Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pengantar
Studi banding tentang kurikulum socio-legal studies ini, bertujuan untuk
mengetahui bagaimana mata kuliah dalam lingkup socio-legal studies
diajarkan di fakultas hukum di lima universitasyang terbilang besardi
Negeri Belanda. Secara khusus studi
ini
memberi perhatian pada
bagaimanakah persoalan hukum dan kemasyarakatan mendapat tempat
dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, dan seperti apa kedudukannya.
Hasil studi banding ini dimanfaatkan untuk mengkaji kembali
bagaimanakah seharusnya berbagai mata kuliah dalam lingkup socio-legal
studies ini ditempatkan dalam kurikulum fakultas hukum di Indonesia.
Diharapkan dari apa yang berlangsung di Negeri Belanda yang direkam
melalui studi ini, dapat memberi gambaran dan pengalaman yang berharga,
tidak hanya bagi para dosen yang mengasuh mata kuliah dalam lingkup
socio-legal studies di Indonesia, tetapi juga para aktivis dan komunitas hukum
pada umumnya.
Studi ini dirasa penting, karena dunia dan praktik hukum di
Indonesia, sedikit banyak ditentukan oleh pendidikan tinggi hukum beserta
kurikulumnya. Oleh karena studi ini dimaksudkan sebagai suatu model
pembelajaran, maka ada beberapa silabus perkuliahan disalin secara
mendetail. Di samping itu ada beberapa peristilahan yang juga dicantumkan
sesuai dengan aslinya sehingga pembaca berkesempatan untuk mencari
maknanya sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
Mengapa Negeri Belanda yang dipilih sebagai lokasi studi banding?
Alasannya, menurut latar belakang sejarahnya antara hukum di Indonesia
dan di Belanda ada kaitannya. Di Indonesia, warisan hukum Belanda tidak
hanya dapat dilihat dalam substansi/esensi hukum berupa berbagai
1
Studi ini dilakukan dalam skema Alliance Building Program on Strengthening Socio-Legal
Studies and Legal Pluralism in Indonesia, kerjasama antara Van Vollenhoven Institute Fakultas
Hukum Universitas Leiden, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Jurusan Hukum dan
Masyarakat/Pembangunan), dan HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologis), 15-27 September 2008. Terimakasih banyak atas bantuan Ford Foundation,
yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan ini.
Kecuali ISS (Institue Social Science) yang berkedudukan di Den Haag dan menyelengarakan
program pendidikan terutama untuk studi-studi pembangunan diperuntukkan bagi mahasiswa dari
Negara-negara berkembang. Sekolah ini memberikan gelar magister dan MPhil, sudah sejak sekitar
pertengahan tahun 1980-an
yaitu tulisan dari Mark D West (2003), Losers: Recovering Lost Property in Japan
and the United States. Mereka mendiskusikan bacaan tersebut dengan sangat
seru mengenai bagaimana sikap orang Jepang dan Amerika yang berbeda
ketika menemukan barang di jalan, apakah lapor polisi atau bagaimana.
Mereka juga memperdebatkan beberapa konsep penting seperti property, dan
mengkritisinya berdasarkan pengalaman di negara masing-masing.
Laporan ini akan memberi gambaran umum tentang situasi socio-legal
studies di Negeri Belanda. Di dalamnya termasuk deskripsi mengenai
pengajaran berbagai mata kuliah dalam lingkup socio-legal studies di kelima
universitas yang diteliti, berturut-turut adalah Sekolah Hukum atau Fakultas
Hukum Universitas Amsterdam, Universitas Leiden, Universitas Utrecht,
Universitas Radboud Nijmegen, dan Universitas Erasmus Rotterdam.
Dalam hal ini akan diketengahkan silabus dari beberapa mata kuliah,
yang pada umumnya diselenggarakan pada tahun 2008 atau 2007. Pemilihan
mata kuliah tersebut di samping berdasarkan ketersediaan data, juga
berdasarkan relevansinya dengan situasi pengajaran Antropologi Hukum,
Sosiologi Hukum dan Filsafat Hukum, dan kemungkingan juga Hukum Adat
di Indonesia, agar kita dapat memetik pelajaran dari sana. Penulisan silabus
dari tiap-tiap perkuliahan itu, disarikan dari silabus asli yang dibuat oleh
dosen yang bersangkutan. Dalam penulisan, kadang-kadang judul kuliah dan
judul sesi-sesi perkuliahan tidak diterjemahkan, atau diterjemahkan tetapi
sambil dituliskan judul aslinya. Hal ini bertujuan agar pembaca dapat
memperolah sumber asli dan dapat memetik sendiri pelajaran yang
terkandung di dalamnya.
