Вы находитесь на странице: 1из 27

Bab 42

Fisiologi Maternal & Janin & Anestesia


KONSEP KUNCI
1. Konsentrasi alveolar minimal (minimal alveolar concentration, MAC) semua obat
anestetik umum secara progresif menurun selama kehamilanpada cukup bulan,
sebesar 40%--; MAC kembali ke normal pada hari ketiga setelah melahirkan.
2. Pasien hamil juga menampakkan peningkatan sensitivitas terhadap anestetik lokal
selama anestesia regional; kebutuhan dosis mungin menurun sebanyak 30%.
3. Obstruksi vena kava inferior oleh pembesaran uterus melebarkan pleksus vena epidural
dan meningkatkan risiko penyuntikan intravaskular selama anestesia epidural.
4. Sampai dengan 20% wanita yang hamil cukup bulan mengalami sindrom hipotensi
supine, yang ditandai oleh hipotensi yang berhubungan dengan pucat, berkeringat, atau
mual dan muntah.
5. Penurunan motilitas lambung dan tonus sfingter gastroesofageal dan juga hipersekresi
asam lambung membuat orang yang melahirkan memiliki risiko tinggi untuk regurgitasi
dan aspirasi pulmonar.
6. Efedrin, yang memiliki aktivitas dominan adrenergik , dianggap merupakan vasopresor
pilihan untuk hipotensi selama kehamilan. Namun demikian, penelitian klinis
menunjukkan bahwa agonis adrenergik seperti fenilefrin dan metaraminol sama efektif
dalam mengatasi hipotensi pada pasien hamil dan berkaitan dengan asidosis janin yang
lebih kecil dibandingkan efedrin.
7. Anestetik inhalasi volatil menurunkan tekanan darah, dan juga, aliran darah
uteroplasental. Namun demikian, pada konsentrasi kurang dari 1 MAC, efeknya secara
umum kecil, yang terdiri dari relaksasi uterus bergantung-dosis dan sedikit penurunan
pada aliran darah uterus.

8. Tegangan terbesar pada jantung, namun demikian, terjadi segera setelah melahirkan,
ketika kontraksi uterus yang kuat dan involusi secara tiba-tiba membebaskan obstruksi
vana kava inferior dan meningkatkan curah jantung sebanyak 80% di atas nilai
prapersalinan.
9. Teknik-teknik terbaru yang menggunakan kombinasi anestetik lokal yang sangat encer
(misal, bupivakain 0,125% atau kurang) dan suatu opioid (misal, fentanil 5 g/mL atau
kurang) pada analgesia epidural atau kombinasi spinalepidural (CSE) tampaknya
tidak memperpanjang persalinan atau meningkatkan kecenderungan seksio sesarea.
10. Pematangan paru terjadi setelah perkembangan janin, kehidupan ekstrauterin tidak
dimungkinkan sampai setelah 24 25 minggu gestasi, ketika kapiler pulmonar terbentuk
dan berada sangat dekat dengan epitel alveolar yang imatur.
Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologis yang nyata yang mengubah respons-respons yang
biasa terhadap anestesia. Selain itu, perawatan anestetik pada pasien hamil memiliki keunikan
karena terdapat dua pasien yang dirawat secara bersamaan: yang melahirkan dan janinnya.
Kegagalan untuk mempertimbangkan hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang
membahayakan.
Bab ini membahas perubahan fisiologis normal yang berkaitan dengan kehamilan,
persalinan, dan melahirkan. Fisiologi uteroplasental dan responsnya terhadap obat-obat anestetik
yang umum juga didiskusikan. Banyak dari pengetahuan mengenai hal ini membentuk dasar
praktik-praktik anestetik pada persalinan dan melahirkan (lihat Bab 43) saat ini. Pada akhirnya,
perawatan terhadap neonatus pada kamar obstetrik atau unit perawatan intensif membutuhkan
pemahaman pada transisi fisiologis dari kehidupan janin sampai neonatal.
PERUBAHAN-PERUBAHAN FISIOLOGIS SELAMA KEHAMILAN
Kehamilan dengan nyata mempengaruhi setiap sistem organ (Tabel 42-1). Banyak dari perubahan
fisologis ini tampaknya adaptif dan berguna untuk ibu dalam mentoleransi berbagai stres
kehamilan, persalinan, dan melahirkan. Perubahan-perubahan lain tidak memiliki manfaat yang
jelas namun demikian membutuhkan pertimbangan khusus dalam merawat persalinan.

Tabel 42-1. Rata-rata perubahan fisiologis maksimal yang berkaitan dengan kehamilan. 1
Parameter
Neurologis

Perubahan

MAC
Pernapasan

- 40%

Konsumsi oksigen

+ 20 sampai 50%

Resistansi jalan napas

- 35%

FRC

- 20%

Ventilasi menit

+ 50%

Volume tidal

+40%

Kecepatan pernapasan

+15%

PaO2

+10%

PaCO2

- 15%

HCO3Kardiovaskular

- 15%

Volume darah

+ 35%

Volume plasma

+ 45%

Curah jantung

+ 40%

Isi sekuncup

+ 30%

Tekanan darah sistolik

+ 20%

Tekanan darah diastolik

- 5%

Resistansi perifer

- 15%

Resistansi pulmonar
Hematologik

- 30%

Hemoglobin

- 20%

Platelet

- 10%

Faktor pembekuan2
Renal

+ 30 sampai 250%

GFR
+ 50%
MAC, minimum alveolar concentration (konsentrasi alveolar minimal); FRC, functional residual

capacity (kapasitas residual fungsional); GFR, glomerular filtration rate (kecepatan filtrasi
glomerular).
2

Bervariasi pada setiap faktornya.

Efek pada Sistem Saraf Pusat

Konsentrasi alveolar minimal (minimal alveolar concentration, MAC) semua obat anestetik
umum secara progresif menurun selama kehamilanpada cukup bulan, sebesar 40%--; MAC
kembali ke normal pada hari ketiga setelah melahirkan. Terdapat perubahan-perubahan pada
kadar hormonal dan opioid endogen maternal. Progesteron, yang menimbulkan sedasi ketika
diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sampai 20 kali normal pada cukup bulan dan
kemungkinan setidaknya sebagian bertanggung jawab untuk hal ini. Lonjakan kadar endorfin-
selama persalinan dan melahirkan tampaknya juga memiliki peran yang penting.
Ketika cukup bulan, pasien hamil juga menampakkan peningkatan sensitivitas terhadap
anestetik lokal selama anestesia regional; kebutuhan dosis mungin menurun sebanyak 30%.
Fenomena ini tampaknya dimediasi secara hormonal namun juga berkaitan dengan pembesaran
pleksus vena epidural. Blokade neural terjadi pada konsentrasi anestetik lokal yang lebih rendah.
Konsentrasi analgesik lokal minimal (minimum local analgesic concentration, MLAC) digunakan
dalam anestesia obstetrik untuk membandingkan potensi relatif anestetik lokal dan efek dari zat
tambahan; MLAC didefinisikan sebagai median konsentrasi analgesik efektif (EC 50) dalam 20 mL
volume untuk analgesia epidural pada persalinan tahap pertama. Berlawanan dengan penelitian
sebelumnya, data yang lebih baru menunjukkan bahwa kehamilan tidak meningkatkan kerentanan
terhadap toksisitas anestetik lokal. Obstruksi vena kava inferior oleh pembesaran uterus
melebarkan pleksus vena epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Hal ini
menimbulkan tiga efek: (1) penurunan volume cairan serebrospinal pada spinal, (2) penurunan
volume potensial pada rongga epidural, dan (3) peningkatan tekanan (rongga) epidural. Dua efek
yang pertama meningkatkan penyebaran larutan anestetik lokal ke arah sefalad selama anestesia
spinal dan epidural, sementara yang terakhir dapat membuat rentan terhadap insidens pungsi
dural yang lebih tinggi pada anestesia epidural (lihat Bab 16). Melahirkan selama proses
persalinan lebih memperkuat semua efek ini. Tekanan epidural positif terjadi pada pasien yang
melahirkan dan mempersulit identifikasi rongga epidural tanpa pungsi dural. Pembesaran vena
epidural juga meningkatkan kecenderungan menempatkan kateter epidural ke dalam vena,
menyebabkan penyuntikan intravaskular yang tidak disengaja (lihat Bab 16).
Efek Respiratorius
Konsumsi oksigen dan ventilasi menit secara progresif meningkat selama kehamilan. Baik
volume tidal dan, dalam derajat yang lebih kecil, kecepatan pernapasan meningkat. Setelah cukup
bulan, konsumsi oksigen meningkat sekitar 20 50% dan ventilasi menit meningkat sampai
dengan 50%. PaCO2 menurun sampai 28 32 mm Hg; alkalosis respiratorius signifikan dicegah

