Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Alergi makanan adalah penyakit alergi yang disebabkan oleh alergen yang
terdapat pada makanan. Alergi makanan sering ditemukan pada semua golongan
umur, bahkan pada bayi berusia beberapa bulan. (1) Kurang lebih 15% dari
masyarakat menduga bahwa mereka alergi terhadap salah satu makanan, padahal
angka kejadian alergi makanan pada anak berkisar 6-8% sedangkan pada dewasa
1-2%. Ini disebabkan karena istilah alergi makanan sering dipakai dalam arti yang
salah atau kurang tepat. The American of Allergy and Immunology and the
National Institute of Allergy and Infectious Diseases (National Institutes of
Health=NIH) menetapkan beberapa istilah. Reaksi yang tidak diinginkan terhadap
makanan, disebut juga reaksi simpang makanan (adverse food reaction) adalah
istilah umum yang dipakai untuk menyatakan reaksi yang timbul setelah
memakan sesuatu makanan. Reaksi alergi makanan adalah reaksi simpang
makanan akibat respons imunologik yang abnormal, sedangkan intoleransi
makanan akibat mekanisme non imunologis.(2)
Sejarah alergi makanan pertama kali dilaporkan di China pada tahun 3000
SM, berupa reaksi kulit yang timbul beberapa saat setelah makan. Hippocrates
menyatakan bahwa susu dapat menimbulkan gangguan lambung dan reaksi kulit
pada orang-orang tertentu yang sensitif. Laporan terperinci mengenai alergi
makanan dimulai pada abad kedua puluh saat Von Pirquet menjelaskan konsep
alergi pada tahun 1 1906. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia di
bawah 3 tahun karena belum matangnya sistem imunitas mukosa saluran cerna.
Alergi makanan pada anak dilaporkan bervariasi di berbagai negara, antara 6-8%.
Dari jumlah tersebut, yang terbanyak ialah alergi terhadap susu sapi (2,5%),
1
diikuti alergi telur (1,5%) dan alergi kacang (0,5%). Sedikitnya 2,5% bayi
memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap susu sapi sampai berusia 1 tahun, 25%
di antaranya akan menetap sampai dewasa. Ring et al melaporkan bahwa jenis
makanan yang sering menimbulkan reaksi alergi pada anak adalah berbagai jenis
protein, seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan, kedelai, dan gandum
(85%). Reaksi yang timbul akibat alergi makanan dapat bervariasi dan dapat
mengenai berbagai sistem dalam tubuh, seperti kulit, saluran napas, hidung,
tenggorok, telinga, gastrointestinal, kardiovaskuler, sampai yang terberat, syok
anafilaktik.
(1)
seperti
DEFINISI
2
makanan
adalah
reaksi
makanan
nonimunologik
dan
ETIOLOGI
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan
ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan
berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga
dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui
mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan
dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Pada pemurnian
ditemukan allergen yang disebut sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat
molekul 180.000 dalton. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan
allergen-2, alergen masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan
200.000 dalton. Pada pemurnian alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai
determinan walau jumlahnya tidak banyak.(3) Ovalbumin ditemukan sebagai
alergen utama pada putih telur .Susu sapi sedikitnya merupakan 20 % komponen
yamg dapat menimbulkan produksi antibodi. Fraksi protein susu utama adalah
5
kasein
(76%)
dan
whey.Whey
mengandung
Betalaktoglobulin
(BLG),
barier mukosa pada bayi. Contohnya, aktifitas enzim masih suboptimal pada
periode setelah dilahirkan (newborn), dan sistem sIgA belum sepenuhnya matang
sampai umur 4 tahun. Konsekuensinya, keadaan imaturitas pada barier mukosa
berperan pada tingginya prevalensi infeksi gastrointestinal dan alergi makanan
pada tahun-tahun pertama kelahiran. Pada keadaan normal penyerapan
makanan,merupakan peristiwa alami sehari-hari dalam sistem pencernaan
manusia. Faktor-faktor dalam lumen intestinal (usus), permukaan epitel (dinding
usus) dan dalam lamina propia bekerja bersama untuk membatasi masuknya
benda asing ke dalam tubuh melalui saluran cerna. Struktur limfoepiteal usus
yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari
tonsil, patch payer, apendiks, patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus
GALT mempunyai kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan
dengan kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen
yang sama. Sejumlah mekanisme non imunologis dan imunologis bekerja untuk
mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri, virus, parasit dan protein
penyebab alergi makanan ke dinding batas usus (sawar usus). (5)
Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji
antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara langsung atau
melalui sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan
antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak akan diserap oleh usus dalam
jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa
usus dan organ limfoid usus. Pada umumnya anak-anak membentuk antibodi
dengan subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak atopi terdapat kecenderungan lebih
banyak membentuk IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran
cerna, saluran napas, kulit dan banyak organ tubuh lainnya. Sel epitel intestinal
memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan pola pengambilan
antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang dihantarkan IgE pada saluran
cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang terserap meningkat. Benda asing
yang larut di dalam lumen usus diambil dan dipersembahkan terutama oleh sel
epitel saluran cerna dengan akibat terjadi supresi (penekanan) sistem imun atau
8
dikenal dengan istilah toleransi. Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan
parasit utuh diambil oleh sel M (sel epitel khusus yang melapisi patch Peyeri)
dengan hasil terjadi imunitas aktif dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet
secara normal mengaktifkan sel supresor TCD8+ yang terletak di jaringan limfoid
usus dan setelah ingesti antigen berlangsung cukup lama. Sel tersebut terletak di
limpa. Aktivasi awal sel-sel tersebut tergantung pada sifat, dosis dan seringnya
paparan antigen, umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida yang
dihasilkan oleh flora intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan
absorpsi antigen patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa
terganggu dan penurunan produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia.