Legitimasi Pentingnya Socio-Legal Studies dalam Studi Hukum
Karena kesalahpahaman, ada tiga bidang disiplin ilmu yang sering
disamakan, yaitu socio-legal studies, sosiologi hukum, dan sociological
jurisprudence. Banakar dan Reza menjelaskan bahwa di Inggris, socio-legal
studies berkembang terutama dari kebutuhan sekolah-sekolah hukum untuk
memunculkan dan mengembangkan studi interdisipliner terhadap hukum.
Socio-legal studies selalu berumah di Sekolah Hukum. Ia dipandang
sebagai disiplin atau subdisiplin, atau pendekatan metodologis, yang muncul
dalam rangka hubungannya atau peran oposisinya terhadap hukum. Dalam
hal ini sebaiknya, tidak dicampuradukkan dengan sosiologi hukum yang
berkembang di banyak negara di Eropa Barat atau aliran pemikiran Law and
Society di Amerika yang lebih kuat mengadopsi ikatan disipliner dengan
ilmu-ilmu sosial (Banakar &Travers, 2005).
Socio-legal studies berbeda dengan sosiologi hukum yang
benih
intelektualnya terutama berasal dari sosiologi arus utama dan bertujuan
untuk dapat mengkonstruksi pemahaman teoretik dari sistem hukum,
dengan cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang
lebih luas. Hukum, preskripsi hukum dan definisi hukum tidak diasumsikan
atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis secara problematik dan dianggap
penting untuk dikaji kemunculan, artikulasi dan tujuannya (Banakar
4
(Scheffer, 2005), studi kasus untuk meneliti budaya hukum (Banakar, 2005),
atau penelitian feminis (Bano, 2005).
Para scholar yang mempelajari pluralisme hukum (legal pluralist)
mengembangkan metode (modern) ethnography of law seiring dengan isu-isu
global yang juga membuat studi pluralisme hukum semakin tajam
memandang fenomena keberagaman hukum (Benda-Beckmann.et.all, 2005).
Dengan demikian dapat dikaji para aktor
yang menjadi media bagi
terjadinya pertemuan sistem hukum dan menyebabkan hukum bergerak,
seperti mereka yang melakukan perkawinan campuran (Glick-Schiller, 2005),
pelaku migrasi (Nuijten, 2005, Zips, 2005). Semua metode yang
dikembangkan itu memiliki karakteristiknya sendiri, dan saling melengkapi
untuk dapat menjelaskan fenomena hukum yang sangat luas.
Pada waktu yang sama berbagai aliran pemikiran baru seperti
diskursus analisis, studi kultural, feminisme dan posmodernisme mendapat
tempat dalam socio-legal research. Perkembangan tersebut menyimpulkan
suatu upaya untuk mendefinisikan tujuan dan lingkup socio-legal research,
yaitu tidak semata-mata pada soal penelitian empiriknya, melainkan analisis
akademiknya yang kritis terhadap hukum. Penting untuk menyimak
pendapat Wheeler dan Thomas (dalam Banakar, 2005), bahwa socio-legal
studies adalah suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal
terhadap hukum. Kata socio dalam socio-legal studies tidak mengacu pada
sosiologi atau ilmu sosial, tetapi merepresentasi keterkaitan antar konteks di
mana hukum berada (an interface with a context within which law exists). Itulah
sebabnya mengapa ketika seorang peneliti socio-legal menggunakan teori
sosial untuk tujuan analisis, mereka sering tidak sedang bertujuan untuk
memberi perhatian pada sosiologi atau ilmu sosial yang lain, melainkan
hukum dan studi hukum (Banakar & Travers, 2005). Meskipun belum jelas
benar kedudukan (sub) disiplin baru ini sebagai suatu school of thought, tetapi
setidaknya berbagai buku mutahir dan jurnal sudah menggambarkan teori,
metode, dan topik-topik yang menjadi perhatian dari para peneliti socio-legal.
Meskipun terdapat perbedaan karakteristik di antara ketiganya:
sosiologi hukum, sociological jurisprudence maupun socio-legal studies, menurut
hemat saya, semuanya dapat ditempatkan dalam ranah pendekatan alternatif
terhadap studi hukum. Beberapa pemikiran mendasar mengenai pentingnya
mengkaji hukum dengan tidak menempatkannya sebagai bahan terberi, yang
terisolasi dari kebudayaan (sistem berpikir, sistem pengetahuan) dan relasi
kekuasaan di antara para perumus hukum, penegak hukum, para pihak dan
masyarakat luas, menjadi benang merah persamaan di antara ketiga school of
thought tersebut. Hukum ditempatkan dalam konteks kemasyarakatan yang
luas, dengan berbagai implikasi metodologisnya.
