keselamatan kerja melalui
perspektif reaktif sulit dicapai hasil maksimal karena sifatnya yang
berusaha mencari kesalahan atau kegagalan yang dilakukan. Adanya
ketakutan dan citra yang jelek untuk diketahuinya oleh pihak lain
membuat cara ini sulit untuk mendapatkan gambaran mendalam atas
suatu kecelakaan.
2.1.3. Kinerja Keselamatan Kerja
Neal dan Griffin (2002) mengemukakan suatu model yang
menggambarkan bagaimana korelasi antara komponen-komponen kinerja
keselamatan. Neal dan Griffin (2002) juga membedakan kinerja
keselamatan menjadi dua tipe yaitu safety compliance dan safety
participation. Safety compliance digambarkan sebagai aktivitas-aktivitas
inti yang perlu dilaksanakan oleh individu-individu untuk memelihara
keselamatan di tempat kerja, seperti mengikuti standar prosedur kerja dan
menggunakan alat pelindung diri.
Sedangkan safety participation digambarkan sebagai perilakuperilaku yang tidak secara langsung berkontribusi kepada keselamatan
individu tetapi dapat membantu mengembangkan suatu lingkungan yang

mendukung keselamatan, seperti secara sukarela berpartisipasi dalam


aktivitas-aktivitas keselamatan, membantu rekan kerja terhadap hal-hal
yang berkenaan dengan keselamatan dan menghadiri pertemuan
keselamatan. Iklim keselamatan dan budaya keselamatan yang ada di
perusahaan

tempat

bekerja

merupakan

suatu

keadaan

yang

mempengaruhi perilaku keselamatan pekerja. Iklim keselamatan (safety


climate) adalah persepsi terhadap kebijakan, prosedur, dan pelaksanaanpelaksanaannya yang berhubungan dengan keselamatan ditempat kerja
(Neal dan Griffin, 2002). Berikut ini adalah korelasi kinerja keselamatan
yang digambarkan oleh Neal dan Griffin (2002) :

Sumber : Neal dan Griffin (2002)


Gambar 2.3
Korelasi antara antisiden, determinan dan komponen-komponen
kinerja keselamatan
Pengetahuan, keterampilan, dan motivasi dianggap sebagai faktor
penentu kinerja keselamatan. Menurut Champbell et al (1996) dalam
Neal dan Griffin (2002) mengungkapkan bahwa hanya tiga penentu yang

mempengaruhi

perbedaan

kinerja

individu,

yaitu

pengetahuan,

keterampilan, dan motivasi.


Jika individu tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai untuk memenuhi peraturan keselamatan atau berpartisipasi
dalam aktivitas keselamatan maka dia tidak akan berkemampuan untuk
menampilkan tindakan-tindakan tersebut.
Jika individu tidak memiliki motivasi yang memadai untuk
memenuhi peraturan keselamatan atau berpartisipasi dalam aktivitas
keselamatan maka dia akan memilih untuk menjalankan tindakantindakan tersebut. Antisiden kinerja digambarkan sebagai faktor yang
mempengaruhi perilaku melalui efek pengetahuan, keterampilan, dan
motivasi.
2.2. Kecelakaan Kerja
2.2.1

Pengertian Kecelakaan Kerja


Menurut Bird (1990) kecelakaan merupakan suatu kejadian yang
tidak diinginkan dan dapat membahayakan orang, menyebabkan
kerusakan pada property atau kerugian pada proses. Kecelakaan adalah
kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan. Tak terduga; oleh karena
dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih
dalam bentuk perencanaan. tidak diharapkan, oleh karena peristiwa
kecelakaan disertai kerugian matrial ataupun penderitaan dari yang paling
ringan sampai yang paling berat (Sumamur, 1996). Selain itu, menurut
Warsto dan Mamesah (2003), kecelakaan adalah kejadian yang tidak

diinginkan yang berhubungan dengan pekerjaan yang mengakibatkan


cidera/kematian terhadap orang, kerusakan harta benda atau terhentinya
proses produksi.
2.2.2

Teori The ILCI Loss Caution Model


Teori Loss Caution Model yang dikemukakan oleh Bird dan
Germain (1990) dalam bukunya yang berjudul Practical Loss Control
Leadership tergambar bagaimana peran managemen sebagai latar
belakang penyebab terjadinya suatu kecelakaan dan cara berpikir ini
banyak digunakan sebagai landasan berpikir untuk mencegah terjadinya
kecelakaan. Teori ini pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari teori
dominonya Heinrich (1980) dalam Bird dan Germain (1990).

Lack of
control
Inadequate
Program
Program
standard
Compliance to
standard

Basic Causes
Personal factor s
Job factors

Immediate
Couses
Substandard
acts&
condition

Incident
Contact with
energy or
substance

Sumber : Bird dan Germain (1990)


Gambar 2.4
The ILCI Loss Caution Model

2.3. Perilaku
2.3.1. Pengertian Perilaku

Loss
People
Property
process

Menurut Geller (2001), perilaku sebagai tingkah atau tindakan


yang dapat di observasi oleh orang lain. Tetapi apa yang dilakukan atau
dikatakan seseorang tidaklah selalu sama dengan apa yang individu
tersebut pikir, rasakan, dan yakini.
Dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau
tindakan yang dilakukan mahluk hidup dan pada dasarnya perilaku dapat
diamati melalui sikap dan tindakan. Namun tidak berarti bahwa bentuk
perilaku hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku juga
bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi, dan
persepsi. Perilaku sebagai perefleksian faktor-faktor kejiwaan seperti
keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi,
dan sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman, keyakinan, sarana
fisik, sosio, dan budaya (Notoatmodjo, 2003).
Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa
perilaku merupaakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Perilaku ini disebut teori S O R atau
Stimulus Organisme Respon dikarenakan terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut
merespon.

2.3.2. Bentuk Perilaku

Jika dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus yang dikemukakan


oleh Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003), maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Perilaku tertutup/terselubung (covert behavior)
Respon

seseorang

terhadap

stimulus

masih

dalam

bentuk

terselubung atau tertutup. Repon dan reaksi terhadap stimulus ini


masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesdaran
dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut
dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka/nyata tampak (overt behavior)
Respon terhadap stimulus telah diaplikasikan dalam tindakan nyata
atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam
bentuk tindakan atau praktek yang dapat mudah diamati dan dilihat
oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003).
2.4. Perilaku Aman
Perilaku aman menurut Heinrich (1980) adalah tindakan atau perbuatan
dari seseorang atau beberapa orang karyawan yang memperkecil kemungkinan
terjadinya kecelakaan terhadap karyawan. Sedangkan menurut Bird dan Germain
(1990) perilaku aman adalah perilaku yang tidak dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan atau insiden. Perbedaan perilaku aman dan perilaku Kesehatan dan
Keselamatan

Kerja

(K3)

yaitu

perilaku

aman

hanya

berfokus

pada

keselamatannya saja sedangkan perilakau K3 tidak hanya pada keselamatan

tetapi juga pada kesehatan kerjanya. Dibawah ini adalah jenis-jenis perilaku
aman, yaitu :
1. Menurut Frank E Bird dan Germain (1990) dalam teori Loss Causation
Model menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku aman, meliputi :
a. Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan.
b. Berhasil memberikan peringatan terhadap adanya bahaya.
c. Berhasil mengamankan area kerja dan orang-orang disekitarnya.
d. Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan.
e. Menjaga alat pengaman agar tetap berfungsi.
f. Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan.
g. Menggunakan peralatan yang seharusnya.
h. Menggunakan peralatan yang sesuai.
i. Menggunakan APD dengan benar.
j. Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
k. Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara
mengangkat yang benar.
l. Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telah dimatikan.
m. Tidak bersenda gurau atau bercanda ketika bekerja.
2. Menurut Heinrich (1980), perilaku aman terdiri dari :
a. Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang sesuai
b. Mengoperasikan peralatan yang memang haknya
c. Menggunakan peralatan yang sesuai.
d. Menggunakan peralatan yang benar.

e. Menjaga peralatan keselamatan tetap berfungsi.


f. Berhasil memperingatkan karyawan lain yang bekerja tidak aman.
g. Menggunakan PPE dengan benar.
h. Mengangkat dengan beban yang seharusnya dan menempatakannya di
tempat yang seharusnya.
i. Mengambil benda dengan posisi yang benar.
j. Cara mengangkat material atau alat dengan benar.
k. Disiplin dalam pekerjaan.
l. Memperbaiki perlatan dalam keadaan mati.
2.5. Teori Perubahan Perilaku
2.5.1 Teori Lawrence Green
Lawrence Green (1980) menganalisis perilaku manusia terkait
masalah kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes)
dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya faktor
perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu :
1. Predisposing factors (faktor dari diri sendiri) adalah faktor-faktor
yang mendahului perilaku untuk menetapkan pemikiran ataupun
motivasi yang terdiri dari pengetahuan, sikap, persepsi, nilai,
keyakinan, dan variabel demografi.
2. Enabling factors (faktor pemungkin) adalah kemampuan dari
sumber daya yang diperlukan untuk membentuk perilaku. Faktor

pemungkin

terdiri

dari

fasilitas

penunjang,

peraturan

dan

kemampuan sumber daya.


3. Reinforcing factors (faktor penguat) adalah faktor yang menentukan
apakah tindakan kesehatan mendapatkan dukungan. Pada program
pendidikan keselamatan kerja dilakukan oleh teman kerja, pengawas,
pimpinan, dan keluarga, pemberian reward dan punishment (Green,
1980).
Predisposing Factors
Pengetahuan
Sikap
Persepsi
Nilai
Keyakinan
Variabel demografi

Enabling Factors
Fasilitas penunjang
Peraturan
Kemampuan sumber
daya

Reinforcing Factors
Teman kerja
Pengawas
Pimpinan
Keluarga
Reward
Punishment
Sumber : Green (1980)
Gambar 2.5
Teori Lawrence Green (1980)

Perilaku

Kurt Lewin (1970) dalam Notoatmodjo (2003) berpendapat


bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara
kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan
penahan (restining forces). Perilaku itu dapat berubah bila terjadi
ketidak seimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri
seseorang. Kekuatan pendorong meningkat, hal ini terjadi karena
adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan
perilaku. Kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena
adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan
tersebut. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun,
dengan keadaan ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku.
Sedangkan

menurut

Notoatmodjo

(2003),

dalam

proses

pembentukan dan perubahan perilaku manusia terdapat faktor-faktor


yang berpengaruh, diantaranya faktor dari dalam (Internal) seperti
susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belajar, dan
sebagainya. Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) sperti
lingkungan fisik/non fisik, iklim, sosial, dan ekonomi, kebudayaan,
dan sebagainya.
2.5.2 Teori Perubahan Perilaku Yang Aman
Ada beberapa teori yang menjelaskan perubahan perilaku aman,
diantaranya (Suizer, 1999) :

A. Teori Ramsey
Ramsey mengajukan sebuah model yang menelaah faktorfaktor pribadi yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan. Menurut
Ramsey perilaku kerja yang aman atau terjadinya perilaku yang
dapat menyebabkan kecelakaan, dipengaruhi oleh empat faktor
(Suizer, 1999), yaitu :
1. Pengamatan (Perception) merupakan tahap pertama dimana
seseorang akan mengamati suatu bahaya tersebut, maka
seseorang tersebut tidak akan menampilkan adanya perilaku
kerja yang aman. Kemampuan seseorang dalam mengamati
faktor bahaya didalam bekerja tersebut dipengaruhi oleh
kecakapan sensoris, persepsinya dan kewaspadaannya.
2. Kognitif (Cognition), pada tahap ini, bahaya kerja dapat teramati
namun seseorang yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan
dan pemahaman bahwa hal tersebut membahayakan, maka
perilaku yang aman juga tidak tampil. Tahapan ini tergantung
pengalaman, pelatihan, kemampuan metal dan daya ingat.
3. Pengambilan keputusan (Decision Making), perilaku yang aman
juga tidak akan ada jika seseorang tidak memiliki keputusan
untuk menghindari kecelakaan walaupun seseorang tersebut telah
melihat dan mengetahui bahaya yang dihadapi tersebut
merupakan sesuatu yang membahayakan. Hal ini tergantung dari

pegalaman,

pelatihan,

sikap,

motivasi,

kepribadian,

dan

kecendrungan menghadapi resiko.


4. Kemampuan (Ability), perilaku aman juga tidak akan ada jika
seseorang

tidak

memiliki

kemampuan

bertindak

atau

menghindari bahaya walaupun pada tahapan sebelumnya tidak


terjadi kesalahan atau berlangsung dengan baik. Tahapan ini
dipengaruhi oleh cirri-ciri dan kemampuan fisik, kemampuan
psikomotorik, dan proses fisiologis.
Keempat faktor tersebut merupakan suatu proses yang
sekuensial mulai dari yang pertama sampai dengan yang terakhir.
Bila keempat tahapan ini dapat berlangsung dengan baik maka akan
terbentuk suatu perilaku yang aman (Suizer, 1999). Dari keempat
tahapan diatas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan faktor
pengaruh

tersebut,

sebagian

besar

merupakan

faktor-faktor

individual yang sesungguhnya masih dapat ditingkatkan melalui


berbagai strategi pendidikan dan pelatihan yang sesuai dan tepat.
Namun perlu disadari pula bahwa betapapun telah terbentuk perilaku
kerja yang aman, adanya faktor chance masih memungkinkan
terjadinya suatu kecelakaan (Suizer, 1999).
B. Teori Accident Pronenes
Dalam mengkaji secara lebih dalam masalah perilaku yang
tidak aman individu, selalu timbul dalam benak para peneliti
pertanyaan-pertanyaan, seperti (Suizer, 1999) :

1. Apakah setiap individu akan menampilkan pola perilaku tidak


aman yang berbeda-beda frekuensinya dalam suatu situasi
kerja tertentu.
2. Apakah memang benar ada jenis kepribadian tertentu yang
cenderung celaka.
3. Faktor-faktor pribadi apa saja yang sesungguhnya erat
hubungannya dengan terjadinya kecelakaan.
Pertanyaan pertama diatas berkaitan dengan frekuensi perilaku
tidak aman (tidak selamat) yang ditampilkan dan kecelakaan yang
terjadi didalam suatu situasi kerja yang spesifik dimana setiap orang
mempunyai kemungkinan celaka yang sama. Dengan kata lain,
pertanyaannya adalah apakah ada individu-individu tertentu yang
memiliki frekuensi celaka yang lebih sering tanpa dipengaruhi faktor
chance (kebetulan) (Suizer, 1999).
Pada waktu yang lalu, banyak tulisan yang mengemukakan
bilamana seseorang memiliki frekuensi perilaku tidak aman (tidak
selamat) atau frekuensi kecelakaan diatas rata-rata disebut sebagai
accident prone (cenderung celaka) tanpa mengkaji lebih dalam
adanya faktor kebetulan. Sedangkan bila ditinjau dalam pemikiran
statistika angka tersebut sebenarnya masih didalam batas chance
expectation dan tidak menunjukan perbedaan yang bermakna atau
signifikan. Oleh karena itu, utuk menentukan apakah ada individuindividu tertentu yang akan menampilkan perilaku tidak aman atau

kecelakaan yang lebih sering, perlu dilakukan suatu prosedur


statistik yang membandingkan distribusi actual dan distribusi
hipotesis yang dipengaruhi faktor kebetulan (Suizer, 1999).
Istilah accident pronenes yang saat ini jarang dipergunakan
lagi karena mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama
menunjukan adanya suatu kualitas kepribadian yang dimiliki
individu, sehingga seringkali dikaitkan dengan suatu bentuk atau
jenis kepribadian tertentu yang cenderunng celaka dan ternyata
dalam perkembangan konsep ini sulit dibuktikan. Pengertian kedua
yaitu didasari pemikiran statistik menunjukan pegertian adanya
kecendrungan pada individu-individu tertentu untuk mengulangi
perilaku tidak aman atau kecelakaan yang tidak dipengaruhi faktor
kebetulan. Pengertian yang kedua ini lebih jelas dari pada yang
pertama dan banyak dibuktikan oleh berbagai penelitian, namun
konsep tersebut tidak mampu menjelaskan atau menerangkan
penyebab adanya kecenderungan tersebut pada suatu pribadi (Suizer,
1999).
Banyak penelitian yang mencoba menjelaskan faktor-faktor
pribadi

apa

saja

yang

menyebabkan

sesorang

memilki

kecenderungan untuk mengulangi perilaku tidak aman dan


kecelakaan (Suizer, 1999). Penelitian tersebut dilakukan atas dasar
pemikiran seperti :

a. Setiap perilaku kerja yang aman atau yang tidak aman didalam
situasi kerja yang berbeda-beda akan dipengaruhi oleh
kombinasi

keempat

pengambilan

tahapan

keputusan,

dan

(pengamatan,

pengenalan,

kemampuan

menghindari

kecelakaan).
b. Perbedaan

situasi

pekerjaan

menyebabkan

perbedaan

pentingnya bentuk perilaku yang erat kaitannya dengan


keempat tahapan yang ada.
Adapun faktor-faktor pribadi yang erat hubungannya dengan
perilaku tidak aman dan kecelakaan adalah (Suizer, 1999) :
a. Visi
b. Style (Gaya)
c. Hubungan motorik-Persepsi
d. Attitude (sikap)
e. Pengalaman
f. Umur
C. Teori Ramussen
Ramussen adalah seorang ahli rekayasa (engineer) yang
mengembangkan klasifikasi generik psikologis kesalahan manusia,
yang berdasarkan kerangka kognitif. Konsep dan teori ini
dikembangkan berdasarkan analisis terhadap peristiwa yang terjadi
dipusat pengembangan tenaga nuklir. Pada awal penjelasan konsep
atau teorinya ia mengemukakan bahwa mendefinisikan apa yang

disebut kesalahan merupakan suatu yang tidak mudah, seperti


misalnya menggolongkan suatu situasi dimana seseorang dianggap
melakukan kesalahan sedangkan hasil kerjanya dianggap sesuatu
yang benar (Suizer, 1999).
Menurut Ramussen, ada tiga jenjang katagori kesalahan yang
dapat terjadi pada manusia, yaitu :
a) Kesalahan karena kemampuan (skill-based error) adalah suatu
kesalahan

manusia

yang

disebabkan

oleh

karena

ketidakmampuan sesorang secara fisik atau tidak memiliki


keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu tugas
tertentu. Sesorang bias saja tahu apa yang seharusnya yang
dilakukan tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukannya.
b) Kesalahan karena peraturan (rule-based error) adalah suatu
kesalahan manusia karena tidak melakukan aktivitas yang
seharusnya dilakukan atau melakukan suatu aktivitas yang
tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
c) Kesalahan karena pengetahuan (knowledge-based error) adalah
kesalahan manusia yang disebabkan karena tidak dimilikinya
pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami situasi dan
membuat keputusan untuk bertindak atau melakukan suatu
aktivitas.

Menurut Ramussen klasifikasi yang diutarakannya hanya


menggambarkan apa yang salah dan kapan salahnya, tetapi tidak
menjelaskan kenapa salah.
D. Teori James Reason
Menurut Reason (1997) tindakan tidak aman dapat
disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian manusia (Human-erorr)
dalam melakukan pekerjaanya. Reason (1997) menguraikan
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja menjadi empat yaitu:
1. Skill-based error (Slips and Lapses), kesalahan yang dilakukan
berhubungan dengan keahlian yang dimiliki. Pekerja yang
telah terbiasa dalam melakukan suatu pekerjaan suatu saat
dapat melakukan kesalahan tanpa disadari (slips) karena tidak
sesuai dengna kebiasaannya, selain

itu pekerja dapat

melakukan kesalahan karena lupa (Lapses).


2. Rule-based error (Mistakes), meliputi kesalahan dalam
memenuhi standar dan prosedur yang berlaku, menggunakan
peraturan dan prosedur yang salah, menggunakan peraturan
dan prosedur lama.
3. Knowledge-based error (Mistakes), disebabkan kurangnya
pengetahuan

sehingga

menyebabkan

kesalahan

dalam

mengambil keputusan dan asumsi- asumsi.


4. Violation atau pelanggaran, merupakan kesalahan yang
dilakukan dengan sengaja seperti melanggar peraturan

keselamatan kerja dengan tidak menggunakan perlengkapan


pelindung.
Pekerja hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang
berbahaya sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat
diminimalisasi (Reason, 1997). Kesadaran terhadap bahaya yang
mengancam dapat diwujudkan dengan menggunakan perlengkapan
keselamatan kerja dengan baik dan benar, menaati peraturan dan
prosedur yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya.
Seringkali pekerja melakukan kesalahan dengan tidak menggunakan
perlengkapan

pelindung

maupun

menggunakan

perlengkapan

pelindung yang rusak, menyalahgunakan perlengkapan pelindung,


mengambil jalan pintas dengan mengabaikan peraturan dan ramburambu yang ada.
Reason (1997) membagi penyebab kecelakaan kerja menjadi
dua, yang pertama karena tindakan tidak aman yang dilakukan oleh
pekerja dan yang kedua disebabkan oleh kondisi tidak aman pada
lingkungan kerja. Reason (1997) menyatakan bahwa pendorong
utama timbulnya tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman adalah
faktor organisasi, yang selanjutnya mempengaruhi faktor lingkungan
kerja. Faktor lingkungan kerja meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan proyek konstruksi secara langsung seperti tekanan yang
berlebihan terhadap jadwal pekerjaan, peralatan dan perlengkapan
keselamatan kerja yang tidak memadai, kurangnya pelatihan

keselamatan kerja yang diberikan pada pekerja, kurangnya


pengawasan terhadap keselamatan kerja pekerja.
Faktor lingkungan kerja dapat mendorong munculnya
kesalahan dan pelanggaran pada pihak pekerja, kesalahan dan
pelanggaran tersebut dapat berupa tindakan tidak aman dari pekerja,
seperti melanggar peraturan dan prosedur keselamatan kerja, dan
salah satu hasil akhir dari tindakan tidak aman adalah munculnya
kecelakaan kerja pada pihak pekerja. Di lain pihak faktor organisasi
dan faktor lingkungan kerja juga dapat menyebabkan munculnya
kondisi tidak aman yang berupa kondisi laten. Disebut kondisi laten
karena kondisi tidak aman tersebut muncul pada lingkungan kerja
bila berinteraksi dengan tindakan tidak aman dari pihak pekerja,
yang kemudian dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Salah satu
contoh kondisi laten adalah kebijakan organisasi yang tidak
memberikan perlengkapan keselamatan kerja pada pekerjanya
dengan melakukan pengawasan secara ketat terhadap kemungkinan
terjadinya kecelakaan. Hal ini sangat beresiko karena bila suatu saat
pengawasan tidak dilakukan, dapat muncul resiko terjadinya
kecelakaan kerja (Reason, 1997).
Oliver, et al (2002) mengemukakan bahwa kecelakaan kerja
yang disebabkan oleh tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman
dapat terjadi karena adanya pengaruh dari faktor organisasi, kondisi
lokal tempat kerja, serta perilaku dan kesehatan pekerja kurang baik

atau tindakan tidak aman, yang tidak disadari oleh pekerja maupun
yang disadari oleh pekerja, berupa pelanggaran.
E. Model ABC
Geller (2001) mengungkapkan model Activator-BehaviorConsequence (ABC) sebagai teknik untuk intervensi perubahan
perilaku. Dikatakan bahwa activator mengarahkan perilaku, dan
consequence

memotivasi

perilaku.

