Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini akan dibahas permasalahan mengenai respiratory distress


syndrome et causa ASD pada bayi yang lahir dengan cara SC atas indikasi gemeli
dan riwayat PEB, dirawat di NICU RSUD Ulin Banjarmasin.
Sindrom gawat napas neonatus merupakan suatu sindrom yang sering
ditemukan pada neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat
lahir rendah (5). Definisi dan kriteris RDS yaitu apabila didapatkan sesak napas
atau dypsnea, frekuensi nafas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap
dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran
infiltrat alveolar yang merata pada foto toraks (6).
Gejala yang di temukan pada kasus ini adalah adanya sesak napas atau dyspneu
serta berat badan lahir yg rrendah yaitu 1900 gram.
Berikut ini adalah beberapa penyebab terjadinya RDS pada neonatus (7):
-

Kelainan paru: pneumonia, sindrom aspirasi mekonium, penyakit membran

hialin.
Kelainan jantung: penyakit jantung bawaan, disfungsi miokardium
Kelainan susunan syaraf pusat akibat: Asfiksia, perdarahan otak
Kelainan metabolik: hipoglikemia, asidosis metabolik
Kelainan bedah: pneumotoraks, fistel trakheoesofageal,

hernia

diafragmatika.
Pada kasus ini, terdapat penyakit jantung bawaan asianotik tipe ASD
sehingga ada kelainan di bagian jantungnya.

Pada kasus ini, di dapatkan asfiksia derajat ringan-sedang dan gawat napas
pada saat lahir, yang dapat ditentukan dengan melihat nilai APGAR skor
dan skor downe nya.
Tabel APGAR skor.
Tanda

Laju
Tidak ada
jantung

Menit Menit Menit


ke-1
ke-5 ke-10

< 100

>100

Usaha
nafas

Tidak ada

Lambat

Menangis
kuat

Tonus
otot

Lumpuh

Ekstremitas
fleksi
sedikit

Gerak
aktif

Refleks

Tidak
bereaksi

Gerakan
sedikit

Reaksi
melawan

Warna
kulit

Seluruh
Tubuh
Seluruh
tubuh
kemerahan,
tubuh
biru/pucat ekstremitas kemerahan
biru
Jumlah

Interpretasi dari APGAR skor:


7-10: tidak asfiksia
4-6: asfiksia ringan-sedang
<4: asfiksia berat

Skor Downe : 5
Nilai Gawat Nafas
Sianosis
Retraksi
Merintih

0
None
None
None

1
Hilang dengan O2
Ringan
Terdengar dengan
menggunakan

2
Menetap
Berat
Terdengar
tanpa

stetoskop
Masukan Udara
Jernih
(Tangisan)
Frekuensi
< 60
Pernafasan
Interpretasi dari skor Downe:
a. < 4: Tidak terdapat gawat nafas
b. 4 7 : Gawat nafas
c. 7: Ancaman gagal nafas

Menurun or
delayed
60-80

menggunakan
stetoskop
Hampir tidak
terdengar
> 80 atau
apnea

RDS bisa diramalkan dengan mengenali faktor-faktor risiko terjadinya RDS


pada kehamilan, kelahiran dan pada bayi. Faktor risiko utama RDS adalah
prematuritas. Secara umum dapat kita ketahui bahwa faktor risiko RDS adalah
sebagai berikut (7):
Faktor pada kehamilan :
a. Kehamilan kurang bulan.
b. Kehamilan dengan penyakit Diabetes Melitus.
c. Kehamilan dengan gawat janin.
d. Kehamilan dengan penyakit kronis ibu.
e. Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat.
f. Kehamilan lebih bulan.
g. Infertilitas.
Faktor pada partus :
a. Partus dengan infeksi intra partum.
b. Partus dengan tindakan (persalinan dengan manual aid, SC)
c. Partus dengan penggunaan obat sedatif.
Faktor pada bayi :
a. Skor apgar yang rendah.

b. Bayi berat lahir rendah.


c. Bayi kurang bulan.
d. Berat lahir lebih dari 4000 gram.
e. Kelainan jantung bawaan
f. Frekuensi pernafasan dengan 2 kali observasi lebih dari 60/menit.
Pada bayi dalam kasus ini faktor predisposisi yang memungkinkan
terjadinya RDS adalah partus dengan tindakan (dengan cara SC), kehamilan
kurang bulan (36 minggu), kehamilan dengan penyakit kronis ibu (PEB), skor
apgar yang rendah (5-6-8), bayi berat lahir rendah (1900 gr), bayi kurang bulan
(36 minggu), dan kelainan jantung bawaan (ASD).
Gejala dan tanda klinis yang ditemui pada RDS adalah: dispne, merintih
(grunting), takipne (pernafasan lebih 60x/menit), retraksi dinding toraks dan
sianosis. Gejala gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah lahir dengan
derajat yang berbeda, tetapi biasanya gambaran sindrom gawat nafas sudah nyata
pada usia 4 jam. Tanda yang hampir selalu didapat adalah dispne yang akan
diikuti dengan takipne, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, dan
sianosis (10).
Diagnosis dini dapat ditegakkan bila telah ada gambaran sindrom tersebut,
terlebih lagi bila disertai dengan adanya faktor-faktor risiko. Faktor faktor risiko
yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan terjadinya RDS adalah prematuritas, masa kehamilan, ras, riwayat kehamilan sebelumnya, bedah cesar,
diabetes, ketuban pecah lama, dan penyakit ibu (10).
Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis diketahui bahwa bayi sianosis dan
sesak saat lahir, bayi lahir dengan cara sectio caesaria serta terdapat riwayat pre