Sebenarnya kebutuhan terhadap pendekatan alternatif terhadap
hukum bisa ditelusuri akarnya di sekolah hukum di Indonesia, bahkan sejak
wacana socio-legal studies sudah ditemukan. Hal ini bisa ditelusuri dari
pemikiran salah seorang pendiri Rechtshogeschool, Paul Scholten (2005, cet ke2), yang juga mantan hakim dan pengacara, yang mengatakan bahwa ilmu
hukum mencari pengertian tentang hal yang ada (het bestaande). Namun
pengertian itu tidak mungkin dicapai tanpa menghubungkan hukum dengan
bahan-bahan historikal maupun kemasyarakatan. Kemurnian hukum
dipertahankan olah para sarjana hukum, padahal di dalam bahan hukum
mengandung bahan-bahan yang tidak murni, sehingga bila itu dilakukan
maka hanya akan menghasilkan bloodless phantom (Scholten, 2005: 13) atau
kerangka tanpa daging (Hoebel dalam Ihromi, 2001: 194).
Pendapat Scholten itu berawal dari kritiknya terhadap aliran
pemikiran Kelsenian, yang memperlakukan hukum seperti benda-benda
alam. Hukum diperlakukan sebagai benda terberi yang diisolasi dari kontekskonteks kemasyarakatan dan historikal (Cotterrell, 1986, Scholten, 2005 cet
ke-2). Menurut perspektif itu, suatu kajian, untuk bisa dikatakan sebagai
ilmiah, harus bekerja seperti ilmu alam. Semua objek kajian termasuk hukum,
harus bisa diamati dan diukur. Ada jarak antara objek kajian dan peneliti,
dan jarak itu harus dijaga ketat, atas nama prinsip objektifitas dan bebas nilai.
Persoalannya adalah bila hukum diperlakukan secara demikian, maka di
sinilah letak kelemahannya.
Menurut Scholten, hukum tidak hanya terdiri dari undang-undang
dan peraturan, tetapi juga vonis-vonis hakim, peri laku hukum orang-orang
yang tunduk pada hukum, perjanjian-perjanjian, surat wasiat, termasuk
perbuatan melawan hukum yang dilakukan warga masyarakat (Scholten,
2005: 14). Hukum bukanlah benda terberi. Menurut hemat saya, bahkan
peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan sekalipun, adalah
produk dari tawar-menawar politik, dan akan sukar untuk dipercaya bahwa
hukum bisa diisolasi dari kepentingan politik dan relasi kuasa.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Cotterrell ketika menjelaskan
kelemahan dari positivisme hukum. Memperlakukan data hukum sebagai
peraturan hukum semata, tidak menunjukkan representasi fenomena hukum
yang dinamik. Hal itu juga tidak menunjukkan realitas regulasi sebagai hasil
perubahan yang terus-menerus dari interaksi yang kompeks antara individu
dan kelompok dalam masyarakat. Legal positivism mengidentifikasi data
hukum sejauh mungkin tanpa melihat ada apa di belakang proses legislasi
ketika hukum itu dirumuskan, dan tanpa mempertimbangkan sikap dan nilai
di kalangan para pembuat hukum. Sepanjang hukum dapat ditemukan, tidak
dirasa perlu untuk memahami apa yang dianggap sebagai keadilan dan
ketidakadilan, kebijaksanaan, efisiensi, moral dan signifikasi politik dari
hukum (Cotterrell, 1986: 10-11). Belum lagi bila bicara tentang perspektif
kebudayaan yang banyak digeluti oleh para antropolog hukum. Hukum
sangatlah terkait dengan kebudayaan, bahkan mengartikan hukum sebatas
hukum undang-undang
adalah tidak realistis, karena hukum adalah
legal studies ternyata juga dapat dijumpai dalam berbagai mata kuliah lain
yang diselenggarakan di departemen atau jurusan seperti hukum komersial,
hukum internasional, hukum perdata dan pidana. Nampaknya sangat
8
Kuliah 1:
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
Kuliah
hukum dalam
diterapkan?
studi ini,
dan
bagaimana antropologi
hukum
10
dapat
Civil Law
Public Law
Criminal Law and Criminology
Tax Law and Economics
Jurisprudence
13
bagaimana
hukum
berkaitan
dengan
isu-isu
Dari kuliah keenam akan diketahui bahwa sejak masa lalu banyak
negara berusaha untuk mengubah budaya melalui hukum. Proses tersebut
berlangsung sejak masa kolonial dan terus dilakukan sampai hari ini secara
intensif. Larangan perkawinan anak, introduksi hak-hak waris yang setara
untuk anak laki-laki dan perempuan adalah contoh-contohnya. Beberapa
klaim tersebut cukup menggoncangkan kohesi sosial dan melemahkan
legitimasi negara bahkan karakter anti demokrasi. Kuliah ini melihat isu-isu
tersebut dari sudut pandang studi hukum, pemerintahan dan pembangunan.
