Вы находитесь на странице: 1из 6

Bangun Keunggulan Pendidikan dengan Model Penilaian Siswa secara

Terpadu
Kualitas sumber daya manusia suatu bangsa tidak bisa dipisahkan dari
kualitas pendidikannya. Jika kualitas pendidikannya rendah, maka sumber daya
manusia yang dihasilkan pun bisa jadi rendah. Kualitas sistem pendidikan ini
mencakup berbagai hal, seperti sistem pendidikan, tujuan akhir pendidikan,
efektivitas jalannya pembelajaran, biaya pendidikan dan lain sebagainya. Tak
dapat dipungkiri bahwa kualitas pendidikan di Indonesia tergolong masih cukup
rendah. Hal ini dibuktikan dari data yang dikeluarkan oleh PBB pada bulan
Oktober 2009 tentang indeks kualitas pendidikan pada Human Development
Report, secara global Indonesia menempati urutan ke 104 dari 181 negara yang
ada, dan rangking ini tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan data
yang di keluarkan pada tahun 20001. Peringkat yang tidak bisa disebut
membanggakan memang, namun bukan berarti Indonesia tidak memiliki masa
depan cemerlang untuk pendidikan putra-putri bangsanya. Indonesia masih sangat
bisa menaikkan peringkat indeks kualitas pendidikannya ini dengan mengatasi
berbagai permasalahan yang menghambat kemajuan kualitas pendidikan di
Indonesia secara serius dan kontinyu. Masalah-masalah seperti kurikulum
pendidikan yang terlalu sering berganti, tidak berjalannya pendidikan karakter
dengan baik, biaya pendidikan yang tinggi, bahkan keberadaan korupsi, kolusi
dan nepotisme dalam sistem pendidikan juga merupakan PR yang harus
diselesaikan jika ingin menaikkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sudah menjadi pengetahuan umum di Indonesia bahwa, jika mentri
pendidikannya berganti, maka kurikulumnya juga akan berganti. Perubahan
kurikulum satu ke kurikulum lainnya pun tidak hanya sekadar menyempurnakan
kurikulum yang sudah ada sebelumnya, namun yang terjadi adalah perubahan
yang bisa dikatakan cukup drastis. Mulai dari kurikulum 1994, sistem KBK
(Kurikulum berbasis Kompetensi), sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) hingga yang terbaru Kurikulum 2013, para pelajar seakan hanya
digunakan sebagai kelinci percobaan dari sistem kurikulum ini. Ketika
kurikulumnya dirasa tidak cocok, diganti habis-habisan, pelajar maupun pengajar

hanya bisa manut dengan sistem yang diterapkan dari kementrian pendidikan,
meski tak jarang perubahan kurikulum ini membawa protes dan keluhan.
Permasalahan yang juga timbul dari perubahan kurikulum ini adalah minimnya
sosialisasi kurikulum yang baru kepada satuan pendidik. Tidak semua pengajar
memperoleh informasi yang jelas dan lengkap mengenai kurikulum yang baru,
sehingga semakin kebawah, penerapan kurikulumnya menjadi semakin rancu,
sehingga kembali para pelajar yang menjadi korbannya. Semestinya jika ada
perubahan kurikulum penataran mengenai kurikulum yang baru tidak hanya
diberikan kepada kepala sekolah dan wakasek kurikulum saja, tetapi setidaknya
diberikan kepada 80% dari keseluruhan tenaga pengajar disetiap sekolah yang
ada. Penataran yang diberikan pun sebaiknya tidak hanya dengan sistem seminar
dimana para peserta (pendidik) ini hanya duduk diam mendengarkan lalu
dibagikan materi dalam bentuk hard-copy maupun soft-copy, tetapi juga harus
terlibat langsung seperti dengan model diskusi dua arah yang dilanjutkan dengan
workshop, sehingga para pendidik benar-benar mengerti dengan kurikulum yang
baru itu. Ketika pendidik sudah paham dengan penerapan kurikulum, maka tidak
akan terjadi kerancuan dalam sistem pengajaran dengan kurikulum yang baru.
Pendidikan karakter juga merupakan hal mendasar yang menjadi tolak
ukur kualitas pendidikan suatu negara. Seperti pepatah mengatakan bahwa akhir
dari pendidikan adalah karakter yang baik. Pendidikan ditujukan untuk
membentuk pelajar yang tidak hanya memiliki otak yang cerdas namun juga
memiliki karakter yang baik, etika yang baik. Walupun tak dapat dipungkiri
sistem pendidikan di Indonesia saat ini lebih dominan menciptakan manusia
dengan IQ (Intelligent Quotient) yang tinggi tapi tidak dibarengi dengan EQ
(Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) yang baik. Para pelajar dijejali
dengan berbagai ilmu eksakta, matematika, biologi, fisika, kimia, sejarah,
geografi, ekonomi, bahasa indoneisa, bahasa inggris, dan lain sebagainya dengan
hanya menyisakan 1-2 jam untuk pendalaman pada pelajaran agama maupun budi
pekerti serta kesenian. Sistem pendidikan sering kali hanya mengembangkan
kecerdasan otak kiri (logika) dari pelajar, dengan sangat sedikit mengembangkan
otak kanan mereka. Penddikan karakter hanya sepintas lalu di baca dalam
pelajaran agama maupun budi pekerti, namun tidak diterapkan secara maksimal