Perilaku

aman

pekerja

menggunakan alat pelindung diri (APD) dilokasi kerja yang ada


tanda wajib penggunaan APD (aktivator) dapat bersifat sementara
jika tidak adanya secara nyata konsekuensi negatif (segera, pasti, dan
terukur) dari perilaku aman tersbut. Konsekuensi yang cepat dan
mudah dapat memotivasi pekerja untuk berperilaku aman.
Aktivator

Behavior

Consequence

Sumber : Geller, 2001


Gambar 2.6
ABC Model
2.6. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Aman
Berdasarkan beberapa penelitian dan teori perubahan perilaku yang telah
dipaparkan sebelumnya diperoleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku aman, yaitu :

2.6.1

Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, terjadi setelah orang melakukan proses pengindraan terhadap objek
yang diamatinya. Menurut Bloom (1975) yang dikutip dari Widayatun
(1999), pengetahuan adalah pemberian bukti oleh seseorang melalui
proses pengingatan atau pengenalan informasi dan ide yang sudah
diperoleh sebelumnya. Berdasarkan penelitian Rogers (1974) dalam
Notoatmodjo (2003), Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya.
b. Memahami (Comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi

(Aplication)

diartikan sebagai

kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi


sebenarnya.
d. Analisis (Analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi
masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis) merupakan suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (Evalaution) berkaitan dengan kemampuan melakukan


penilaian terhadap suatu objek.
Menurut Adenan (1986) dalam buku Widayatun (1999), semakin
luas pengetahuan seseorang maka semakin positif perilaku yang
dilakukannya. Perilaku positif mempengaruhi jumlah informasi yang
dimiliki seseorang sebagai hasil proses penginderaan terhadap objek
tertentu. Selain itu,

tingkat perilaku mempengaruhi domain kognitif

seseorang dalam hal mengingat, memahami, dan mengaplikasikan


informasi yang dimiliki. Juga berpengaruh dalam proses analisis, sintesis,
dan evaluasi suatu objek. Menurut Adenan (1986) dalam buku
Widayatun (1999) juga bahwa pengetahuan diperoleh dari pendidikan
formal atau pendidikan informal. Menurut Cahyani (2004), pengetahuan
yang tidak memadai mengenai adanya risiko dan bahaya dan kecelakaan
kerja akan membuat pekerja bersikap tak acuh seta mungkin ia
melakukan tindakan yang tidak aman dan merugikan keselamatan
dirinya.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini didasari oleh pengetetahuan, kesadaran, dan sikap yang
positif maka sikap tersebut akan bersifat langgeng (long lasting).
Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).
Sebaliknya,

Green

(1980)

berpendapat

bahwa

peningkatan

pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku. Pengetahuan

memang sesuatu yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup
kuat sehingga seseorang bertindak sesuai dengan pengetahuannya.
Pengukuran pengetahun dapat dilakukan melalui wawancara langsung
atau kuesioner terhadap subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo,
2003). Berdasarkan penelitian Heliyanti (2009) bahwa tidak terdapat
hubungan

yang bermakna antara perilaku

tidak

aman dengan

pengetahuan karyawan.
2.6.2

Sikap
a. Pengertian Sikap
Sikap adalah respon yang tidak teramati secara lagsung yang
masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Newcomb
dalam Notoatmodjo (2003), seorang ahli psikologis sosial, menerangkan
bahwa sikap lebih mengacu pada kesiapan dan kesediaan untuk bertindak,
dan bukan pelaksana motif tertentu. Sikap bukan merupakan suatu
tindakan, namun merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka.
Menurut Alport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) seorang ahli di
bidang psikologi sosial, mendefinisikan sikap sebagai kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang
dimaksud disini adalah kecendrungan untuk bereaksi apabila individu
dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Dari
batasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manifestasi adanya respon.

Menurut Notoatmodjo (2003), dengan memberikan jawaban apabila


ditanya, mengerjakan dan memberikan tugas yang diberikan merupakan
suatu indikasi dari sikap. Notoatmodjo (2003) juga mengungkapkan bahwa
suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,
antara lain adalah fasilitas. Selain itu, diperlukan juga faktor dukungan dari
pihak lain.
Alport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) juga memaparkan 3
komponen sikap, yaitu :
1. Kepercayaan (Keyakinan), ide, dan konsep terhadap objek.
2. Pengaruh atau perasaan, merupakan evaluasi terhadap objek.
3. Kecenderungan tindakan (Tend to behave).
Sarwono (1997) juga memaparkan sikap secara umum dapat
dirumuskan sebagai kecendrungan untuk berespon (secara positif atau
negatif) terhadap orang, obyek, atau situasi tertentu. Sikap tidaklah sama
dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap, sebab
seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang
bertentangan dengan sikapnya.
Marat (1982) dalam Dahlawy (2008), faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap terdiri dari faktor internal yaitu faktor-faktor yang
terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti selektifitas
rangsangan dari luar yang dapat ditangkap melalui persepsi. Ada proses-

proses memilih rangsangan, rangsangan mana yang akan didekati dan


rangsangan mana yang harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motifmotif dan kecenderungan yang berasal dari diri seseorang. Bila mempunyai
kecenderungan memilih maka akan terbentuk sikap positif atau terbentuk
sikap negatif bila kecenderungan itu menolak. Faktor eksternal yaitu
faktor-faktor yang menentukan seseorang untuk bersikap, terdiri dari sifat
objek yang dijadikan sasaran, kewajiban orang yang mengemukakan suatu
sikap, sifat-sifat orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut,
media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan situasi pada saat
sikap itu terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan media informasi yang
sesuai dengan situasi yang ada di area kerja seperti bahaya yang ada yang
tertempel dengan jelas sebagai bentuk komunikasi akan adanya bahaya
sehingga pekerja dapat lebih berhati-hati dalam bertindak.
b. Pengukuran Sikap
Menurut Mueller (1992) dalam Millah (2008) Untuk memahami
sikap, terdapat beberapa metode yang dapat digolongkan ke dalam
metode-metode langsung dan metode tidak langsung, dan terdapat bagi
metode yang memakai tes tersusun dan tidak tersusun. Metode langsung
adalah metode dimana orang itu secara langsung diminta pendapat atau
anggapannya mengenai objek tertentu. Metode ini lebih mudah
pelaksanaannya, akan tetapi kurang dapat dipercaya daripada metode tidak
langsung. Pada metode tidak langsung, orang diminta supaya menyatakan
dirinya mengenai objek sikap yang diselidiki, tetapi tidak secara langsung.

Cara ini lebih sulit dilaksanakan, tetapi lebih mendalam. Mueller (1992)
dalam Millah (2008) juga memaparkan metode pengukuran sikap pada
metode tidak langsung yang dapat digunakan adalah :
1. Skala Likert
Mengukur sikap seseorang adalah mencoba menempatkan posisinya
pada suatu continum afektif berkisar dari sangat negatif hingga ke
sangat negatif terhadap suatu objek sikap. Dalam teknik
perskalaan likert, kuantifikasi ini dilakukan dengan pencatatan
penguatan respon untuk pernyataan kepercayaan positif dan negatif
tentang objek sikap.
2. Skala Thurstone
Thurstone mengembangkan tiga bagian teknik perskalaan sikap,
yaitu metode perbandingan pasangan, metode interval pemunculan
sama, dan metode interval berurutan (atau aturan dikotom). Ketiga
metode itu menggunakan pertimbangan jalur duga-dugaan (yang
menjadi tanggung jawab setiap orang) menganggap kemustarian yan
relatif (kepositifan) pernyataan sikap terhadap objek sikap. Nilainilai kemustarian untuk setiap pernyataan diolah dari pertimbangan
dugaan itu dan skala butir-butirnya dipilih berdasarkan kepada
bagian terbesar dari nilai-nilainya itu.
3. Skala Guttman
Louise Guttman memperkenalkan suatu desain prosedur perskalaan
untuk menghasilkan skala-skala multi dimensional yang ketat. Butir-

butir skala Guttman disusun berdasarkan derajat kepositifan, seperti


juga butir skala Thurstone. Yang membuat unik skala ini adalah
tekanan ekstrim pada unidimensional.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sialagan (2008) terdapat
hubungan yang bermakna antara sikap karyawan dengan perilaku aman.
Lain halnya dengan penelitian. Helliyanti (2009) dan Karyani (2005) dan
yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap
dengan perilaku tidak aman pekerja.

2.6.3

Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Secara sederhana persepsi adalah pengertian atau pandangan
tentang bagaimana individu memandang atau mengartikan sesuatu.
Sialagan (1999) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana
individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka
bermakna pada lingkungan mereka, sementara persepsi ini memberikan
dasar pada seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan yang mereka
persepsikan.
Persepsi tidak muncul begitu saja, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang tergantung pada kemampuan individu
merespon stimulus. Kemampuan tersebut yang menyebabkan persepsi
antara individu yang satu dengan individu lain yang berbeda-beda dimana
cara menginterpretasikan sesuatu yang dilihat pun belum tentu sama antar
individu.

Petersan (1998) mengemukakan bahwa seorang karyawan


cenderung melakukan perilaku tidak selamat karena beberapa hal, yaitu :
1. Tingkat persepsi yang buruk terhadap adanya bahaya/risiko di
tempat kerja.
2. Mengganggap remeh kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
3. Menggap rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi
kecelakaan kerja.
Winardi (2001) dalam Sialagan (2008) menyebutkan bahwa
seseorang berperilaku tertentu karena adanya suatu situasi yang
diyakininya, bukan karena situasi yang terdapat disekitarnya. Agar
muncul persepsi, informasi diidentifikasi sebagai suatu stimulus input.
disini terjadi proses selektivitas mana informasi yang perlu dipersepsikan

dan mana informasi yang perlu diabaikan. Jadi, dapat dikatakan bahwa
stimulus yang tidak dipersepsikan, tidak akan menimbulkan dampak atas
perilaku. Kemudian agar informasi dapat memiliki arti maka ia perlu
diorganisasi sedemikian rupa, dan ditafsirkan sehunbungan dengan
situasi yang dihadapi dan pengalaman masa lampau sehingga kita dapat
mencapai arti dan makna. Sebagai hasilnya informasi tersebut
dimasukkan ke dalam perilaku.
Robbins (1996) memandang penting persepsi karena persepsi
akan sesuatu dapat saja berubah-ubah maknanya walaupun realitasnya
sama saja. Adanya faktor situasi dan faktor target yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap obyek. Persepsi juga sangat

tergantung pada karakteritik individual seperti sikap, motivasi,


kepentingan, pengalaman, dan harapan. Jika kita ingin merubah perilaku
tidak aman seseorang, kita harus menyamakan persepsi dahulu. Hal ini
sesuai dengan tulisan Geller (2001) menyatakan bahwa perilaku
seseorang ditentukan oleh apa yang dirasakan daripada risiko yang
sebenarnya.
Persepsi yang positif dan pemahaman yang tepat terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja dikalangan karyawan merupakan unsur
penentu kemajuan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja
normatif menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta
penggerak improvisasi penyelenggaraan yang lebih dapat menjamin
pencapaian kemanfaatan yang lebih besar. Konsep yang mengatakan
bahwa keselamatan dan kesehatan kerja menjadi kepedulian semua
orang yang harus menjadi persepsi seluruh karyawan. Menurut
penelitian

Maaniaya

(2005)

dan

Helliyanti

(2009)

dan

yang

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara


persepsi dengan perilaku tidak aman pekerja.
b. Pengukuran Persepsi
Pengukuran persepsi dapat dilakukan dengan membuat pernyataan
yang memberikan alternatif pilihan jawaban terhadap responden.
Pernyataan yang dibuat menggambarkan pendapat, penilaian, dan
penafsiran responden tentang suatu objek. Untuk pengukuran persepsi
yang ingin diketahui adalah objektifitas pendapat, penilaian dan keyakinan

responden terhadap suatu objek. Hasil kumulatif dari penilaian bisa


menimbulkan kesan positif atau kesan negatif pada responden terhadap
objek yang dinilai (Widayatun, 1999). Berdasarkan penelitian Karyani
(2005) dan Sialagan (2008), terdapat hubungan yang bermakna antara
persepsi dengan perilaku tidak aman pekerja. Hal ini diperkuat oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Karyani (2005) bahwa
responden yang memiliki persepsi kurang baik mempunyai peluang 4.656
kali berperilaku tidak aman dibanding responden yang persepsinya baik.
2.6.4

Motivasi
Menurut Munandar (2001), motivasi adalah suatu proses dimana
kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian
kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu. Papu (2002)
dalam Utommi (2007) mengungkapkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi motivasi (kelompok) dalam bekerja dikategorikan menjadi
tujuan, tantangan, keakraban, tanggung jawab, kesempatan untuk maju dan
kepemimpinan. Menurut Astuti (2001), salah satu hal yang terpenting yang
perlu dipertimbangkan pada diri individu untuk berperilaku adalah motivasi.
Motivasi yang ada pada diri seseorang akan mempengaruhi apakah dia akan
mengerjakan setiap tugasnya dengan baik atau sebaliknya, apakah dia akan
berperilaku aman atau tidak.
Motivasi sesorang terhadap objek yang dapat berupa perilaku,
orientasi atau tujuan dapat ditingkatkan melalui berbagai cara. Menurut
Munandar (2001), ada dua cara untuk meningkatkan motivasi kerja yaitu :

1. Bersikap keras
Dengan memaksakan tenaga kerja untuk bekerja keras atau
dengan memberikan ancaman, maka tenaga kerja yang tidak dapat
menghindarkan diri dari situasi yang mengancam tersebut akan
berupaya untuk bekerja keras. Misalnya, atasan ingin menegakkan
disiplin kerja sehingga menuntut bawahannya datang tepat waktu.
Berdasarkan
melakukan

observasi
pekerjaan

pekerja operator tidak terpaksa dalam


karena

melakukan

pekerjaannya

sebagai

kewajiban dan tidak ada paksaaan.


2. Memberi tujuan yang bermakna
Tenaga kerja di motivasi melalui cara dengan memberikan
penghargaan yaitu dengan memberikan penghargaan kepada pekerja
yang telah mempunyai lama kerja > 5 tahun. Pekerja diberikan
kesempatan untuk mencicil rumah yang setiap bulannya tidak
memberatkan dan dapat dicicil dalam waktu 10 tahun sehingga pekerja
akan memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja.
Menurut Sialagan (2008), faktor-faktor yang mendorong
motivasi pekerja adalah pemenuhan rasa puas pekerja yang dialami
pekerja (faktor intrinsik), misalnya seperti keberhasilan mencapai
sesuatu, diperolehnya pengakuan, rasa tanggung jawab, kemajuan,
karier, rasa profesionalis dan intelektual. Dorongan yang ada dalam diri

pekerja untuk berperilaku aman juga harus didukung perusahaan


dengan penciptaan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya perilaku
aman di tempat kerja.
Umar (2000) dalam Heliyanti (2009) memaparkan bahwa
motivasi kerja yang dimiliki oleh setiap individu juga sangat
mempengaruhi kualitas kerja. Walaupun fasilitas memadai, organisasi,
dan manajemen baik, prosedur kerja baik, tanpa motivasi kerja yang
tinggi maka sulit memberikan hasil pekerjaan yang baik. Motivasi
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur diperlukan agar
sesuai dengan tujuan perusahaan dan dapat menjamin keselamatan bagi
pekerja. Motivasi untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur
diperlukan agar sesuai dengan tujuan perusahaan dan dapat menjamin
keselamatan bagi pekerja itu sendiri. Menurut Maslow (1954), motivasi
individu tidak terletak pada sederetan penggerak, tetapi lebih
dititikberatkan pada hirarki, kebutuhan tertentu yang lebih tinggi
diaktifkan untuk memperluas kebutuhan lain yang lebih rendah dan
sudah terpuaskan. Teori dari Maslow (1954) ini dinamakan teori tata
tingkat kebutuhan. Teori tingkat kebutuhan ini tidak memcerminkan
adanya kebuthan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang
proaktif ataupun yang reaktif. Dalam situasi dan kondisi tertentu,
kebutuhan-kebutuhan pada teori tata tingkat kebuthan ini dapat
menimbulkan motivasi proaktif dan dapat menimbulkan motivasi
reaktif. Sistem nilai-nilai yang dimiliki individu dan corak rangsang

lingkungan individu yang menentukan motivasi lebih bercorak proaktif


ataupun reaktif .
Menurut Kurt Lewin (1970) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku
manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatankekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan
(restining forces). Perilaku itu dapat berubah bila terjadi ketidak
seimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang.
Kekuatan pendorong meningkat, hal ini terjadi karena adanya stimulusstimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku.
Kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena adanya
stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.
Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun, dengan
keadaan ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Oleh karena itu,
agar terjadi perubahan perilaku sebaiknya kekuatan pendorong yang
ada lebih ditingkatkan dan kekuatan penahan diturunkan. Kekuatan
pendorong dalam hal ini adalah faktor yang mendorong motivasi
pekerja dan faktor penahannya adalah faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan para pekerja.
Menurut Herzberg dalam Ivancevich et all (2006), faktor-faktor
yang mengarah kepada kepuasan kerja lain berbeda dari faktor-faktor
yang mengarah kepada ketidakpuasan. Artinya, para manajer yang
berusaha

menghilangkan

faktor-faktor

yang

mengakibatkan

ketidakpuasan mungkin berhasil mewujudkan ketenangan kerja dalam

organisasi, akan tetapi ketenangan kerja itu belum tentu bersifat


motivasional bagi para pekerja. Dalam hal demikian para manajer
hanya menyenangkan perasaan bawahannya tetapi tidak memberikan
motivasi kepada mereka. Oleh karena itu, Herzberg menggunakan
istilah higiene bagi faktor-faktor yang menyenangkan para pekerja
seperti kebijaksanaan perusahaan, teknik berbagai kebijaksanaan
organisasi, supervisi, hubungan antar personal, kondisi kerja dan sistem
upah, dan gaji yang dibuat dan ditetapkan sedemikian rupa sehingga
para karyawan tenang bekerja tetapi belum merasa puas dengan
pekerjaan masing-masing.
Dengan mengacu kepada teori dua-faktor Herzberg (Herzberg
Two Factor Theory), yang menjadikan pekerja itu termotivasi adalah
adanya pemenuhan terhadap faktor ekstrinsik (higiene) dan intrinsik
(motivator) sehingga pekerja merasa puas (Ivancevich et all, 2006).
Menurut Sialagan (2008), faktor-faktor yang mendorong motivasi
pekerja adalah pemenuhan rasa puas pekerja yang dialami pekerja
(faktor intrinsik), misalnya seperti keberhasilan mencapai sesuatu,
diperolehnya pengakuan, rasa tanggung jawab, kemajuan, karier, rasa
profesionalis dan intelektual. Dorongan yang ada dalam diri pekerja
untuk berperilaku aman juga harus didukung perusahaan dengan
penciptaan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya perilaku aman di
tempat kerja.

Berdasarakan penelitian Sialagan (2008) pada pekerja PT EGS


Indonesia didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi
terhadap perilaku aman. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Karyani (2005) juga didapatkan hubungan yang bermakna antara
motivasi dengan perilaku aman dalam bekerja. Dimana, motivasi
pekerja yang tinggi mempunyai peluang 3 kali untuk berperilaku aman
pekerja dibanding pekerja yang mempunyai motivasi yang rendah. Lain
halnya, penelitian yang dilakukan oleh Heliyanti (2009), tidak
ditemukannya hubungan motivasi dengan perilaku tidak aman
karyawan.
Geller (2001), penghargaan merupakan konsekuensi positif yang
diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk
mengembangkan,

mendukung,

dan

memelihara

perilaku

yang

diharapkan. Jika digunakan sebagai mestinya, penghargaan dapat


memeberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan
membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme, dan
rasa memiliki.
Menurut Mangkunegara (2005), imbalan yang diberikan kepada
pekerja sangat berpengaruh terhadap motivasi. Oleh karena itu
pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian imbalan dalam
bentuk uang yang memadai agar pekerja terpacu motivasinya dan
melakukan tindakan aman. Menurut penelitian Edmin Locke (1980)
dalam Mangkunegara (2005), menyebutkan bahwa imbalan berupa

uang jika pemberiannya dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan tugas


sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan.
2.6.5

Umur
Menurut Hurlock (1994) dalam Helliyanti (2009), semakin tua usia
seseorang akan mengalami penurunan fungsi fisiologis, fungsi batin, dan fisik
sehingga kemampuan untuk menyerap ilmu juga menurun jika dibandingkan
golongan usia muda. Hal ini agak berbeda dengan Simanjutak (1985), umur
secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kondisi fisik seseorang, ada
saat usia tertentu dimana seseorang dapat berprestasi secara maksimal tetapi
ada saat dimana terjadinya penurunan prestasi. Tingkat prestasi kerja mulai
meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur, untuk kemudian menurun
menjelang usia tua.
Jika seseorang makin bertambah usianya, maka cenderung cepat puas
karena tingkat kedewasaan teknis maupun kedewasaan psikologis. Artinya,
semakin bertambah usianya maka semakin mampu menunjukkan kematangan
jiwa yaitu semakin bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin
mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan
perilaku yang berbeda dari dirinya sendiri, dan sifat-sifat lain yang
menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis (Siagian, 1987).
Jika seseorang makin bertambah usianya, maka cenderung cepat puas
karena tingkat kedewasaan teknis maupun kedewasaan psikologis. Artinya,
semakin bertambah usianya maka semakin mampu menunjukkan kematangan
jiwa yaitu semakin bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin

mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan


perilaku yang berbeda dari dirinya sendiri, dan sifat-sifat lain yang
menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis (Siagian, 1987).
Penelitian Heliyanti (2009) menyatakan tidak ditemukannya hubungan antara
umur dengan perilaku tidak aman.
2.6.6

Lama Bekerja
Lama kerja seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat
mempengaruhi

kecelakaan

kerja.

Terutama

pengalaman

dalam

hal

menggunakan berbagai macam alat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang
maka pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak dan memungkinkan
pekerja dapat bekerja lebih aman (Dirgagunarsa, 1992). Berdasarkan hasil
studi ILO (1989) dalam Dirgagunarsa (1992) di Amerika menunjukan bahwa
kecelakaan kerja yang terjadi selain karena faktor manusia, disebabkan juga
karena masih baru dan kurang pengalaman.
Pengalaman merupakan keseluruhan yang didapat seseorang dari
peristiwa yang dilaluinya, artinya bahwa pengalaman seseorang dapat
mempengaruhi

perilakunya

dalam

kehidupan

organisasinya.

Dengan

demikian, semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang


diperolehnya semakin banyak yang memungkinkan pekerja dapat bekerja
lebih aman (Millah, 2008).
Sedangkan, menurut Cooper (2001), orang sering berperilaku tidak
aman karena orang tersebut belum pernah cedera saat melaksanakan
pekerjaannya dengan tidak aman. Tetapi jika kita melihat Heinrichs Triangle,

sebenarnya orang tidaklah jauh dari potensi kecelakaan. Sementara itu, Geller
(2001) menyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan
sudah dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berperilaku tidak aman dan
terus berlaku karena menyenangkan, nyaman, dan menghemat waktu dan
perilaku ini cenderung berulang.
Pengalaman untuk kewaspadaan terhadap kecelakaan bertambah baik
sesuai dengan usia, masa kerja diperusahaan dan lamanya bekerja di tempat
kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja baru biasanya belum mengetahui
secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Selain itu,
mereka sering mementingkan dahulu selesainya sejumlah pekerjaan tertentu
yang diberikan kepada mereka sehingga keselamatan tidak cukup mendapat
perhatian. Oleh karena itu, masalah keselamatan harus dijelaskan kepada
mereka sebelum melakukan pekerjaan dan bimbingan pada hari-hari
permulaan bekerja adalah sangat penting. Dimana, dalam suatu perusahaan
pekerja-pekerja baru yang kurang berpengalaman sering mendapatkan
kecelakaan, sehingga diperlukan perhatian khusus (Sumamur, 1996).
Berdasarkan pendapat Sumamur (1996) diatas dapat disimpulkan
bahwa pengalaman dapat mempengaruhi perilaku pekerja dalam melakukan
pekerjaannya dan pengalaman dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan.
Dalam hal ini, pekerja yang berpengalaman dapat lebih menekankan
keselamatan dalam melakukan pekerjaannya dikarenakan ia telah mengetahui
secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Sedangkan

pekerja yang belum berpengalaman atau masih baru belum mengenali seluk
beluk pekerjaan dan keselamatannya.
Dirgagunasa (1992) mengatakan bahwa lama kerja seseorang jika
dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat mempengaruhi kecelakaan kerja.
Terutama pengalaman dalam hal menggunakan berbagai macam alat kerja.
Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh akan
lebih banyak dan memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman.
Berdasarkan peneilitian Hendrabuawana (2007), tidak ada hubungan yang
bermakna antara perilaku aman dengan lama kerja.
2.6.7

Ketersediaan APD
Menurut Teori L. Green (1980), perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor,
salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas
dan sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu
bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum
terwujud dalam suatu tindakan jika terdapat fasilitas yang mendukung
terbentuknya perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003).
Ketersediaan Sarana dan prasaran yang mendukung tindakan pekerja
berperilaku selamat dalam bekerja (Sumamur, 1996). Menurut Sahab (1997)
bahwa sistem yang didalamnya terdapat manusia (sumber dan manusia) dan
fasilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam mewujudkan penerapan
keselamatan di tempat kerja. Penggunaan APD merupakan alternatif yang
paling

terakhir

dalam

Hierarki

pengendalian

bahaya.