dengan kompensasi penurunan pada konsentrasi bikarbonat plasma. Hiperventilasi juga dapat
sedikit meningkatkan PaCO2. Kadar 2,3-difosfogliserat yang meningkat mengimbangi efek
hiperventilasi pada afinitas hemoglobin terhadap oksigen (lihat Bab 22). P-50 untuk hemoglobin
meningkat dari 27 sampai 30 mm Hg; kombinasi hal ini dengan peningkatan curah jantung (lihat
bagian pada Efek Kardiovaskular di bawah) meningkatkan penyaluran oksigen ke jaringan.
Pola pernapasan maternal berubah seiring pembesaran uterus. Pada trimester ketiga,
peninggian diafragma dikompensasi oleh peningkatan diameter anteroposterior dada; pergerakan
diafragma, namun demikian, tidak dibatasi. Pernapasan torakal lebih disukai dari pada pernapasan
abdominal. Baik kapasitas vital dan kapasitas penutupan hanya dipengaruhi secara minimal
namun kapasitas residual fungsional (functional residual capacity, FRC) menurun sampai dengan
20% ketika cukup bulan; FRC kembali ke normal dalam 48 jam setelah melahirkan. Penurunan
ini secara prinsip disebabkan oleh penurunan pada volume cadangan ekspirasi akibat volume tidal
yang lebih besar dari normal (lihat Bab 22). Lingkaran aliran volume tidak terpengaruh, dan
resistansi jalan napas berkurang. Ruang mati fisiologis menurun namun shunting intrapulmonar
meningkat mendekati cukup bulan. Film dada sering menunjukkan tanda vaskular yang menonjol
akibat peningkatan volume darah pulmonar dan peninggian diafragma. Vasodilatasi pulmonar
mencegah tekanan pulmonar dari peningkatan.
Kombinasi penurunan FRC dan peningkatan konsumsi oksigen mempercepat
desaturasi oksigen selama periode apnea (lihat Bab 22). Oleh karena itu praoksigenasi sebelum
induksi anestesia umum merupakan keharusan untuk mencegah hipoksemia pada pasien hamil.
Volume penutupan melebihi FRC pada sampai dengan 50% dari semua wanita hamil ketika
mereka berada pada posisi supine saat cukup bulan. Di bawah kondisi ini, ateletaksis dan
hipoksemia telah terjadi. Wanita yang melahirkan sebagiknya tidak benar-benar berbaring datar
tanpa oksigen tambahan. Penurunan FRC bersama dengan peningkatan ventilasi menit
mempercepat ambilan semua anestetik inhalasi. Pengurangan ruang mati mempersempit gradien
CO2 tidal akhir arterial.
Pembesaran kapiler pada mukosa pernapasan selama kehamilan mempredisposisikan
jalan napas bagian atas terhadap trauma, perdarahan, dan obstruksi. Laringoskopi yang hati-hati
dan penggunaan selang endotrakeal berukuran kecil (6 6,5 mm) harus dilakukan selama
anestesia umum.
Efek Kardiovaskular

Curah jantung dan volume darah meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolik maternal dan
janin yang meningkat. Peningkatan (45%) pada volume plasma dalam kelebihan dari peningkatan
massa sel darah merah menghasilkan anemia dilusional dan penurunan viskositas darah. Namun
demikian, konsentrasi hemoglobin biasanya tetap lebih dari 11 g/dL. Selain itu, dalam hal
penyaluran oksigen ke jaringan, penurunan konsentrasi hemoglobin diimbangi dengan
peningkatan curah jantung dan pergeseran ke kanan pada kurva disosiasi hemoglobin (lihat
bagian Efek Respiratorius). Penurunan pada resistansi vaskular sistemik pada trimester kedua
menurunkan baik tekanan darah diastolik maupun, dalam derajat yang lebih rendah, sistolik.
Respons terhadap obat-obat adrenergik dan vasokonstriktor menghilang.
Ketika cukup bulan, volume darah meningkat sebesar 1000 1500 mL pada sebagian
besar wanita, memungkinkan mereka mudah mentoleransi kehilangan darah yang berkaitan
dengan melahirkan; volume darah total mencapai 90 mL/kg. Kehilangan darah rata-rata selama
melahirkan per vaginal adalah 400 500 mL, dibandingkan dengan 800 1000 mL pada
seksiosesaria. Volume darah tidak kembali normal sampai 1 2 minggu setelah melahirkan.
Peningkatan curah jantung (40% pada cukup bulan) disebabkan oleh peningkatan baik
pada denyut jantung (15 20%) dan juga isi sekuncup (30%). Ruang jantung membesar dan
hipertrofi miokardial sering terlihat pada ekokardiografi. Namun demikian, tekanan arteri
pulmonar, vena sentral, dan wedge arteri pulmonal, tetap tidak berubah. Sebagian besar dari efek
ini terlihat pada trimester pertama, dan dalam derajat yang lebih rendah, kedua. Pada trimester
ketiga, curah jantung tidak meningkat bermakna, kecuali selama persalinan. Peningkatan yang
paling besar pada curah jantung terlihat selama persalinan dan segera setelah melahirkan (lihat
bagian Efek Persalinan pada Fisiologi Maternal). Curah jantung sering tidak kembali normal
sampai 2 minggu setelah melahirkan.
Penurunan curah jantung dapat terjadi pada posisi supine setelah minggu ke-28
kehamilan. (Beberapa mengatakan bahkan lebih awal.) Penurunan tersebut terbukti terjadi
sekunder akibat aliran kembali vena ke jantung yang terhalang karena pembesaran uterus
menekan vena kava inferior. Sampai dengan 20% wanita yang hamil cukup bulan mengalami
sindrom hipotensi supine, yang ditandai oleh hipotensi yang berhubungan dengan pucat,
berkeringat, atau mual dan muntah. Penyebab sindrom ini tampaknya adalah oklusi komplet atau
hampir komplet pada vena kava inferior oleh uterus yang gravid. Memutar pasien ke samping
biasanya mengembalikan aliran vena dari tubuh bagian bawah dan menoreksi hipotensi pada
keadaan-keadaan tersebut. Posisi Trendelenburg dapat mengeksaserbasi kompresi kaval. Uterus
yang gravid juga menekan aorta pada sebagian besar orang yang akan melahirkan ketika mereka
dalam posisi supine. Efek ini menurunkan aliran darah menuju ekstremitas bagian bawah dan,