Kemudian, kuliah ini menguji klaim-kliam di atas dan mengkaji argumentasi
relativitas budaya.
Pada kuliah ketujuh mahasiswa mempelajari dan mengumpulkan bahan
dari literatur dan internet. Mereka harus mempresentasikan tugas dan
berdasarkan tugas tersebut dilakukan diskusi. Semua presentasi harus
menjelaskan apa konsep kebudayaan yang mereka gunakan dan mengapa.
Bagian ketiga:
Kuliah kedelapan
Apakah hukum merefleksikan kebudayaan dominan, ataukah
seharusnya begitu. Terdapat argumentasi kuno dalam teori hukum bahwa
hukum harus menemukan asalnya dalam norma2 budaya, seperti folk mores
(Sumner) atau hukum adalah hasil dari Volkgeist (von Savigny). Dalam
kenyataannya memang banyak norma hukum merupakan kodifikasi dari
norma kultural, khususnya dalam bidang kriminal (di Prancis.pen) dan
hukum keluarga. Terdapat perspektif yang berbeda tentang budaya yang
membentuk hukum yang melihat hukum sangat negatif, yaitu hukum sebagai
kodifikasi budaya yang melayani kepentingan para elit, dan berkontribusi
menindas orang-orang yang tidak punya kuasa. Pandangan Marxian
menekankan potensi hukum yang sangat memaksa. Sebagai contohnya dapat
ditemukan sejak zaman Jawa kuno sampai sekarang di mana negara-negara
berkembang berhadapan dengan negara-negara maju.
Kuliah ini mempertimbangkan apakah perspektif di atas valid atau
tidak. Bagaimana para ahli menghubungkan pandangan tentang karakter
utama dari kebudayaan sebagai hukum, dan adakah perbedaan mendasar
dalam hal kedua perspektif itu dalam melihat konsep kebudayaan ?
Kuliah kesembilan membahas tentang masa 20 tahun terakhir di mana
terdapat kecenderungan pengakuan terhadap hak budaya dalam hukum
internasional. Hal ini meliputi hak pendidikan untuk kelompok-kelompok
kebudayaan khusus, dan penerapan hukum adat dalam domain tertentu bagi
kelompok masyarakat tertentu. Pada waktu yang sama, kemungkinan
merupakan bagian dari suatu respon, muncul kendala di banyak negara.
Banyak klaim menyatakan bahwa pendekatan multikulturalisme dan hak-hak
budaya
memotong kohesi sosial dalam masyarakat, dan konsep
multikulturalisme sebenarnya tidak jelas. Kuliah ini mendiskusikan
16
kepada sejarah hukum Islam dan debat kontemporer. Hukum Islam dipelajari
17
Economics (taught in English), (4) Notarial Law, (5) Criminology, (6) Law and
Business dan (7) Legal Research (taught in English).
Menarik untuk mengetahui bahwa Legal Research menjadi salah satu
jurusan pada program master.
Khusus untuk mahasiswa internasional, Universitas Utrecht
menyelenggarakan beberapa program yaitu: (1) International Business Law and
Globalisation, (2) International Law of Human Rights and Criminal Justice, (3)
International and European Law dan (4) Taxation Law.
Tahun 2005, didirikan the Utrecht Law College, yang menawarkan LLB
program khusus untuk para mahasiswa yang berbakat dan bermotivasi
tinggi. Di samping menyelenggarakan dan berpartisipasi dalam program
ekstensif dalam kegiatan ekstra kurikuler seperti moot court, praktikum, dan
ekskursi internasional, mahasiswa yang terseleksi juga mengikuti kursus
intensif. Pengadilan Distrik Utrecht dan kantor pengacara internasional
memberi kontribusi misalnya dengan menyelenggarakan dosen tamu dan
pembimbingan bagi mahasiswa.
Pendidikan dan penelitian hukum di Utreacht tidak hanya berorientasi
nasional tetapi juga Eropa dan internasional. Fakultas berpartisipasi pada
jaringan penelitian internasional. Para pengajar mengadakan kontak dengan
kolega dari seluruh dunia. Sekitar 60 kolega asing mengajar di fakultas
hukum setiap tahun dan terdapat 200 mahasiswa asing, termasuk mahasiswa
LLM. Sekitar 100 mahasiswa hukum Utrecht meluangkan satu atau dua
semester bekerja sama dengan kolega dari luar negeri.