Lebih

baik

mendahulukan tempat kerja yang aman, daripada pekerjaan yang safety

karena tempat kerja yang memenuhi standar keselamatan lebih menjamin


terselenggaranya perlindungan bagi tenaga kerja.
Pada pengguanaan APD harus dipertimbangkan berbagai hal, seperti
pemilihan dan penetapan jenis pelindung diri, standarisasi, pelatihan cara
pemakaian dan perawatan APD, efektivitas penggunaan, pengawasan
pemakaian, pemeliharaan dan penyimpanan (Sumamur. 1996).
Menurut Roughton (2002) beberapa pekerja mungkin menolak untuk
menggunakan APD karena APD tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan
menambah beban stress pada tubuh. Stress ini dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman atau kesulitan untuk bekerja. Berdasarkan penelitian Hendrabuwana
(2007) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan APD dengan
perilaku aman.

2.6.8

Peraturan Keselamatan
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan
standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001).
Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku aman yang mana
dapat diterima dan tidak dapat diterima (Sialagan, 2008).
Secara umum, HFACS (Human Factor analysis and Clasification
system) mengklasifikasikan tindakan tidak aman (unsafe act) menjadi
keselahan

(Errors)

dan

pelanggaran

(violations).

Kesalahan

adalah

representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik seseorang yang gagal dalam
mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran disisi lain mengacu pada niat

untuk mengabaikan petunjuk atau aturan yang telah ditetapkan untuk


melakukan tugas tertentu (Wiegman, 2007).
Notoatmodjo (2003) menyebutkan salah satu strategi perubahan
perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan misalnya
peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh
anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat,
akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena
perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran
sendiri.
Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan
dapat dirangkum sebagai berikut (Geostach, 1996):
1. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan
dan kesehatan kerja di tempat kerja.
2. Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjaannya memahami
peraturan tersebut.
3. Manajemen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan
secara objektif dan konsisten.
Sumamur (1996) menyatakan bahwa suatu perusahaan harus memiliki
aturan yang jelas tentang penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dan
aturan tersebut harus diketahui oleh setiap perusahaan. Salah satu aturan yang
ada diperusahaan adalah SOP. Menurut Balai Pustaka (1998) dalam Utommi
(2007), Standard Operating Procedure (SOP) adalah ukuran layanan tertentu
yang dipakai sebagai patok oleh petugas dalam melaksanakan tugasnya.

Pengusaha wajib menyediakan prosedur operasi tertulis yang berisi tentang


proses operasi secara aman, termasuk langkah-langkah untuk tahapan operasi,
batas operasi, pertimbangan Keselamatan dan sistem keselamatan. Prosedur
harus tersedia bagi karyawan yang memerlukan, di mutkahirkan secara
berkala dan juga mencakup keadaan-keadaaan khusus seperti cara masuk ke
ruang tertutup untuk memperbaiki area tersebut melalui sistem lockout dan
tagout yaitu hanya yang mengunci yang berwewenang untuk membuka
pengaman pada ruang tertutup tersebut.
Menurut DEPDIKBUD (1990) yang dikutip oleh Utommi (2007),
Kepatuhan berasal dari kata patuh yang artinya taat, suka menurut, berdisiplin,
sehingga dapat diartikan bahwa kepatuhan adalah ketaatan melakukan sesuatu
yang dianjurkan atau ditetapkan. Kepatuhan juga adalah seberapa besar
pekerja untuk mematuhi/menjalani peraturan yang berlaku berkaitan dengan
keselamatan kerja. Semakin banyak peraturan perusahaan yang diterapkan
oleh pekerja maka pekerja tersebut dikatakan patuh/baik, bila sebaliknya maka
pekerja tersebut dianggap tidak mematuhi peraturan keselamataan kerja yang
telah ditetapkan oleh perusahaan.
Kepatuhan mengikuti prosedur keselamatan merupakan salah satu
bentuk perilaku keselamatan. Berbagai teori memaparkan tentang perilaku.
Salah satunya mengenai perilaku keselamatan atau safety behavior. Seperti
yang diungkapkan oleh Geller (2001), secara sederhana dapat dibedakan
bahwa perilaku ditempat kerja meliputi perilaku berisiko (at-risk behavior)
dan perilaku aman (safe behavior). Dalam upaya untuk meningkatkan

keselamatan kerja, maka perilaku berisiko dapat dicegah. Tahap kepatuhan


dimulai dari patuh terhadap anjuran/instruksi. Seringkali kepatuhan dilakukan
untuk menghindari hukuman atau untuk memperoleh imbalan jika memenuhi
pedoman. Kepatuhan berikutnya adalah karena tertarik dengan melihat tokoh
idola yang dikenal dengan tahap identifikasi. Perubahan perilaku tingkat
kepatuhan yang baik adalah internalisasi, dimana individu melakukan sesuatu
karena memahami makna, mengetahui pentingnya tindakan dan keadaaan ini.
Hal ini cenderung akan berlangsung lama dan menetap dalam diri individu
(Geller, 2001).
Reason

(1997)

mengungkapkan

pekerja

hendaknya

memiliki

kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko terjadinya kecelakaan


kerja dapat diminimalisasi. Geller (2001) juga mengungkapkan perubahan
perilaku tingkat kepatuhan yang baik adalah internalisasi, dimana individu
melakukan sesuatu karena memahami makna, mengetahui pentingnya
tindakan dan keadaaan ini. Hal ini cenderung akan berlangsung lama dan
menetap dalam diri individu.
Geostsch

(1996)

memaparkan

bahwa

manajemen

harus

merumuskan peraturan yang sesuai, mengkomunikasikan peraturan


tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut ditempat
kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan.
Objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika
menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku
bagi semua pekerja

mulai dari pekerja baru hingga kepala eksekutif.

Konsistensi maksudnya peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi


tanpa ada pengaruh dari luar (Geostsch, 1996).
Roughton (2002), hukuman merupakan konsekuensi yang diterima
individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak
diharapkan. Hukuman menekankan atau melemahkan perilaku (Geller,
2001). Hukuman tidak hanya berorientasi untuk menghukum pekerja yang
melanggar peraturan, melainkan sebagai kontrol terhadap lingkungan kerja
sehingga pekerja terlindungi dari insiden.
Penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan kepada
individu

atau

kelompok

dengan

tujuan

untuk

mengembangkan,

mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan


sebagai mestinya, penghargaan dapat memeberikan yang terbaik kepada
setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri,
pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001).
Menurut penelitian Hendrabuwana (2007) pada tahun 2007 yang
dilakukan pada pekerja Departemen Cor PT Pindad Persero Bandung,
variabel yang berhubungan dengan perilaku bekerja selamat adalah
peraturan.

Sedangkan

penelitian

Maaniaya

(2005)

yaitu

tidak

ditemukannya hubungan peraturan dengan tindakan tidak aman. penelitian


Hendrabuwana (2007) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
peraturan dengan perilaku bekerja selamat.

2.6.9

Safety Promotions/ Promosi Keselamatan Kerja


Menururt George (1998) dalam Helliyanti (2009). Safety promotions
atau promosi K3 adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk mendorong
dan menguatkan kesadaran dan perilaku pekerja tentang K3 sehinggga dapat
melindungi pekerja, properti, dan lingkungan. Program promosi K3 menjadi
efektif apabila terdapat perubahan sikap dan perilaku pada pekerja.
Menurut Notoatmodjo (2003), media promosi adalah alat bantu untuk
menyampaikan informasi. Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur pesanpesan sangat bervariasi, antara lain :
A. Media Cetak
1. Booklet meruapakan suatumedia untuk menyampaikan pesan-dalam
benntuk buku, baik berupa tulisan maupun gambar.
2. Flif chart (lembar balik), biasanya dalam bentuk buku dimana tiap
lemabaran baliknya berisis kalimat sebagai pesan atau informasi
yang berkaitan dengan gambar tersebut.
3. Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah yang
membahas masalah.
4. Poster adalah bentuk media cetak yang berisi pesan-pesan berupa
peringatan kepada pekerja untuk bekerja dengan aman dan sehat.
Lokasi pemasangan poster sebaiknya di tempa yang mencolok
sehingga orang tertarik untuk melihatnya, penerangan baik, dan
tidak terganggu oleh lalu lintas.

5. Rambu-rambu K3 dapat membantu meningkatkan keselamatan dan


kesehatan serta dapat dipakai untuk mengurangi kebiasaan buruk
yang banyak ditemukan. Untuk menunjukan keuntungan umum
bekerja secara aman, atau memberikan informasi nasehat atau
intruksi atas hal-hal tertentu secara mendetail. Rambu-rambu K3
dipasang pada tempat dimana pekerja menghabiskan waktu mereka
bila tidak sedang bekerja dan dipasanga pada tempat-trempat yang
memang harus dipasang tanda karena tempat itu memang rawan
sekali bagi pekerja. Berdasarkan penelitian Heliyanti (2009), tidak
terdapat hubungan yang bermakan antara safety promotion dengan
perilaku tidak aman.
B. Media Papan
1. Poster/biliboard
Poster didesain oleh designer dan kemudian dicetak untuk ditempel di
papan. Dipasang dilokasi seperti pemasangan wallpaper.
2. Painted bulletin
Painted bulletin biasanya langsung digambar di tempat, misalnya :
sebuah sisi dari gedung tertentu, atap, bahkan dapat digambar di
fiberboard.
Manfaat promosi K3 menurut Tresnaningsih (2003) dalam Helliyanti
(2009) sebagai berikut :
1. Bagi pihak majemen di tempat kerja
a) Peningkatan dukungan terhadap program K3.

b) Citra positif (tempat kerja) yang maju dan peduli keselamatan


dan kesehatan).
c) Peningkatan moral staff
d) Penurunan angka absensi karena kecelakaan dan penyakt akibat
kerja.
e) Peningkatan produktivitas.
f) Penurunan biaya kecelakaan dan kesakitan.
2. Bagi pekerja
a) Peningkatan percaya diri
b) Penurunan stress
c) Peningkatan semangat kerja
d) Peningkatan kemampuan mengenali bahaya ditempat kerja dan
mencegah penyakt.
e) Peningkatan kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat
sekitar.
Menurut para ahli dalam Notoatmodjo (2003), indra yang
paling banyak menyalurkan pengetahuan kedalam otak adalah mata.
Kurang lebih 75%-87% dari pengetahuan manusia diperoleh atau
disalurkan melalui mata. Sedangkan 13% -27% lainnya tersalur
melalui indra yang lain. Hal ini dapat disimpulkan bahwa alat-alat
visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan
informsi. Dalam hal ini, alat visual dua dimensi adalah berupa gambar,
peta, bagan, dan sebagainya. Menurut Elgar Dale dalam Notoatmodjo

(2003) diketahui bahwa penyampaian bahan yang hanya dengan katakata saja sangat kurang efektif atau intensitasnya paling rendah karena
kata-kata menempati urutan teratas dalam kerucut Elgar Dale.
Sedangkan televisi atau film menempati urutan yang kelima.
2.6.10 Pelatihan Keselamatan Kerja
Para tenaga kerja dilatih atau dikembangkan agar memperlihatkan
perilaku (memberikan prestasi) sesuai dengan yang ditetapkan oleh
perusahaan. Pelatihan menurut Siluka (1976) dalam Sialagan (2008), adalah
proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistemnya
dan terorganisisr, sehingga tenga kerja non manajerial mempelajari
pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu.
Pelatihan digunakan untuk melatih pengetahuan dan keterampilan
tertentu, keterampilan mengguanakan peralatan dan mesin-mesin, atau
keterampilan manajerial, yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat
dan dalam jangka waktu pendek baik untuk tenaga kerja manajerial maupun
untuk tenaga kerja bukan manager. Biasanya perusahaan mempunyai
pelatihan khusus untuk tenaga kerja baru yang tidak melatih suatu
keterampilan melainkan diberikan pengetahuan tentang perusahaannya seperti
visi dan misi perusahaan, prosedur kerja, kebijakan, peraturan-peraturan
tentang pekerjaannya dan lain-lain. Program latihan ini bertujuan agar para
pekerja dalam waktu singkat dapat mengenali dan menyesuaikan diri pada
perusahaan dan budaya perusahaannya.

Menurut Bird dan Germain (1990), ada beberapa keuntungan untuk


para manager atau atasan jika memberikan pelatihan yang tepat, diantaranya :
1. Departemen yang dipimpin dapat lebih efesien.
2. Kecelakaan akan dapat dieLewinasi atau paling tidak diturunkan.
Dengan pelatihan yang tepat paa pekerja dapat mengetahui bahayadari
pekerjaannya dan tahu apa yang harus dilakukan terhadap bahaya
tersebut.
3. Moral pekerja dan tim kerjanya akan meningkat. Kepuasan terhadap
pekerjaan akan meningkat.
4. Bekerja menjadi lebih mudah
5. Kekuatan kerja akan menjadi lebih fleksibel. Pekerja diberi pelatihan
di semua tahapan pekerjaan, mereka dapat lebih siap dipindahkan dari
satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam kelompok.
Menurut Maaniaya (2005), kegagalan suatu program pelatihan dapat
juga disebabkan karena 1). Pelatihan dilaksanakan pada waktu yang tidak
tepat, kurang partisipasi manajer terkait dalam perancangan program
pelatihan. Tanpa partisispasi ini, pelatihan seringkali berorientasi pada
masalah teknis daripada berorientasi pada permasalahan yang ada dan hasil
hasil yang diharapkan pada pelatihan tersebut. 2). Penyampaian materi sangat
bergantung pada metode pemberian kuliah. Suatu pelatihan terutama yang
berkaitan dengan dunia industri, harus dilakukan dengan sangat interaktif dan
memungkinkan peserta untuk merapkan dan mempraktikkan konsep-konsep
yang diajarkan selama proses berlangsung. 3). Buruknya komunikasi selama

pelatihan berlangsung. Banyak keuntungan yang dapat diraih apabila


instruktur pelatihan lebih menitikberatkan pada penggunaan bahasa yang
sederhana dan teknik presentasi yang menggunakan grafik atau gambar.
Menurut Geller (2001), tentang 50 prinsip keselamatan yang salah
satunya terfokus pada pengenalan, pendidikan, dan pelatihan. Pelatihan
keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan pada saat :
a. Pekerja tidak tahu cara bekerja aman (pekerja tidak kompeten atau
kurang keterampilan)
b. Terdapat cara-cara baru yang lebih aman dalam suatu pekerjaan (fungsi
peningkatan dan pembaharuan)
c. Sebagai sarana untuk mengingatkan kembali cara untuk bekerja aman
pada pekerja.
d. Pengetahuan saat kondisi darurat
e. Mengubah perilaku menuju perilaku aman.
2.6.11 Peran Pengawas
Terry (1974) menyatakan bahwa supervisi (pengawasan) adalah
pencapaian hasil yang diinginkan melalui keterampilan menggunakan bakatbakat orang serta sumber-sumber penunjang dengan cara memberikan
tantangan dan perhatian kepada kecakapan kecakapan manusia. Tujuan dari
supervisi yaitu memotivasi pekerja bekerja secara benar dan memastikan
pekerja tahu bagaimana melakukan pekerjaannya (Utommi, 2007).
J.M Black (1971) dalam Utommi (2007) menyatakan bahwa supervisi
adalah suatu pekerjaan yang berarti mengarahkan yaitu memberi tugas,

menyediakan intruksi, pelatihan dan nasihat kepada individu juga termasuk


mendengarkan dan memecahkan masalah yang berhubungan demgan
pekerjaan serta menanggapi keluhan bawahan.
Siagian (1987) mengemukakan bahwa tindakan pengawasan bertujuan
untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan berjalan sesuai rencan dan
sebagian fungsi organik, pengawasan merupakan salah satu tugas yang mutlak
diselanggarakan oleh semua pihak tingkatan manajerial dan secara langsung
mengendalikan kegiatan-kegiatan teknis yang dilakukan oleh petugas
operasional.
Proses pengawasan ini dibagi menjadi dua teknik yaitu, pengawasan
langsung, yang dilakukan oleh pimpinan organisasi sendiri terhadap kegiatan
sedang berjalan dan pengawasan tak langsung melalui laporan yang
disampaikan bawahan. Melakukan pengamatan secara langsung dan berkala
oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk
kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan
yang bersifat langsung guna mengatasinya (Siagian, 1987).
Tujuan pengawasan adalah memastikan bahwa tujuan dan target sesuai
dengan kebutuhan, memastikan bahwa pekerja dapat menanggulangi kesulitan
yang mereka temui, meningkatkan motivasi, membantu meningkatkan
keterampilan dan kemampuannya. Supervisi juga dapat diartikan sebagai
bagian dari proses pengendalian yang menempatkan tindak lanjut kegiatan
untuk memastikan agar pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana dan waktu
yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1997).

Geller (2001) juga menyebutkan adanya peran manager dalam


perilaku kerja. mereka ini berhubungan langsung dengan target inidividu yang
sedang berlangsung. Dalam penelitian ini, peran manager dinyatakan sebagai
supervisor/pengawas atau orang yang secara langsung mengarahkan pekerja
dalam melaksanakan tugasnya.
Bird dan Germain (1990) menyebutkan bahwa supervisor (pengawas)

memiliki posisi kunci dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap keterampilan,


dan kebiasaan, akan keselamatan setiap karyawan dalam suatu area tanggung
jawabnya. Para pengawas mengetahui lebih baik daripada pihak lain
mengenai diperhatikannya individu-individu, catatan cuti, kebiasaan bekerja,
perbuatan, keterampilan dalam bekerja. Para pengawas juga memonitor
kinerja pekerja, yang mana hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk
kesuksesan program. Ada enam petunjuk praktis bagi supervisor (Birds dan
Germain, 1990):
1. Merekognisi pentingnya peran supervisor. Sikap kepemimpinannya
sangat dibutuhkan apalagi pada saat memutuskan suatu permintaan
persetujuan apakah ya atau tidak dan pemberian rekomendasi
mengenai para pekerjanya, supervisor juga berperan sebagai pelatih dan
pengarah.
2. Mengidentifikasi gejala-gejala atas berkembangnya permasalahanpermasalahan. Gejala-gejala ini termasuk gejala perubahan perilaku,
keadaan emosional yang susah, masalah-masalah kesehatan, dan
perubahan kinerja.

3. Mendokumentasikan

bentuk

bentuk

kinerja.

Para

supervisor

berkewajiban untuk mencatat fakta-fakta mengenai kinerja pekerja dan


melaksanakannya dalam lingkungan kerja.
4. Mendiskusikan kinerja kepada pekerja. Para supervisor seharusnya
berdiskusi dengan pekerja yang perilakunya dibawah standar atau
kinerja menurun.
5. Belajar mendengarkan; mendengar untuk belajar. Kuncinya adalah
adanya keinginan seseorang untuk memahami apa gangguan sebenarnya
yang ada pada seseorang.
6. Mengetahui kapan mengarahkan seseorang pekerja untuk mendapatkan
seorang pembimbing.
Pengawasan

merupakan

peran

manajerial

professional

yang

dilaksanakan oleh semua anggota yang terlibat dalam manajemen, apakah ia


seorang pengawas atau pemimipin utama suatu organisasi. Semua anggota
yang terlibat dalam organisasi harus mampu memberikan pengawasan
terhadap jalannya operasi perusahaan. bila fungsi pengawasan ini tidak
dilaksanakan maka akan timbul penyebab dasar dari suatu insiden yang dapat
mengganggu kegaiatan perusahaan (Birds dan Germain, 1990).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karyani (2005) kepada
113 pekerja di Schlumberger Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa
supervisor (pengawas) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
perilaku aman. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang Karyani (2005)
lakukan yaitu Dalam penelitiannya, Karyani (2005) menyebutkan bahwa dari

113 pekerja di Schlumberger Indonesia tahun 2005 terdapat 51 orang


(45,13%) yang berperilaku aman kurang baik karena peran supervisor yang
kurang baik, 10 orang (8,85%) berperilaku tidak aman karena peran
supervisor yang baik. Selain itu, pekerja yang memiliki supervisor yang
berperan baik memiliki peluang untuk berperilaku aman 9,633 kali dibanding
pekerja yang supervisor-nya berperan kurang baik.
Peran

seorang

pengawas

sangat

penting

dan

harus

dapat

mamanfaatkan waktu dengan baik dalam berbicara untuk mmberitahukan


ataupun memberikan teguran terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak
aman dan memberikan pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja
ditempat kerja. Kontak secara personal harus dilakukan sesering mungkin
untuk mempengaruhi sikap pekerja, pengetahuan, dan keterampilan (Bird dan
Germain, 1990). Pengawasan terhadap aktivitas pekerja diharapkan dapat
menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran akan pentignya keselamatan dan
kesehatan kerja bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya.
2.6.12 Peran Rekan Kerja
Dengan semakin meningkatnya kekompleksitasan akan tuntutan
pencapaian hasil oleh klien dari suatu projek tentunya hal ini akan melibatkan
banyak tenaga ahli didalamnya sehingga membutuhkan suatu upaya kerja
kolektif (team work) dan komunikasi daripada suatu upaya yang bersifat
individual dalam penyelesaian suatu tugas ataupun proyek.
Seringkali pekerja berperilaku tidak aman karena rekannya yang lain
juga berperilaku demikian. Geller (2001) juga menyebutkan tekanan rekan

kerja semakin meningkat saat semakin banyak orang terlibat dalam perilaku
tertentu dan saat anggota grup yang berperilaku tertentu terlihat relatif
kompeten atau berpengalaman.
Selanjutnya, pada penelitian Karyani (2005) terhadap 113 pekerja di
Schlumberger Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap perilaku aman setelah peran pengawas/supervisor
adalah peran dari rekan kerja. Peran rekan kerja yang tinggi menujukan
peluang pekerja untuk berperilaku aman sebesar 6,314 kali dibandingkan
pekerja yang mempunyai peran rekan kerja yang rendah.
2.7. Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan diatas, kerangka teori
yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada teori Green (1980), Neal dan
Griffin (2002), Geller (2001), dan Suizer (1999) yang dapat digambarkan
sebagai berikut :

Pengetahuan
Skill/kemampuan
Motivasi (Suizer,
1999)

Predisposing Factors
Pengetahuan
Sikap
Persepsi
Nilai
Keyakinan
Variabel demografi
Enabling Factors
Fasilitas penunjang
Peraturan
Kemampuan sumber daya

Internal (Geller, 2001)


Sikap, kepercayaan,
perasaan, pemikiran,
kepribadian, persepsi,
dan nilai-nilai, tujuan

Eksternal (Geller, 2001)


Pelatihan, Pengenalan,
Persetujuan, komunikasi,
dan menunjukan
kepedulian secara aktif.

