Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
abstrak
Pendidikan berbasis Multikultural merupakan suatu proses pendidikan
berjenjang yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi
perbedaan-perbedaan seperti status sosial, etnis, gender dan agama dalam masyarakat
yang multikultural agar tercipta kepribadian yang cerdas, bijak dan santun dalam
menghadapi masalah-masalah keberagaman.
Pendidikan multikultural perlu terus menerus dilakukan pendalaman secara
komprehensif sehingga tidak stagnan hanya sebatas wacana sehingga pada akhirnya
dapat dimplementasikan secara harmonis dan smooth tanpa adanya ekses yang sifatnya
negatif, seperti : konflik panjang yang tidak berkesudahan yang melibatkan sentimen
etnis, ras, golongan dan juga agama yang berujung pada hilangnya rasa kemanusiaan
untuk menghormati hak-hak orang lain.
Berkaitan dengan hal ini, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif
melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman
etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena
itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen
tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata
pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus
mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi,
humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif
pada siswa.
Kata Kunci: multikultural, komprehensif, keberagamaan inklusif
Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Kenyataan ini
dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti
korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme,
dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan
bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturisme tersebut.
Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung berujung konflik,
banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia
adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku,
agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara
sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas
"multikultur" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi
kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force yang
mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme,
radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di tanah air. Kesatuan dan
persatuan bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang
memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita
baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu
bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam. Bila kita amati, agama seharusnya
dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat di bumi ini. Namun, realitanya agama
justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasanan dan kehancuran ummat
manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan
agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Misalnya, dengan
mengintensifkan forum-forum dialog antar ummat beragama dan aliran kepercayaan
membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif, dan memberikan
pendidikan bagi peserta didik tentang pluralisme dan toleransi beragama melalui sekolah
(lembaga pendidikan).
Seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) secara
intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik
ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara
2
sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya
pendidikan multikultural. Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari
dua term, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui
pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai
keragaman kebudayaan, aneka kesopanan. Sedangkan secara terminologi, pendidikan
multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai
pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan
aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang
hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan
di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme,
agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan
multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan
"menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan
menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan
berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial
sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan multikultural
(multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas
pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompokkelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Menurut James Bank, salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan
telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikanmengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk
kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif
dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing
movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam
program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada
kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah
menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas
terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orangorang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau
"politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat
diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama, pendidikan multikultural merupakan
sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau
sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau
sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia.
Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia,
meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan
budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan,
penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orangorang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi
budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan
heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini.
Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi
juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham,
keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi
masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi
pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan
nilai pendidikan multikultural.
pembahasan
tentang
subyek
ini
adalah
untuk
mencapai
pemberdayaan
membantu
para
siswa
dalam
mengembangkan
proses
identifikasi
(pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global.
Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat
ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak
dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah
seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan
siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran
dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi. Sebagaimana diketahui bahwa
model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan
5
pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode
kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan
pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang
bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi. Oleh karena itu,
sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif dan
integral. Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang
berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia
menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih
tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika para
pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka
beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga
harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia
sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina
manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan
manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas,
emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses
pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilainilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang
menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak
baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis,
ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang mendapat
tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari
eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka seringkali
menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran
teologi
diajarkan
sekedar
untuk
memperkuat
keimanan
dan
pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agamaagama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak
toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan
reorientasi
filosofis
paradigmatik
tentang
bagaimana
membangun
pemahaman
keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogispersuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.
Paradigma keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan
pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman
keberagamaan yang multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya
yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis
adalah mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang
yang beragama harus dapat mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan; menghormati
hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian
bagi seluruih umat manusia.
Pradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan cara-cara damai
dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman keagmaan dari pada melakukan
tindakan-tondakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma
kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami teks-teks
keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif berarti lebih mementingkan dan
menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya melihat dan mengagungkan simbolsimbol keagamaan. Sedangkan peradigma pemahaman keagmaan aktif sosial berati
agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan
tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh
manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat
manusia.
Dengan membangun paradigma pemahaman keberagmaan yang lebih humanis,
pluralis, dan kontekstual diharapkan nilai-niali universal yang ada dalam agama sepeti
kebenaran, keadilan, kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia dapat
ditegakkan. Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat bergama dapat
terbangun. Dalam hal ini peranan guru sangat penting untuk mengimplementasikan nilainilai kebergamaan yang inkluisf di sekolah. apabila guru mempunyai paradigma
pemahaman keberagamaan yang inkluisf, maka dia juga akan mampu mengajarkan dan
mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah. Selain itu
juga dibutuhkan strategi dan manajemen pembelajaran karena dua hal tersebut
merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural.
Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of
School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen
pembelajaran sebagai praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan
siswa belajar. Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146)
menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik
(physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya
pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan
fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman
dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja
dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang
budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar.
Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru
melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap
siswa yang beragam budayanya. Dalam proses pembelajaran guru tidak membedakan
gender, suku, ras, etnik dan lain-lain.
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru
yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan
gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam
proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada tidaknya
peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan
guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan
otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang
diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya
kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk
menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan
gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk
menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang
budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang
demokratis (Donna Styles, 2004: 3).
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam
strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan
kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan
8
sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa.
Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari
budaya apa pun ternyata juga dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan
berinovasi. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi
untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik
tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek
dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama,
etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan
kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural.
Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan
kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara
mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki
wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan
sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam
mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh
pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi
guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan
psikomotorik sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam
strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara
(equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas
yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru
dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang.
Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa.
Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a) guru berhak menilai para
siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia, (b) guru berhak mengetahui
kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda otoriter, demokratis, dan bebas untuk
meningkatkan hak-hak siswa, (c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana
menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan (d) guru berhak memahami kompleksitas aturan
bagi mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki
hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan
9
(b) siswa berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia,
1982: 160).
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru
memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7)
menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan
hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa,
(c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d)
memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan
koalisi dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain
itu, James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang
harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif
terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan
teknik
pembelajaran
kelompok
untuk
mempromosikan
integrasi
etnik
dalam
pembelajaran.
Implementasi pendidikan multikultural disekolah diperlukan pula penanaman
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman nilai-nilai tersebut hendaknya
tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di dalam proses pembelajaran di kelas pada
setiap mata pelajaran.
Contoh penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada proses
pembelajaran antara lain diskusi kelompok di dalam kelas untuk menyelesaikan suatu
materi atau soal yang diberikan oleh guru (penanaman nilai Kerja Sama, Bersahabat dan
Komunikatif), pembiasaan berdoa di setiap awal pembelajaran di kelas (nilai Religius),
pembiasaan saling salaman antar teman di pagi hari dan ketika pulang sekolah (nilai
Persahabatan dan Cinta Damai), melaksanakan upacara bendera atau menyanyikan lagu
wajib nasional untuk selingan (menumbuhkan Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah
Air), melakukan kegiatan bakti sosial pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan
nilai Peduli Sosial) dan lain-lain.
Dengan demikian pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
budaya
dan
karakter
bangsa
memiliki
urgensi
yang
sangat
tinggi
untuk
10
pembelajaran
yang
responsive
multikultur
dengan
mengedepankan
penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota
masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultur ini dapat diimplementasikan
dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam
masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses
internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran
orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultur dengan
mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar
lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain
merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem
harmoni sosial yang lebih berkeadilan.
11