Вы находитесь на странице: 1из 3

Defense Mechanism (Mekanisme Pertahanan Diri)

Sigmund Freud menyatakan mekanisme pertahanan diri adalah strategi yang dipakai individu
untuk bertahan melawan ekspresi impuls id serta menentang tekanan superego. Menurutnya,
Ego mereaksi bahaya munculnya impuls Id memakai dua cara:
1. Membentengi impuls sehingga tidak dapat muncul menjadi tingkah laku sadar.
2. Membelokkan impuls itu sehingga intensitas aslinya dapat dilemahkan atau
diubah.
Ada beberapa jenis mekanisme pertahanan diri yang diungkapkan Sigmund Freud dan para
pengikutnya:
a. Identifikasi (identification)
Cara mereduksi tegangan dengan meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri
dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya.
Identifikasi itu umumnya tidak disadari, dan tidak perlu total. Diri orang lain diidentifikasi
tetapi cukup hal-hal yang dianggap dapat membantu mencapai tujuan diri. Terkadang sukar
menentukan sifat mana yang membuat tokoh itu sukses sehingga orang harus mencoba
mengidentifikasi beberapa sifat sebelum menemukan mana yang ternyata membantu
meredakan ketegangan.
Mekanisme pertahanan identifikasi umumnya dipakai untuk tiga macam tujuan: (1) Cara
orang untuk memperoleh kembali sesuatu (obyek) yang telah hilang. Anak yang merasa
ditolak orangtuanya cenderung membentuk identifikasi yang kuat dengan orangtuanya itu
dengan harapan dapat memperoleh penerimaan orangtuanya; (2) Untuk mengatasi rasa takut.
Anak mengidentifikasi larangan-larangan orangtuanya agar terhindar dari hukuman; (3)
Memperoleh informasi baru dengan mencocokkan khayalan mental dengan kenyataan.
Berarti orang menghemat waktu dan enerji dengan mengambil tingkah laku, sikap, dan gaya
orang lain yang telah terbukti berguna.
b. Pemindahan/Reaksi Kompromi (Displacement/Reactions Compromise)
Saat obyek kateksis asli yang dipilih oleh insting tidak dapat dicapai karena ada rintangan
dari luar (sosial, alami) atau dari dalam (antikateksis), insting itu direpres kembali ke
ketidaksadaran atau Ego menawarkan kateksis baru, yang berarti pemindahan enerji dari
obyek satu ke obyek lain, sampai dapat ditemukan obyek yang mampu mereduksi tegangan.
Sumber dan tujuan insting selalu tetap, hanya obyeknya yang berubah-ubah melalui
displacement. Obyek pengganti jarang memberikan kepuasan atau mereduksi tegangan
seperti yang aslinya, dan semakin obyek pengganti itu berbeda dengan yang asli maka
semakin sedikit tegangan yang dapat direduksi. Akibatnya akan ada tegangan yang tak
teredakan, jumlahnya menumpuk semakin banyak yang terus-menerus menuntut Ego mencari
cara meredakannya. Penumpukan tegangan itu menjadi sumber motivasi yang permanen
tetapi juga dapat menimbulkan kegelisahan dan gangguan syaraf.
Proses mengganti obyek kateksis untuk meredakan ketegangan adalah dengan menggunakan
cara reaksi kompromi. Ada tiga macam reaksi kompromi yaitu: - Sublimasi: kompromi yang
menghasilkan prestasi budaya yang lebih
tinggi diterima masyarakat sebagai kulturaf kreatif.
- Substitusi: pemindahan atau kompromi di mana kepuasan yang diperoleh
masih mirip dengan kepuasan aslinya.

- Kompensasi: kompromi dengan mengganti insting yang harus dipuaskan.