Perilaku
Aman

Reinforcing Factors
Teman kerja
Pengawas
Pimpinan
Keluarga
Reward
Punishment

Pengamatan
Kognitif
Pengambilan keputusan
Kemampuan (Suizer,
1999)

Visi
Style (Gaya)
Hubungan motorik
dengan Persepsi
Attitude (sikap)
Pengalaman
Umur (Suizer, 1999)

Kemampuan
Peraturan
Pengetahuan
(Suizer, 1999)

Sumber : Green (1980), Neal dan Griffin (2002) , Geller (2001), dan Suizer (1999)
Gambar 2.7
Kerangka Teori

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep


Dalam penelitian ini, kerangka konsep yang digunakan mengacu pada Green
(1980), Neal dan Griffin (2002), Geller (2001), dan Suizer (1999) meskipun terdapat
teori perilaku aman tetapi beberapa variabel dari teori-teori tersebut tidak dapat
diukur oleh peneliti seperti visi, hubungan motorik dengan persepsi, pengamatan,
pengambilan

keputusan,

dan

kemampuan.

Selain

itu,

varabel

nilai,

keyakinan/kepercayaan, pengenalan, persetujuan, perasaan, pemikiran, kepedulian


secara aktif, dan tujuan juga tidak dimasukkan dalam variabel yang diteliti.
Kerangka konsep pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independen)
dan variabel terikat (dependen). Variabel independen ini meliputi faktor internal
meliputi pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, lama bekerja, dan faktor
eksternal

seperti

peraturan

keselamatan

kerja,

ketersediaan

APD,

safety

promotions/promosi keselamatan kerja, pelatihan keselamatan kerja, peran pengawas


dan peran rekan kerja. Dalam skema kerangka konsep dapat digambarkan sebagai
berikut:

Variabel Independen

Variabel Dependen

Internal
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pengetahuan
Sikap
Persepsi
Motivasi
Umur
Lama bekerja

Perilaku Aman

Eksternal
1. Ketersediaan APD
2. Peraturan Keselamatan
Kerja
3. Safety
Promotions/
Promosi Keselamatan kerja
4. Pelatihan
Keselamatan
kerja
5. Peran Pengawas
6. Peran Rekan Kerja

Gambar 3.1.
Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional


Tabel 3.1
Definisi Operasional

No.

Variabel

Perilaku Aman

Pengetahuan

Definisi

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Tindakan atau perbuatan


dari
seseorang
atau
beberapa
orang
karyawan
yang
memperkecil
kemungkinan terjadinya
kecelakaan

Kuesioner
(dari 12
pertanyaan
dengan
kode K1K12)

Menyebarkan
kuesioner
kepada para
pekerja

1. Tidak Aman (jika


total skor nilai
mean (10,62))
2. Aman (jika total
skor > nilai
mean (10,63))

Banyaknya
informasi
yang
dimiliki
oleh

Kuesioner
(pertanyaan

Menyebarkan
kuesioner

1. Rendah
(jika
total skor nilai

Skala

Ordinal

Ordinal

No.

Variabel

Definisi
karyawan
keselamatan

Sikap

Alat Ukur
tentang

Kecenderungan
atau
kesiapan
karyawan
untuk
melakukan
tindakan sesuai dengan
keselamatan

Persepsi

Pendapat, penilaian, dan


penafsiran yang timbul
dalam diri karyawan
mengenai perilaku aman
dan bahaya yang ada
yang meliputi referensi
dan pengalaman.

Motivasi

Suatu proses dimana


kebutuhan-kebutuhan
mendorong seseorang
untuk
melakukan
serangkaian
kegiatan
yang mengarah kepada
tercapainya
tindakan
aman

dengan
kode A1aA6b)

Kuesioner
(pertanyaan
B1-B5)

Kuesioner
(pertanyaan
kode C1-C4)

Kuesioner
(pertanyaan
kode D1D4)

Masa
yang
pernah
dilalui seseorang sejak
tahun kelahiran sampai
waktu penelitian.
6

Umur

Cara Ukur

Hasil Ukur

kepada
pekerja

mean (11,64))
2. Tinggi (jika total
skor > nilai
mean (11,65))

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Negatif
(jika
total skor nilai
mean (10,08))
2. Positif
(jika > nilai
median (10,09))

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Negatif
(jika
total skor nilai
mean (3,86))
2. Positif (jika total
skor > nilai
mean (3,87))

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Rendah
(Jika
total skor nilai
mean (3,81))
2. Tinggi (jika total
skor > nilai
mean (3,82))

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Muda
(Jika total skor
nilai
mean
(30,948))

Kuesioner

Skala

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal
2. Tua
(jika total skor >
nilai
mean
(30,949))

Lama bekerja

Jumlah waktu yang


dijalani selama bekerja

Kuesioner

Menyebarkan
kuesioner
kepada

1. Baru (Jika total


skor nilai
mean (10,681))
2. Lama (jika total

Ordinal

No.

Variabel

Ketersediaan
APD

Peraturan
Keselamatan
Kerja

Safety
Promotions
10

11

12

/promosi
Keselamatan
Kerja

Pelatihan
Keselamatan
Kerja

Peran
Pengawas

Definisi

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur
skor > nilai
mean (10,682))

di tempat penelitian.

pekerja

Ketersediaan sarana dan


prasarana
yang
mendukung
tindakan
pekerja
berperilaku
selamat dalam bekerja
(Sumamur, 1996).

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Sulit (jika total


skor nilai
mean (3,35))
2. Mudah
(jika
total skor >
nilai
mean
(3,36))

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Tidak
patuh
(jika total skor
nilai
mean
(4,86))
2. Patuh
(jika total skor >
nilai
mean
(4,87))

Dokumen tertulis yang


mendokumentasikan
standar, norma, dan
kebijakan untuk perilaku
yang diharapkan yang
dipatuhi oleh pekerja

Suatu bentuk usaha


yang dilakukan untuk
mendorong
dan
menguatkan kesadaran
dan perilaku pekerja
tentang K3 sehinggga
dapat
melindungi
pekerja, properti, dan
lingkungan
Frekuensi pekerja yang
mengikuti
pelatihan
Keselamatan Kerja

Perilaku yang dilakukan


oleh pengawas dalam
mendukung
perilaku
aman

.Kuesioner
(pertanyaan
kode E1-E4)

Kuesioner
(pertanyaan
kode F1-F5)

Kuesioner
(pertanyan
kode
G1G5)

Kuesioner
(pertanyaan
kode H1H4)

Kuesioner
(pertanyaan
Kode I1-I5)

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

Skala

1. Cukup baik (jika


total skor nilai
mean (4,32))
2. Baik (jika total
skor > nilai
mean (4,33))

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Jarang (jika total


skor nilai
mean (4,44))
Sering (jika total
skor > nilai
mean (4,45))

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

1. Kurang
mendukung
(jika total skor
nilai
mean
(4,85))
2. Mendukung
(jika total skor >

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

No.

Variabel

Definisi

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur
nilai
(4,86))

13

Peran Rekan
Kerja

Perilaku teman kerja


dalam proses kerja di
tempat
kerja
yang
mendukung
perilaku
aman

Kuesioner
(pertanyaan
J1-J5)

Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja

Skala

mean

1. Kurang
mendukung
(jika total skor
nilai
mean
(4,85))
2. Mendukung
(jika total skor >
nilai
mean
(4,87))

Ordinal

3.3. Hipotesis

1. Adanya hubungan antara faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi,


motivasi, umur, dan lama bekerja) dengan perilaku aman karyawan di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010.
2. Adanya hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi keselamatan kerja, pelatihan
keselamatan kerja, peran pengawas, dan peran rekan kerja) dengan perilaku
aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
3. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010.

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran dengan mempelajari dinamika korelasi antara faktorfaktor risiko dengan efek secara bersamaan.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT SIM Plant Tambun II yang berlokasi di Jalan
Raya Diponegoro KM 38.2 Desa Jatimulya Kecamatan Tambun Selatan
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2009 Januari 2010.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan bagian produksi di
PT SIM Plant Tambun II yang berjumlah 1200 orang (karyawan tetap dan
kontrak).

4.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling, dimana


pada penelitian ini meliputi 13 variabel sehingga tiap variabel dikali 10
maka jumlah sampel pada penelitian ini menjadi 130 orang.
4.4. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pekerja dengan
menggunakan alat ukur berupa kuesioner dan observasi.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelusuran dokumen, catatan,
dan laporan dari perusahaan, serta data pendukung lainnya.
4.5. Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Menyunting data (data editing)
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti
kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap
jawaban kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian
ini.
2. Mengkode data (data coding)
Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan
untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut, kode data terdapat pada
kuesioner.
3. Memasukkan data (data entry)

Memasukkan data dalam program software komputer berdasarkan


klasifikasi.
4. Membersihkan data (data cleaning)
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah
siap diolah dan dianalisis.
4.6. Instrumen Penelitian
Kuesioner yang dibuat mencakup beberapa variabel yang diteliti, yaitu
variabel dependen dan variabel independen. Kuesioner dibagikan langsung
kepada para pekerja. Kuesioner yang digunakan ini sebelumnya pernah
digunakan oleh Karyani (2005), Hendrabuwana (2007), dan Helliyanti (2009),
dan keusioner ini telah dimodifikasi oleh peneliti dan disesuaikan dengan lokasi
kerja dan perkembangan teori yang ada. Kuesioner yang akan dibagikan
sebelumnya diuji coba di bagian Exmim PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
sebanyak 30 kuesioner dan dilakukan uji validitas dan reabilitasnya. Pengujian
reabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebh dahulu. Jadi, jika pertanyaan
tersebut tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang. Pertanyaan-pertanyaan
yang sudah valid kemudian secara bersama-sama diukur reabilitasnya.
Untuk mengetahui validitas suatu instrument (dalam hal ini kuesioner)
dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel
dengan skor totalnya. Suatu skor dikatakan valid jika skor variabel tersebut
secara signifikan dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan korelasi
person product moment (r).

N(XY) (X. Y)

r =

[NX2 (X)2] [NY2 (Y)2

Keterangan:
X = Skor pertanyaan
Y = Total skor
r = Angka korelasi
Keputusan uji :
Bila r hitung lebih besar dari r table maka Ho ditolak, artinya variabel valid
Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya variabel
tidak valid.
Jumlah responden yang dipakai untuk uji kuesioner ini adalah 30
responden, Nilai r tabel dilihat dengan tabel r dengan menggunakan df = n-2 =
30-2 = 28. Pada tingkat kemaknaan 5%, didapat dengan angka r table = 0,374.
Berdasarkan hasil pengujian reabilitas nilai r hasil (corrected item-total
correlation) dari beberapa pertanyan kuesioner berada diatas nilai r tabel
(0,374) sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut valid dan pertanyaan yang
dibawah nilai r tabel (tidak valid) dibuang.
Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang valid dilakukan uji reabilitas.
Untuk mengukur reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai r tabel
dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha
(Crobanchs Alpha). Ketentuannya : bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan

tersebut reliabilitas. Berdasarkan hasil uji reabilitas, nilai alpha (0,822) lebih
besar dengan nilai r tabel (0,374) sehingga pertanyaan tersebut reliabilitas.
Untuk variabel pengetahuan, jawaban dari tiap pertanyaan yang
disebutkan mendapat skor 1 (satu) sedang jawaban yang tidak disebutkan
mendapat skor 0 (nol). Bila responden menyebutkan jawaban dengan jumlah
skor kurang atau sama dengan mean dikategorikan berpengetahuan rendah
sedangkan bila responden menjawab benar dengan jumlah diatas dari nilai mean
dikategorikan berpengetahuan tinggi.
Untuk pertanyaan sikap dengan menggunakan skala model Likert. Dimana
menggunakan empat alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan
kuesioner. Subjek yang diteliti dapat memilih salah satu dari empat alternatif
jawaban yang disediakan. Empat alternatif jawaban yang dikemukakan serta
pembobotannya seperti:
-

Sangat Satuju

(3)

Satuju

(2)

Tidak satuju

(1)

Sangat tidak setuju

(0)

Bila responden menjawab dengan jumlah skor kurang atau sama dengan
nilai mean dikategorikan memiliki sikap yang negatif sedang bila responden
menjawab dengan jumlah diatas dari nilai mean dikategorikan memiliki sikap
positif.
Untuk

variabel

persepsi,

motivasi,

ketersediaan

APD,

peraturan

keselamatan kerja, promosi keselamatan kerja, peran pengawas, peran rekan kerja,

dan perilaku aman, setiap jawaban dari pertanyaan mendapatkan skor 1 (satu) jika
menjawab ya sedang yang menjawab tidak mendapatkan skor 0 (nol). Bila
reponden menyebutkan jawaban pada masing-masing pertanyaan pervariabelnya
dengan jumlah skor kurang atau sama dengan mean dikategorikan sebagai berikut:
a. Variabel Persepsi dikategorikan memiliki persepsi negatif
b. Variabel Motivasi dikategorikan memiliki motivasi yang rendah
c. Variabel Ketersediaan APD dikategorikan sulit
d. Varibel peraturan keselamatan kerja dikategorikan tidak patuh
e. Variabel promosi keselamatan kerja dikategorikan cukup baik
f. Variabel peran pengawas dikategorikan kurang mendukung
g. Variabel peran rekan kerja dikategorikan kurang mendukung
h. Variabel Perilaku aman dikategorikan memiliki perilaku tidak aman
Sedangkan bila responden menjawab dengan jumlah skor diatas dari nilai
mean dikategorikan sebagai berikut :
a. Variabel Persepsi dikategorikan memiliki persepsi positif
b. Variabel Motivasi dikategorikan memiliki motivasi yang tinggi
c. Variabel Ketersediaan APD dikategorikan mudah
d. Varibel peraturan keselamatan kerja dikategorikan patuh
e. Variabel promosi keselamatan kerja dikategorikan baik
f. Variabel peran pengawas dikategorikan mendukung
g. Variabel peran rekan kerja dikategorikan mendukung
h. Variabel Perilaku aman dikategorikan memiliki perilaku aman

Untuk variabel pelatihan keselamatan kerja, setiap jawaban dari


pertanyaan mendapatkan skor 2 (dua) jika menjawab sering, mendapat skor 1
(satu) jika menjawab jarang, sedang yang menjawab tidak pernah
mendapatkan skor 0 (nol). Bila jumlah skor jawaban reponden dengan kurang
atau sama dengan mean dikategorikan jarang sedang jawaban yang lebih dari
mean dikategorikan sering. Selain kuesioner, peneliti juga melakukan observasi
kepada para pekerja, dimana observasi ini dilakukan tanpa sepengetahuan para
pekerja. Dari hasil penulusuran observasi, peneliti juga melakukan wawancara
kepada 13 pekerja, dimana dari pekerja yang diwawancarai adalah pekerja dari
hasil observasi yang berperilaku aman, tidak aman, dan dari usia tua hingga usia
muda, dari yang lama bekerja hingga yang tergolong masih baru bekerja.
Observasi dan wawancara ini dilakukan untuk mendukung hasil peneliitian dan
membahas konflik masalah penelitian.
4.7. Analisa Data
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan
persentase dari setiap variabel independen dan dependen yang akan diteliti.

4.7.2 Analisis Bivariat


Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen. Pada analisis ini menggunakan uji Chi Square
untuk menguji perbedaan proporsi/peresentase antara beberapa kelompok
data. Analisis ini untuk mendapatkan probabilitas kejadiannya. Jika

value > 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada
hubungan antara kedua variabel. Sebaliknya jika P value 0,05 maka Ho
ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat hubungan antara kedua
variabel.
Untuk melihat kekuatan hubungan antara variabel dependen dan
independen maka dilihat nilai Odds Rasio (OR). Rumus OR sebagai berikut:
OR = AD
BC
Bila nilai OR = 1 artinya tidak ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Jika nilai OR < 1 artinya variabel
independen memperkecil resiko. Dan jika nilai OR > 1 artinya variabel
independen meningkatkan resiko.
4.7.3 Analisa Multivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara beberapa
variabel independen dengan variabel dependen pada waktu yang
bersamaan. Analisis ini menggunakan uji regresi logistik ganda dengan
model

prediksi.

Keuntungan

dari

analisis

regresi

ganda

adalah

kemampuannya untuk memasukkan beberapa variabel dalam suatu model


sedangkan regresi logistik hanya memasukkan satu variabel independen
saja. Selain itu, perbedaan antara regresi linear dengan regresi ganda
terletak pada jenis variabel dependennya. Regresi linear digunakan apabila
variabel dependenya numerik sedangkan regresi ganda digunakan pada
data yang dependennya berbentuk kategorik dan pada penelitian ini

variabel dependennya berbentuk kategorik sehingga menggunakan regresi


logistik ganda.
Pemodelan pridiksi pada regresi logistik ganda bertujuan untuk
memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang
dianggap terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen. Pada
pemodelan ini semua variabel dianggap penting sehingga dapat dilakukan
estimasi beberapa koefisien regresi logistik sekaligus. Analisis ini dimulai
dengan melakukan analisis bivariat masing-masing variabel independen
dengan variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai nilai
p<0.25 maka variabel tersebut dapat masuk dalam model multivariat.
Selanjutnya,

variabel-variabel

yang

masuk

kandidat

model

Multivariat tersebut dianalisis secara bersamaan. Variabel yang dimasukkan


ke dalam model selanjutnya adalah variabel yang memiliki P value 0,05.
Sedangkan variabel yang memiliki P value > 0,05 dikeluarkan dari model.
Pengeluaran variabel dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang
memili p value paling besar. Setelah didapatkan variabel yang masuk dalam
model multivariat, maka variabel tersebut di lakukan uji interaksi antar
variabel untuk melihat interaksi antar variabel. Kemudian dilanjutkan model
matematis untuk memprediksi variabel dependennya.
Dari hasil analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan
regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2

Y merupakan variabel terikat (variabel dependen) sedangkan X


merupakan variabel bebas (variabel independen). Berdasarkan persamaan
tersebut maka Y dapat diperkirakan dengan variabel X

BAB V
HASIL

5.1. Gambaran PT Suzuki Indomobil Motor (SIM)


PT Suzuki Indomobil Motor (SIM) Plant Tambun II merupakan perusahaan yang
bergerak dalam bidang usaha industri komponen dan perakitan kendaraan roda empat
(R4/mobil) bermerk Suzuki yang berdiri atas persetujuan presiden dari Ketua Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No.05/I/PMA/90 tanggal 1 Januari 1990.

1. Visi dan Misi Perusahaan


Visi dan misi PT SIM adalah:

1. To be the most outstanding company within Suzuki global operation


(menjadi perusahaan yang terkemuka di dalam Suzuki global operation).
2. To be the most reliable and admirable automotive company in Indonesia
(menjadi perusahaan otomotif yang dihargai dan terkemuka di
Indonesia).
2. Program-program Perusahaan
Program-program perusahaan yang ada yaitu 5S, 5P, Gerakan Disiplin Suzuki
(GDS), Gugus Kendali Mutu (GKS), dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). 5S
terdiri dari Seiri (pemilahan), Seiton (penataan), Seisou (pembersihan), Seiketsu
(pemantapan), dan Shitsuke (pembiasaan).

5P terdiri dari Persatuan/kesatuan,

Perbaikan (improvement), Patuh, Perjuangan, dan Penghematan.

3. P2K3 PT SIM Plant Tambun II


PT SIM Plant Tambun II memiliki empat pilar utama (safety, quality,
productivity, dan cost down) yang kegiatannya saling menunjang satu sama lain di
seluruh bagian produksi. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menempati urutan
pertama di antara tiga pilar lainnya. Dengan mengutamakan K3, diharapkan tiga pilar
yang lain (quality, productivity, dan cost down) dapat terpenuhi dengan baik.

a) Visi dan Misi P2K3


Visi P2K3 adalah mewujudkan misi K3 Tambun II, yaitu zero accident
yang didukung dengan adanya sikap top manajemen, Kesempurnaan line
(saling kontrol), Semangat dari kegiatan pokok di tempat kerja. Misi P2K3
adalah zero accident yang gerakan intinya terdiri dari tiga prinsip, yaitu prinsip
zero, prinsip prioritas, prinsip partisipasi.

b) Program P2K3
1. Training (man power up)
Training atau pelatihan ini meliputi training K3 lanjutan, training
sistem manajemen K3, training untuk mendapatkan Surat Ijin
Operator (SIO) forklift dan Over Head Crane (OHC). Selain itu,
training juga dilakukan pada kategori penanganan api (fire control)
yaitu latihan pemadaman kebakaran, training CO2 operational,
sarana dan prasarana, serta pelatihan evakuasi.
2. Sistem manajemen K3, terdiri dari Nearmiss (hiyari hatto), Traffic
safety, Quality improvement, Safety control, Safety month, Safety

briefing, Safety patrol, Machine (equipment), Safety device, Lay out


machine, dan Rule.
4. Gambaran Umum Proses Pembuatan Mobil
a. Proses Pressing adalah proses pembentukan komponen / part dari material steel
sheet menjadi bentuk part/komponen dengan menggunakan mesin press.
b. Proses Welding adalah proses pembuatan white body (mobil kosong) dengan
cara menggabungkan komponen / part melalui proses pengelasan.
c. Proses Painting adalah proses pemberian warna pada unit mobil, dan tujuan dari
proses pewarnaan adalah untuk melindungi permukaan unit mobil dari elemenelemen yang bisa merusak mobil, untuk memberikan keindahan pada mobil dan
juga memberikan petunjuk khusus.
d.

Assembling adalah proses penggabungan unit body yang sudah dipainting


dengan engine dan komponen-komponen lain, seperti roda, jok, dasboard,
interior, dalam dan juga interior luar menjadi satu unit mobil.

e. Inspection yaitu proses pemeriksaan unit mobil sesudah proses assembling, dan
proses ini memeriksa semua komponen dan part apakah unit mobil layak untuk
dijual.
5.2. Gambaran Perilaku Aman Pekerja
Distribusi responden berdasarkan perilaku aman dapat dilihat pada tabel 5.4
Tabel 5. 1 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun
II tahun 2010
Perilaku Aman
Tidak Aman

n
21

%
16,2

Aman

109

83,9

Total

130

100

Berdasarkan tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa jumlah terbesar responden


adalah reponden yang berperilaku aman yaitu 109 orang (83,9%).
5.3. Gambaran Faktor Internal (Pengetahuan, Sikap, Persepsi, Motivasi, Umur, dan Lama
Bekerja) di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Distribusi responden pada faktor internal dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan faktor Internal di PT SIM Plant Tambun II
tahun 2010

No
1.

2.

3.

4.

Faktor Internal

Pengetahuan
Rendah

18

13,8

Tinggi

112

86,2

Negatif

108

83,1

Positif

22

16,9

Negatif

17

13,1

Positif

113

86,9

Sikap

Persepsi

Motivasi

No

5.

6.

Faktor Internal

Rendah

19

14,6

Tinggi

111

85,4

Muda

66

50,8

Tua

64

49,2

Baru

62

47,7

Lama

68

52,3

Umur

Lama Bekerja

1. Pengetahuan
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki
pengetahuan tinggi lebih banyak yaitu berjumlah 112 orang (86,2%).
2. Sikap
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
sikap negatif lebih banyak yaitu berjumlah 108 orang (83,1%).
3. Persepsi
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa jumlah responden yang
memiliki persepsi positif lebih banyak yaitu berjumlah 113 orang (86,9%).
4. Motivasi
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
motivasi tinggi lebih banyak yaitu berjumlah 111orang (85,4%).