yang lebih penting, menuju sirkulasi uteroplasental. Kontraksi uterus membebaskan kompresi
kaval namun mengeksaserbasi kompresi aorta.
Kompresi aortokaval merupakan penyebab distres janin yang penting namun dapat
dicegah. Kombinasi hipotensi sistemik (akibat penurunan aliran balik vena), peningkatan tekanan
vena uterus, dan hipoperfusi arterial uterus sangat membahayakan aliran darah uterus dan
plasenta. Ketika dikombinasikan dengan efek hipotensif dari anestesia regional atau umum,
kompresi aortokaval dapat segera menyebabkan asfiksia janin. Orang yang melahirkan dengan
kehamilan 28 minggu atau lebih sebaiknya tidak diposisikan supine tanpa penggeseran uterus ke
kiri. Manuver ini paling cepat dilakukan dengan menempatkan penyangga (> 15 0) di bawah
pinggul kanan.
Obstruksi kaval parsial kronik pada trimester ketiga mempredisposisikan terhadap stasis
vena, flebitis, dan edema pada ekstermitas bawah. Selain itu, kompresi pada vena kava inferior di
bawah diafragma melebarkan dan meningkatkan aliran darah melalui drainase vena kolateral,
yaitu, pleksus vena paravertebral (termasuk vena epidural) dan dalam derajat yang lebih rendah
dinding abdomen.
Pada akhirnya, elevasi diafragma menggeser posisi jantung di dalam dada, menghasilkan
penampakan pembesaran jantung pada film dada polos dan deviasi aksis ke kiri dan perubahan
gelombang T pada elektrokardiogram (electrocardiogram, ECG). Pemeriksaan fisik sering
membuktikan adanya murmur aliran ejeksi sistolik (grade I atau II) dan split yang diperkuat dari
suara jantung pertama (S1); suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar. Beberapa pasien mengalami
efusi perikardial yang sedikit dan asimtomatik.
Efek Renal
Vasodilatasi renal meningkatkan aliran darah renal pada awal kehamilan namun otoregulasi masih
baik. Ginjal sering membesar. Peningkatan kadar renin dan aldosteron meningkatkan retensi
sodium. Aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular meningkat sebanyak 50% selama
trimester pertama; filtrasi glomerular menurun hingga normal pada trimester ketiga. Kreatinin
serum dan nitrogen urea darah mungkin menurun sampai 0,5 0,6 mg/dL dan 8 9 mg/dL.
Penurunan ambang tubular renal terhadap glukosa dan asam amino umum terjadi dan serin
menyebabkan glikosuria ringan (1 10 g/hari) atau proteinuria (<300 mg/hari). Osmolalitas
plasma menurun sebesar 8 10 mOsm/kg.
Efek Gastrointestinal

Refluks gastroesofageal dan esofagitis umum terjadi selama kehamilan. Pergeseran lambung ke
atas dan anterior oleh uterus meningkatkan inkompetensi sfingter gastroesofageal. Peningkatan
kadar progesteron menurunkan tonus sfingter gastroesofageal, sementara sekresi gastrin plasental
menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor-faktor ini membuat orang yang melahirkan
memiliki risiko tinggi untuk regurgitasi dan aspirasi pulmonar. Tekanan intragastrik tidak
berubah. Data mengenai pengosongan lambung masih saling berlawanan; beberapa penelitian
menunjukkan pengosongan lambung yang normal masih dapat diselamatkan sampai onset
persalinan. Namun demikian, hampir semua orang yang melahirkan memiliki pH lambung di
bawah 2,5, dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25 mL. Kedua
faktor tersebut berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonitis aspirasi berat. Opioid dan
antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah, dapat memfasilitasi refluks
gasroesofageal, dan memperlambat pengosongan lambung. Efek fisiologis ini, bersama dengan
konsumsi makanan yang baru saja sebelum persalinan dan perlambatan pengosongan lambung
menyebabkan nyeri persalinan, mempredisposisikan orang yang melahirkan terhadap nausea dan
vomitus.
Efek pada Hepatik
Fungsi hepatik dan aliran darah secara keseluruhan tidak berubah; sedikit peningkatan pada kadar
transaminase serum dan laktat dehidrogenase dapat terlihat pada trimester ketiga. Peningkatan
pada alkalin fosfatase serum disebabkan oleh sekresinya oleh plasenta (lihat Bab 34).
Peningkatan ringan pada albumin serum disebabkan oleh volume plasma yang meluas; akibatnya,
tekanan onkotik koloid menurun. Penurunan sebesar 25 30% pada aktivitas pseudokolinesterase
serum juga terjadi ketika cukup bulan namun jarang menyebabkan pemanjangan kerja
suksinilkolin yang signifikan. Pemecahan mivakurium dan anestetik lokal jenis-ester tidak
berubah secara berarti. Aktivitas pseudokolinesterase mungkin tidak kembali normal sampai
dengan 6 minggu pascamelahirkan. Kadar progesteron yang tinggi tampaknya menghambat
pelepasan kolesistokinin, menghasilkan pengosongan kandung kemih yang tidak komplet. Hal
ini, bersama dengan perubahan komposisi asam empedu, dapat mempredisposisikan terhadap
pembentukan batu empedu kolesterol selama kehamilan.
Efek Hematologis

Kehamilan berkaitan dengan keadaan hiperkoagulabilitas yang dapat bermanfaat dalam


membatasi kehilangan darah berlebihan saat melahirkan. Fibrinogen dan konsentrasi semua
faktor VII, VIII, IX, X, dan XII meningkat; hanya kadar faktor XI yang menurun. Fibrinolisis
yang dipercepat dapat teramati pada trimester ketiga akhir. Disamping anemia dilusional (lihat
bagian Efek Kardiovaskular), leukositosis (sampai dengan 21.000/L) dan penurunan sebesar
10% pada hitung platelet dapat terjadi selama trimester ketiga. Akibat penggunaan oleh janin,
anemia defisiensi besi dan folat segera terjadi jika tambahan suplemen nutrien ini tidak diberikan.
Imunitas yang dimediasi-sel sangat tertekan dan dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap
infeksi viral.
Efek Metabolik
Perubahan metabolik dan hormonal yang kompleks terjadi selama kehamilan. Perubahan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein mendukung pertumbuhan dan perkembangan janin.
Perubahan-perubahan ini menyerupai kelaparan, karena kadar glukosa darah dan asam amino
rendah sementara kadar asam lemak bebas, keton, dan trigliserida tinggi. Namun demikian,
kehamilan merupakan keadaan diabetogenik; kadar insulin terus meningkat selama kehamilan.
Sekresi laktogen plasental manusia, yang juga dikenal sebagai somatomamotropin korionik
manusia, oleh plasenta kemungkinan bertanggung jawab terhadap resistansi insulin relatif yang
berkaitan dengan kahamilan. Hiprplasia B pankreas terjadi sebagai respons terhadap peningkatan
kebutuhan sekresi insulin.
Sekresi gonadotropin korionik manusia dan peningkatan kadar estrogen menyebabkan
hipertrofi kelenjar tiroid dan meningkatkan globulin pengikat tiroid; walaupun kadar T 4 dan T3
meningkat, T4 bebas, T3 bebas dan tirotropin (hormon penstimulasi tiroid) tetap normal. Kadar
kalsium serum menurun, namun konsentrasi kalsiumm terionisasi tetap normal.
Efek Muskuloskeletal
Peningkatan kadar relaksin selama kehamilan membantu mempersiapkan kelahiran dengan
memperlunak serviks, menghambat kontraksi uterus, dan merelaksasi simfisis pubis dan sendisendi pelvis. Kelemahan ligamentosa ada tulang belakang meningkatkan risiko cedera punggung.
Hal ini mungkin berperan pada insidens nyeri punggung yang relatif tinggi selama kehamilan.