Selanjutnya alergi yang diperantarai IgE berkembang dalam 2 tahap:
1.
Tahap pertama dikenal sebagai sensitisasi dan terjadi ketika antigen (hampir
selalu sebagai protein) ditangkap oleh sel, yang disebut limfosit B progenitor,
mampu mematangkan menjadi sel pemroduksi antibodi (antibody-producing
cells). Sel ini memecah antigen dan menghasilkan fragmen peptida yang terikat
secara selektif pada molekul major histocompatibility complex (MHC) class II
dan diangkut ke permukaan sel. Kompleks molekul MHC dan peptida asing
pada permukaan limfosit B akan dikenali oleh reseptor sel T dari sel T helper
CD4+. Kejadian ini merangsang berbagai perubahan, termasuk maturasi sel B
sehingga dapat mengeluarkan antibodi. Pada tubuh yang fungsinya normal,
akan memproduksi IgG dan IgA terhadap protein makanan, namun pada
individu yang memiliki predisposisi, hasil respon imun akan membentuk Th2
yang memulai produksi IgE spesifik. Antibodi tipe ini biasanya hanya
diproduksi pada respon terhadap infeksi parasit, seperti malaria.
2.
Tahap kedua merupakan tahap elisitasi terhadap reaksi alergi. IgE berhubungan
dengan reseptor IgE spesifik di permukaan basofil atau sel mast, yang sudah
mengandung mediator inflamasi seperti histamin. Pada paparan berikutnya
terhadap agen yang telah tersensitisasi, sel yang berikatan dengan IgE akan
saling terikat dengan agen, menyebabkan sel mast melepaskan mediator
inflamasi. Mediator tersebut akan merangsang perubahan fisiologis yang
menimbulkan manifestasi yang disebut gejala reaksi alergi. Gejala tersebut
9
biasanya timbul cepat (dalam beberapa menit) setelah paparan dengan alergen
dan bervariasi, meliputi gejala respiratorik, gastrointestinal, dan reaksi kulit.(6)
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi makanan dapat bermacam-macam,bergantung pada
tempat dan luas degranulasi sel mast atau basofil, mulai dari urtikaria akut sampai
reaksi anafilaktik yang fatal berupa manifestasi lokal dan sistemik. Manifestasi
lokal biasanya karena kontak langsung dengan makanan. Sedangkan manifestasi
sistemik terjadi setelah menalan makanan. Faktor penentu terjadinya reaksi
sistemik dan lokal adalah reaksi biokimia protein makanan tersebut, absorbsi dan
proses dalam saluran cerna, respon imun individu, dan hiperaktivitas target organ.
Reaksi alergi dengan perantara IgE pada alergi makanan timbul dalam beberapa
menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi makanan penyebab alergi.
Namun pada orang yang sangat sensitif, kontak sedikit atau menghirup bagian
dari makanan sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Gejala alergi makanan
sangat individualistik, bervariasi tergantung pada derajat beratnya, onset, lokasi
dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Gejala dapat berbeda pada orang yang
sama. (2)
11
12
DIAGNOSIS
Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
Anamnesis(8)
13
ditanyakan mengenai:
Mengenal makanan yang dicurigai
Jarak antara gejala yang timbul dan memakan makanan yang dicurigai
Mengenal gejala yang ditimbulkan seperti pada kulit, telinga, mata,
saluran napas, dan saluran cerna
hidung, mungkin ditemukan gejala klasik rinitis alergi, hidung
pendengaran.
tenggorok, keluhan penderita dapat berupa disfagia, tenggorok
14
1. prick test
2. modified prick test
3. Tes tempel (patch test)
4. Uji invitro untuk IgE mediated adalah Radio Alergo
Sorbent Test (RAST), uji ini akan mendapatkan IgE
spesifik makanan yang sangat berkorelasi dengan uji
kulit.
Non Farmakologi
Diet eliminasi/provokasi adalah untuk diagnostik. Bila alergen telah
diketemukan maka harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan
yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai pengganti.(9)
Farmakologi(10)
Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan
obat-obatan seperti yang tersebut di bawah ini :
o Kromolin, Nedokromil.
Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis
alergika. Kromolin umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala
Dermatitis Atopi yang disebabkan alergi makanan. Dosis kromolin untuk
penderita asma berupa larutan 1% solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk
nebulisasi atau berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800
16
g/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk rinitis alergik digunakan obat semprot 3-4
kali/hari yang mangandung kromolin 5.2 mg/semprot. Untuk konjungtivitis
diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1 tetes mata/hari. Nedokromil untuk nebulisasi
tak ada. Yang ada berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler dan dosis untuk
asma adalah 3,5 mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk konjungtivitis
diberikan tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari.
o Glukokortikoid.
Digunakan terutama bila ada gejala asma. Steroid oral pada asma akut
digunakan pada yang gejala dan PEF nya makin hari makin memburuk, PEF
yang kurang dari 60%, gangguan asma malam dan menetap pada pagi hari,
lebih dari 4 kali perhari, dan memerlukan nebulizer serta bronkodilator
parenteral darurat. menggunaan bronkodilator. Steroid oral yang dipakai adalah
: metil prednisolon, prednisolon dan prednison. Prednison diberikan sebagai
dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan
stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4
kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral digunakan untuk penderita alergi
makanan dengan gejala status asmatikus, preparat yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam
sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Steroid hirupan
digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika.
o Beta adrenergic agonist
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Epinefrin subkutan bisa
diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
o Metil Xantin
Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan adalah
aminofilin dan teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5
mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
o Simpatomimetika
Efedrin
Orciprenalin
Terbutalin
Salbutamol
o Leukotrien antagonis
LTC4 dan LTD4 menimbulkan bronkokonstriksi yang kuat pada
manusia, sementara LTE4 dapat memacu masuknya eosinofil dan netrofil ke
saluran nafas. Dapat digunakan pada penderita dengan asma persisten ringan.
Namun pada penelitian dapat diberikan sebagai alternatif peningkatan dosis
kortikosteroid inhalasi, posisi anti lekotrin mungkin dapat digunakan pada
asma persisten sedang, bahkan pada asma berat yang selalu membutuhkan
kortikosteroid sistemik, digunakan dalam kombinasi dengan xantin, beta-2agonis dan steroid. Preparat yang sudah ada di Indonesia adalah Zafirlukast
yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
o H1-Reseptor antagonis
H1 reseptor antagonis generasi kedua tidak ada efek samping CNS.
Setirizin bisa digunakan pada anak mulai umur 1 tahun dan tidak ada efek
samping kardiovaskular, dapat digunakan jangka lama. H1 reseptor antagonis
generasi pertama efek antikolinergiknya dapat memperburuk gejala asma
karena pengentalan mukus. Pada dosis tinggi efek samping pada CNS sangat
membatasi penggunaanya dalam pengobatan asma. Beberapa penelitian
membuktikan efektifitas. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5
mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 34 kali/24 jam. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun:
2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. Loratadin,
dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;
> 6 tahun : 10 mg/dosis,1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia
anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2
kali/hari atau 180 mg/hari, 4 kali/hari. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia
anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2
kali/hari. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-6
tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30 mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun
18
PENCEGAHAN(11)
Alergi tidak bisa disembuhkan, tapi dengan pencegahan yang efektif akan
mengendalikan frekuensi dan intensitas serangan, penggunaan obat, jumlah hari
absen sekolah, serta membantu memperbaiki kualitas hidup.
19
PROGNOSIS
Alergi makanan yang mulai pada usia 2 tahun mempunyai prognosis yang
lebih baik karena ada kemungkinan kurang lebih 40% akan mengalami grow out.
Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun ke atas cenderung untuk
menetap.(8)
PENUTUP
Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan, merupakan reaksi
IgE-mediated, cell-mediated, ataupun kombinasi keduanya. Alergi makanan perlu
dibedakan dengan reaksi simpang makanan lainnya, seperti keracunan makanan,
20
yang
masuk
lewat
makanan
akan
menghadapi
barier
dan
gastroenteritis
eosinofilik
alergi,
Food
protein-induced
21
sel mast intestinal. Tes provokasi makanan merupakan baku emas untuk diagnosis
alergi makanan.
Jika diagnosis alergi makanan telah ditegakkan, manajemen yang terbukti
efisien adalah menghindari makanan penyebab. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan diet eliminasi dan perhatian pasien terhadap label makanan yang dijual.
Edukasi dan persiapan dalam menangani anafilaksis menjadi perhatian berikutnya.
Imunoterapi spesifik yang bermanfaat pada pasien alergi pollen tidak dianjurkan
dilakukan pada pasien alergi makanan, karena risiko anafilaksis. Pengobatan yang
masih dalam penelitian adalah terapi genetik dan anti-IgE.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anton C. Manifestasi alergi makanan pada telinga, hidung, dan tenggorok.
Continuing Medical Education 2011;1-7
2. Sjawitri S. Alergi makanan pada bayi dan anak. Sari Pediatri. Jakarta. 2001.
Vol. 3 No.3. 168-174
3. Widodo J. Alergi makanan, diet, dan autisme. Dalam : seminar alergi
makanan, diet, dan autisme pada anak. Jakarta;1-20 September 2005
4. Alergi Makanan. Dalam :Iris R, Evy Y, penyunting. Edisi pertama. Jakarta :
Internal Publishing; 2009. h.383-86
5. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113:
805 19
22
23