Mata kuliah dalam lingkup socio-legal studies yang terdapat di Fakultas
Hukum Universitas Utrecht di antaranya adalah Law and Society,
Comparative Legal Cultures, Law, Society and Justice, Rechtssosiologie
(Sosiologi Hukum). Berikut ini adalah Satuan Acara Perkuliahan dari
beberapa mata kuliah tersebut.
Hukum dan Masyarakat (Law and Society)
Pengajar: Dr. Wibo van Rossum
Tujuan dari perkuliahan adalah:
Pada akhir perkuliahan mahasiswa menjadi akrab dengan
pengetahuan dalam lapangan socio-legal studies dengan perspektif
berbeda mengenai hukum dalam masyarakat;
Terlatihnya imaginasi sosiologi dari mahasiswa, yaitu kemampuan
untuk menghubungkan pengalaman personal dengan masalah
sosial dan isu publik.
Deskripsi
19
Legal World
20
Sex
Kuliah 6: Lawyers
Bacaan:
Vago- the Legal Profession (8)
Shinnick, Bruinsma and Parker- Aspects of Regulatory Reform in the
Legal Profession: Australia, Ireland and the Netherlands
Web Search: How to think like a lawyer?
Kuliah 7: Courts and the Consumer Perspective
Bacaan:
Vago- The Organization of Law (3) & Law and Dispute Resolution (6)
Macaulay- Non Contractual Relations in Business: A Preliminary Study
Kopen and Malsch- Defendants and One-Shotters win after all:
Compliance with Court decisions in Civil cases
Conley and OBarr- A natural History of Disputing
Kuliah 8: Melakukan Penelitian Empirik
Bacaan:
Vago Researching Law in Society (9)
Flood- Socio-Legal Ethnography
Perbandingan Budaya Hukum (Comparative Legal Cultures)
Pengajar: Dr. Wibo van Rossum
Perkuliahan ini ditujukan bagi mahasiswa hukum yang tertarik untuk
in the books dari suatu negara bangsa. Kuliah ini memperluas cakrawala
terhadap hukum dalam dua cara. Pertama, mengajak mahasiswa bergerak
dari law in the books menuju law in action. Kedua, mempelajari law in action
dari perspektif perbandingan. Kedua perubahan perspektif ini menghasilkan
suatu konsep kunci, terutama budaya hukum, dengan definisi kerjanya yaitu,
as the typical embodiment of values and behavioural patterns in societies
legal
institutions. Legal Culture thus is situated at the crossroads of comparative law,
law
in action and legal values (van Rossum).
Kuliah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah penjelasan
tentang konsep-konsep utama. Hosftede and Hosfstede (2005), membuka
mata terhadap keragaman budaya hukum. Dalam bagian ini
akan
didiskusikan makna dan implikasi dari konsep comparative, legal,
cultures dan konsep lain yang berbeda.
Friedman (1975) misalnya
membedakan external legal culutures yaitu budaya hukum yang dianut oleh
penduduk pada umumnya, dan internal legal cultures, yaitu budaya hukum
yang dianut oleh anggota dari suatu komunitas yang menjalankan tugas
hukum tertentu, nilai, ideologi dan prinsip-prinsip advokat, hakim dan
personal lain yang bekerja dalam suatu lingkungan sistem hukum.
Kedua adalah mengenai perbandingan peraturan hukum mengenai
peri laku tanpa konsekuensi yang membahayakan seperti peri laku yang
berkaitan dengan obat terlarang, aborsi dan kelahiran yang illegal, rokok,
euthanasia, penggunaan simbol Islam dan Kristen di area publik, perkawinan
sesama jenis, penelitian tentang sel induk dan kloning, dll. Keragaman
pengaturan tentang hal ini di suatu negara barangkali merupakan (atau tidak
merupakan) refleksi langsung dari nilai-nilai yang dianut.
Ketiga adalah diskusi tentang topik-topik hangat yang menarik untuk
dibicarakan dalam studi perbandingan. Kuliah ini membicarakan misalnya
budaya hukum Belanda yang khas, kemungkinan transplatasi hukum dari
suatu kebudayaan ke kebudayaan lain, hubungan antara kekuasaan dan
hukum, kebudayaan non-Western dan bagaimana kaitannya dengan
pluralisme hukum dalam masyarakat multikultural masa kini.
Kuliah ini mengharuskan mahasiswa membuat tiga macam makalah,
yang pertama berisi 1000 kata, kedua 3000 kata, dan ketiga 4000 kata.
Penilaian akan dilakukan dengan memberi 10% untuk makalah singkat, 20 %
untuk makalah kedua, dan 40 % untuk makalah ketiga. Selebihnya 20 %
adalah berupa kehadiran, persiapan dan partisipasi di kelas.