Aliran

darah
uterus
Arteri
uterus
Vena
uterus
Aliran darah miometrial
Ruang intervillosa
Membran
plasenta
Aliran plasental janin
Aliran shunt janin
Arteri

Vena

umbilikalis

umbilikalis

Aliran
darah
umbilikalis
Gambar 42-2. Sirkulasi uteroplasental. (dimodifikasi dan diproduksi ulang, dengan izin, dari
Schiner S, Levinson G: Anesthesia for Obstetrics, ed ke-2. Williams & Wilkins, 1987.)
SIRKULASI UTEROPLASENTAL
Sirkulasi uteroplasental normal (Gambar 42-1) sangat penting dalam perkembangan dan
pemeliharaan janin yang sehat. Insufisiensi uteroplasental merupakan penyebab yang penting

pada retardasi pertumbuhan janin intrauterus dan jika berat dapat menyebabkan kematian janin.
Integritas sirkulasi ini, sebaliknya, bergantung baik pada aliran darah uterus yang adekuat
maupun fungsi plasenta yang normal.
Aliran Darah Uterus
Ketika cukup bulan, aliran darah uterus mencerminkan sekitar 10% curah jantung, atau 600
700 mL/menit (dibandingkan dengan 50 mL pada uterus yang tidak hamil). Delapan puluh persen
aliran darah uterus normalnya memasok plasenta; sisanya menuju miometrium. Kehamilan
mendilatasi maksimal pembuluh darah uterus, sehingga tidak terdapat otoregulasi, namun tetap
sensitif terhadap agonis adrenergik . Aliran darah uterus biasanya tidak dipengaruhi secara
signifikan oleh tekanan gas pernapasan, namun hipokapnia ekstrim (PaCO 2 < 20 mm Hg) dapat
menurunkan aliran darah uterus dan menyebabkan hipoksemia dan asidosis janin.
Aliran darah berbanding langsung dengan perbedaan antara tekanan arterial dan vena
uterus namun berbanding terbalik dengan resistansi vaskular uterus. Walaupun tidak di bawah
kontrol neurologis yang berarti, pembuluh darah uterus memiliki reseptor adrenergik dan
kemungkinan beberapa adrenergik .
Tiga faktor utama yang menurunkan aliran darah uterus selama kehamilan: (1) hipotensi
sistemik, (2) vasokonstriksi uterus, dan (3) kontraksi uterus. Penyabab umum hipotensi selama
kehamilan meliputi kompresi aortokaval, hipovolemia, dan blokade simpatik setelah anestesia
regional. Pelepasan katekolamin endogen yang diinduksi stres (aktivasi simpatoadrenal) selama
persalinan menyebabkan vasokonstriksi arterial uterus. Setiap obat dengan aktivitas adrenergik
(misal, fenilefrin) berpotensi mampu menurunkan aliran darah uterus oleh vasokontriksi. Efedrin,
yang memiliki aktivitas dominan adrenergik , dianggap merupakan vasopresor pilihan untuk
hipotensi selama kehamilan. Namun demikian, penelitian klinis menunjukkan bahwa agonis
adrenergik seperti fenilefrin dan metaraminol sama efektif dalam mengatasi hipotensi pada
pasien hamil dan menyebabkan asidosis janin yang lebih kecil dibandingkan efedrin.
Secara berlawanan, gangguan hipertensif sering berkaitan dengan penurunan aliran darah
uterus selama vasokonstriksi umum. Kontraksi uterus menurunkan aliran darah dengan
menaikkan tekanan vena uterus dan, ketika sangat kuat, menekan pembuluh darah arterial
ketika melintasi miometrium. Kontraksi hipertonik selama persalinan atau selama infus
oksitosin dapat sangat membahayakan aliran darah uterus.
Fungsi Plasenta

Janin bergantung pada plasenta untuk pertukaran darah respirasi, nutrisi, dan pembuangan zat
sisa. Plasenta dibentuk baik oleh jaringan maternal dan fetal dan memberikan pasokan darah
kepada keduanya. Membran pertukaran yang dihasilkan memiliki area fungsional sekitar 1,8 m 2.
A. ANATOMI FISIOLOGIS
Plasenta (Gambar 42-2) terdiri dari proyeksi jaringan janin (villi) yang berada pada ruang
vaskular maternal (ruang untervillosa). Akibat susunan ini, kapiler janin di dalam villi telah
menukar zat-zat dengan darah maternal yang merendamnya. Darah maternal di dalam ruang
intervillosa berasal dari cabang-cabang spiralis arteri uterus dan mengalir ke dalam vena uterus.
Darah janin di dalam villi berasal dari korda umbilikalis melalui dua arteri umbilikalis dan
kembali ke janin melalui sebuah vena umbilikalis.
B. PERTUKARAN PLASENTAL
Pertukaran plasental dapat terjadi melalui satu dari lima mekanisme berikut:
1. DifusiGas-gas pernapasan dan ion-ion kecl ditranspor melalui difusi. Sebagian besar
obat yang digunakan dalam anestesia memiliki berat molekul jauh di bawah 1000 dan
akibatnya dapat berdifusi melewati plasenta.
2. Aliran besarAir bergerak melintas melalui aliran besar.
3. Transpor aktifAsam amino, vitamin, dan beberapa ion (kalsium dan besi)
menggunakan mekanisme ini.
4. PinositosisMolekul berukuran besar, seperti imunoglobulin, ditranspor melalui
pinositosis.
5. RobekanRobekan pada membran plesenta dan pencampuran darah maternal dan janin
mungkin bertanggung jawab untuk sensitisasi Rh (lihat Bab 29).
Pertukaran Gas Respirasi
Dari semua zat yang dipertukarkan melewati plasenta, oksigen memiliki rasio penyimpananpenggunaan yang paling rendah. Ketika cukup bulan, konsumsi oksigen janin berkisar 21
mL/menit, walaupun simpanan oksigen janin pada keadaan normal diperkirakan hanya 42 mL.
Untungnya, akibat beberapa mekanisme adaptif, janin yang normal pada cukup bulan dapat

bertahan 10 menit tanpa oksigen total dari pada 2 menit yang mungkin terjadi. Keadaan tanpa
oksigen parsial atau komplet dapat disebabkan oleh kompresi korda umbilikalis, prolaps korda
umbilikalis, abrupsio plasenta, hipoksemia maternal berat, atau hipotensi. Mekanisme
kompensasi meliputi redistribusi aliran darah fetal terutama pada otak, jantung, plasenta, dan
kelenjar adrenal; penurunan konsumsi oksigen; dan metabolisme anaerobik.
Transfer oksigen melewati plasenta bergantung pada rasio aliran darah uterus maternal
terhadap aliran darah umbilikus janin. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa cadangan
untuk transfer oksigen kecil bahkan selama kehamilan normal. Darah janin yang teroksigenasi
baik dari plasenta memiliki PaO2 hanya 40 mm Hg. Untuk membantu transfer oksigen, kurva
disosiasi oksigen hemoglobin janin bergeser ke kiri sehingga hemoglobin janin memiliki afinitas
yang lebih besar terhadap oksigen dibandingkan hemoglobin maternal (yang memiliki kurva yang
telah bergeser ke kanan; lihat bagian Efek Respiratorius). Selain itu, konsentrasi hemoglobin
janin biasanya 15 g/dL (dibandingkan dengan sekitar 12 g/dL pada ibu).
Karbon dioksida segera berdifusi melewati plasenta. Hiperventilasi maternal (lihat bagian
Efek Respiratorius) meningkatkan gradien untuk transfer karbon dioksida dari janin ke dalam
sirkulasi maternal. Hemoglobin janin tampaknya juga memiliki afinitas yang lebih kecil untuk
karbon dioksida dibandingkan hemoglobin maternal.