dalam kehidupan sehari-harinya. Pelajar memang belajar mengenai toleransi,


kesabaran,

kejujuran,

keramahan,

kekeluargaan,

kebersamaan,

kebaikan,

kebijaksanaan, disiplin, tanggung jawab, keberanian, percaya diri, welas asih, dan
nilai-nilai luhur lainnya. Namun tak dapat dipungkiri pula mereka hanya sebatas
tahu nilai itu, tanpa di praktekkan dalam kesehariannya.
Biaya pendidikan yang tinggi juga tak jarang menjadi masalah tersediri
bagi masyarakat yang ingin menyekolahkan putra-putrinya. Sudah menjadi hal
yang lumrah anak-anak tidak bisa melajutkan pendidikan karena harus ikut
membantu perekonomian keluarga, atau terpaksa putus sekolah karena orang
tuanya tidak lagi mampu menanggung biaya pendidikan yang dari tahun ke tahun
semakin meningkat. SPP bulanannya mahal, belum lagi keperluan sekolah seperti
buku tulis, alat tulis, buku pelajaran, serta seragam sekolah yang juga mahal,
membuat cukup banyak orang tua enggan menyekolahkan putra-putrinya. Bahkan
beberapa diantaranya secara terang-terangan melarang anak-anaknya untuk
bersekolah. Mereka berfikir bahwa sekolah itu mahal, membuang uang yang
sangat susah mereka dapatkan. Pemerintah Indonesia berusaha menanggulangi hal
ini dengan menggelontorkan dana beasiswa (contohnya dana BOS untuk SDSMP, program Beasiswa Bidik Misi untuk perguruan tinggi dan lain sebagainya)
untuk membantu pelajar yang kurang mampu secara ekonomi untuk tetap
bersekolah, melanjutkan pendidikannya.
Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme juga menjadi PR yang harus
diselesaikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sudah menjadi
rahasia umum ketika tahun penerimaan siswa baru menjadi lahan basah korupsi
dan nepotisme. Pendaftaran lewat jalur belakang dilakukan oleh orang tua siswa
agar putra-putrinya bisa memasuki sekolah dengan prestise dan prestasi yang
baik, atau sekolah dengan predikat unggulan. Sekolah pun menyediakan celah
untuk hal ini. Para orang tua siswa diminta untuk membayarkan sejumlah
sumbangan kepada sekolah, ataupun kepada oknum lainnya yang menjanjikan
kursi di sekolah unggulan tersebut. Tak jarang juga anak-anak guru yang bekerja
di sekolah bersangkutan mendapatkan tiket langsung untuk menjadi siswa di
sekolah unggulan tanpa harus bersaing ketat dengan pelajar lainnya. Korupsi tidak

hanya pada tataran sekolah saja, bahkan di kementrian maupun dinas pendidikan
pun menjadi lahan korupsi okunm-oknum tak bertanggungjawab. Korupsi inilah
yang kemudian merongrong kualitas pendidikan. Pengadaan sarana prasarana
pendidikan mejadi tidak efektif ketika dana yang dialokasikan telah dikorupsi.
Sarana dan prasarana seperti gedung sekolah, meja-kursi, buku-buku pelajaran,
alat-alat laboratorium, keberadaan jaringan internet disekolah dan sarana
prasarana lainnya memang dibutuhkan dan menjadi hal yang penting untuk
meningkatkan kulitas pendidikan. Namun disisi lain tak jarang pula kita
menemukan bangunan sekolah yang tidak layak pakai, bahkan di beberapa tempat
di pelosok Indonesia proses belajar-mengajar tidak dilakukan dengan fasilitas
yang memadai. Gedung sekolahnya rusak, meja-kursinya tak layak pakai, bahkan
ada yang belajar dibawah tenda terpal karena gedung sekolah mereka rusak parah.
Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia. Pemerintah berusaha membuat kualitas pendidikan agar
setara dengan standard internasional, standard negara-negara maju, dengan
misalnya pengadaan ujian nasional. Namun bak buah simalakama, ujian nasional
menimbulkan polemiknya tersendiri. Ketidak-merataan tingkat pengetahuan
pelajar menjadi kendala utamanya. Pelajar di daerah perkotaan selain gurugurunya memadai, fasilitas untuk medapatkan akses pengetahuan mereka lebih
banyak, sehingga pengetahuan mereka menjadi lebih baik. Namun tidak demikian
halnya denga para pelajar yang berada di pelosok Indonesia. Kuantitas guru
mereka tidak banyak, fasilitas untuk mendapatkan akses pengetahuan seperti
internet dan buku-buku serta majalah dan jurnal ilmiah juga sedikit, sehingga
pengetahuan mereka tidak seluas pelajar di kota. Keberadaan ujian nasional
sebagai salah satu penentu kelulusan utama juga menimbulkan problema lain.
Ujian nasional menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar pelajar di
Indonesia, dan hal ini menjadi pemantik terjadinya serangkaian kecurangan untuk
mengakali ujian nasional itu sendiri. Keberadaan joki dan transaksi jual-beli
kunci jawaban ujian nasional hampir selalu menjadi topik pembahasan pra
maupun pasca ujian nasional dilangsungkan.