5. Umur
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden yang berumur
muda lebih banyak yaitu berjumlah 66 orang (50,8%).
6. Lama Bekerja
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden yang telah
bekerja lama lebih banyak yaitu berjumlah 68 orang (52,3%).

5.4. Gambaran Faktor Ekternal (Ketersediaan APD, Peraturan Keselamatan Kerja, Safety
Promotions/Promosi Keselamatan Kerja, Pelatihan Keselamatan, Peran Pengawas,
Dan Peran Rekan Kerja) di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal dapat dilihat dari tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Eksternal di PT SIM Plant Tambun
II tahun 2010
No.
1.

2.

Faktor Eksternal

Ketersediaan APD
Sulit

83

63,8

Mudah

47

36,2

Peraturan Keselamatan

No.

3.

4.

5.

6.

Faktor Eksternal

Tidak Patuh

18

13,8

Patuh

112

86,2

Cukup baik

84

64,6

Baik

46

35,4

Jarang

77

59,2

Sering

53

40,8

Kurang Mendukung

20

15,4

Mendukung

110

84,6

Kurang Mendukung

19

14,6

Mendukung

111

85,4

Promosi Keselamatan

Pelatihan Keselamatan

Peran Pengawas

Peran Rekan Kerja

1. Ketersediaan APD
Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa responden yang menyatakan
kesulitan untuk mendapatkan APD lebih banyak yaitu berjumlah 83 orang (63,8%).
2. Peraturan Keselamatan

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang patuh terhadap
peraturan lebih banyak yaitu berjumlah 112 orang (86,2%).
3. Promosi
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang menyatakan
promosi keselamatan cukup baik lebih banyak yaitu berjumlah 84 orang (64,6%).
4. Pelatihan
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang jarang
mengikuti pelatihan lebih banyak yaitu berjumlah 77 orang (59,2%).
5. Peran Pengawas
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang menyatakan
peran pengawas yang mendukung lebih banyak yaitu berjumlah 110 orang (84,6%).
6. Peran Rekan Kerja
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang menyatakan
rekan kerja yang mendukung lebih banyak yaitu berjumlah 111 orang (85,4%).
5.5. Hubungan Antara Faktor Internal (Pengetahuan, Sikap, Persepsi, Motivasi, Umur,
Dan Lama Bekerja) Dengan Perilaku Aman Karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun
2010.
Hubungan antara faktor internal dengan perilaku aman di PT SIM Plant Tambun
II tahun 2010 dapat dilihat dari beebrapa tabel 5.4 dibawah ini.
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Internal dengan Perilaku Aman
di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010

Perilaku Aman
No

1.

Faktor
Internal

Tinggi

3.

4.

5.

6.

Aman

16

88,9

11,
1

18

100

P Value

OR (95% CI)

0,000

171,200 (30,597-957,910)

0,526

2,135 (0,460 9,915)

0,000

133.750 (24,702 - 724.185)

0,000

227,375 (38,620 -1338.683)

0,753

0,860 (0,338-21,192)

Pengetahuan
Rendah

2.

Total
Tidak Aman

4,5

107

95

112

100

Negatif

19

17,6

89

82,
4

108

100

Positif

9,1

20

90,
9

22

100

Negatif

15

88,62

11,
8

17

100

Positif

5,3

107

94,
7

113

100

Rendah

17

89,5

10,
5

19

100

Tinggi

3,6

107

96,
4

111

100

Muda (
30,9 tahun)

10

15,2

56

84,
8

66

100

Tua (> 30,9


tahun)

11

17,2

53

82,
8

64

100

Sikap

Persepsi

Motivasi

Umur

Lama Bekerja

Perilaku Aman
No

Faktor
Internal

Total
Tidak Aman

Aman

Baru

11

17,7

51

82,
3

62

100

Lama

10

14,7

58

85,
3

68

100

P Value

OR (95% CI)

0,639

1,251 (0,491-3,188)

1. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM


Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
pengetahuan rendah lebih banyak dalam berperilaku tidak aman (88,9%) daripada
responden yang memiliki pengetahuan tinggi (4,5%). Hasil uji Chi Square
menunjukan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku
tidak aman (P value 0,000) dengan OR= 171,200 (95% CI 30,597-957,910), artinya
responden yang memiliki pengetahuan rendah cenderung 171,200 kali berperilaku
tidak aman daripada responden yang berpengetahuan tinggi.
2. Hubungan Antara Sikap dengan perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
sikap negatif lebih banyak yang berperilaku tidak aman (17,6%) daripada responden
yang memiliki sikap positif (9,1%). Hasil uji Chi Square menunjukan tidak ada
hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku tidak aman (P value 0,526).

3. Hubungan Antara Persepsi dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
persepsi negatif lebih banyak yang berperilaku tidak aman (88,62%) daripada
responden yang memiliki persepsi positif (4,5%). Hasil uji Chi Square menunjukan
ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan perilaku tidak aman (P value
0,000) dengan OR= 133.750 (95% CI 24,702 - 724.185), artinya responden yang
memiliki persepsi negatif cenderung 133,750 kali berperilaku tidak aman daripada
responden yang memiliki persepsi positif.
4. Hubungan Antara Motivasi dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
motivasi rendah lebih banyak yang berperilaku tidak aman (89,5%) daripada
responden yang memiliki motivasi tinggi (3,6%). Hasil uji Chi Square menunjukan
ada hubungan yang bermakna antara motivasi dengan perilaku aman (P value
0,000) dengan OR= 227,375 (95% CI 38,620 -1338,683), artinya responden yang
memiliki motivasi rendah cenderung 227,375 kali untuk berperilaku tidak aman
daripada responden yang memiliki motivasi tinggi.
5. Hubungan Antara Umur dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang berumur
muda lebih sedikit yang berperilaku tidak aman (15,2%) daripada responden yang

berumur tua (17,2%). Hasil uji Chi Square menunjukan tidak ada hubungan yang
bermakna antara umur dengan perilaku tidak aman (P value 0,753).

6. Hubungan Antara Lama Bekerja dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang bekerja
masih baru lebih banyak yang berperilaku tidak aman (17,7%) daripada responden
yang telah bekerja lama (14,7%). Hasil uji Chi Square menunjukan tidak ada
hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan perilaku tidak aman (P value
0,639).
5.6. Hubungan Antara Faktor Eksternal (Ketersediaan APD, Peraturan Keselamatan Kerja,
Safety Promotions/Promosi Keselamatan Kerja, Pelatihan Keselamatan, Peran
Pengawas, Dan Peran Rekan Kerja) Dengan Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II
tahun 2010.
Hubungan antara faktor internal dengan perilaku aman PT SIM Plant Tambun II
tahun 2010 dapat dilihat dari beebrapa tabel 5.5 dibawah ini.

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan faktor Eksternal dengan Perilaku Aman
di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010

Perilaku Aman
No

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Faktor
Internal

Tidak
Aman

Total

Aman

Sulit

17

20,5

66

79,5

83

100

Mudah

8,5

43

91,5

47

100

Tidak Patuh

15

83,3

16,7

18

100

Patuh

5,4

106

94,6

112

100

Cukup baik

20

23,8

64

76,2

84

100

Baik

2,2

45

97,8

46

100

Jarang

14

18,2

63

81,8

77

100

Sering

13,2

46

86,8

53

100

Kurang
Mendukung

18

90

10,0

20

100

Mendukung

2,7

107

97,3

110

100

17

89,5

10,5

19

100

P value

OR (95% CI)

0,075

2,769 (0,872 8,788)

0,000

88,333 (19,955-391,019)

0,001

14,063 (1,821 108,609)

0,449

1,460 (0,546-3,905)

0,000

321,000 (50.093-2056,996)

0,000

227,375 (38,620 1338,683)

Ketersediaan
APD

Peraturan
Keselamatan

Promosi
Keselamatan

Pelatihan
Keselamatan

Peran
Pengawas

Peran Rekan
Kerja
Kurang

Perilaku Aman
No

Faktor
Internal

Tidak
Aman

Total

Aman

P value

3,6

107

96,4

111

100

OR (95% CI)

Mendukung
Mendukung

1. Hubungan Antara Ketersediaan APD dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT


SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang mengalami
kesulitan mendapatkan APD lebih banyak yang berperilaku tidak aman (20,5%)
daripada responden yang mudah mendapatkan APD (8,5%). Hasil uji Chi Square
menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan APD dengan
perilaku tidak aman (P value 0,075).
2. Hubungan Antara Peraturan dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang tidak patuh
terhadap peraturan yang berperilaku tidak aman (83,3%) lebih banyak daripada
responden yang mematuhi peraturan (8,5%). Hasil uji Chi Square menunjukan ada
hubungan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku tidak aman (P value
0,000) dengan OR 88,333 (95% CI 19,955-391,019), artinya responden yang tidak
mematuhi peraturan cenderung 88,333 kali berperilaku tidak aman daripada
responden yang mematuhi peraturan.

3. Hubungan Antara Promosi Keselamatan dengan Perilaku Aman di bagian Produksi


PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang berperilaku
tidak aman yang menyatakan promosi keselamatan cukup baik (23,8%) lebih banyak
daripada responden yang menyatakan promosi keselamatan baik (2,2%). Hasil uji
Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara promosi keselamatan
dengan perilaku tidak aman (P value 0,001) dengan OR 14,063 (95% CI 1,821
108,609), artinya responden yang menyatakan promosi keselamatan cukup baik
cenderung 14,063 kali berperilaku tidak aman daripada responden yang
menyatakan promosi keselamatan baik.
4. Hubungan Antara Pelatihan dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang jarang
mengikuti pelatihan lebih banyak yang berperilaku tidak aman (18,2%) daripada
responden yang sering mengikuti pelatihan (13,2%). Hasil uji Chi Square
menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan keselamatan
dengan perilaku tidak aman (P value 0,449).

5. Hubungan Antara Peran Pengawas dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT


SIM Plant Tambun II tahun 2010

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang berperilaku


tidak aman yang menyatakan peran pengawas kurang mendukung (90%) lebih
banyak daripada responden yang menyatakan peran pengawas mendukung (2,7%).
Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara peran
pengawas dengan perilaku aman (P value 0,000) dengan OR 321,000 (95% CI 50,093
2056,996), artinya responden yang menyatakan peran pengawas yang kurang
mendukung cenderung 321 kali berperilaku tidak aman daripada responden yang
menyatakan peran pengawas mendukung.
6. Hubungan Antara Peran Rekan Kerja dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT
SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang berperilaku
tidak aman yang menyatakan peran Rekan Kerja kurang mendukung (89,5%) lebih
banyak daripada responden yang menyatakan peran rekan kerja mendukung (3,6%).
Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara peran rekan
kerja dengan perilaku aman (P value 0,000) dengan OR 227,375 (95% CI 38,620
1338,683), artinya responden yang menyatakan peran rekan kerja yang kurang
mendukung cenderung 227,375 kali berperilaku tidak aman daripada responden
yang menyatakan peran rekan kerja yang mendukung.
5.7. Faktor Yang Paling Dominan Berhubungan Terhadap Perilaku Aman di PT SIM Plant
Tambun II Tahun 2010

Untuk mengetahui variabel yang paling dominan terhadap Perilaku Aman


di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 dilakukan analisis multivariat dengan

menggunakan uji regresi logistik ganda (multiple logistic regretion) dengan


model prediksi. Tahapan yang dilakukan dalam analisis multivariat dengan model
perediksi dapat dilihat sebagai berikut :
1.

Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat


Pada penelitian ini terdapat 12 variabel yang diduga berpengaruh terhadap
perilaku aman yaitu faktor internal meliputi pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi,
umur, lama bekerja dan faktor eksternal meliputi ketersediaan APD, peraturan,
promosi keselamatan, pelatihan keselamatan, peran pengawas, peran rekan kerja.
Untuk pemilihan kandidat variabel yang akan dimasukan dalam model predikasi uji
regresi logistik Ganda, ke-12 variabel tersebut terlebih dahulu dilakukan analisis
bivariat dengan variabel dependen yaitu perilaku aman. Setelah melalui analisis
bivariat, variabel dengan nilai Pvalue < 0, 25 dijadikan variabel kandidat yang akan
dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Hasil analisis bivariat antara variabel
independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6 Hasil Analisis Bivariat Antara Faktor Internal dan Eksternal
Dengan Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010
No Variabel
1

P value

Variabel Internal
Pengetahuan

0,000

Sikap

0,526

No Variabel

P value

Persepsi

0,000

Motivasi

0,000

Umur

0,753

Lama Bekerja

0,639

Variabel Eksternal
Ketersediaan APD

0,075

Peraturan Keselamatan

0,000

Promosi Keselamatan

0,001

Pelatihan

0,449

Peran Pengawas

0,000

Pera Rekan kerja

0,000

Berdasarkan tabel diatas terdapat delapan variabel yang P value nya < 0,25
yaitu pengetahuan, persepsi, motivasi, ketersediaan APD, peraturan, promosi
keselamatan, peran pengawas, peran rekan kerja. Dengan demikian, variabelvariabel tersebut masuk ke dalm model prediksi uji logistik ganda.
2.

Pembuatan model faktor yang paling dominan berhubungan secara statistik


dengan variabel perilaku aman
Dalam pemodelan ini semua variabel kandidat dianalisis secara bersamaan.
Variabel yang dimasukkan ke dalam model selanjutnya adalah variabel yang
memiliki p 0,05. Sedangkan variabel yang memiliki p > 0,05 dikeluarkan dari
model. Pengeluaran variabel dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang
memili P value paling besar. Secara keseluruhan hasil pembuetan model faktor
penentu dapat dilihat pada tabel 5.7

Tabel 5.7 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Antara Pengetahuan, Persepsi,
Motivasi, Ketersediaan APD, Peraturan, Promosi keselamatan, Peran Pengawas, Peran
rekan kerja di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010
P value
Variabel

Model

Model

Model

Model

Model

Model

Model

Pengetahuan

0,708

Persepsi

0,200

0,048

0,049

0,043

0,50

0,129

Motivasi

0,446

0,411

0,439

Ketersediaan

0,504

0,391

0,433

0,331

Peraturan

0,150

0,126

0,138

0,95

0,132

Promosi

0,596

0,583

Peran Pengawas

0, 043

0,030

0,034

0,008

0,008

0,010

0,000

Peran Rekan

0,181

0,150

0,170

0,007

0,010

0,038

0,011

APD

Kerja

Berdasarkan hasil analisis model multivariat pada tabel 5.30 dapat


disimpulkan bahwa dari delapan variabel kandidat diperoleh variabel yang paling
dominan berhubungan dengan perilaku aman yaitu variabel peran pengawas dan
peran rekan kerja. Hasil analisis multivariat kedua variabel tersebut dapat terlihat
pada tabel 5.8.
Tabel 5.8 Hasil Analisis Multivariat antara Peran Pengawas dan peran rekan
Kerja dengan Perilaku Aman (Model Akhir)

Variabel
Independen

P Wald

95% CI

Peran Pengawas

3,991

0,000

54,085

6,190 472,583

Peran rekan kerja

3,051

0,011

21,129

2,042 - 218,613

-2 Log Likelihood = 34,808

3.

OR

G = 80,167

P value = 0,000

Uji Interaksi
Dalam anaisis interaksi, pemilihan variabel yang berinterkasi antar varaiabel
independen didasarkan pada substansi. Uji interaksi dilakukan untuk melihat apakah
ada interaksi antar variabel dalam model tersebut. Jika P value > 0,05 maka dapat
disimpulkan kedua variabel tersebut tidak berinteraksi, sebaliknya jika P value < 0,05
maka terjadi interaksi antar variabel tersebut. Berdasarkan variabel yang masuk
model multivariate, maka interaksi yang memungkinkan adalah peran pengawas
dengan peran reka kerja (Pengawas*Rekan). Hasil uji interaksi seperti terlihat pada
tabel 5.9
Tabel 5.9 Hasil Uji Interaksi antara Peran Pengawas Dan Peran Rekan Kerja
Terhadap Perilaku Aman
Interaksi

-2Log
Likelihood

P value

Tanpa Interaksi

34,808

Pengawas*Rekan

23,670

11,138

0,999

Berdasarkan hasil uji interaksi diatas diperoleh hasil interaksi peran pengawas
dengan peran rekan kerja (0,999) yang memiliki P value > 0,05, sehingga dapat
dikatakan bahwa pada model ini tidak terjadi interaksi interaksi pada kedua variabel
tersebut. Dengan demikian, model penentu perilaku aman tidak disertai adanya
interkasi, selanjutnya model penentu perilaku aman dengan kedua variabel
ditunjukkan pada tabel 5.10.

Tabel 5.10 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Antara Peran Pengawas Dan
Peran Rekan Kerja
Variabel

P Wald

OR

95% CI

Peran Pengawas

3,991

0,000

54,085

6,190 - 472,583

Peran Rekan Kerja

3,051

0,011

21,129

2,042 218,613

Constant

-10,281

0,000

-2 Log Likelihood = 34,808

G = 80,167

P value : 0,000

Negelkerke R Square = 0,784

Dari keseluruhan proses analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan


bahwa dari delapan variabel independen yang diduga berhubungan dengan perilaku
aman, ternyata ada dua variabel yang secara signifikan berhubungan dengan

perilaku aman yaitu peran pengawas dan peran rekan kerja yang ditujukan pada
tabel 5.10.
Pada peran pengawas nilai koefisien B = 3,991, hal ini menunjukan bahwa
perilaku pekerja akan berubah sebesar 3,991 kali menjadi perilaku aman apabila
peran pengawas mendukung. Selanjutnya, dilihat dari nilai koefisien B dan nilai OR
pada tabel 5.10 dapat disimpulkan bahwa dari kedua variabel tersebut, variabel
peran pengawas merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan perilaku
aman karena mempunyai nilai koefisien B (3,991) dan OR (54,085) yang tertinggi.
Berdasarkan hasil analisis model akhir diketahui nilai Negelkerke R Square sebesar
78,4%, artinya kedua variabel yang ada di model tersebut dapat menjelaskan
kejadian perilaku tidak aman sebesar 78,4% dan selebihnya dapat dijelaskan oleh
variabel lain diluar penelitian ini.
Dari hasil analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi
yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Logit Perilaku Aman = -10,281+ 3,991*Peran pengawas + 3,051*peran rekan
kerja
Berdasarkan persamaan tersebut maka perilaku aman dapat diperkirakan
dengan variabel peran pengawas dan peran rekan kerja.

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1.

Keterbatasan Penelitian
1. Kerangka konsep pada penelitian ini hanya menghubungkan faktor-faktor yang
diperkirakan mempunyai hubungan dengan variabel dependen, sehingga masih
ada kemungkinan variabel lain yang belum masuk dalam kerangka konsep karena
tidak sesuai dengan kriteria penelitian.
2. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang sudah disediakan alternatif
jawabannya, sehingga memungkinkan responden tidak dapat mengemukakan
jawabannya dengan bebas.
3. Kelemahan penggunaan kuesioner pada penelitian ini antara lain :
a. Kesibukan responden pada saat bekerja menyebabkan responden agak lambat
dalam pengisian kuesioner.
b. Jumlah pertanyaan kuesioner

yang cukup banyak sehingga

dapat

memungkinkan responden mengisinya kurang teliti.


c. Bentuk pertanyaan pada kuesioner harus di buat sesederhana mungkin agar
responden dapat dengan mudah memahami maksud dari pertanyaanpertanyaan tersebut.
d. Kualitas data yang diperoleh tergantung dari motivasi pekerja pada saat
pengisian kuesioner dilakukan.

6.2.

Perilaku Aman
Kecelakaan kerja secara umum disebabkan oleh 2 hal pokok yaitu perilaku
kerja yang tidak aman (unsafe act) dan kondisi kerja yang tidak aman (unsafe
conditions). Heinrich (1980) memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi
perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa perilaku manusia merupakan unsur yang memegang peranan penting
dalam mengakibatkan suatu kecelakaan. Geller (2001) juga menyebutkan bahwa faktor
perilaku dan faktor orang merupakan aspek manusia dan biasanya kedua faktor
tersebut lebih sedikit diperhatikan dari pada faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang perilaku aman pekerja di PT SIM Plant
Tambun II Tahun 2010 yang tertera pada tabel 5.1 diketahui bahwa responden yang
berperilaku aman lebih banyak. Meskipun demikian, masih ada pekerja yang
berperilaku tidak aman pada saat bekerja. Hal ini menunjukkan budaya dan kinerja
keselamatan belum terbentuk secara menyeluruh ke seluruh pekerja. Neal dan Griffin
(2002) membedakan kinerja keselamatan menjadi dua tipe yaitu safety compliance dan
safety participation. Safety compliance digambarkan sebagai aktivitas-aktivitas inti
yang perlu dilaksanakan oleh individu-individu untuk memelihara keselamatan di
tempat kerja, seperti mengikuti standar prosedur kerja dan menggunakan alat
pelindung diri dengan baik. Sedangkan safety participation digambarkan sebagai
perilaku-perilaku yang tidak secara langsung berkontribusi kepada keselamatan
individu tetapi dapat membantu mengembangkan suatu lingkungan yang mendukung
keselamatan,

seperti

secara

sukarela

berpartisipasi

dalam

aktivitas-aktivitas

keselamatan, membantu rekan kerja terhadap hal-hal yang berkenaan dengan


keselamatan dan menghadiri pertemuan keselamatan.

Berdasarkan teori diatas, pada penelitian ini peneliti meneliti tentang perilaku
aman pekerja yang meliputi safety compliance dan safety participation, dimana pekerja
tidak hanya melakukan aktivitas/kegiatan yang memang perlu dilakukan untuk
memelihara keselamatan kerja seperti mengikuti standar prosedur kerja, memakai
APD, tetapi juga turut berkontribusi terhadap kegiatan-kegiatan keselamatan kerja
seperti mengikuti pelatihan keselamatan dan acara-acara yang berkaitan dengan
keselamatan.
Neal dan Griffin (2002) juga memaparkan bahwa pengetahuan, keterampilan,
dan motivasi dianggap sebagai faktor penentu kinerja keselamatan. Jika individu tidak
memiliki pengetahuan, motivasi, dan keterampilan yang memadai untuk memenuhi
peraturan keselamatan atau berpartisipasi dalam aktivitas keselamatan maka dia tidak
akan berkemampuan untuk menampilkan tindakan-tindakan yang aman dan selamat.
Perilaku responden merupakan manifestasi yang dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal dari individu tersebut. Pengamatan peneliti di lapangan,
masih kurangnya perhatian dari pihak manajemen kepada para pekerja untuk
berperilaku aman seperti kurangnya pengawasan terhadap perilaku kerja responden
yang kadang bertindak tidak aman, memakai APD yang kurang baik, kurang berhatihati dalam bekerja, dan lebih mementingkan selesainya pekerjaan yang mengabaikan
keselamatan dengan berperilaku tidak aman. Selain itu, komunikasi akan bahaya dari
pihak manajemen terhadap keselamatan yang masih kurang seperti poster/ tanda
bahaya yang ada di area kerja, tanda APD yang harus digunakan pada area kerja.
Sahab (1997) mengatakan bahwa kegagalan dalam menjalankan misi K3 karena
kurangnya motivasi untuk bekerja dengan selamat. Ia juga mengatakan bahwa
komunikasi K3 diperlukan untuk mendorong perubahan perilaku sehingga termotivasi
untuk bekerja dengan selamat.

6.3.