Penumpukan darah maternal


di dalam ruang intervillosa
Venula janin
Arteriol janin
Arteriol
maternal
Miometrium
Venula
maternal

Korda umbilikalis
Arteri umbilikalis
Bagian janin

Bagian maternal

dari plasenta

dari plasenta

(korion)

(desidua basalis)

Vena umbilikalis
Gambar 42-2. Plasenta.
Transfer Obat-obat Anestetik Melalui Plasenta
Transfer suatu obat melewati plasenta digambarkan oleh rasio konsentrasi obat tersebut pada vena
umbilikalis janin terhadap vena maternal (UV/MV), di mana ambilan obat tersebut oleh jaringan
janin dapat dihubungkan dengan rasio konsentrasi obat tersebut pada arteri umbilikal janin
terhadap vena umbilikalis (UA/UV). Efek obat-obat yang diberikan kepada orang yang akan
melahirkan terhadap janin bergantung pada berbagai faktor antara lain rute pemberian
(intramuskular, intravena, epidural, atau intratekal), dosis, waktu pemberian (keduanya relatif
terhadap waktu melahirkan ataupun kontraksi), dan kematangan organ-organ janin (otak dan
liver). Oleh karena itu, memberikan suatu obat berjam-jam sebelum melahirkan atau sebagai
bolus intravena tunggal selama kontraksi uterus sesaat sebelum melahirkan (ketika aliran darah
uterus berkurang secara maksimal) memiliki kemungkinan paling kecil untuk menyebabkan kadar
pada janin yang tinggi. Efek pada janin dapat dinilai intrapartum melalui perubahan-perubahan
pada pola denyut jantung janin atau status asam-basa, atau ketika postpartum melalui skor Apgar
atau pemeriksaan neurobehavioral (lihat Bab 43). Untungnya, teknik-teknik anestetik terbaru
pada persalihan dan melahirkan (lihat Bab 43) umumnya memiliki efek minimal pada janin
walaupun terdapat transfer yang signifikan melalui plasenta dari obat-obat anestetik dan
tambahannya.
Semua obat inhalasi dan sebagian besar obat-obat intravena secara bebas melintasi
plasenta. Obat-obat inhalasi secara umum menghasilkan sedikit depresi janin ketika diberikan
dalam dosis terbatas (< 1 MAC) dan persalinan terjadi dalam 10 menit induksi. Tiopental,
ketamin, propofol, dan benzodiazepin mudah melewati plasenta dan dapat dideteksi di dalam
sirkulasi janin. Untungnya, ketika obat-obat ini, kecuali benzodiazepin, digunakan dalam dosis

induksi biasa, distribusi obat, metabolisme, dan kemungkinan ambilan plasenta dapat membatasi
efek pada janin. Walaupun sebagan besar opiat mudah melewati plasenta, efeknya pada neonatus
ketika melahirkan cukup bervariasi. Bayi baru lahir tampaknya lebih sensitif terhadap efek
depresan pernapasan dari morfin dibandingkan dengan opioid lainnya. Walaupun depresi
pernapasan cukup signifikan oleh meperidin, pemuncakan 1 3 jam setelah pemberian, hal ini
masih lebih ringan dibandingkan morfin; butorfanol dan nalbufin menghasikan depresi
pernapasan yang lebih kecil lagi, namun dapat tetap memiliki efek depresan pada neurobehavioral
yang signifikan. Walaupun fentanil mudah melewati plasenta, tampaknya obat ni memiliki efek
neonatal yang minimal kecuali diberikan dosis intravena yang besar (> 1 g/kg) sesaat sebelum
melahirkan. Pemberian epidural atau intratekal dari fentanil, sufentanil, dan dalam derajat yang
lebih rendah, morfin (lihat Bab 43) umumnya menghasilkan efek neonatal yang minimal.
Alfentanil menyebabkan depresi neonatal yang serupa dengan meperidin. Remifentanil juga
dengan mudah melintasi plasenta dan memiliki potensi menghasilkan depresi pernapasan pada
bayi baru lahir. Konsentrasi darah janin daro remifentanil umumnya sekitar setengah dari ibu
sesaat sebelum melahirkan. Rasio UA/UV sekitar 30% menunjukkan metabolisme yang cukup
cepat

dari remifentanil pada neonatus. Zat-zat yang sangat terionisasi dari relaksan otot

menghalangi transfer plasenta, menghasilkan efek yang minimal pada janin.


Anestetik lokal merupakan obat-obat yang secara lemah berikatan dengan asam
glikoprotein . Transfer melalui plasenta bergantung pada tiga faktor: (1) pKa (lihat Bab 14), (2)
pH maternal dan janin, dan (3) derajat ikatan protein. Kecuali kloroprokain, asidosis janin
menghasilkan rasio obat janin-terhadap-maternal yang lebih tinggi karena ikatan ion hidrogen
terhadap bentuk nonionisasi menyebabkan terjebaknya anestetik lokal di dalam sirkulasi janin.
Obat-obat yang sangat terikat protein berdifusi dengan buruk melewati plasenta; sehingga, ikatan
protein yang lebih tinggi dari bupivakain dan ropivakain, dibandingkan dengan ikatan protein
dari lidokain, sepertinya berperan pada kadarnya dalam darah janin yang lebih rendah.
Kloroprokain memilki transfer plasenta yang paling sedikit karena obat ini dengan cepat dipecah
oleh kolinesterase plasma di dalam sirkulasi maternal.
Sebagian besar tambahan anestetik yang umum digunakan juga mudah melewati
plasenta. Sehingga, efedrin, bloker adrenergik (seperti labetalol dan esmolol), vasodilator,
fenotiazin, antihistamin (H1 dan H2), dan metoklopramid yang diberikan kepada maternal
ditransfer menuju janin. Atropin dan skopolamin, namun bukan glikopirolat, melewati plasenta;
struktur amonium kwartenernya (terionisasi) hanya menyebabkan sedikit transfer.
Efek Obat Anestetik Lokal pada Aliran Darah Uteroplasental

Obat-obat anestetik intravena memiliki efek yang bervariasi pada aliran darah uteroplasental.
Barbiturat dan propofol biasanya berkaitan dengan sedikit penurunan pada aliran darah uterus
akibat penurunan tekanan darah maternal bergantungdosis yang ringan sampai sedang. Dosis
induksi rendah, namun demikian, dapat menyebabkan penurunan yang lebih besar pada aliran
darah akibat aktivasi simpatoadrenal (akibat anestesia ringan). Ketamin, dalam dosis < 1,5 mg/kg,
tidak secara bermakna mengubah aliran darah uteroplasental; efek hipertensifnya biasanya
bekerja berlawanan dengan vasokonstriksi. Hipertonus uterus dapat terjadi pada pemberian
ketamin pada dosis > 2 mg/kg. Dibandingkan tiopental dan propofol, midazolam mungkin lebih
cenderung menyebabkan hipotensi sistemik transien ketika digunakan sebagai obat induksi.
Etomidat sepertinya memiliki efek minimal, namun kerjanya pada sirkulasi uteroplasental tidak
telihat jelas.
Anestetik inhalasi volatil menurunkan tekanan darah, dan juga, aliran darah
uteroplasental. Namun demikian, pada konsentrasi kurang dari 1 MAC, efeknya secara umum
kecil, yang terdiri dari relaksasi uterus bergantung-dosis dan sedikit penurunan pada aliran darah
uterus. Oksida nitrat memiliki efek yang minimal ketika diberikan bersama obat volatil. Pada
penelitian terhadap hewan, oksida nitrat saja dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri-arteri
uterus.
Kadar anestetik lokal dalam darahkhususnya lidokainmenyebabkan vasokonstriksi
arteri uterus. Kadar tersebut hanya terlihat pada penyuntikan intravaskular yang tidak disengaja
dan kadang0kadang setelah blokade paraservikal (di mana lokasi penyuntikan berada sangat
dekat dengan arteri uterus). Anestesia spinal dan epidural biasanya tidak menurunkan aliran darah
uterus, membuat hipotensi arterial dapat dihindari. Selain itu, aliran darah uterus selama
persalinan mungkin pada kenyataannya dapat membaik pada pasien pre-eklamsia setelah
anestesia epidural;