Gagal memuaskan insting yang satu diganti dengan memberi kepuasan
insting yang lain.
c. Represi (Repression)
Represi adalah proses Ego memakai kekuatan anticathexes untuk menekan segala sesuatu
(ide, insting, ingatan, pikiran) yang dapat menimbulkan kecemasan keluar daerah kesadaran.
Represi bisa sangat kuat, menekan menuju ketaksadaran menjadi kompleks tertekan
(repressed complex). Namun kalau Ego tidak mampu menekan impuls kompleks tertekan
yang mengganggu, impuls itu mencari jalan keluar melalui celah-celah antikateksisantikateksis yang saling berlawanan, atau muncul dalam bentuk displasement. Agar tidak
memicu kecemasan, displasement itu disembunyikan dalam bentuk sublimasi, substitusi, dan
kompensasi.
d. Fiksasi (Fictation)
Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang
membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut
merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya
terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi
(berhenti) pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan.
Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh
pertahanan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri.
(http://kebijakansosial.wordpress.com/2010/01/25/mekanisme-pertahanan-diridefence-mechanism/)
e. Regresi (Regression)
Frustasi, kecemasan dan pengalaman traumatik yang sangat kuat pada tahap perkembangan
tertentu dapat mengakibatkan individu mengalami regesi; mundur ke tahap perkembangan
yang terdahulu, di mana ia merasa puas di sana. Arah regresi biasanya ditentukan oleh
fiksasi-fiksasi yang pernah dilakukan, yakni orang cenderung regresi ke tahap perkembangan
di mana ia pernah terfiksasi.
f. Pembentukan Reaksi (Reaction Formation)
Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan
kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran, seperti benci
diganti cinta, rasa permusuhan diganti ekspresi persahabatan. Dari hal ini dapat menimbulkan
kesulitan dalam membedakan ungkapan asli/tulus suatu impuls dengan ungkapan yang hanya
semata sebagai reaksi formasi. Tetapi biasanya reaksi formasi ditandai dengan sifat serba
berlebihan, ekstrim, dan kompulsif.
g. Proyeksi (Projection)
Proyeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik/moral menjadi kecemasan
realistik, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam dipindahkan ke
obyek diluar, sehingga seolah-olah ancaman itu terproyeksi dari obyek eksternal kepada diri
orang itu sendiri. Pengubahan ini mudah dilakukan karena sumber asli kecemasan
neurotik/moral itu adalah ketakutan akan hukuman dari luar.
h. Reaksi agresi (Agressive Reactions)
Ego memanfaatkan drive agresif untuk menyerang obyek yang menimbulkan frustrasi.
Menutupi kelemahan diri dengan menunjukkan kekuatan drive agresinya, baik yang
ditujukan kepada obyek yang asli, obyek pengganti, maupun yang ditujukan kepada diri

sendiri. Ego membentuk antikateksis yang mempertentangkan insting-insting agar insting


yang menjadi sumber tegangan frustrasi atau anxiety tetap berada di bawah sadar
i. Intelektualisasi (Intelectualzation)
Ego menggunakan logika rasional untuk menerima kateksis obyek sebagai realitas yang
cocok dengan impuls asli. Mengatasi frustrasi dengan memutarbalikkan realitas untuk
mempertahankan harga diri. Ada lima macam intelektualisasi:
a. Rasionalisasi (rationalization): Menerima, puas dengan obyek kateksis dengan
mengembangkan alasan rasional yang menyimpangkan fakta. Ada dua macam rasionalisasi: Sour grape rationalization: Menganggap kateksis obyek yang tidak
dapat dicapai sebagai sesuatu yang jelek.
- Sweet lwmon rasionalization: Menganggap kateksis obyek yang
dapat diperoleh sebagai yang terbaik.
b. Isolasi (Isolation): Mempertentangkan antara komponen afektif dengan kognitif, gejala
neurosis obsesi kompulsi, di mana dorongan insting (yang tidak dapat diterima Ego) bertahan
di kesadaran, tetapi tanpa perasaan puas/senang. Ketika pikiran bekerja mengikuti dorongan
insting itu, perasaan dan dorongan aksi menjadi inaktif, menjadi obsesi pikiran, obsesi
perasaan, atau obsesi perbuatan.
c. Undoing: kecemasan yang diakibatkan kegiatan negatif, ditutupi atau dihilangkan dengan
perbuatan positif sebagai penebus dosa dalam bentuk tingkah laku ritual. Setiap kali impuls
yang menimbulkan kecemasan muncul, tingkah laku ritual dilakukan menjadi gejala obsesif
kompulsif, untuk menghilangkan kecemasan moral, untuk meredakan konflik, atau untuk
menghakimi pelampiasan impuls yang terlanjur terjadi.
d. Denial: Menolak kenyataan, menolak stimulus/persepsi realistik yang tidak menyenangkan
dengan menghilangkan atau mengganti persepsi itu dengan fantasi dan halusinasi. Denial
menghilangkan bahaya yang datang dari luar dengan mengingkari (menganggap bahwa
bahwa itu tidak ada).
(Psikologi Kepribadian: Alwisol, 2007)

Вам также может понравиться