Hubungan Antara Variabel Internal (Pengetahuan, Sikap, Persepsi, Motivasi,


Umur, Lama Bekerja) Dengan Perilaku Aman
6.3.1

Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Aman


Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, terjadi setelah orang melakukan proses pengindraan terhadap objek yang
diamatinya. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 diperoleh jumlah
pekerja yang memiliki pengetahuan tinggi lebih besar. Selain itu, berdasarkan
hasil penelitian pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
berperilaku tidak aman lebih banyak pada responden yang berpengetahuan
rendah daripada responden yang berpengetahuan tinggi.
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
bermakna antara pengetahuan dengan perilaku aman. Berdasarkan hasil
perhitungan Odds rasio menunjukkan responden yang berpengetahuan rendah
cenderung 171,200 kali untuk berperilaku tidak aman daripada responden
yang berpengetahuan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pengetahuan responden maka akan semakin tinggi perilaku aman yang
dilakukan responden dan semakin rendah pengetahuan sesorang maka
semakin kecil kemungkinan responden untuk berperilaku aman. Hal ini juga
menunjukkan bahwa luas atau sempitnya pengetahuan responden di bagian
produksi mempengaruhi perilaku aman.
Kenyataan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Adenan (1986) dalam buku Widayatun (1999) bahwa semakin luas
pengetahuan seseorang maka semakin positif perilaku yang dilakukannya.
Perilaku positif mempengaruhi jumlah informasi yang dimiliki seseorang

sebagai hasil proses penginderaan terhadap objek tertentu. Selain itu, tingkat
perilaku mempengaruhi domain kognitif seseorang dalam hal mengingat,
memahami, dan mengaplikasikan informasi yang dimiliki. Juga berpengaruh
dalam proses analisis, sintesis, dan evaluasi suatu objek.
Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis multivariat dengan
menggunakan uji regresi logitik ganda diketahui tidak adanya perbedaan yang
bermakna antara pengetahuan dengan perilaku aman. Dengan demikian
hipotesis tidak terbukti. Hal ini terjadi karena meskipun pengetahuan para
pekerja tinggi tetapi pengetahuan tersebut tidak didukung oleh kesadaran akan
pentingnya berperilaku aman.
Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dan observasi, dimana
mereka mengetahui dengan baik bahaya yang ada ditempat kerja tetapi
mereka tetap berperilaku tidak aman dan cenderung mengabaikan
keselamatan karena mereka merasa sudah terbiasa berperilaku tidak aman
seperti tidak memakai APD dengan lengkap dan benar, menaruh sarung
tangan sembarangan. Hal ini dikarenakan pekerja merasa mengenal dengan
baik area kerjanya sehingga mengabaikan keselamatannya dengan berperilaku
tidak aman dan belum menyadari pentingnya berperilaku aman.
Hal ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2003), dimana
perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif
maka sikap tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan
berlangsung lama. Reason (1997) juga mengemukakan bahwa pekerja

hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko


terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Kesadaran terhadap bahaya
yang mengancam dapat diwujudkan dengan menggunakan perlengkapan
keselamatan kerja dengan baik dan benar, menaati peraturan dan prosedur
yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya. Seringkali pekerja
melakukan kesalahan dengan tidak menggunakan perlengkapan pelindung
maupun menggunakan perlengkapan pelindung yang rusak, menyalahgunakan
perlengkapan pelindung, mengambil jalan pintas dengan mengabaikan
peraturan dan rambu-rambu yang ada. Selain itu, Green (1980) juga
menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan
perubahan perilaku. Pengetahuan memang sesuatu yang perlu tetapi bukan
merupakan faktor yang cukup kuat sehingga seseorang bertindak sesuai
dengan pengetahuannya. Penelitin ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Heliyanti (2009) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara perilaku tidak aman dengan pengetahuan karyawan.
6.3.2

Hubungan Sikap dengan Perilaku Aman


Menurut Notoadmodjo (2003), sikap adalah respon yang tidak
teramati secara langsung yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus
atau objek. Newcomb dalam Notoadmodjo (2003), salah seorang ahli
psikologis sosial menyatakan bahwa sikap lebih mengacu pada kesiapan dan
kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksana motif tertentu.
Dalam hal ini, peneliti mengukur sikap responden melalui respon
jawaban dari 5 pertanyaan sikap pada kuesioner yang diberikan. Menurut
Notoadmodjo (2003), dengan memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan, dan memberikan tugas yang diberikan merupakan suatu indikasi


dari sikap. Dari hasil penelitian pada tabel 5.2 responden yang memiliki sikap
negatif lebih banyak. Selain itu, hasil penelitian pada tabel 5.4 diketahui
bahwa responden yang berperilaku tidak aman lebih banyak pada responden
yang bersikap negatif daripada responden yang bersikap positif. Hasil uji Chi
square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan
perilaku aman dan variabel sikap tidak masuk menjadi kandidat model
multivariat. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti dengan tidak
ditemukannya hubungan sikap dengan perilaku aman.
Hal

ini

dikarenakan

banyak

faktor

yang

mempengaruhi

pembentukkan sikap dan pembentukan sikap ini lah yang membuat pekerja
memiliki sikap yang negatif dan positif. Selain itu, terbentuknya sikap tidak
selalu menyebabkan perubahan perilaku. Hal dapat terlihat dari hasil
wawancara dan observasi, ada pekerja yang lebih memilih duduk di jig
daripada duduk di tempat yang telah disediakan tetapi pekerja yang tidak
duduk di jig juga banyak meskipun pekerja memiliki keinginan duduk di jig
tetapi karena merasa tidak nyaman dan aman sehingga mereka memilih duduk
di tempat duduk yang disediakan. Selanjutnya, dari hasil wawancara juga
pekerja yang terbiasa merokok saat bekerja di rumah tetapi saat berada di
perusahaan pekerja tersebut menjadi tidak merokok saat bekerja. Hal ini
karena adanya fasilitas tempat merokok di area kerja.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa positif atau negatifnya
sikap tidak selalu memberikan perubahan terhadap perilaku karena
sebagaimana yang dikemukakan oleh Notoadmodjo (2003), dimana suatu

sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan terbuka (overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Selain itu, diperlukan juga faktor dukungan dari pihak lain.
Selain itu, pembentukan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui proses tertentu, melalui kontak sosial terus menerus antara individu
dengan individu-individu lain di sekitarnya. Second dan Backman (1964)
dalam Widayatun (1999), mendefinisikan sikap sebagai keteraturan dalam hal
perasaan, pemikiran, dan predisposisi tindakan seseorang terhadap suatu
aspek di lingkungan sekitarnya. Sarwono (1997) juga memaparkan sikap
secara umum dapat dirumuskan sebagai kecendrungan untuk berespon (secara
positif atau negatif) terhadap orang, obyek, atau situasi tertentu. Sikap
tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan
sikap, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan
yang bertentangan dengan sikapnya.
Hal ini dikarenakan terdapat beberapa faktor internal dan eksternal
seperti yang dikemukakan oleh Marat (1982) dalam Dharief (2008) dimana
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

terdiri dari faktor internal yaitu

faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti


selektifitas rangsangan dari luar yang dapat ditangkap melalui persepsi. Ada
proses-proses memilih rangsangan, rangsangan mana yang akan didekati dan
rangsangan mana yang harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif
dan kecenderungan yang berasal dari diri seseorang. Bila mempunyai
kecenderungan memilih maka akan terbentuk sikap positif atau terbentuk

sikap negatif bila kecenderungan itu menolak. Faktor eksternal yaitu faktorfaktor yang menentukan seseorang untuk bersikap, terdiri dari sifat objek
yang dijadikan sasaran, kewajiban orang yang mengemukakan suatu sikap,
sifat-sifat orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut, media
komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan situasi pada saat sikap itu
terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan media informasi yang sesuai dengan
situasi yang ada di area kerja seperti bahaya yang ada yang tertempel dengan
jelas sebagai bentuk komunikasi akan adanya bahaya sehingga pekerja dapat
lebih berhati-hati dalam bertindak. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Helliyanti (2009) dan Karyani (2005) dan yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku
tidak aman pekerja.
6.3.3

Hubungan Persepsi dengan Perilaku Aman


Secara sederhana persepsi adalah pengertian atau pandangan tentang
bagaimana individu memandang atau mengartikan sesuatu. Sialagan (1999)
mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu-individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka bermakna pada
lingkungan mereka, sementara persepsi ini memberikan dasar pada seseorang
untuk bertingkah laku sesuai dengan yang mereka persepsikan.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 dapat dilihat responden
yang memiliki persepsi positif lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa
responden mempunyai pandangan yang baik tentang perilaku aman. Pada
tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki persepsi negatif
lebih banyak yang berperilaku tidak aman daripada responden yang memiliki

persepsi positif. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi negatif
menyebabkan seseorang berperilaku tidak aman. Hal ini sejalan dengan
pendapat Sialagan (2008) bahwa seseorang berperilaku sesuai dengan yang ia
persepsikan.
Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna
antara persepsi dengan perilaku tidak aman. Hasil perhitungan Odds Rasio
menunjukkan responden yang memiliki persepsi negatif cenderung 133,750
kali berperilaku tidak aman daripada responden yang memiliki persepsi
positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin negatif persepsi responden maka
semakin tinggi responden berperilaku tidak aman dan semakin positif persepsi
responden maka semakin rendah responden berperilaku tidak aman.
Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis multivariat dapat
disimpulkan bahwa persepsi tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan
perilaku aman. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti. Hal ini dikarenakan
persepsi tidak muncul begitu saja, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
persepsi seseorang tergantung pada kemampuan individu merespon stimulus.
Kemampuan tersebut yang menyebabkan persepsi antara individu yang satu
dengan individu lain yang berbeda-beda dimana cara menginterpretasikan
sesuatu yang dilihat pun belum tentu sama antar individu. Dengan
kemampuan

yang

berbeda-beda

itulah

pekerja

bisa

salah

dalam

mempersepsikan bahaya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, banyak pekerja yang
mengetahui dengan baik bahaya yang ada tetapi mereka menganggap remeh

bahaya tersebut sehingga mengabaikan keselamatannya. Hal ini sejalan


dengan pendapat Petersan (1998) yang mengemukakan bahwa seorang
karyawan cenderung melakukan perilaku tidak selamat karena tingkat
persepsi yang buruk terhadap adanya bahaya/risiko di tempat kerja,
mengganggap remeh kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja, Menganggap
rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi kecelakaan kerja. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa apa yang dipersepsikan seseorang
terhadap risiko suatu bahaya dan besaran konsekuensinya merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang apakah ia
berperilaku aman ataupun berperilaku tidak aman. Karena pekerja
mengganggap risiko dari suatu bahaya itu kecil dan mempunyai konsekuensi
yang ringan maka hal itu menjadi salah satu faktor yang menjadi persepsi
negatif dan oleh karenanya pekerja berperilaku tidak aman.
Selain itu juga, dari hasil wawancara, pekerja melakukan perilaku
yang tidak aman karena mereka merasa itu bukanlah masalah, yang penting
adalah bagaimana kerjaan mereka bisa cepat selesai. Hal ini sejalan dengan
pendapat Winardi (2001) dalam Sialagan (2008) yang menyebutkan bahwa
seseorang berperilaku tertentu karena adanya suatu situasi yang diyakininya,
bukan karena situasi yang terdapat disekitarnya. Berdasarkan pendapat diatas,
dapat diketahui bahwa pada penelitian ini situasi yang diyakini pekerja adalah
pekerjaan mereka bisa cepat selesai meskipun pada proses pengerjaannya
dilakukan dengan berperilaku tidak aman.
Menurut Winardi (2001) dalam Sialagan (2008), agar muncul
persepsi, informasi diidentifikasi sebagai suatu stimulusinput. disini terjadi

proses selektivitas mana informasi yang perlu dipersepsikan dan mana


informasi yang perlu diabaikan. Jadi, dapat dikatakan bahwa stimulus yang
tidak dipersepsikan, tidak akan menimbulkan dampak atas perilaku.
Kemudian agar informasi dapat memiliki arti maka ia perlu diorganisasi
sedemikian rupa, dan ditafsirkan sehubungan dengan situasi yang dihadapi
dan pengalaman masa lalu sehingga kita dapat mencapai arti dan makna.
Sebagai hasilnya informasi tersebut dimasukkan ke dalam perilaku.
Robbins (1998) memandang penting persepsi karena persepsi akan
sesuatu dapat saja berubah-ubah maknanya walaupun realitasnya sama saja.
Adanya faktor situasi dan faktor target yang dapat mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap obyek. Persepsi juga sangat tergantung pada karakteritik
individual seperti sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman, dan harapan.
Jika kita ingin merubah perilaku tidak aman seseorang, kita harus
menyamakan persepsi dahulu. Hal ini sesuai dengan tulisan Geller (2001)
menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh apa yang dirasakan
daripada risiko yang sebenarnya.
Persepsi yang positif dan pemahaman yang tepat terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja dikalangan karyawan merupakan salah satu
unsur dalam kemajuan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Konsep
yang mengatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja menjadi kepedulian
semua orang yang harus menjadi persepsi seluruh karyawan sehingga dapat
terbentu perilaku yang aman. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari
pihak pengawas dalam berbicara untuk memberitahukan ataupun memberikan
teguran terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak aman dan

memberikan pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat


kerja. Kontak secara personal harus dilakukan sesering mungkin untuk
mempengaruhi sikap pekerja, pengetahuan, dan keterampilan (Bird dan
Germain, 1990). Pengawasan terhadap aktivitas pekerja diharapkan dapat
menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya.
Hasil peneliatian ini sejalan dengan penelitian Maaniaya (2005) dan
Helliyanti (2009) dan yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara persepsi dengan perilaku tidak aman pekerja.
6.3.4

Hubungan Motivasi dengan Perilaku Aman


Menurut Munandar (2001), motivasi adalah suatu proses dimana
kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian
kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu. Menurut Astuti
(2001), salah satu hal yang terpenting yang perlu dipertimbangkan pada diri
individu untuk berperilaku adalah motivasi. Motivasi yang ada pada diri
seseorang akan mempengaruhi apakah dia akan mengerjakan setiap tugasnya
dengan baik atau sebaliknya, apakah dia akan berperilaku aman atau tidak.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 diketahui bahwa
responden lebih banyak yang memiliki motivasi tinggi dan pada tabel 5.4
dapat diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi rendah lebih
banyak yang berperilaku tidak aman daripada responden yang memiliki
motivasi tinggi. Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara motivasi dengan perilaku aman. Hasil perhitungan Odds

Rasio menunjukkan bahwa responden yang memiliki motivasi rendah


cenderung 227,375 kali untuk berperilaku tidak aman daripada responden
yang memiliki motivasi tinggi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin
rendah motivasi responden maka akan semakin tinggi untuk berperilaku tidak
aman dan semakin tinggi motivasi responden maka akan semakin rendah
untuk berperilaku tidak aman.
Sebagaimana yang telah Umar (2000) paparkan dalam Heliyanti
(2009) bahwa motivasi kerja yang dimiliki oleh setiap individu juga sangat
mempengaruhi kualitas kerja. Walaupun fasilitas memadai, organisasi, dan
manajemen baik, prosedur kerja baik, tanpa motivasi kerja yang tinggi maka
sulit memberikan hasil pekerjaan yang baik. Motivasi untuk melakukan
pekerjaan sesuai dengan prosedur diperlukan agar sesuai dengan tujuan
perusahaan dan dapat menjamin keselamatan bagi pekerja itu sendiri.
Meskipun demikian, setelah melalui beberapa proses pada analisis
multivariat diketahui bahwa motivasi merupakan variabel yang tidak memiliki
perbedaan bermakna dengan perilaku aman. Dengan demikian, hipotesis tidak
terbukti. Hal ini dikarenakan walaupun motivasi pekerja lebih tinggi tetapi
berdasarkan hasil wawancara banyak pekerja yang merasa tidak puas dengan
pekerjaan mereka, gaji, kemajuan karir yang ada di perusahaan, dan tidak
adanya reward yang membuat pekerja kurang termotivasi untuk berperilaku
aman.
Menurut Sialagan (2008), faktor-faktor yang mendorong motivasi
pekerja adalah pemenuhan rasa puas pekerja yang dialami pekerja (faktor

intrinsik), misalnya seperti keberhasilan mencapai sesuatu, diperolehnya


pengakuan, rasa tanggung jawab, kemajuan, karier, rasa profesionalis dan
intelektual. Dorongan yang ada dalam diri pekerja untuk berperilaku aman
juga harus didukung perusahaan dengan penciptaan lingkungan yang
memfasilitasi terjadinya perilaku aman di tempat kerja. Berdasarkan pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun motivasi pekerja tinggi tetapi
dengan tidak terpenuhinya kepuasaan, karir, gaji, yang merupakan faktor
intrinsik dan tidak adanya reward yang merupakan salah satu bentuk
dukungan dari perusahaan sehingga kurang mendorong motivasi pekerja dan
hal ini dapat membuat motivasi pekerja menjadi lemah karena kurangnya
faktor pendorong tersebut.
Menurut Lewin (1970) dalam Notoadmodjo (2003), perilaku manusia
adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong
(driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Perilaku
itu dapat berubah bila terjadi ketidak seimbangan antara kedua kekuatan
tersebut didalam diri seseorang. Kekuatan pendorong meningkat, hal ini
terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya
perubahan perilaku. Kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi
karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan
tersebut. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun, dengan
keadaan ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Oleh karena itu, agar
terjadi perubahan perilaku sebaiknya kekuatan pendorong yang ada lebih
ditingkatkan dan kekuatan penahan diturunkan. Kekuatan pendorong dalam

hal ini adalah faktor yang mendorong motivasi pekerja dan faktor penahannya
adalah faktor yang menyebabkan ketidakpuasan para pekerja.
Menurut Herzberg dalam Ivancevich et all (2006), faktor-faktor yang
mengarah kepada kepuasan kerja lain berbeda dari faktor-faktor yang
mengarah kepada ketidakpuasan. Artinya, para manajer yang berusaha
menghilangkan faktor-faktor yang mengakibatkan ketidakpuasan mungkin
berhasil mewujudkan ketenangan kerja dalam organisasi, akan tetapi
ketenangan kerja itu belum tentu bersifat motivasional bagi para pekerja.
Dalam hal demikian para manajer hanya menyenangkan perasaan
bawahannya tetapi tidak memberikan motivasi kepada mereka. Oleh karena
itu, Herzberg menggunakan istilah higiene bagi faktor-faktor yang
menyenangkan para pekerja seperti kebijaksanaan perusahaan, teknik
berbagai kebijaksanaan organisasi, supervisi, hubungan antar personal,
kondisi kerja dan sistem upah, dan gaji yang dibuat dan ditetapkan sedemikian
rupa sehingga para karyawan tenang bekerja tetapi belum merasa puas dengan
pekerjaan masing-masing.
Tetapi, pada kenyataannya pekerja belum merasa puas dan belum
merasa tenang meskipun di perusahaan sudah tercipta hubungan kekeluargaan
yang baik antara atasan dengan bawahan dan antar pekerja yang merupakan
salah satu bentuk hubungan antar personal karena faktor intrinsik dan faktor
higiene yang belum seutuhnya tercipta. Dimana, jika kita mengacu pada teori
dua-faktor Herzberg (Herzberg Two Factor Theory), yang menjadikan pekerja
itu termotivasi adalah adanya pemenuhan terhadap faktor ekstrinsik (higiene)

dan intrinsik (motivator) sehingga pekerja merasa puas (Ivancevich et all,


2006).
Oleh karena itu, sebaiknya pekerja diberikan reward sebagai bentuk
penghargaan dan pengembalian positif dari perilaku aman yang telah mereka
terapkan dan sebagai bentuk dukungan dari perusahaan. Sebagaimana yang
telah dipaparkan oleh Geller (2001), Penghargaan merupakan konsekuensi
positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk
mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan.
Jika digunakan sebagai mestinya, penghargaan dapat memeberikan yang
terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya
diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki.
Selain itu juga, menurut Mangkunegara (2005), imbalan yang
diberikan kepada pekerja sangat berpengaruh terhadap motivasi. Oleh karena
itu pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian imbalan dalam bentuk
uang yang memadai agar pekerja terpacu motivasinya dan melakukan
tindakan

aman.

Menurut

penelitian

Edmin

Locke

(1980)

dalam

Mangkunegara (2005), menyebutkan bahwa imbalan berupa uang jika


pemberiannya dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan tugas sangat berpengaruh
terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan. Dalam hal ini, jika
pemberian imbalan dikaitkan dengan perilaku pekerja untuk melakukan
tindakan aman maka akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan motivasi
pekerja dalam berperilaku aman.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Heliyanti (2009), tidak


ditemukannya hubungan motivasi dengan perilaku tidak aman karyawan.
6.3.5

Hubungan Umur dengan Perilaku Aman


Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 dapat diketahui jumlah
responden yang berumur muda lebih tinggi. Meskipun demikian, jumlah
responden yang berumur tua dan berumur muda hampir merata. Menurut
Hurlock (1994) dalam Helliyanti (2009), semakin tua usia seseorang akan
mengalami penurunan fungsi fisiologis, fungsi batin, dan fisik sehingga
kemampuan untuk menyerap ilmu juga menurun jika dibandingkan golongan
usia muda. Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
berumur muda lebih sedikit yang berperilaku tidak aman daripada responden
yang berumur tua.
Berdasarkan hasil uji Chi Square tidak ditemukan adanya perbedaan
yang bermakna antara umur dengan perilaku aman dan variabel usia tidak
menjadi kandidat model multivariat. Dengan demikian, hipotesis tidak
terbukti dengan tidak ditemukannya perbedaan yang bermakna antara umur
dengan perilaku aman. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Sumamur
(1996), pengalaman untuk kewaspadaan terhadap kecelakaan bertambah baik
sesuai dengan usia, masa kerja diperusahaan dan lamanya bekerja di tempat
kerja yang bersangkutan.
Tetapi, berdasarkan hasil wawancara, pekerja yang berumur muda
mempunyai semangat yang tinggi karena mereka masih baru dan mereka
ingin menunjukkan hasil kerja yang maksimal untuk mendapatkan peluang

peningkatan karir yang lebih tinggi. Oleh karenanya, mereka menjaga dengan
baik kinerja dan produktivitas mereka dengan berperilaku aman karena
kecelakaan kecil saja dapat menurunkan kinerja dan produktivitas mereka.
Tetapi, dari hasil wawancara juga didapatkan bahwa pekerja yang berusia tua
cenderung berperilaku tidak aman karena mereka merasa telah mengenal
seluk beluk perusahaan dan terbiasa berperilaku tidak aman dan mengganggap
remeh bahaya yang ada.
Dengan demikian, pendapat Sumamur (1996) tidak sesuai dengan
penelitian ini karena pada saat muda pekerja cenderung bertambah tingkat
kewaspadaan terhadap kecelakaan dengan berperilaku aman tetapi pada
pekerja usia tua justru berkurang tingkat kewaspaadaan akan kecelakaan
dengan berperilaku tidak aman karena mereka merasa terbiasa dan telah
mengenal dengan baik area kerja dan cenderung meremehkan bahaya yang
ada.
Penelitian ini sejalan dengan pendapat Simanjutak (1985) menyatakan
bahwa umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kondisi fisik
seseorang, ada saat usia tertentu dimana seseorang dapat berprestasi secara
maksimal tetapi ada saat dimana terjadinya penurunan prestasi. Tingkat
prestasi kerja mulai meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur, untuk
kemudian menurun menjelang usia tua. Dalam hal ini, peningkatan prestasi
terjadi saat pekerja berumur muda dan menurun saat mereka berumur tua.
Siagian (1987) juga mengungkapkan jika seseorang makin bertambah
usianya, maka cenderung cepat puas karena tingkat kedewasaan teknis
maupun kedewasaan psikologis.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Heliyanti (2009) menyatakan