penurunan pada katekolamin endogen yang bersirkulasi sepertinya

menurunkan vasokonstriksi uterus. Penambahan konsentrasi epinefrin yang encer pada larutan
anestetik lokal tidak secara bermakna mengubah aliran darah uterus. Ambilan intravaskular
epinefrin dari ruang epidural mungkin hanya menghasilkan sedikit efek adrenergik .
FISIOLOGI PERSALINAN NORMAL
Rata-rata, persalinan dimulai 40+2 minggu setelah periode menstruasi terakhir. Berbagai faktor
yang terlibat pada inisiasi persalinan belum seluruhnya dapat dijelaskan namun sepertinya
melibatkan distensi berlebihan dari uterus, sensitivitas miometrial yang diperkuat terhadap

oksitosin, dan perubahan sintesis prostaglandin oleh kadar oksitosin yang bersirkulasi seringkali
tidak meningkat pada awal persalinan, jumlah reseptor oksitosis miometrial meningkat dengan
cepat. Beberapa gejala prodromal juga biasanya mendahului persalinan sebenarnya sekitar 2 4
minggu sebelum melahirkan: bagian presentasi janin masuk ke pelvis (meringankan); pasien
mengalami kontraksi uterus (Braxton Hicks) yang khas iregular dalam frekuensi, durasi, dan
intensitas; dan serviks melunak dan menipis (penonjolan serviks). Sekitar 1 minggu sampai 1 jam
sebelum persalinan sebenarnya, plug mukus serviks (yang seringkali berdarah) keluar (bloody
show).
Persalinan yang sebenarnya dimulai ketika kontraksi Braxton Hicks yang sporadik dan
hebat semakin kuat (25 60 mm Hg), teratur, dan sering (15 20 menit sekali). Cairan ketuban
dapat pecah sponatan sebelum atau setelah onset persalinan yang sebenarnya. Menyertai dilatasi
serviks yang progresif, kontraksi pertama-tama mendorong janin dan kemudian plasenta melalui
pelvis dan perineum. Sesuai ketentuan, persalinan dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama
didefinisikan sebagai onset persalinan yang sebenarnya dan berakhir ketika dilatasi serviks
komplet. Tahap kedua mulai ketika serviks berdilatasi penuh, yang ditandai oleh penurunan janin,
dan berakhir setelah melahirkan seluruh janin. Akhirnya, tahap ketiga dimuai dari kelahiran bayi
sampai melahirkan plasenta.
Berdsarkan kecepatan dilatasi serviks, tahap pertama lebih jauh lagi dibagi menjadi fase
laten lambat diikuti oleh fase aktif yang lebih cepat (Gambar 42-3). Fase laten ditandai oleh
penonjolan serviks yang progresif dan sedikit dilatasi (2 4 cm). Fase aktif berikutnya ditandai
oleh kontraksi yang lebih sering (setiap 3 5 menit sekali) dan dilatasi serviks progresif sampai
dengan 10 cm. Tahap pertama biasanya berlangsung selama 8 12 jam pada pasien nulipara dan
sekitar 5 8 jam pada pasien multipara.
Kontraksi selama tahap kedua terjadi setiap 1,5 2 sekali dan sampai setiap 1 1,5
menit. Walaupun intensitas kontraksi tidak berubah secara berarti, pasien, akibat melahirkan,
dapat sangat meningkatkan tekanan intrauterin dan memfasilitasi pengeluaran janin. Tahap kedua
biasanya berlangsung selama 15 120 menit dan tahap ketiga biasanya 15 30 menit.
Perjalanan persalinan dipantau berdsarkan aktivitas uterus, dilatasi serviks, dan
penurunan janin. Aktivitas uterus menunjukkan frekuensi dan besarnya kontraksi uterus. Yang
terakhir dapat diukur secara langsung, dengan kateter yang dmasukkan ke dalam serviks, atau
secara tidak langsung, dengan tokodinamometer yang diletakkan eksternal di sekitar abdomen.
Dilatasi serviks dan penurunan janin dinilai dengan pemeriksaan pelvik. Station janin
menunjukkan level penurunan (dalam sentimeter) dari bagian presentasi relatif terhadap spina
ischiadika (misal, -1 atau +1).

Tahap pertama
Dilatasi serviks (cm)
Penurunan bagian presentasi
Fase akselerasi
Fase penurunan maksimum
Fase deselerasi
Tahap kedua
Fase laten

Fase aktif
Jan persalinan

Melahirkan

Gambar 42-3. Perjalanan persalinan normal. (Diproduksi ulang, dengan izin, dari DeCherney
AH, Pernoll ML [editor]: Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, ed ke-9.
McGraw-Hill, 2001).
Efek Persalinan pada Fisiologi Maternal
Selama kontraksi-kontraksi kuat yang nyeri, ventilasi menit pasien dapat meningkat sampai
dengan 300%. Kontraksi oksigen juga meningkat 60% lagi di atas nilai-nilai pada trimester
ketiga. Dengan hiperventilasi yang berlebihan, PaCO 2 turun di bawah 20 mm Hg. Hipokapnia
yang nyata dapat menyebabkan periode-periode hipoventilasi dan hipoksemia transien pada
maternal dan janin di antara kontraksi. Hiperventilasi maternal berlebihan juga mengurangi aliran
darah uterus dan menyebabkan asidosis janin.
Setiap kontraksi menambah beban pada jantung dengan memindahkan 300 500 mL
darah dari uterus ke dalam sirkulasi pusat (analog dengan ototransfusi). Curah jantung meningkat
45% di atas nila-nilai pada trimester ketiga. Tegangan terbesar pada jantung, namun demikian,
terjadi segera setelah melahirkan, ketika kontraksi uterus yang kuat dan involusi secara tiba-tiba
membebaskan obstruksi vana kava inferior dan meningkatkan curah jantung sebanyak 80% di
atas nilai prapersalinan.
Efek Obat Anestetik pada Aktivitas Uterus & Persalinan

A. OBAT-OBAT INHALASI
Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran menekan aktivitas uterus secara equal pada
dosis ekuipoten; semuanya menyebabkan relaksasi uterus bergantung-dosis. Namun demikian,
dosis rendah (< 0,75 MAC) dari obat-obat ini tidak mempengaruhi efek oksitosin pada uterus.
Dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan atonia uterus dan meningkatkan kehilangan darah
saat melahirkan. Oksida nitrat menyebabkan efek yang minimal jika ada.
B. OBAT-OBAT PARENTERAL
Opioid secara minimal mengurangi progresi persalinan, sementara ketamin dalam dosis < 2
mg/kg tampaknya memiliki sedikit efek.
C. ANESTESIA REGIONAL
Apakah penggunaan analgesia epidural untuk persalinan meningkatkan kecenderungan seksio
sesarea atau melahirkan dengan forsep? Dogma yang lebih lama mengajarkan bahwa anestesia
regional diberikan pada awal persalinan akan memperpanjang persalinan tersebut, sementara
blokade regional yang diberikan setelah persalinan sedang terjadi (misal, dilatasi serviks 4 5
cm) memiliki efek yang kecil. Bukti-bukti terbaru telah memberikan keragu-raguan yang serius
mengenai pandangan ini. Teknik-teknik terbaru yang menggunakan kombinasi anestetik lokal
yang sangat encer (misal, bupivakain 0,125% atau kurang) dan suatu opioid (misal, fentanil 5
g/mL atau kurang) pada analgesia epidural atau kombinasi spinelepidural (CSE) tampaknya
tidak memperpanjang persalinan atau meningkatkan kecenderungan seksio sesarea.
Pemberian analgesia epidural normalnya berdasarkan pada pilihan pasien. Oleh karena
itu terdapat bias alami mengenai apakah analgesia epidural paling sering diberikan pada pasien
yang memiliki faktor maternal atau janin yang meningkatkan risiko seksio sesarea atau persalinan
yang memanjang (Tabel 42-2). Selain itu, pada penelitian-penelitian terhadap pasien yang tidak
mendapatkan analgesia epidural, wanita yang mengalami nyeri yang lebih berat (misal,
membutuhkan > 50 mg meperidin, dan lebih cenderung membutuhkan analgesia epidural)
memiliki angka seksio sesarea sampai dengan 10 kali lipat.
Efek spesifik dari anestesia regional kompleks dan dominan tidak langsung. Efek
langsung hanya terlihat pada kadar sistemik toksik dari anestetik lokal, menyebabkan kontraksi

