Вы находитесь на странице: 1из 5

1.

ADAT ISTIADAT BENGKULU


Adat dan istiadat yang cukup akrab dengan masyarakat Bengkulu, di antaranya: Kain Bersurek,
merupakan kain bertuliskan huruf Arab gundul. Kepercayaan masyarakat di Provinsi Bengkulu
umumnya atau sebesar 95% lebih menganut agama Islam. Upacara adat juga banyak dilakukan
masyarakat di Provinsi Bengkulu seperti, sunat rasul, upacara adat perkawinan, upacara
mencukur rambut anak yang baru lahir.
Salah satu upacara tradisional adalah upacara "TABUT" yang sekarang populer dengan nama
TABOT yaitu suatu perayaan tradisional yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan
tanggal 10 Muharram setiap tahunnya, untuk memperingati gugurnya Hasan dan Husen cucu
Nabi Muhammad SAW oleh keluarga Yalid dari kaum Syiah, dalam peperangan di Karbala pada
tahun 61 Hijriah. Pada perayaan TABOT tersebut dilaksanakan berbagai pameran serta lomba
ikan ikan, telong telong, serta kesenian lainnya yang diikuti oleh kelompok kelompok
kesenian yang ada di Provinsi Bengkulu, sehingga menjadikan ajang hiburan rakyat dan menjadi
salah satu kalender wisatawan tahunan.
Terdapat empat bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Bengkulu, yakni: Bahasa
Melayu, Bahasa Rejang, Bahasa Pekal, Bahasa Lembak. Penduduk Provinsi Bengkulu berasal
dari tiga rumpun suku besar terdiri dari Suku Rejang, Suku Serawai, Suku Melayu. Sedangkan
lagu daerah yaitu Lalan Balek.
Di bidang kehidupan beragama, kesadaran melaksanakan ritual keagamaan mayoritas penduduk
yang beragama Islam secara kuantitatif cukup baik. Kesadaran di kalangan pemuka agama untuk
membangun harmoni sosial dan hubungan intern dan antar-umat beragama yang aman, damai
dan saling menghargai cukup baik.
Falsafah hidup masyarakat setempat, "Sekundang setungguan Seio Sekato". Bagi masyarakat
Bengkulu pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama yang sering kita dengar
dengan bahasa pantun yaitu: "Ke bukit Samo Mendaki, Ke lurah Samo Menurun, Yang Berat
Samo Dipikul, Yang Ringan Samo Dijinjing", artinya dalam membangun, pekerjaan seberat
apapun jika sama-sama dikerjakan bersama akan terasa ringan juga. Selain itu, ada pula "Bulek
Air Kek Pembukuh, Bulek Kata Rek Sepakat", artinya bersatu air dengan bambu, bersatunya
pendapat dengan musyawarah.

2 ADAT ISTIADAT MINAHASA

Pulau Sulawesi atau yang pada zaman dahulu terkenal juga dengan sebutan Celebes ini, selain
memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah baik berupa panorama yang menyejukkan
pandangan, aneka marga satwa yang lengkap, bahkan beberapa diantaranya merupakan binatang
langka dan endemic yang hanya hidup di Pulau ini seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa,
Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum), dan aneka fauna yang demikian lengkap baik itu aneka
bunga, sayur mayur dan juga berbagai variasi buah-buahan.
Tanah yang subur nan eksotis ini saja sudah cukup membuat kagum setiap siapa pun yang
berkunjung ke tempat ini, terlebih lagi budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang
penduduk setempat masih senantiasa lestari hingga detik ini dengan berbagai ritual upacara yang
senantiasa mereka pegang dan jalankan mengiringi siklus hidup dan babak-babak terpenting dari
keseharian mereka. Maka dari itu, sudah tak disangsikan lagi dengan kombinasi variasi yang luar
biasa dalam bidang panorama dan cara kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi yang
unik akan memikat pengunjung dari luar.
Nah, pada kesempatan kali ini, Budaya Nusantara akan mengulas secara singkat apa-apa saja
budaya dan kearifan lokal masyarakat Minahasa yang sampai saat ini masih tetap lestari di
tengah-tengah kehidupan mereka, terutama pada dan untuk upacara-upacara adatnya.
1. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan oleh suku Minahasa
terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini sendiri
adalah untuk memperingati atau mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa
pubertas yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini
dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari
orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar
kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang
gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis yang mulai
bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa
yang bersangkutan sudah dewasa.
2. Mupuk Im Bene

Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan upacara syukuran selepas
melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim kita saksikan di pulau Jawa ketika
menggelar acara mapag sri dan atau munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri
adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat,
atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari upacara adat ini
adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: Masyarakat yang hendak
melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung padi bersama beberapa hasil
bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau
gereja) untuk didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka
dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah
disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.
2. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada
Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara
adat ini adalah dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan
asap membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap
pencipta-Nya.

3 ADAT ISTIADAT SUMATERA UTARA

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang
orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti
arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke
wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum).
[2]
Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di
wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera
Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota
dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan
oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi
salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh

Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3].
Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang
Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni
mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal[4]. Batak merupakan salah satu suku bangsa
di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa
suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara.
Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak,
Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula
yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu
atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat
kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi
sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan,
atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan
sosial dan politik yang lebih besar.[5] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran
mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[6] Dalam disertasinya J.
Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan,
bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui
dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit,
salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitosmitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan
karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang
tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah
setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah
asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi
unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang
diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk
menguasai Barus.[7]
Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.

Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun
Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik

Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang
Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang
melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[8] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran
atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak
dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen
Protestan.[9] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat
Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat
Melayu di pesisir Sumatera Timur .

Вам также может понравиться