tidak ditemukannya hubungan antara umur dengan perilaku tidak aman.
6.3.6

Hubungan Lama bekerja dengan Perilaku Aman


Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 diketahui bahwa jumlah
responden yang telah bekerja lama dan baru hampir merata. Meskipun
demikian, jumlah responden yang telah bekerja lama lebih banyak. Hasil
penelitian pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang bekerja masih
baru lebih banyak yang berperilaku tidak aman daripada responden yang telah
bekerja lama. Hasil studi ILO (1989) dalam Dirgagunarsa (1992) di Amerika
yang menunjukkan bahwa kecelakaan kerja yang terjadi selain karena faktor
manusia, disebabkan juga karena masih baru dan kurang pengalaman.
Sedangkan, Cooper (2001) mengemukakan bahwa orang sering berperilaku
tidak aman karena orang tersebut belum pernah cedera saat melaksanakan
pekerjaannya dengan tidak aman. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kecelakaan
di PT SIM Plant Tambun II yang sedikit.
Berdasarkan hasil uji Chi square diketahui bahwa tidak adanya
hubungan yang bermana antara lama bekerja dengan perilaku aman dan
variabel lama bekerja tidak masuk dalam kandidat model multivariat sehingga
hipotesis tidak terbukti karena tidak ditemukan adanya perbedaan yang
bermakna antara lama kerja dengan perilaku aman. Penelitian ini juga tidak
sesuai dengan Dirgagunasa (1992) yang mengatakan bahwa lama kerja
seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat mempengaruhi
kecelakaan kerja. Terutama pengalaman dalam hal menggunakan berbagai
macam alat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang

diperoleh akan lebih banyak dan memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih
aman. Sumamur (1996) juga berpendapat bahwa pengalaman dapat
mempengaruhi perilaku pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan
pengalaman dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan. Dalam hal ini,
pekerja yang berpengalaman dapat lebih menekankan keselamatan dalam
melakukan pekerjaannya dikarenakan ia telah mengetahui secara mendalam
seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Sedangkan pekerja yang belum
berpengalaman atau masih baru belum mengenali seluk beluk pekerjaan dan
keselamatannya.
Tetapi pada kenyataannya, berdasarkan hasil wawancara pekerja yang
telah lama bekerja masih mengganggap remeh bahaya yang ada dan
cenderung mengabaikannya. Hal ini diperkuat oleh Geller (2001) yang
menyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan sudah
dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berperilaku tidak aman dan terus
berlaku karena menyenangkan, nyaman, dan menghemat waktu dan perilaku
ini cenderung berulang. Pernyataan diatas juga diperkuat ILO (1998) yang
menyatakan bahwa pekerja lama dan berpengalaman bukan merupakan
jaminan bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan tidak aman sehingga
terhindar dari kecelakaan. Pekerja lama atau berpengalaman tidak merasa
asing dengan lingkungannya, sangat kenalnya mereka menjadi kurang berhatihati, apalagi bila dalam jangka waktu yang lama tidak terjadi kecelakaan
sehingga mereka cenderung mengganggap bahaya tidak separah dengan apa
yang didengar dan dikatakan oleh pimpinannya. Sehingga pendapat yang

dikemukakan oleh Sumamur (1996) dan Dirgagunasa (1992) tidak sesuai


dengan penelitian ini.
Selain itu, dari hasil wawancara mengungkapkan bahwa pekerja
melakukan perilaku yang tidak aman karena mereka merasa itu bukanlah
masalah, yang penting adalah bagaimana pekerjaan mereka bisa cepat selesai.
Hal ini sejalan dengan pendapat Winardi (2001) dalam Sialagan (2008) yang
menyebutkan bahwa seseorang berperilaku tertentu karena adanya suatu
situasi yang diyakininya, bukan karena situasi yang terdapat disekitarnya.
Dalam hal ini, situasi yang diyakini oleh pekerja adalah bagaimana mereka
menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat meskipun dalam proses
pengerjaannya dengan berperilaku aman. Sedangkan situasi yang ada
disekitarnya adalah perilaku pekerja yang tidak aman yang dapat
mengakibatkan kecelakaan. Penelitian ini sejalan dengan peneilitian
Hendrabuawan (2007), tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku
bekerja selamat dengan lama kerja.
6.4.

Hubungan Antara Variabel Eksternal (ketersediaan APD, peraturan, promosi


keselamatan, pelatihan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) Dengan
Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010
6.4.1 Hubungan Ketersediaan APD dengan Perilaku Aman
Menurut Teori Green (1980), perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor,
salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas
dan sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu
bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana menurut Notoadmodjo (2003),

suatu perilaku belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan jika tidak
terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya perilaku tersebut.
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui responden yang menyatakan kesulitan
mendapatkan APD lebih banyak. Sebagaimana yang telah dipaparkan
Notoadmodjo (2003) dapat disimpulkan bahwa kesulitan mendapatkan APD
dapat menjadi salah satu penyebab pekerja berperilaku tidak aman karena
ketersediaan fasilitas yang kurang mendukung. Hal ini terlihat dari tabel 5.5
dimana responden yang mengalami kesulitan mendapatkan APD lebih banyak
yang berperilaku tidak aman daripada responden yang mudah mendapatkan
APD.
Pada prosesnya, setiap pekerja mendapatkan APD yang mereka
butuhkan dan sesuai dengan area kerja mereka dan semua APD hanya
disimpan dan dipakai selama berada di tempat kerja karena jika APD tersebut
dibawa kerumah maka tidak menutup kemungkinan mereka lupa untuk
membawanya dan hal ini dapat membahayakan keselamatan mereka. Sebelum
kerja dimulai, masing-masing kepala sub bagian memberikan APD yang harus
digunakan dan mengecek kelengkapan APD mereka sebelum digunakan,
apabila terdapat APD yang rusak maka kepala sub tersebut melapor kepada
kepala bagian masing-masing line dan mengembalikan APD tersebut dengan
mengisi form pengembalian dan permintaan APD. Dalam hal ini, kesulitan
mendapatkan APD dikarenakan stok APD yang masih kurang karena ada
APD yang hanya dipakai sehari sekali seperti masker bahan dan sarung
tangan kain. Ada juga APD yang memang jumlahnya sedikit seperti masker
respirator sehingga jika terjadi kerusakan akan sulit untuk mendapatkannya

karena harus menunggu lama untuk mendapatkannya. Terlebih lagi, pekerja


juga tidak menjaga dan menyimpan APD dengan baik seperti kehilangan dan
rusaknya APD, kemudian mereka meminta kembali APD yang baru. Jika hal
ini sering berlanjut maka stok APD akan semakin berkurang dan akan terjadi
pemborosan yang dapat menyebabkan kerugian pada perusahaan. Oleh karena
itu, pekerja sebaiknya menggunakan dan menjaga APD dengan sebaik
mungkin agar APD tetap berada dalam kondisi yang layak untuk digunakan.
Berdasarkan

hasil

uji

Chi

square

dan

analisis

multivariat

menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara ketersediaan APD


dengan perilaku aman. Hal ini dikarenakan meskipun APD tersedia tetapi para
pekerja banyak pekerja yang tidak menggunakannya karena memakai APD
membuat mereka tidak nyaman, mengganggu aktivitas kerja, dan ada
beberapa yang menggunakan APD dengan lengkap dan baik apabila ada
safety member saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Roughton (2002),
beberapa pekerja mungkin menolak untuk menggunakan APD karena APD
tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan menambah beban stress pada
tubuh. Stress ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau kesulitan untuk
bekerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Sumamur (1996) yang
mengatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana mendukung tindakan
pekerja untuk berperilaku selamat dalam bekerja.
Meskipun

demikian,

Sahab

(1997)

mengungkapkan

bahwa

penggunaan APD merupakan alternatif yang paling terakhir dalam hirarki


pengendalian bahaya. Lebih baik mendahulukan tempat kerja yang aman,
daripada pekerjaan yang safety karena tempat kerja yang memenuhi standar

keselamatan lebih menjamin terselenggaranya perlindungan bagi tenaga kerja.


Tetapi, tempat kerja yang memenuhi keselamatan saja tidak cukup karena
menurut Heinrich (1980), 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi perilaku
kerja yang tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal itu, maka dapat dikatakan
bahwa perilaku manusia merupakan unsur yang memegang peranan penting
dalam mengakibatkan suatu kecelakaan.
Selain itu, pekerja juga belum menyadari akan pentingnya memakai
APD untuk melindungi keselamatannya dan pengawas yang kurang tegas
mengawasi pekerja yang tidak memakai APD. Sebagaimana menurut Reason
(1997), pekerja hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya
sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Kesadaran
terhadap bahaya yang mengancam dapat diwujudkan dengan menggunakan
perlengkapan keselamatan kerja dengan baik dan benar, menaati peraturan
dan prosedur yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya.
Seringkali pekerja melakukan kesalahan dengan tidak menggunakan
perlengkapan pelindung maupun menggunakan perlengkapan pelindung yang
rusak, menyalahgunakan perlengkapan pelindung, mengambil jalan pintas
dengan mengabaikan peraturan dan rambu-rambu yang ada.
Di lain pihak, faktor organisasi dan faktor lingkungan kerja juga dapat
menyebabkan munculnya kondisi tidak aman yang berupa kondisi laten.
Disebut kondisi laten karena kondisi tidak aman tersebut muncul pada
lingkungan kerja bila berinteraksi dengan tindakan tidak aman dari pihak
pekerja, yang kemudian dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Salah satu
contoh kondisi laten adalah kebijakan organisasi yang tidak memberikan

perlengkapan keselamatan kerja pada pekerjanya dengan melakukan


pengawasan secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan. Hal ini
sangat berisiko karena bila suatu saat pengawasan tidak dilakukan, dapat
muncul resiko terjadinya kecelakaan kerja (Reason, 1997). Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Hendrabuwana (2007) tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara ketersediaan APD dengan perilaku bekerja selamat.
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang konsisten dan tegas
terhadap pekerja yang tidak memakai APD. Diharapkan dengan adanya
pengawasan tersebut dapat menumbuhkan kesadaran para pekerja.
6.4.2 Hubungan Peraturan Keselamatan dengan Perilaku Aman
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan
standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001).
Menurut DEPDIKBUD (1990) dalam Utommi (2007), kepatuhan adalah
ketaatan melakukan sesuatu yang dianjurkan atau ditetapkan. Kepatuhan juga
adalah seberapa besar pekerja untuk mematuhi/menjalani peraturan yang
berlaku berkaitan dengan keselamatan kerja. Semakin banyak peraturan
perusahaan yang diterapkan oleh pekerja maka pekerja tersebut dikatakan
patuh/baik, bila sebaliknya maka pekerja tersebut dianggap tidak mematuhi
peraturan keselamataan kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Secara umum, HFACS (Human Factor analysis and Clasification
system) mengklasifikasikan tindakan tidak aman (unsafe act) menjadi
keselahan

(Errors)

dan

pelanggaran

(violations).

Kesalahan

adalah

representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik seseorang yang gagal dalam

mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran disisi lain mengacu pada niat
untuk mengabaikan petunjuk atau aturan yang telah ditetapkan untuk
melakukan tugas tertentu (Wiegman, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3 diketahui bahwa
responden yang memetuhi peraturan lebih banyak. Pada tabel 5.5 dapat
diketahui bahwa responden yang tidak patuh terhadap peraturan yang
berperilaku tidak aman lebih banyak daripada responden yang mematuhi
peraturan. Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna
antara peraturan dengan perilaku tidak aman. Hasil perhitungan odds rasio
menunjukkan bahwa responden yang tidak mematuhi peraturan cenderung
88,333 kali berperilaku tidak aman daripada responden yang mematuhi
peraturan.
Meskipun demikian, setelah melalui beberapa proses analisis
multivariat, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara peraturan dengan
perilaku aman. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti. Penelitian ini tidak
sejalan dengan pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyebutkan bahwa salah
satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan dan
kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus
dipatuhi oleh anggota masyarakat.
Hal ini dikarenakan pekerja mematuhi peraturan dengan tidak
dilandasi oleh kesadaran pada dirinya sendiri. Dalam hal ini, perubahan
perilaku yang tidak disadari oleh kesadaran sendiri tidak akan berlangsung
lama (Notoadmodjo, 2003). Meskipun dengan menggunakan kekuasaan atau

kekuatan berupa peraturan dan undang undang yang harus dipatuhi dapat
menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut
belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi
tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri (Notoadmodjo, 2003).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Maaniaya (2005) yaitu tidak
ditemukannya hubungan peraturan dengan tindakan tidak aman.
Reason

(1997)

mengungkapkan

pekerja

hendaknya

memiliki

kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko terjadinya kecelakaan


kerja dapat diminimalisasi. Geller (2001) juga mengungkapkan perubahan
perilaku tingkat kepatuhan yang baik adalah internalisasi, dimana individu
melakukan sesuatu karena memahami makna, mengetahui pentingnya
tindakan dan keadaaan ini. Hal ini cenderung akan berlangsung lama dan
menetap dalam diri individu. Jadi, para pekerja yang mematuhi peraturan
keselamatan karena mereka menyadari dan mengerti akan pentingnya
menjaga keselamatan maka perilaku tersebut cenderung berlangsung lama.
Selain itu, peraturan tersebut tidak dikomunikasikan secara menyeluruh dan
tidak ditegakkan sebagaimana seharusnya. Sedangkan peraturan itu dibuat
agar pekerja dapat berperilaku aman dan banyak pekerja yang melanggar
peraturan karena tidak adanya hukuman bagi mereka yang melanggar dan dari
pihak pengawas sendiri cenderung mengabaikan atau mengaganggap remeh
pelanggaran yang telah dilakukan oleh pekerja. Dalam hal ini, sebagaimana
yang Geostsch (1996) paparkan bahwa manajemen harus merumuskan
peraturan yang sesuai, mengkomunikasikan peraturan tersebut kepada

pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut ditempat kerja. Penegakkan


peraturan merupakan hal yang sering dilupakan.
Selain itu, masih ada pekerja yang menggap bahwa jika terjadi
kecelaaan bisa langsung dibawa ke klinik atau ke Rumah sakit dan itupun
biaya kecelakaan ditanggung oleh perusahan dan bukan mereka yang
membayarnya. Hal ini tentunya akan merugikan pekerja dan perusahaan,
pekerja dapat mengalami kesakitan, cacat, atau parahnya adalah meninggal.
Bagi perusahaan tentunya akan merugikan materil seperti terhentinya proses
produksi, hari kerja yang hilang, biaya pengobatan dan perawatan, dan non
materil seperti rusaknya citra perusahaan bahkan jika kejadian itu
menimbulkan kematian pada tenaga kerja (Sahab, 1997).
Meskipun demikian, peraturan merupakan sebuah bentuk tulisan
sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan pengawasan yang teratur dan
konsisten agar kepatuhan terhadap peraturan bisa semakin meningkat hingga
keseluruh pekerja. Menurut Geostsch (1996), objektivitas dan konsistensi
merupakan hal yang penting ketika menegakkan peraturan. Objektivitas
maksudnya peraturan tersebut berlaku bagi semua pekerja mulai dari pekerja
baru hingga kepala eksekutif. Konsistensi maksudnya peraturan tersebut
ditegakkan dalam setiap kondisi tanpa ada pengaruh dari luar. Hal ini berarti
hukuman diberikan kepada setiap pelanggar. Kegagagalan untuk menjadi
objektif dan konsisten dapat menurunkan kredibilitas dan efektivitas upaya
perusahaan untuk mempromosikan keselamatan

Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang konsisten dan objektif


agar penerapan peraturan ditegakkan secara menyeluruh. Selain itu, sebaiknya
diadakan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Hukuman
merupakan konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk
akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman menekankan atau
melemahkan perilaku (Geller, 2001). Hukuman tidak hanya berorientasi untuk
menghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai kontrol
terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindungi dari insiden
(Roughton, 2002).
Penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan kepada
individu atau kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan, mendukung,
dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagai mestinya,
penghargaan dapat memeberikan yang terbaik kepada setiap orang karena
penghargaan membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme,
dan rasa memiliki (Geller, 2001).
Penelitian Maaniaya (2005) yaitu tidak ditemukannya hubungan
peraturan dengan tindakan tidak aman. penelitian Hendrabuwana (2007) tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku bekerja
selamat dan menurut penelitian Hendrabuwana (2007) tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku bekerja selamat.
6.4.3 Hubungan Promosi Keselamatan dengan Perilaku Aman
Menururt George (1998) dalam Helliyanti (2009). Safety promotions
atau promosi K3 adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk mendorong

dan menguatkan kesadaran dan perilaku pekerja tentang K3 sehinggga dapat


melindungi pekerja, properti, dan lingkungan. Program promosi K3 menjadi
efektif apabila terdapat perubahan sikap dan perilaku pada pekerja.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang
menyatakan promosi keselamatan cukup baik lebih banyak dan pada tabel 5.5
dapat diketahui bahwa responden yang berperilaku tidak aman yang
menyatakan promosi keselamatan cukup baik lebih banyak daripada
responden yang menyatakan promosi keselamatan baik. Hasil uji Chi square
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara promosi keselamatan
dengan perilaku aman.
Hasil perhitungan odds rasio menunjukkan bahwa responden yang
menyatakan promosi keselamatan cukup baik cenderung 14,063 kali
berperilaku tidak aman daripada responden yang menyatakan promosi
keselamatan baik. Pengamatan dilapangan, terdapat beberapa media yang
digunakan untuk mengkomunikasikan keselamatan kerja, meliputi buku saku
yang berisi tentang bahaya yang ada di area kerja dan perilaku yang
seharusnya untuk menjaga keselamatan dirinya dan orang lain, rambu-rambu
keselamatan yang dapat membantu meningkatkan keselamatan dan kesehatan
serta dipakai untuk mengurangi kebiasaan buruk yang banyak ditemukan, dan
promosi keselamatan juga dilakukan dengan mengkomunikasikan bahaya
yang dilakukan oleh para pengawas yaitu kepala sub bagian masing-masing
line kepada para pekerja sebelum bekerja, hal ini dilakukan untuk
mengingatkan para pekerja akan pentingnya menajaga keselamatan dan

berperilaku yang aman serta mematuhi peraturan yang seharusnya, selain itu
juga dikomunikasikan kecelakaan yang terjadi agar tidak terulang lagi.
Meskipun demikian, berdasarkan analisis multivariat tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara promosi keselamatan dengan perilaku aman.
Hal ini dikarenakan masih ada pekerja yang berperilaku tidak aman, karena
media informasi yang disampaikan masih kurang dipahami oleh pekerja,
rambu-rambu keselamatan, tanda APD yang harus digunakan, dan poster
bahaya yang masih kurang dan belum merata di seluruh area kerja.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Notoadmodjo (2003),
pengetahuan yang ada pada setiap manusia diterima atau ditangkap melalui
panca indra. Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu
maka akan semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan
yang diperoleh. Dalam kata lain, dengan promosi keselamatan dimaksudkan
untuk mengerahkan indra sebanyak mungkin kepada suatu objek, sehingga
mempermudah suatu pemahaman.
Oleh karena itu, diperlukan media promosi keselamatan yang dapat
lebih pahami seperti penggunaan gambar-gambar yang besar dengan tulisan
yang mudah diingat dan penggunaan warna yang menarik serta penempatan
yang tepat yang dapat dilihat oleh banyak orang. Sebagaimana menurut para
ahli dalam Notoadmodjo (2003), indra yang paling banyak menyalurkan
pengetahuan kedalam otak adalah mata. Kurang lebih 75%-87% dari
pengetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui mata. Sedangkan 13%
-27% lainnya tersalur melalui indra yang lain. Hal ini dapat disimpulkan

bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan


informsi. Dalam hal ini, alat visual dua dimensi adalah berupa gambar, peta,
bagan, dan sebagainya.
Selain itu, menurut Elgar Dale dalam Notoadmodjo (2003) diketahui
bahwa penyampaian bahan yang hanya dengan kata-kata saja sangat kurang
efektif atau intensitasnya paling rendah karena kata-kata menempati urutan
teratas dalam kerucut Elgar Dale. Sedangkan televisi atau film menempati
urutan yang kelima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
gambar atau visual mempunyai intensitas yang lebih tinggi daripada kata-kata
dalam mempersepsikan bahan atau media informasi. Penelitian Heliyanti
(2009) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara safety promotion
dengan perilaku tidak aman.
6.4.4 Hubungan Pelatihan dengan Perilaku Aman
Pelatihan digunakan untuk melatih pengetahuan dan keterampilan
tertentu, keterampilan menggunakan peralatan dan mesin-mesin, atau
keterampilan manajerial, yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat
dan dalam jangka waktu pendek baik untuk tenaga kerja manajerial maupun
untuk tenaga kerja bukan manager. Biasanya perusahaan mempunyai
pelatihan khusus untuk tenaga kerja baru yang tidak melatih suatu
keterampilan melainkan diberikan pengetahuan tentang perusahaannya seperti
visi dan misi perusahaan, prosedur kerja, kebijakan, peraturan-peraturan
tentang pekerjaannya dan lain-lain. Program latihan ini bertujuan agar para
pekerja dalam waktu singkat dapat mengenali dan menyesuaikan diri pada
perusahaan dan budaya perusahaannya.

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang jarang


mengikuti pelatihan lebih banyak. Hal ini disebabkan karena pelatihan
keselamatan dilakukan bersifat sukarela dan wajib. Pelatihan yang bersifat
sukarela biasanya diwakilkan beberapa orang dalam satu section produksi.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan semua pekerja bisa
mengikuti pelatihan karena pelatihan ini dilakukan secara bergiliran. Pelatihan
yang bersifat wajib adalah pelatihan keselamatan yang berhubungan dengan
alat-alat atau mesin yang berhubungan dengan pekerjaan seperti training CO2
operational, training untuk mendapatkan Surat Ijin Operator (SIO) forklift
dan Over Head Crane (OHC).
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang jarang
mengikuti pelatihan lebih banyak yang berperilaku tidak aman daripada
responden yang sering mengikuti pelatihan. Hasil uji Chi square
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan
keselamatan dengan perilaku tidak aman. Variabel inipun tidak menjadi
kandidat model multivariat sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel
pelatihan tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan perilaku aman.
Dengan demikian, hipoesis tidak terbukti.
Hal ini juga menunjukkan sering atau jarangnya pelatihan dilakukan
tidak mempengaruhi perilaku aman pekerja karena perubahan dan
pembentukan perilaku tidak terjadi begitu saja tetapi dipengaruhi oleh
beberapa variabel lainnya seperti yang telah dipaparkan oleh Notoadmodjo
dan Sarwono (1985), bahwa perilaku sebagai perefleksian faktor-faktor
kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap,

motivasi, reaksi, dan sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman,


keyakinan, sarana fisik, sosio dan budaya.
Geller (2001) juga menambahakan faktor yang mempengaruhi
perilaku meliputi faktor internal (meliputi sikap, kepercayaan, perasaan,
pemikiran, kepribadian, persepsi, dan nilai-nilai, tujuan) dan eksternal
(meliputi pelatihan, pengenalan, persetujuan, komunikasi, dan menunjukan
kepedulian secara aktif). Selain itu, menurut Green (1980) terdapat 3 faktor
yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor predisposisi (predisposing),
pemungkin (enabling), dan penguat (reinforcing). Sehingga dapat simpulkan
bahwa perilaku tidak hanya terbentuk karena jarang atau seringnya melakukan
pelatihan tetapi karena terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi
perilaku dan faktor-faktor tersebut diluar penelitin ini.
Dari hasil wawancara juga dapat disimpulkan bahwa pekerja tidak
mau mengikuti pelatihan keselamatan karena belum menyadari pentingnya
pelatihan keselamatan dan banyak pelatihan keselamataan yang bersifat
sukarela sehingga pekerja cenderung mengabaikannya. Sedangkan pelatihan
itu dilakukan untuk merubah perilaku pekerja menjadi berperilaku aman, dan
memberitahukan cara-cara bekerja yang aman dan apa yang harus dilakukan
saat terjadi keadaan darurat. Sebagiamana yang dipaparkan oleh Geller (2001)
bahwa pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan pada saat
pekerja tidak tahu cara bekerja aman (pekerja tidak kompeten atau kurang
keterampilan), terdapat cara-cara baru yang lebih aman dalam suatu pekerjaan
(fungsi peningkatan dan pembaharuan), sebagai sarana untuk mengingatkan

kembali cara untuk bekerja aman pada pekerja, sebagai pengetahuan saat
kondisi darurat, dan untuk mengubah perilaku menuju perilaku aman.
Selain itu, dari hasil wawancara juga disimpulkan bahwa pekerja yang
telah mengikuti pelatihan merasa bosan dengan materi yang diberikan dan
penyampaian informasi yang kurang menarik, dan pelatihan yang dilakukan
pada saat jam kerja sehingga dapat menunda pekerjaan mereka dan pada
akhirnya mereka juga merasa kurang fokus dengan pelatihan yang dilakukan.
Oleh karena itu, sebaiknya pelatihan yang dilakukan pada saat yang tepat
seperti pada saat libur kerja atau pada saat pemadaman listrik bergiliran
sehingga tidak mengganggu pekerjaan mereka dan sebaiknya penyampaian
materi dilakukan semenarik mungkin dan lebih menggali pengetahuan,
wawasan, dan menumbuhkan rasa ingin tahu para pekerja seperti adanya
diskusi, permainan, studi kasus, dan penyampaian yang lebih mengutamakan
gambar-gambar atau grafik sehingga para

pekerja lebih merasa tertarik.