Perkuliahan yang terdiri dari 20 kali pertemuan, berupa kuliah,
presentasi dan diskusi. Tema-tema perkuliahan adalah tentang:
Budaya Hukum
22
kelompok, keduanya diadakan pada minggu yang sama. Kemudian ada tiga
kali pertemuan berupa debat. Jadi kuliah ini memerlukan 19 kali pertemuan.
23
24
26
Tunisia, yang juga berusia 20 tahun. Marieke dan Mo saling mencintai satu
sama lain dan ingin bisa hidup bersama. Karena Marieke sedang mengikuti
studi di Belanda, maka tidak mungkin untuk tinggal menetap di Tunisia.
Oleh karenanya Marieke dan Mo memutuskan untuk tinggal bersama, dan
Mo yang harus datang ke Negeri Belanda.
Namun, apakah hal ini
dimungkinkan? Seandainya Mo bukan orang Tunisia, melainkan orang Turki,
apakah akan berbeda keadannya? Seandainya Mo bukan orang Tunisia atau
Turki, melainkan orang Yunani, apakah akan berbeda? Seandainya Mo akan
tinggal di negara-negara lain di Uni Eropa, apakah akan berbeda
keadaannya?
Sosiologi Hukum (Recthssociologie)
Pengajar: Prof Lenny de Groot-van Leeuwen, Dr. A.Bocker, Dr. B de Hart, Dr.
A.Jettinghoff, Dr. T.Havinga, dan Dr. P.Minderhoud)
Silabus yang disusun untuk tahun 2008 terdiri dari kuliah tatap muka
dan aktivitas dalam kelompok berupa studi literatur dalam rangka menjawab
pertanyaan yang sudah disusun oleh dosen, dan tugas penelitian.
Perkuliahan ini diselenggarakan oleh team teaching.
Kuliah Tatap Muka:
Kuliah 1: Apakah sosiologi hukum ? (What is rechtssociologie)
Kuliah 2: Hukum, ketidakadilan dan legitimasi (Recht, ongelijekheid en
ligitimiteit)
Kuliah 3: Metode Penelitian (Methoden van onderzoek)
Kuliah 4: Kerja Kelompok 1 dengan tema-tema: kerja sosial dari
hukum perburuhan, hukum dan problem hukum dari warga
negara, aspek ilmu sosial dari hukum dalam Uni Eropa,
kontrak dan konflik, dan arti hukum untuk pendatang baru
dalam masyarakat
Kuliah 5: Pendamping Hukum (Rechtshulpverlener- pengacara dan
notaris-pen)
Kuliah 6: Pelaksanaan dan Penegakan (Uitvoering en handhaving- dalam
hal ini soal birokrasi dan pasar-pen)
Kuliah 7: Kerja Kelompok 2 penugasan
Kuliah 8: Penelitian dalam Kelompok ( Onderzoek)
Kuliah 9: Kenyataan sosial dari hukum (de sociale werking van het recht)
Kuliah 10: Penyelesaian konflik (Conflictbeslechting)
Kuliah 11: Kerja Kelompok: presentasi tugas (penelitian) dari
kelompok
Hukum dan Problema Hukum Warga
(Het Recht en de Rechtsprolemen van Burgers)
Pengajar: Prof. Leny de Groot-van Leeuwen
Hukum memiliki banyak wajah dalam masyarakat kita. Orang sering
dihadapkan pada berbagai bentuk dari hukum. Orang yang sama misalnya
27
tua, anak, (mantan) pasangan. Namun ia akan berkaitan dengan hukum pajak
sebagai wajib pajak, atau sebagai penulis dia akan berkaitan dengan hak-hak
pengarang, dan sebagai warga yang tinggal di suatu wilayah dia akan
terkena hukum pemerintahan, dan sebagai pengguna lalu lintas, dia akan
terkena hukum pidana bila terjadi pelanggaran. Hal di atas menyebabkan
munculnya berbagai kontak dengan orang-orang di dunia hukum seperti
polisi, pegawai pajak, pengacara, notaris dan hakim. Akumulasi kontak
dengan hukum banyak dituliskan dalam istilah-istilah yang abstrak seperti
penomoran dalam registrasi hukum, tetapi bagaimana terjemahannya dalam
kehidupan keseharian dari warga masyarakat, sangat sedikit mendapat
perhatian. Beberapa pertanyaan yang bersifat sosiologis hukum adalah:
Apa pengalaman dan persepsi dari warga negara terhadap hukum?
Apa pengamatan orang sama atau tidak sama dengan hukum?
Pengaruh yang mana dari pengalaman dan persepsi tersebut yang
diterima oleh pejabat pemerintah, peraturan hukum, pengaturan
dan pengambilan keputusan?