eklampsi berat pada ibu dan terdapat takipneu (pernapasan lebih dari 60x) ketika
bayi baru lahir. Selain itu, berdasarkan HPHT usia kehamilan, bayi ini termasuk
bayi kurang bulan atau prematur. Berdasarkan data tersebut serta berdasarkan skor
Downe dan teori dapat diketahui bahwa bayi mengalami gawat nafas.
Menurut teori, asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan bayi baru lahir
yang gagal bernafas secara spontan dan teratur. Kegagalan ini akan sering
berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari pertama setelah
lahir.7 Maka adanya gawat nafas pada bayi ini yang ditandai dengan skor Downe
5, dimungkinkan akibat adanya asfiksia derajat ringan-sedang yag dialami bayi
ketika baru lahir, yang dapat dilihat pada tabel APGAR skor.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum bayi tampak sesak. Dari
tanda vital didapatkan detak jantung 135 kali per menit, laju pernafasannya
sebanyak 58 kali per menit, suhu 370C dan capillary refill time didapatkan lebih
dari 2 detik. Dari pemeriksaan fisik terdapat sianosis pada ujung-ujung
ekstremitas, pada thoraks terlihat pernafasan simetris tetapi terdapat retraksi pada
subcostal.
Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis yang ditandai dengan tandatanda dan gejala infeksi dengan atau tanpa disertai bakteremia pada bulan pertama
kehidupan.11
Manifestasi klinis dasar diagnostik pada sepsis adalah sebagai berikut11:
1.

Keadaan umum: menurun (not doing well), malas minum (poor feeding),
hipo/hipertermi, edema, sklerema.

2.

Sistem saraf pusat: hipotonia, irritable, high pitch cry, kejang, letargi,
tremor, fontanella cembung.

3.

Sistem saluran pernafasan: pernafasan tidak teratur, nafas cepat


(>60x/menit), apnea, dyspnea, sianosis.

4.

Sistem

kardiovaskuler:

takikardi

(>

160x/menit),

bradikardi

(<100x/menit), akral dingin, syok.


5.

Sistem saluran cerna: retensi lambung, hepatomegaly, mencret, kembung,


muntah.

6.

Sistem hematologi: kuning, pucat, splenomegaly, ptekiae, purpura,


perdarahan.
Kriteria diagnostik sepsis dikelompokkan sebagai berikut11:

1. Possible/suspect sepsis: bila terdapat 3 gejala klinik dari 6 kelompok diatas.


2. Probable sepsis: bila terdapat gejala klinik dan adanya kelainan laboratoris.
3. Proven sepsis: bila terdapat gejala klinik dan kultur darah yang positif.
Kelainan laboratorium yang mendukung adanya sepsis pada neonatus
yaitu4:
1. Total jumlah leukosit
2. Creative Proteine (CRP)
3. LED
4. Kultur
Berdasarkan teori mengenai sepsis diatas, bayi pada kasus ini mengalami
beberapa gejala yang mengarah keapada sepsis, seperti letargi, nafas cepat,
sianosis dan kuning. Sedangkan berdasarkan hasil laboratorium didapatkan

peningkatan leukosit, serta hasil kultur yang positif menunjukkan adanya infeksi
Klebsiella pneumoniae. Berdasarkan data-data tersebut dapat diketahui bahwa
bayi pada kasus ini mengalami sepsis.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan

oleh

alveoli

masih

kecil

sehingga

kesulitan

berkembang,

pengembangan kurang sempurna kerana dinding toraks masih lemah, produksi


surfaktan kurang sempurna. Surfaktan adalah substansi yang merendahkan
teganagn permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi
dan mampu menahan sisa udara fungsional ( kapasitas residu fungsional ) (7).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang
rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tanpa
surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu
perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan
napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang kuat.
Akibatnya setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas
( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya janin lebih banyak menghabiskan oksigen
untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan bayi akan ketidakmampuan
mempertahankan pengembangan paru, ini dapat menyebabkan atelektasis.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paruparu menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga

daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan


menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik (8).
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%
protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak
berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru
memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal
menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus
alveoli,tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
keracunan oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel
jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah (9).
Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam
setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 3672 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang
immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD)
(8,9).
Penatalaksanaan secara umum :

a.

Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering

dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5%.
Pantau selalu tanda vital
Jaga kepatenan jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
f.
Bila terjadi kejang, segera periksa gula darah dam pertahankan kebutuhan
b.
c.
d.
e.

nutrisi yang adekuat.


Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai
dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut (12):
Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih
sesak dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi
minum. Bila suhu aksiler 34- 36,5 C atau 37,5-39C tangani untuk masalah suhu
abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam. Bila suhu masih belum stabil atau
gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi
kemungkinan besar sepsis. Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu
kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
Bila tidak ada tanda-tanda ke arah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2
jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai menunjukan tandatanda perbaikan kurangi terapi O2 secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan
ASI setiap 2 jam.

Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila


bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minum baik
dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
Gangguan nafas berat
mati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam
pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Pemberian ASI tetap dilakukan sepanjang
bayi masih bisa menerima ASI. Kurangi pemberian O 2 secara bertahap bila ada
perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 3060 kali/menit.
Penatalaksanaan medis (12):
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut RDS adalah:

Antibiotika untuk mengobati infeksi sekunder


Berdasarkan hal tersebut diatas, pada bayi yang mengalami gawat nafas

dalam kasus ini untuk mempertahankan pernafasan pada bayi agar tetap
adekuat setelah dilakukan resusitasi, maka setelah di NICU bayi diberikan
oksigen melalui ETT yang telah terpasang dengan menggunakan CPAP PEEP
(Continous Positive Airway Pressure Positive end-expiratory pressure) 6 cm
H2O FiO2 28%. PEEP yang memadai sangat penting untuk mempertahankan
kapasitas residu fungsional, mencegah atelektasis dan meningkatkan
oksigenasi. Bayi yang diintubasi kebanyakan membutuhkan PEEP 5 cm
H2O karena penyakit paru yang mendasari dan adanya ETT yang melewati

laring. PEEP yang tidak memadai dapat menyebabkan ventilasi heterogen dan
meningkatkan resiko cedera paru ( ).
Pada hari ke-4, bayi menggunakan CPAP PEEP 6 cm H2O FiO2 28%.
Kemudian pada hari ke-8 bayi sudah tidak memerlukan alat bantu ataupun O2
tambahan. Bayi sudah dapat bernafas secara normal.
Untuk menjaga kehangatan, bayi dirawat di inkubator dengan menjaga
suhu badan basal bayi antara 36,50-37,50C 12. Selama perawatan suhu badan bayi
selalu stabil.
Untuk pengobatan, Sesaat setelah kelahirannya bayi mendapat suntikan
vitamin K 1 x 1 mg. pemberian vitamin K ini dimaksudkan untuk mengatasi
perdarahan dari umbilikus karena vitamin K diperlukan untuk pembentukan faktor
pembekuan I, II dan VII di hati. Pemberian gentamicin salep mata untuk
mencegah terjadinya neonatal konjungtivitis.
Bayi juga diberikan antibiotik profilaksis. Antibiotik yang diberikan adalah
ampicillin dan gentamicin yang merupakan antibiotik lini pertama untuk sepsis
neonatorum berdasarkan empiris.Pemberian antibiotik lini kedua di berikan di hari
ke 4 yaitu Ceftazidim.
Penyakit jantung bawaan adalah sekumpulan malformasi struktur jantung
atau pembuluh darah besar yang telah ada sejak lahir. Penyakit jantung bawaan
yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak. Penyakit jantung bawaan
merupakan bentuk kelainan jantung yang sudah didapatkan sejak bayi baru lahir.
Manifestasi klinis kelainan ini bervariasi dari yang paling ringan sampai berat.
Pada bentuk yang ringan, sering tidak ditemukan gejala, dan tidak ditemukan

kelainan pada pemeriksaan klinis. Sedangkan pada PJB berat, gejala sudah
tampak sejak lahir dan memerlukan tindakan segera (7).
Penyebab

penyakit

jantung

bawaan

berkaitan

dengan

kelainan

perkembangan embrionik, pada usia lima sampai delapan minggu, jantung dan
pembuluh darah besar dibentuk. Penyebab utama terjadinya penyakit jantung
bawaan belum dapat di ketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang di
duga mem punyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung
bawaan (14):
a.

Faktor Prenatal :
Ibu menderita penyakit infeksi: rubella, influenza atau chicken pox
Ibu alkoholime
Umur ibu lebih dari 40 tahun.
Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin
Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu dan sebelumnya ikut
program KB oral atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter,

b.

(thalidomde, dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin).