Selain itu, pekerja sebaiknya turut melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan


pelatihan agar timbul keingan memiliki dalam kegiatan pelatihan.
Sebagaimana

pendapat

yang

diungkapkan

Maaniaya

(2005),

kegagalan suatu program pelatihan dapat juga disebabkan karena 1). Pelatihan
dilaksanakan pada waktu yang tidak tepat, kurang partisipasi manajer terkait
dalam perancangan program pelatihan. Tanpa partisispasi ini, pelatihan
seringkali berorientasi pada masalah teknis daripada berorientasi pada
permasalahan yang ada dan hasil hasil yang diharapkan pada pelatihan
tersebut. 2). Penyampaian materi sangat bergantung pada metode pemberian
kuliah. Suatu pelatihan terutama yang berkaitan dengan dunia industri, harus

dilakukan dengan sangat interaktif dan memungkinkan peserta untuk


merapkan dan mempraktikkan konsep-konsep yang diajarkan selama proses
berlangsung. 3). Buruknya komunikasi selama pelatihan berlangsung. Banyak
keuntungan

yang

dapat

diraih

apabila

instruktur

pelatihan

lebih

menitikberatkan pada penggunaan bahasa yang sederhana dan teknik


presentasi yang menggunakan grafik atau gambar. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Karyani (2005) yaitu tidak ada hubungan yang bermakna
antara perlaku aman dengan pelatihan.

6.4.5 Hubungan Peran Pengawas dengan Perilaku Aman


Geller (2001) menyebutkan adanya peran manager dalam perilaku
kerja. keduanya berhubungan langsung dengan target inidividu yang sedang
berlangsung. Menurut Bird dan Germain (1990), supervisor (pengawas)
memiliki posisi kunci dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap keterampilan,
dan kebiasaan, akan keselamatan setiap karyawan dalam suatu area tanggung
jawabnya. Para pengawas mengetahui lebih baik daripada pihak lain
mengenai diperhatikannya individu-individu, catatan cuti, kebiasaan bekerja,
perbuatan, keterampilan dalam bekerja. Para pengawas juga memonitor
kinerja pekerja, dimana hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk
kesuksesan program.
Pada penelitian ini, peran pengawas yang dimaksud adalah kepala sub
bagian masing-masing line produksi karena memang kepala sub merupakan
orang terdekat pekerja yang membimbing dan mengawasi pekerja.

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang menyatakan


peran pengawas yang mendukung lebih banyak. Berdasarkan hasil analisis
bivariat pada tabel 5.5 diketahui bahwa responden yang berperilaku tidak
aman yang menyatakan peran pengawas kurang mendukung lebih banyak
daripada responden yang menyatakan peran pengawas mendukung. Hasil uji
Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran
pengawas dengan perilaku aman. Hasil perhitungan odds rasio mennjukkan
bahwa responden yang menyatakan peran pengawas yang kurang mendukung
cenderung 321 kali berperilaku tidak aman daripada responden yang
menyatakan peran pengawas mendukung.
Setelah melalui proses analisis multivariat diketahui bahwa peran
pengawas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku aman.
Jika diketahui dari uji statistik, diketahui nilai OR peran pengawas paling
besar yaitu 54,085. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku pekerja akan
berubah sebesar 54,085 kali lebih besar menjadi berperilaku tidak aman
apabila peran pengawas kurang mendukung dalam berperilaku aman
dibandingkan dengan peran rekan kerja. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
peran pengawas merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan
perilaku aman.
Dalam mengawasi pekerja, seorang pengawas mempunyai tanggung
jawab dan wewenang, seperti membina dan memotivasi pekerja untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik dan terselesaikan tepat waktu sehingga
dapat

meningkatkan

produktivitas

perusahaan

dan

tentunya

tanpa

mengabaikan aspek keselamatan. Selain itu, sebagaimana Karyani (2005)

paparkan, pengawas yang baik akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang
pada akhirnya akan membentuk perilaku kerja yang aman.
Berdasarkan hasil analisis model akhir multivariat, diketahui nilai
Negelkerke R Square sebesar 78,4%, artinya kedua variabel yang ada di
model tersebut dapat menjelaskan kejadian perilaku tidak aman sebesar 78,4%
dan selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Birds dan Germain (1990), semua
anggota yang terlibat dalam organisasi harus mampu memberikan
pengawasan terhadap jalannya operasi perusahaan. bila fungsi pengawasan ini
tidak dilaksanakan maka akan timbul penyebab dasar dari suatu insiden yang
dapat mengganggu kegaiatan perusahaan. Jadi, pengawasan tersebut tidak
hanya dilakukan oleh para manajerial tetapi juga dari pekerja itu sendiri agar
tercapai sebuah kerjasama yang berkesinambungan sehingga terbentuk
perilaku aman yang menyeluruh yang pada akhirnya dapat membentuk suatu
budaya keselamatan.
Bird dan Germain (1990) juga mengungkapkan bahwa peran seorang
pengawas sangat penting dan harus dapat mamanfaatkan waktu dengan baik
dalam berbicara untuk memberitahukan ataupun memberikan teguran
terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak aman dan memberikan
pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat kerja. Kontak
secara personal harus dilakukan sesering mungkin untuk mempengaruhi sikap
pekerja, pengetahuan, dan keterampilan.

Pengamatan dilapangan, masih ada pengawas yang kurang tegas


mengawasi pekerja yang tidak berperilaku aman, masih ada pekerja yang
walaupun sudah ditegur tetapi masih berperilaku tidak aman dan berperilaku
aman jika diawasi saja. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan secara
teratur atau konsisten sehingga apabila ada kondisi yang berbahaya atau
kegiatan yang tidak aman dapat diketahui dengan segera dan dapat dilakukan
usaha untuk memperbaikinya. Bird dan Germain (1990) juga mengungkapkan
bahwa pengawasan terhadap aktivitas pekerja ini diharapkan dapat
menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran akan pentignya keselamatan dan
kesehatan kerja bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karyani yang mengungkapkan
bahwa peran pengawas merupakan faktor yang paling dominan dengan
perilaku aman.
6.4.6 Hubungan Peran Rekan Kerja dengan Perilaku Aman
Menurut Birds dan Germain (1990), semua anggota yang terlibat
dalam organisasi harus mampu memberikan pengawasan terhadap jalannya
operasi perusahaan. bila fungsi pengawasan ini tidak dilaksanakan maka akan
timbul penyebab dasar dari suatu insiden yang dapat mengganggu kegaiatan
perusahaan. Oleh karean itu, peran rekan kerja penting dalam menjaga dan
mengawasi keselamatan diarea kerjanya. Seringkali pekerja berperilaku tidak
aman karena rekannya yang lain juga berperilaku demikian.
Geller (2001) juga menyebutkan tekanan rekan kerja semakin
meningkat saat semakin banyak orang terlibat dalam perilaku tertentu dan saat

anggota grup yang berperilaku tertentu terlihat relatif kompeten atau


berpengalaman. Jadi, jika dalam satu grup banyak pekerja yang berperilaku
tidak aman maka pekerja lain juga ikut berperilaku tidak aman.
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang
berperilaku tidak aman yang menyatakan peran rekan kerja kurang
mendukung lebih banyak daripada responden yang menyatakan peran rekan
kerja mendukung. Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara peran rekan kerja dengan perilaku aman. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Karyani (2005) diperoleh bahwa perilaku tidak
aman berhubungan dengan peran rekan kerja. Hasil analisis bivariat
menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara perilaku tidak aman
dengan peran rekan kerja yang mendukung dan kurang mendukung pekerja
dalam berperilaku aman.
Analisis keeratan hubungan dua variabel diketahui bahwa peran rekan
kerja yang kurang mendukung cenderung 227,375 kali berperilaku tidak aman
daripada pekerja dengan peran rekan kerja yang mendukung perilaku aman.
Berdasarkan tabel 5.10, diketahui hasil analisis multivariat untuk variabel
peran rekan kerja merupakan variabel yang dapat mempengaruhi perilaku
aman. Jika dilihat dari hasil uji statistik, diketahui OR untuk variabel peran
rekan kerja adalah 21,129, artinya pekerja dengan peran rekan kerja yang
kurang mendukung mempunyai peluang 21,129 kali lebih besar untuk
berperilaku tidak aman. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peran rekan kerja
merupakan faktor yang dominan berhubungan dengan perilaku aman. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis terbukti. Artinya, ada hubungan


antara peran rekan kerja dengan perilaku aman.
Berdasarkan hasil penelitian, peran rekan kerja terbukti berpengaruh
terhadap perilaku tidak aman, hal ini disebabkan karena peran rekan kerja
penting dalam menjaga dan mengawasi keselamatan diarea kerjanya.
Seringkali pekerja berperilaku tidak aman karena rekannya yang lain juga
berperilaku demikian. Sebagaimana Geller (2001) menyebutkan tekanan
rekan kerja semakin meningkat saat semakin banyak orang terlibat dalam
perilaku tertentu dan saat anggota grup yang berperilaku tertentu terlihat
relatif kompeten atau berpengalaman. Jadi, jika dalam satu grup banyak
pekerja yang berperilaku tidak aman maka pekerja lain juga ikut berperilaku
tidak aman.
Oleh karena itu, Sebaiknya perusahaan mengadakan program STOP
(Safety Training Observation Program) yang dapat melatih pekerja untuk
mengamati, membetulkan, mencegah, dan melaporkan tindakan sembrono
secara sistematis. Selain itu juga melatih untuk mengamati dan menanmkan
praktek kerja selamat. Dengan STOP pekerja dapat meningkatkan performa
keeselamatan kerja dan performa kerja, dan hubungan baik dengan para
karyawan. Sekaligus akan menghindari masalah semangat, kemunduran
produksi, dan biaya yang terkait dengan cidera.
Dalam hal ini, peran aktif semua pekerja juga diperlukan agar
pelaksanaan dan pengawasan terhadap perilaku aman dapat lebih tingkatkan
dan menjadi budaya keselamatan di perusahaan. Peneliti juga menyarankan

agar diadakan pengahargaan atau reward sebagai penghargaan kepada


pekerja teladan dalam berperilaku aman. Sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan
kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan,
mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan
sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada
setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri,
pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001). Penelitian
ini sejalan dengan penelitian Karyani (2005), dimana peran rekan kerja
merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku aman setelah peran
pengawas.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 130 responden di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010 dapat disimpulkan bahwa :
1. Responden yang berperilaku aman lebih banyak yaitu berjumlah 109 orang
(83,9%).
2. Gambaran faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, dan lama
bekerja) sebagai berikut :
a. Responden yang memiliki pengetahuan tinggi lebih banyak yaitu berjumlah
112 orang (86,2%).
b. Responden yang memiliki sikap negatif lebih banyak yaitu berjumlah 108
orang (83,1%).
c. Responden yang memiliki persepsi positif lebih banyak yaitu berjumlah 113
orang (86,9%).
d. Responden yang memiliki motivasi tinggi lebih banyak yaitu berjumlah
111orang (85,4%).
e. Responden yang berumur muda lebih banyak yaitu berjumlah 66 orang
(50,8%).
f.

Responden yang telah bekerja lama lebih banyak yaitu berjumlah 68 orang
(52,3%).

3. Gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan keselamatan kerja,


safety promotions/promosi keselamatan kerja, pelatihan keselamatan, peran
pengawas, dan peran rekan kerja) adalah sebagai berikut :
a. Responden yang menyatakan kesulitan untuk mendapatkan APD yaitu
berjumlah 83 orang (63,8%). Hal ini dikarenakan pekerja tidak menjaga dan
menyimpan APD dengan baik seperti kehilangan dan rusaknya APD dan jika hal
ini sering berlanjut maka stok APD akan semakin berkurang dan akan terjadi
pemborosan yang dapat menyebabkan kerugian pada Perusahaan.
b. Responden yang patuh terhadap peraturan lebih banyak yaitu berjumlah 112
orang (86,2%).
c. Responden yang menyatakan promosi keselamatan cukup baik lebih banyak
yaitu berjumlah 84 orang (64,6%).
d. Responden yang jarang mengikuti pelatihan lebih banyak yaitu berjumlah 77
orang (59,2%).
e. Responden yang menyatakan peran pengawas yang mendukung lebih banyak
yaitu berjumlah 110 orang (84,6%).
f.

Responden yang menyatakan rekan kerja yang mendukung lebih banyak yaitu
berjumlah 111 orang (85,4%).

4. Hubungan Antara Faktor Internal (Pengetahuan, Sikap, Persepsi, Motivasi, Umur,


Dan Lama Bekerja), antara lain :
a. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku
aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.

b. Tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku aman di PT
SIM Plant Tambun II tahun 2010.
c. Tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan perilaku aman di
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
d. Tidak ada hubungan yang bermakna antara motivasi dengan perilaku aman di
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
e. Tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan perilaku aman di PT
SIM Plant Tambun II tahun 2010.
f.

Tidak ada hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan perilaku
aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.

5. Hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan keselamatan


kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja, pelatihan keselamatan,
peran pengawas, dan peran rekan kerja), antara lain :
a. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan APD dengan perilaku
tidak aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
b. Tidak ada hubungan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku aman
tidak aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
c. Tidak ada hubungan yang bermakna antara promosi keselamatan dengan
perilaku aman tidak aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
d. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan keselamatan dengan
perilaku aman tidak aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
e. Ada hubungan yang bermakna antara peran pengawas dengan perilaku aman
di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.

f.

Ada hubungan yang bermakna antara peran rekan kerja dengan perilaku aman
di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.

6. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman karyawan di PT


SIM Plant Tambun II tahun 2010, yaitu variabel peran pengawas yang kemudian
dilanjutkan dengan variabel peran rekan kerja.
7.2. Saran
A. Bagi Perusahaan
1. Diperlukan peran aktif dari pihak pengawas.
2. Diperlukan pengawasan yang teratur dan konsisten.
3. Sebaiknya perusahaan mengadakan program STOP (Safety Training Observation
Program) yang dapat melatih pekerja untuk mengamati, membetulkan,
mencegah, dan melaporkan tindakan sembrono secara sistematis. Selain itu
juga melatih untuk mengamati dan menanmkanpraktek kerja selamat. Dengan
STOP pekerja dapat meningkatkan performa keeselamatan kerja dan performa
kerja, dan hubungan baik dengan para karyawan. Sekaligus akan menghindari
masalah semangat, kemunduran produksi, dan biaya yang terkait dengan
cidera.
4. Diperlukan media promosi keselamatan yang dapat lebih pahami.
5. Sebaiknya diadakan penghargaan (reward).
6. Perlu diadakannya hukuman (punishment).
7. Sebaiknya pelatihan yang dilakukan pada saat yang tepat dan penyampaian
materi dilakukan semenarik mungkin dan lebih menggali pengetahuan,
wawasan, dan menumbuhkan rasa ingin tahu para pekerja.

8. Pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian imbalan dalam bentuk uang


yang memadai.
B. Bagi Pekerja
1. Sebaiknya rekan kerja lebih berperan aktif dalam melakukan pengawasan.
2. Sebaiknya pekerja menggunakan dan menjaga perlengkapan keselamatan kerja
dengan lengkap dan benar, menaati peraturan dan prosedur yang berlaku,
bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya.
3. Pekerja sebaiknya turut melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pelatihan.
C. Bagi Peneliti Lain
1. Peneliti selanjutnya diharapkan mengikutsertakan variabel-variabel lain yang
diduga berhubungan dengan perilaku aman yang tidak dapat diteliti pada
penelitian ini.
2. Pada penelitian ini diketahui nilai Negelkerke R Square sebesar 78,4%, artinya
pada penelitian ini dapat menjelaskan kejadian perilaku tidak aman sebesar
78,4% dan 21,6% dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ariwan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Penelitian Kesehatan. Depok : FKM
UI
Astuti, Yunani Sri, Skripsi, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi
Perawet Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Untuk Mengikuti Pendidikan, Suatu Studi
Kasus di Tiga RSJ di Jawa Barat, FKM UI : Depok, 2001.
Bird, E, F and Germain, G, L. 1990. Practical Loss Control Leadership. Edisi Revisi.
USA : Division Of International Loss Control Institute.
Colling, David. 1990. Industrial Safety Management and Technology. Pentice Hall
Inc
Cooper, D. 2001. Improving Safety Culture : A Practical Guide, Applied Behavioural
Science. UK
Cahyani, Dewi. 2004. faktor-faktor yang berhubungan dengan perilku tidak aman pd
pekerja pabrik billet baja PT Karakatau Steel, Cilegon, Jawa Barat Tahun
2004.. Skripsi. Depok : FKM UI
Dahlawy, Dharief. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku K3 di Area
Pengolahan PT. Antam tbk, Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor
Kabupaten Bogor Tahun 2008. Jakarta : FKIK UIN
Digagurnasa, Srigali. 1992. Pengantar Psikologi. Jakarta : Mutiara.
Geller, E Scoot. 2001. The Pshychology Of Safety Handbook. USA : Lewis Publisher
Geotsch, et. Al. 1996. Safety and Health Management. Amsterdam Hall : Mac Gill
Inc

Germain, George L, et al. 1998. Safety Health Environtmental Management


Practitioners Guide. International Risk Management Institute Inc
Green, Lawrence W. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach.
California : Mayfield Publishing Company
Hastono Priyo S. 2001. Modul Analisa Data. Depok: FKM UI
Hiperkes. 2007. Keselamatan Kerja. [ONLINE]. [Accesed 23th July 2009], available
from World Wide Web : <http://www.hiperkes.wordpress.com/>
Helliyanti, Putri. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Tidak
Aman di Dept. Utility and Operation PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi
Bogasari Flour Mills tahun 2009. Skripsi. Depok : FKM UI
Hendrabuwana, La Ode. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku
Bekerja Selamat Bagi Pekerja Di Depatemen Cor PT Pindad Persero
Bandung Tahun 2007. Skripsi. Depok : FKM UI
ILO. 1998. Encyclopedia of Occupational Health and Safety. Volume 1 4 . 4th
edition. Stellman, Jeanne Mager (ed). Geneva. Switzerland.
Ivancevich, John M et all. 2006. Perilaku dan Manajemen Organisasi, Jilid 1 Edisi
ketujuh, Jakarta : Penerbit Erlangga
Jamsostek. 2008. Kecelakaan Kerja. [ONLINE]. [Accesed 10th Jan 2009], available
from World Wide Web : <http://www.jamsostek.co.id/>
Karyani. 2005. Faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku aman (safe behavior)
di Schlumberger Indonesia tahun 2005. Tesis. FKM UI Depok
Kondarus, Danggur. 2006. Keselamatan Kesehatan Kerja Membangun SDM
Pekerja Yang Sehat, Produktif, dan Kompetitif. Jakarta: Litbang Danggur &
Partners

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM, Bandung : Penerbit PT


Refika Aditama
Maanaiya, Imam. 2005. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan tidak
aman (Unsafe act/substandard practice) pekerja di bagian Press PT YIMM
Tahun 2005. Tesis. Depok : FKM UI
Ernest J, Mc Cormick. 1985. Industrial and Organization Psychology. Prentice Hall.
NewJersey
Millah,

Izatu.

2008.

Faktor-Faktor

Yang

Berhubungan

Dengan

Perilaku

Menggunakan Sabuk Keselamatan Pada Pengemudi Angkutan Umum Di


Terminal Bus Pulogadung, Tahun 2008. Skripsi. Jakarta : FKIK
Munandar, Sunyoto Ashar. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta.: UI
Press.
Neal, Andrew dan Graffin, Mark. 2002. Safety Climate And Safety Behavior.
Australian Journal of Management.
Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka
Cipta
Petersan, Dan. 1998. Safety Management A Human Approch. New York :
Proffesional and Academic Publisher Gohsen Aloray Inc.
Prihswan, Irwadi. 2007. Studi Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Tidak
Selamat Karyawan Bagian Produksi Dan Pemeliharaan Lapangan Panas
Bumi Gunung Salak Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2007. Tesis. Depok : FKM
UI.
Reason, J T. 1997. Managing The Risk Of Organizational Accidents. England :
Ashgate Publishing Ltd

Roughton james E. 2002. Developing an effective safety culture : a leadership


approach. USA:butterworth Heinemann.
Robbins, Stephen P. 1998. Organizational Behavior. 8th Ed. New York: Prentice Hall
Sahab, Syukri. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta :
PT. Bina Sumber Daya Manusia
Sarwono, Sarlito Wirawa. 1997. Teori-Teori Psikologi Social. Jakarta : CV Rajawali.
Siagian, Sondang P. 1987. Teori dan Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta : Bina
Aksara.
Sialagan. Togar Robin. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Pada
Perilaku Aman di PT EGS Indonesia Tahun 2008. Tesis. Depok : FKM UI
Simanjuntak, David H. 1997. Hubungan Shift Kerja dan Absensi. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Tahun XXV, Nomor 7. Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU Medan.
Suizer, A,B. 1999. Safety behavior: fewer Injuries?. Jakarta : Balai Pustaka
Sumamur. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta : Gunung
Agung
Sumamur. 1996. Keselamatan Kerja dan pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT Toko
Gunung Agung
Thomas J. 1989. Occupational Safety and Health Management. Singapore: McGraw
Hill Book
Utommi, Sendy. 2007. Gambaran Tingkat Kepatuhan Pekerja Dalam Mengikuti
Prosedur Operasi pada Pekerja Operator Dump Truck di PT. Kaltim
Primacoal tahun 2007. Skripsi. Depok : FKM UI.

Warsto, Freddin & Mamesh, Loui A. 2003. Buku Pedoman Manajemen dan LK3.
Tangerang : PT. Hardaya Aneka Shoes Industry.
Wiegman, Douglas A, et al. 2007. Human Error and General activation accident: A
Comprehensive, Fine-Grained Analysis using HFACS. [ONLINE]. [Accesed
25th

July

2009],

available

from

World

Wide

Web

<http://www.humanfactors.uiuc.edu/ >
Widayatun, Rusmi Tri. 1999. Ilmu Perilaku M.A. 104 Buku Pegangan Mahasiswa
AKPER. Jakarta: CV. Sagung Seto

Вам также может понравиться