Bagaimana pejabat hukum berkaitan dengan norma-norma
informal dan adat kebiasaan?
Dalam perkuliahan ini mahasiswa akan berkenalan dengan arti
(makna) hukum bagi warga negara. Para mahasiswa akan meneliti tentang
bagaimana keterkaitan mereka dengan hukum (juridisering) pada kehidupan
keseharian individu, keluarga, institusi, dan perusahaan.
Para mahasiswa dituntut untuk menulis makalah berdasarkan literatur
dan penelitiannya sendiri. Mereka boleh memilih subjek penelitian berupa
individu, keluarga, institusi atau perusahaan. Misalnya seseorang
berpendidikan rendah yang menjadi pengangguran. Atau seseorang yang
hanya memiliki warung kecil, atau pemilik perusahaan besar.
Dalam penelitian itu harus digali bagaimana pengalaman dan persepsi
orang terhadap hukum. Pertanyaan dalam wawancara meliputi: mereka
melakukan kontak dengan hukum dalam hal apa? Dalam situasi yang
bagaimana? Dengan bidang hukum yang mana mereka berhubungan?
Bagaimana pengalaman mereka ketika kontak dengan hukum? Apa makna
kontak dengan hukum ini dikaitkan dengan rasa percaya bahwa mereka
berada dalam hukum negara dan memiliki hak-hak? Para mahasiswa
diminta untuk menuliskan laporan penelitiannya, dan kemudian
mempresentasikannya di muka kelas dan mendapat komentar dari sesama
mahasiswa.
Fakultas Hukum Erasmus, Rotterdam
The Erasmus School of Law didirikan pada tahun 1963, dan menjadi
bagian integral dari universitas pada tahun 1973. Salah satu karakteristik
yang menonjol dari Sekolah Hukum Erasmus adalah penekanan pada
pendekatan interdisipliner dan orientasi pada bisnis dan hukum
28
29
30
dalam
Pertanyaan 2
32
a.
memiliki program magister dalam bidang Justice and Safety & Security
menawarkan tema-tema terbaru tentang praktik dan penelitian hukum,
dalam konteks interdisipliner.
Di antara enam jurusan yang dimiliki oleh Fakultas Hukum
Universitas Radboud, Nijmegen terdapat Institute for Sociology of Law dan
Philosophy of Law, yang bersentuhan dengan perkembangan socio-legal studies
di universitas itu. Hal ini ditandai dengan adanya isu-isu teoretik dan
praktikal hukum dan kemasyarakatan yang mendapat tempat dalam pusat
penelitian Center for State and Law dan Center for Migration Law. Dalam
berbagai jurusan dan pusat kajian ini dilakukan studi-studi tentang
hubungan antara hukum dan masyarakat dengan berbagai permasalahan
yang bersinggungan dengan isu globalisasi hukum.
Fakultas Hukum Universitas Leiden yang memiliki lembaga penelitian
Van Vollenhoven Institute, secara historikal sangat dekat dengan kajian hukum
Indonesia. Socio-legal studies sangat kuat dikembangkan di lembaga itu baik
dalam bentuk pengajaran melalui diselenggarakannya berbagai matakuliah,
penelitian, publikasi dan koleksi perpustakaan, dan jaringan dengan sociolegal scholar di Indonesia, juga China dan Afrika.
Dari berbagai silabus yang dipaparkan di atas, baik mengenai kuliah
dalam school of thought yang klasik seperti Sosiologi Hukum dan Filsafat
Hukum, maupun kuliah-kuliah dalam ranah socio-legal studies, terlihat
tekanan pada studi literatur dan penelitian empirik yang kuat. Hampir semua
mata kuliah yang dipaparkan menugaskan mahasiswa untuk melakukan
penelitian hukum empirik. Mereka menggunakan tidak hannya pendekatan
studi doktrinal tetapi juga penelitian dengan mengadopsi metode ilmu sosial
secara luas.
Hasil studi banding ini memperlihatkan bagaimana kedudukan studi
hukum alternatif yang tetap eksis berumah di Fakultas/Sekolah Hukum,
baik studi yang klasik dan mendasar seperti Filsafat Hukum dan Sosiologi
Hukum (juga Antropologi Hukum), maupun yang dikembangkan melalui
perkuliahan dalam ranah socio-legal studies di lima fakultas atau Sekolah
Hukum Belanda. Beberapa buah pelajaran kiranya dapat dipetik bagi
pendidikan tinggi hukum di Indonesia.