tetanik. Efek tidak langsung sebagian besar berkaitan dengan konsentrasi anestetik lokal dan
opioid, bolus cairan intravena, dan penggunaan epinefrin. Dahulu, ketika digunakan anestetik
lokal dengan konsentrasi yang lebih tinggi (misal, bupivakain 0,25%), anestesia regional
meningkatkan insidens melahirkan dengan forsep rendah. Analgesia/anestesia regional yang kuat
dapat menghilangkan dorongan untuk melahirkan selama tahap kedua (refleks Ferguson) dan
kelemahan motorik dapat mengganggu usaha ekspulsif, yang sering memperpanjang tahap kedua
dari melahirkan. Penggunaan campuran anestetik lokal/opioid yang encer (lihat Bab 43) dapat
menyelamatkan fungsi motorik dan menyebabkan dorongan yang lebih efektif. Pemberian cairan
intravena (bolus kristaloid) sering digunakan untuk mencegah atau mengurangi keparahan
hipotensi setelah penyuntikan epidural. Praktik ini telah terbukti mengurangi sekresi oksitosin
endogen dari kelenjar hipofisis dan dapat menurunkan aktivitas uterus sementara. Larutan
anestetik lokal yang mengandung epinefrin secara teori dapat memperpanjang tahap pertama
persalinan jika penyerapan epinefrin dari ruang epidural menghasilkan efek adrenergik sistemik
yang signifikan. Walaupun kontroversial, pemanjangan persalinan umumnya tidak terlihat secara
klinis dengan anestetik lokal yang mengandung epinefrin yang sangat encer (misal, 1:400.000).
Tabel 42-2. Beberapa faktor yang memperpanjang persalinan, meningkatkan kecenderungan
seksio sesarea, dan sering menyebakan pasien membutuhkan epidural.
Primigravida
Persalinan memanjang
Kebutuhan analgesik parenteral yang tinggi
Penggunaan oksitosin
Bayi besar
Pevis kecil
Malpresentasi janin.

D. VASOPRESOR
Otot uterus memiliki respetor adrenergik dan . Stimulasi reseptor 1 menyebabkan kontraksi
uterus, sementara stimulasi reseptor 2 menyebabkan relaksasi. Dosis obat-obat adrenergik ,
seperti metaramipol dan fenilefrin, selain menyebabkan konstriksi arterial uterus, dapat
menyebabkan kontraksi uterus tetanik. Fenilefrin dosis rendah (50 g) dapat meningkatkan aliran
darah uterus pada pasien normal dengan meningkatkan tekanan darah arterial. Sebaliknya, efedrin
memiliki efek yang lebih kecil pada kontraksi uterus.

E. OKSITOSIN
Oksitosin (Pitocin) biasanya diberikan secara intravena untuk menginduksi atau meningkatkan
kontraksi uterus atau mempertahankan tonus uterus pascamelahirkan. Obat ini memiliki waktu
paruh 3 5 menit. Dosis induksi untuk persalinan adalah 0,5 8 mU/menit. Berbagai
komplikasi meliputi distres janin akibat hiperstimulasi, uterus tetani, dan, yang lebih
jarang, intoksikasi air maternal. Infus intravena cepat juga dapat menyebabkan hipotensi
sistemik sementara akibat relaksasi otot polos vaskular; takiakrdia refleks juga mungkin
terlihat jelas.
F. ALKALOSIS ERGOT
Metilergonovin (Metergin) menyebabkan kontraksi uterus yang kuat dan memanjang. Oleh
karena itu obat ini diberikan hanya setelah melahirkan (postpartum) untuk mengatasi atonia
uterus. Selain itu, karena juga mengonstriksi otot polos vaskular dan dapat menyebabkan
hipertensi berat, obat ini diberikan hanya sebagai dosis tunggal 0,2 mg intramuskular.
G. CARBOPROST
Carboprost trometamin (Hemabate) merupakan analog sintetik dari prostaglandin F 2 yang
menstimulasi kontraksi uterus. Obat ini sering digunakan umtuk mengatasi perdarahan
postpartum yang refrakter. Seperti methergin, obat ini hanya digunakan secara intramuskular.
Dosis inisial sebesar 0,25 mg dapat diulangi setiap 15 90 menit sampai maksimal 2 mg. Efek
samping yang umum meliputi neusea, vomuitus, dan diare.
H. MAGNESIUM
Magnesium digunakan pada obstetrik baik untuk menghentikan persalinan prematur (tokolisis)
maupun untuk mencegah seizure eklamtik (lihat Bab 43). Biasanya obat ini diberikan sebagai
dosis loading 4 mg intravena (selama 20 menit) diikuti dengan infus 2 g/jam. Kadar serum
terapeutik dipertimbangkan sebesar 6 8 mg/dL. Efek samping yang serius mencakup hipotensi,
blokade jantung, kelemahan otot, dan sedasi (lihat Bab 28).

H. AGONIS 2
Agonis adrenergik 2 ritoridin dan terbutalin menghambat kontraksi uterus dan digunakan untuk
mengobati persalinan prematur (lihat Bab 43).
FISIOLOGI JANIN
Plasenta, yang mendapatkan hampir satu setengah curah jantung janin, bertanggung jawab untuk
pertukaran gas pernapasan. Hasilnya, paru mendapatkan sedikit aliran darah dan sirkulasi
pulmonar dan sistemik berjalan paralel dan bukan seri, seperti pada dewasa (Gambar 42-4 dan
42-5). Susunan ini dimungkinkan oleh dua shunt pada jantungforamen ovale dan duktus
arteriosus:
1. Darah yang teroksigenasi dengan baik dari plasenta (saturasi oksigen sekitar 80%)
bercampur dengan darah vena yang kembali dari tubuh bagian bawah (saturasi oksigen
25%) dan mengalir melalui vena kava inferior menuju atrium kanan.
2. Anatomi atrium kanan lebih menyukai mengarahkan aliran darah dari vena kava inferior
(saturasi oksigen 67%) melalui foramen ovale ke dalam atrium kiri.
3. Darah atrium kiri kemudian dipompa oleh ventrikel kiri menuju tubuh bagian atas
(terutama otak dan jantung).
4. Darah yang kurang teroksigenasi dari tubuh bagian atas kembali melalui vena kava
superior menuju atrium kanan.
5. Anatomi atrium kanan lebih menyukai mengarahkan aliran dari vena kava superior
menuju atrium kanan.
6. Darah ventrikel kanan dipompa ke dalam arteri pulmonar.
7. Akibat resistansi vaskular pulmonar yang tinggi, 95% darah yang diejeksikan dari
ventrikel kanan (saturasi oksigen 60%) dishunt melewati duktus arteriosus, ke dalam
aorta desenden, dan kembali ke plasenta dan tubuh bagian bawah.
Sirkulasi yang paralel menghasilkan aliran ventrikel yang tidak seimbang; ventrikel
kanan mengejeksikan dua-pertiga dari curah gabungan ventrikel, sementara ventrikel kiri
mengejeksikan hanya sepertiganya.
Sampai dengan 50% darah yang teroksigenasi baik di dalam vena umbilikalis dapat
melewati jantung secara langsung melalui duktus venosus, memintasi liver. Aliran darah sisanya