Terpajan radiasi (sinar X).
Gizi ibu yang buruk.
Kecanduan obat-obatan yang mempengaruhi perkembangan embrio.
Faktor Genetik
Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
Ayah/Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
Lahir dengan kelainan bawaan yang lain
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu

penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik.


Penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat
adanya pirau kanan ke kiri, sebagai contoh tetralogi Fallot, transposisi arteri besar,
atresia trikuspid (15).

Termasuk dalam kelompok penyakit jantung bawaan nonsianotik adalah


penyakit jantung bawaan dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri
ke kanan di antaranya adalah defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau
tetap terbukanya pembuluh darah seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain
itu penyakit jantung bawaan nonsianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan
keluar ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koarktasio aorta
(15).

Kelainan jantung bawaan

menyebabkan dua perubahan hemodinamik

utama. Shunting atau percampuran darah arteri dari vena serta perubahan aliran
darah pulmonal dan tekanan darah. Normalnya, tekanan pada jantung kanan
lebih besar dari pada sirkulasi pulmonal. Shunting terjadi apabila darah mengalir
melalui lubang abnormal pada jantung sehat dari daerah yang bertekanan lebih
tinggi ke daerah yang bertekanan

rendah, menyebabkan darah yang

teroksigenisasi mengalir kedalam sirkulasi sistemik (7).


Aliran darah pulmonal dan tekanan darah meningkat bila ada keterlambatan
penipisan normal serabut otot lunak pada arteriola pulmonal sewaktu lahir.
Penebalan vascular meningkatkan resistensi sirkulasi pulmonal, aliran darah
pulmonal dapat melampaui sirkulasi sistemik dan aliran darah bergerak dari
kanan ke kiri. Perubahan pada aliran darah, percam puran darah vena dan arteri,
serta kenaikan tekanan pulmonal akan meningkatkan kerja jantung. Manifestasi
dari penyakit jantung bawaan yaitu adanya gagal jantung, perfusi tidak adekuat
dan kongesti pulmonal (7).

Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala


yang menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis,
berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan
terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan
jantung pada seorang bayi atau anak (16).
a.

Gangguan pertumbuhan
Pada PJB nonsianotik dengan pirau kiri ke kanan, gangguan pertumbuhan

timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJB sianotik, gangguan


pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan pertumbuhan ini juga
dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien PJB (16).
b.
Sianosis
Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah. Sianosis
mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut. Sianosis akibat
kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada sianosis perifer yang
sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis perifer lebih jelas terlihat
pada ujung-ujung jari (16).
c.

Toleransi latihan
Toleransi

latihan

merupakan

petunjuk

klinis

yang

baik

untuk

menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan jantung.


Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang. Gangguan
toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua dengan membandingkan pasien
dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas menjadi cepat setelah
melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam keadaan istirahat. Pada
bayi dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia hanya mampu minum dalam

jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap, dan berkeringat banyak.
Pada anak yang lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik
tangga. Pada pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok
setelah lelah berjalan (16).
d.

Infeksi saluran napas berulang


Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah ke paru sehingga

mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk ke ahli jantung anak
karena anak sering menderita demam, batuk dan pilek. Sebaliknya tidak sedikit
pasien PJB yang sebelum-nya sudah diobati sebagai tuberkulosis sebelum di rujuk
ke ahli jantung anak (16).
e.
Bising jantung
Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam menentukan
penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang merupakan
alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi bising,
derajat serta penjalarannya dapat menentu-kan jenis kelainan jantung. Namun
tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis, tidak menyingkirkan
adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita kelainan jantung,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis (16).
Pada kasus ini, bayi mengalami gejala-gejala yang mengarah kepada
penyakit jantung bawaan, seperti sianosis, dan pada pemeriksaan fisik terdapat
bising pada jantung berupa murmur pansistolik. Atas indikasi tersebut, maka
dilakukan pemeriksaan jantung berupa ekhokardiografi, dan didapatkan hasil
bahwa bayi positif mengalami penyakit jantung bawaan asianotik dengan jenis
atrium septal defek kecil.

PENUTUP

Telah dilaporkan By. Ny. EY1 dengan diagnosis bayi kurang bulan, kurang
masa kehamilan dengan berat lahir rendah serta Respiratory Distress Syndrom ec
Penyakit Jantung Bawaan sianotik, yang dirawat di ruang neoatologi RSUD Ulin
Banjarmasin. Diagnosis didapat dari anamnesis-pemeriksaan fisik dan ditegakkan
melalui pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan yang telah diberikan kasus ini
adalah rawat inkubator, CPAP PEEP 6 cm H2O FiO2 28%, terapi cairan berupa
IVFD D10% dan Ca glukonas, aminofusin, antibiotika berupa ampicilin dan
gentamicin, dan aminofilin dengan monitor keadaan umum, tanda vital, tanda
hipoglikemi, tanda hipotermi, CRT.

Вам также может понравиться