Pertama, kehadiran studi hukum alternatif baik yang klasik (Filsafat
Hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum) maupun socio-legal studies
sangat diperlukan justru untuk meneguhkan studi hukum itu sendiri. Studi
hukum yang mainstream tetap jalan sebagai mata kuliah inti, namun sambil
diperkaya dengan analisis kritis yang disediakan oleh studi hukum alternatif.
Dengan demikian sarjana hukum dibumikan ke dalam realitas keseharian
hukum yang bersentuhan dengan konteks kebudayaan, politik dan ekonomi.
Hukum bukanlah benda terisolasi yang berada di ruang hampa, tetapi berada
dalam ranah yang penuh sesak berisi budaya hukum, kepentingan, dan relasi
kuasa di antara para aktor perumus dan penegak hukum, para pihak dan
36
Epilog
37
38
Daftar Pustaka
Banakar, Reza & Max Travers. 2005. Law, Sociology and Method, dalam Banakar
Reza dan Max Travers (eds), Theory and Method in Socio-Legal Research. Onati:
Hart Publishing Oxford and Portland Oregon, hlm. 1-26.
Bano, Samia. 2005. Standpoint, Difference and Feminist Research dalam Banakar
Reza dan Max Travers (eds), Theory and Method in Socio-Legal Research. Onati:
Hart Publishing Oxford and Portland Oregon, hlm. 91-112.
Benda-Beckmann, F, Keebet Benda-Beckmann, Anne Griffiths. 2005. Introduction,
dalam Benda-Beckmann F, Keebet Benda-Beckmann dan Anne Griffiths
(eds), Mobile People, Mobile Law, Expanding Legal Relations in a Contracting
World, England: Ashgate, hlm. 1-26.
Cotterrell, Roger. 1986. Introduction: Theory and Method in the Study of Law,
dalam Cotterrell, Roger, The Sociology of Law. England butterworth & Co
(Publishers) Ltd, hlm. 1-17.
Flood, John. 2005. Socio-Legal Ethnography dalam Banakar Reza dan Max Travers
(eds), Theory and Method in Socio-Legal Research. Onati: Hart Publishing Oxford
and Portland Oregon, hlm. 33-48.
Friedman, Lawrence. 1975. The Legal System: A Social Science Perspective. New York:
Russel Sage Foundation.
Glick Schiller, Nina. 2005. Transborder Citizenship: An Outcome of Legal Pluralism
within Transnational Social Fields, dalam Benda-Beckmann F, Keebet
Benda-Beckmann dan , Anne Griffiths (eds), Mobile People, Mobile Law,
Expanding Legal Relations in a Contracting World, England: Ashgate, hlm.
27-50.
Ihromi, Tapi Omas. 2001. Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang
Digunakan dalam Antropologi Hukum, dalam Antropologi Hukum sebuah
Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 194-213.
Nuijten, Monique. 2005. Transnational Migration and the Re-Framing of normative
Values, dalam Benda-Beckmann F, Keebet Benda-Beckmann dan Anne
Griffiths (eds), Mobile People, Mobile Law, Expanding Legal Relations in a
Contracting World, England: Ashgate, hlm. 51-68.
Scheffer, Thomas. 2005. Courses of Mobilisation: Writing Systematic MicroHistories of Legal Discourse dalam Banakar Reza dan Max Travers (eds),
Theory and Method in Socio-Legal Research. Onati: Hart Publishing Oxford and
Portland Oregon, hlm. 75-90
Scholten, Paul. 2005. Struktur Ilmu Hukum. Cet.2, terjemahan Arief Sidharta,
Bandung: Alumni
39
Vago, Steven. 2009. Law and Society, 9th edition, New Jersey: Pearson Prentice, hlm.l
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Optik Sosiologi Hukum dalam Mempelajari
Hukum dalam Paradigma, Wignjosoebroto, Soetandyo, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Huma, hlm. 3-16.
Ziegert, Kluas A. 2005. Systems Theory and Qualitative Socio-Legal Research,
dalam Banakar Reza dan Max Travers (eds), Theory and Method in Socio-Legal
Research. Onati: Hart Publishing Oxford and Portland Oregon, hlm. 49-68.
Zips, Werner. 2005. Global Fire: Repatriation and Reparations from A Rastafari
(Re) Migrants Perspective, dalam Benda-Beckmann F, Keebet BendaBeckmann dan Anne Griffiths (eds), Mobile People, Mobile Law, Expanding
Legal Relations in a Contracting World, England: Ashgate hlm. 69-90.
Sumber dari internet:
1.
http://www.law.leiden.edu/
2.
http://www.ru.nl/law/
3.
http://www.uu.nl/EN/faculties/leg/organization/schools/schoolof
law/Pages/default.aspx
4.
http://www.frg.eur.nl/english/
5.
http://www.jur.uva.nl/english/
40