Adapun solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah


diatas adalah dengan mengadakan sistem portofolio siswa. Setiap siswa ketika
memasuki jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA, Kuliah) dibuatkan semacam
portofolio

yang

mencakup

penilaian

terhadap

perilakunya,

nilai

mata

pelajarannya, serta prestasi yang diraih. Untuk portofolio perilaku sistemnya


adalah setiap siswa diberikan pengajaran mengenai pendidikan karakter yang
baik, dan mereka wajib untuk menerapkannya sehari-hari. Jika mereka melakukan
pelanggaaran, atau tidak menunjukkan karakter yang baik, maka mereka akan
diberika punishment atau hukuman berupa pengurangan kredit poin yang akan
dimasukkan secara otomatis kedalam portofolio mereka. Untuk portofolio nilai
mata pelajaran tidak hanya sebatas pada nilai ujian akhir mereka, namun juga
mencakup keaktifan dalam diskusi kelas, nilai ujian tengah semester, tugas atau
PR yang diberikan oleh pengajar, presentasi kelompok, serta nilai ujian akhir
semester serta nantinya nilai ujian nasional. Nilai yang didapat di akumulasi pada
portofolio siswa yang bersangkutan. Jika mereka mengumpulkan tugas dengan
tepat waktu, aktif dalam diskusi kelas, maka mereka mendapatkan reward atau
hadiah berupa penambahan kredit poin yang akan dimasukkan secara otomatis
kedalam portofolio mereka. Begitupun sebaliknya jika mereka terlambat atau
bahkan tidak mengumpulkan tugas, tidak aktif dalam diskusi kelas maka siswa
yang bersangkutan diberi punishment berupa pengurangan kredit poin yang juga
secara otomatis tercatat kedalam portofolio mereka. Untuk protofolio prestasi
sistemnya adalah ketika siswa yang bersangkutan mengikuti aktif mengikuti
perlombaan baik dalam bidang eksakta maupun dalam bidang seni, mereka
diberikan reward kredit poin dan besaran reward kredit poin akan semkin tinggi
jika siswa yang bersangkutan berhasil memenangkan lomba. Dan setiap lomba
yang mereka ikuti dan mereka menangkan akan dicatat dalam protofolio mereka.
Sistem protofolio ini membuat siswa tidak hanya pintar secara akademik,
namun juga merangsang mereka untuk memiliki karakter yang baik serta
berprestasi. Keberadaan punishment dan reward kredit poin ini menjadi tantangan
tersendiri bagi siswa untuk selalu melakukan yang terbaik. Berusaha selalu
melakukan hal yang baik agar tidak terkena punishment kredit poin di
portofolionya. Awalnya memang akan terkesan memaksakan siswa untuk

berkarakter baik, namun seperti pepatah, ala bisa karena biasa ketika pelajar
dibiasakan untuk berkarakter baik semenjak kecil maka ketka mareka sudah besar,
mereka akan terbiasa dan menjadi benar-benar berkarakter baik. Merekapun akan
belajar mengenai kedisiplinan dengan mengumpulkan tugas tepat waktu, datang
kesekolah tepat waktu sehingga mendapatkan reward kredit poin di portofolio
mereka. Siswa juga menjadi lebih aktif dan inovatif dengan berusaha aktif
mengikuti perlombaan untuk menambah reward kredit poin di portofolionya.
Keseluruhan aspek penilaian dalam portofolio siswa inilah yang juga
kemudian akan dijadikan standard untuk masuk dan melanjutkan ke jenjang
pendidikan selanjutnya. Misalkan jika kredit poin terbaik adalah 850-1000 poin
maka hanya siswa dengan kredit poin 850-1000 poin saja lah yang kemudian bisa
mendaftar di sekolah dengan grade unggulan. Namun itu tidak berarti mereka
langsung masuk di sekolah tersebut. Mereka tetap harus melewati serangkaian tes
berupa tes akademik dan juga wawancara. Dengan cara demikian hanya siswa
yang benar-benar unggul lah yang bisa memasuki sekolah unggulan. Dengan cara
ini pula korupsi, kolusi dan nepotisme dalam sistem penerimaan siswa baru bisa
di minimalisir bahkan di tekan sampai tidak ada.
1. http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2009/

Вам также может понравиться