dari plasenta bercampur dengan darah dari vena portal (melalui sinus portal) dan melewati liver
sebelum mencapai jantung. Hal ini mungkin penting dalam memungkinkan degradasi obat (atau
toksin) dalam hepatik yang telah diabsorpsi dari sirkulasi maternal dengan relatif cepat.
Berlawanan dengan sirkulasi janin, yang terbentuk sangat awal pada masa intrauterin,
pematangan paru tertinggal di belakang. Kehidupan ekstrauterin tidak dimungkinkan sampai
setelah 24 25 minggu gestasi, ketika kapiler pulmonar terbentuk dan berada sangat dekat
dengan epitel alveolar yang imatur. Pada usia 30 minggu, epitel alveolar kuboid mendatar dan
mulai memproduksi surfaktan pulmonar. Zat ini menyediakan stabilitas alveolar dan diperlukan
untuk mempertahankan pengembangan paru normal setelah kelahiran (lihat Bab 22). Surfaktan
pulmonar yang cukup biasanya terjadi setelah 34 minggu gestasi. Pemberian glukokortikoid
kepada ibu dapat mempercepat produksi surfaktan.

Vena kava

Duktus arteriosus

superior
Atrium kiri
Foramen ovale

Arteri
pulmonalis

Atrium kanan
Ventrikel kanan

Ventrikel
kiri

Duktus venosus

Vena kava
inferior
Aorta
Vena
porta

Arteri
umbilikalis

Vena umbilikalis
Dari plasenta

Menuju plasenta
Gambar 42-4. Sirkulasi janin sebelum dan setelah kelahiran. (Diproduksi, dengan izin, dari
Ganong WF: Review of Medical Physiology, ed ke-20. McGraw-Hill, 2001.)

TRANSISI FISIOLOGIS PADA JANIN SAAT KELAHIRAN


Perubahan adaptif yang paling nyata saat kelahiran melibatkan sistem sirkulasi dan respiratorius.
Kegagalan untuk membuat transisi ini pasti menyebabkan kematian janin atau kerusakan
neurologis permanen.
Ketka cukup bulan, paru janin berkembang namun mengandung sekitar 90 mL ultrafiltrat
plasma. Selama pengeluaran janin ketika melahirkan, cairan ini pada keadaan normal terperas
dari paru oleh kekuatan otot-otot pelvik dan vagina yang bekerja pada bayi (perasan vagina).
Setiap cairan yang tersisa direabsorpsi oleh kapiler pulmonar dan limfatik. Katekolamin pada
neonatus selama persalinan dapat meningkatkan pelepasan surfaktan dari pneumosit tipe II.
Neonatus yang kecil (kurang bulan) dan neonatus yang dilahirkan melalui seksio sesarea tidak
mendapatkan perasan vaginal ini dan oleh karena itu biasanya memiliki kesulitan yang lebih
besar dalam mempertahankan respirasi (takipnea sementara pada bayi baru lahir). Usaha bernapas
pada keadaan normal dimulai dalam 30 detik setelah kelahiran dan menjadi menetap dalam 90
detik. Hipoksia dan asidosis ringan dan juga stimulasi sensorikpenjepitan tali pusat, nyeri,
sentuhan, dan bisingmembantu memulai dan mempertahankan respirasi, sementara rekoil ke
arah luar pada dada menambah pengisian paru dengan udara.
SIRKULASI JANIN

SIRKULASI NEONATUS

Setengah tubuh

Setengah tubuh

bagian atas

bagian atas
SVC

LA

LV

LA

IVC

Aorta
RA

RV

LV

IVC

Aorta
RA

RV

DA
Paru

DA
Paru

PA

PA

Setengah tubuh

Setengah tubuh

bagian bawah

bagian bawah

HV

HV

DV

DV
Liver

Liver
PV

PV

Plasenta
UA
UV

UV

SIRKULASI DEWASA
Setengah tubuh bagian atas
SVC
LA

LV

IVC

Aorta
RA

RV
DA
Paru
PA

Setengah tubuh bagian bawah


HV
DV
Liver
UV

PV
UA

Teroksigenasi
Campuran
Terdeoksigenasi
LA

Left atrium, atrium kiri

UA

LV

Left ventricle, ventrikel kiri

RA

Right atrium, atrium kanan

RV

Right ventricle, ventrikel kanan

DA

Ductus arteriosus, duktus arteriosus

DV

Ductus venosus, duktus venosus

PA

Pulmonary artery, arteri pulmonalis

UA

Umbilical artery, arteri umbilikalis

UV

Umbilical vein, vena umbilikalis

PV

Portal vein, vena portal

HV

Hepatic vein, vena hepatika

IVC

Inferior vena cava, vena kava inferior

SVC

Superior vena cava, vena kava superior

Tanda panah menunjukkan arah aliran darah


Gambar 42-5. Suatu perbandingan skematik sirkulasi janin dan neonatal. (Diadaptasi dari
Danforth DN, Scott JR: Obstetrics and Gynecology, ed ke-5. Lippincott, 1986.)
Hipoksemia
Asidosis
Kegagalan

Peningkatan resistansi

Kegagalan

ventrikel kiri

vaskular pulmonar

ventrikel kanan

Shunting kanan-ke-kiri

Shunting kanan-ke-kiri

Melewati dukus arteriosus

melewati foramen ovale

Gambar 42-6. Patofisiologi hipertensi pulmonar persisten pada bayi baru lahir (sirkulasi janin
persisten). (Dimodifikasi dan diproduksi ulang, dengan izin, dari Gregory GA: Pediatric
Anesthesia.Ed. ke-2. Churchill Livingstone, 1989.)
Pengembangan paru meningkatkan baik tekanan oksigen alveolar dan arterial dan
menurunkan resistansi vaskular pulmonar. Peningkatan tekanan oksigen merupakan stimulus
yang poten untuk vasodilatasi arterial pulmonar. Peningkatan aliran darah pulmonar yang

dihasilkan dan aliran yang diperkuat ke jantung kiri meningkatkan tekanan atrial kiri dan secara
fungsional menutup foramen ovale. Peningkatan pada tekanan oksigen arterial juga menyebabkan
duktus arteriosus berkontraksi dan secara fungsional menutup. Mediator kimia lainnya yang
mungkin memiliki peran pada penutupan duktal antara lain asetilkolin, bradikinin, dan
prostaglandin. Secara keseluruhan hasilnya adalah eliminasi shunting kanan-ke-kiri dan
terbentuknya sirkulasi dewasa (Gambar 42-5). Penutupan anatomik pada duktus arteriosus
biasanya tidak terjadi sampai sekitar 2 3 minggu, sementara penutupan foramen ovale
memerlukan waktu berbulan-bulan, jika terjadi walaupun sedikit.
Hipoksia atau asidosis selama beberapa hari pertama kehidupan dapat mencegah atau
membalikkan perubahan-perubahan fisiologis ini, menghasilkan menetapnya (atau kembalinya)
sirkulasi janin, atau hipertensi pulmonar persisten pada bayi baru lahir (persistent pulmonary
hipertension of the newborn, PPHN). Suatu lingkaran setan terbentuk ketika shunting kanan-kekiri menimbulkan hipoksemia dan asidosis, yang sebaliknya menimbulkan shunting lebih banyak
(Gambar 42-6). Shunting kanan-ke-kiri dapat terjadi melewati foramen ovale, duktus arteriosus,
atau keduanya. Kecuali lingkaran ini diputus, kematian neonatal dapat terjadi dengan cepat.

Вам также может понравиться