Вы находитесь на странице: 1из 4

EKSPRESI TEATER KONTEMPORER INDONESIA

(Catatan dari The First Invitation To Theatre)

Oleh
Jaeni B. Wastap

Tidak mudah untuk menyebutkan kecenderungan bentuk, mengkategorikan gaya


dan memperiodisasikan zaman dari suatu rentetan kreativitas seni dalam jagat
teater. Namun pada situasi ini dibutuhkan keberanian bagi kelompok atau bangsa
untuk menunjukkan identitasnya agar tidak dicap sebagai peniru, penduplikasi,
atau pembajak karya-karya budaya kelompok atau bangsa lain. Begitupun dengan
kehidupan teater Indonesia.

Lewat ajang The First Invitation To Theatre (29/9 – 3/10 - 2009), jurusan teater
STSI Bandung mencoba me-review jagat teater nasional dengan mengundang
beberapa kelompok teater yang mewakili kehidupan teater modern Indonesia.
Pulau Sumatera diwakili oleh kelompok Teater Satu Lampung; Jawa Tengah
diwakili oleh Teater Ruang Solo; Jakarta diwakili oleh Teater Kami; dan Bandung
diwakili oleh Kelompok Teater Payung Hitam dan Actors Unlimited.

Keragaman Ekspresi Pertunjukan

Penampilan lima kelompok dalam The First Invitation To Theatre memberikan


indikasi bahwa teater Indonesia saat ini memiliki keragaman, baik secara artistik
maupun estetik. Ini sebuah fakta yang tidak bisa ditolak oleh pengamat seni
maupun budayawan, bahwa ranah seni pertunjukan (teater) kita memiliki
difersitas ekspresi yang sangat tinggi.

Kelompok Teater Payung Hitam yang mewakili Bandung menyajikan ”PUISI


TUBUH YANG RUNTUH”, karya/sutradara Rachman Sabur. Kelompok ini
mencoba membumikan gagasan teaternya dengan mengambil idiomatik lokal,
meminjam wujud topeng Cirebon untuk mengejawantahkan nilai-nilai eksistensi
manusia dalam puitika pertunjukan; Tubuh itu tanah // Tubuh itu air // Tubuh itu //
Tubuh tanah air. Kehadiran enam karakter topeng (panji, pamindo, rumyang,
tumenggung, klana, dan jingga anom) dalam pertunjukannya mengisyaratkan
proses hidup dan nilai-nilai kemanusiaan. Pertunjukan ini menitikberatkan pada
gerak-gerak tubuh para aktornya sesuai karakter topeng yang dipakai dengan
balutan artistik yang sangat sederhana.

Berbeda dengan kelompok teater Actors Unlimited Bandung yang menampilkan


“IBU PEMBERANI DAN ANAK-ANAKNYA YANG MATI”, karya Bertolt
Brecht yang disadur secara bebas oleh Fathul A. Husein sebagai sutradara.
Kelompok teater ini menampilkan sebuah karya pertunjukan teater yang akademis
dan konvensional. Pertunjukannya sendiri nyaris tak bersinggungan dengan
konteks kultur keindonesiaan, namun lebih mementingkan perwujudan bentuk dan
artistik pertunjukan yang dikawal oleh dialog-dialog verbal naskah asing. Hal ini
dapat kita lihat dari lakon pertunjukannya yang membicarakan tentang ”Perang
adalah bisnis”. Perang adalah sebuah keberlangsungan bisnis dalam cara-cara
yang lain. Komitmen Ibu Pemberani sendiri untuk berbisnis dalam perang adalah
sesuatu yang harus ia bayar mahal dengan kematian anak-anaknya.

Sementara kelompok Teater Satu Lampung menyajikan lakon ”ARUK GUGAT”,


karya/sutradara Iswadi Pratama. Pertunjukan kelompok teater ini betul-betul
menyatu dengan kultur asalnya. Apa yang dipersembahkan oleh kelompok teater
ini merupakan upaya penggalian idiomatik seni pertunjukan warahan sebagai
bentuk teater tutur Lampung. Ada kesadaran yang tinggi dari kelompok teater ini
untuk menunjukkan kehidupan teater kontemporer Indonesia, sekalipun
idiomatiknya dieksplorasi dari lokalitas namun upaya pemodernan pertunjukan
tetap diupayakan dengan mengidentifikasi peran/tokoh, karakterisasi, artistik, dan
aktualitas cerita. Unsur-unsur artistik yang dibangun oleh kelompok Teater Satu
Lampung masih setia dengan gaya artistik “sandiwara kampong” yang
mempertahankan kesederhanaan bentuk. Begitupun dengan plot dan karakterisasi
tokoh utamanya yang sterotif. Unsur artistik dan estetik serta gagasan pertunjukan
kelompok teater Satu Lampung sengaja diniatkan untuk bisa meladeni segala
bentuk ruang dan bisa dimainkan di mana saja dan kapan saja. Lakon ARUK
GUGAT yang ditampilkannya merupakan sebuah upaya untuk memeriksa
kembali “ke-kampung-an”, kesederhanaan, dan “ke-naif-an” yang ada dalam
lingkungan sosial, sistem politik, budaya, dan terutama dalam kultur masyarakat
dengan berbagai latar belakang yang ada pada lingkungannya.

Selanjutnya, penampilan dari kelompok Teater Ruang Solo melalui repertoar


pertunjukan ”KETAWANG BAJINGAN!”, karya/sutradara Joko Bibit Santoso.
Kelompok ini mempertunjukan tubuh para aktornya sebagai media umpatan,
sarkasme atas apa yang terjadi pada masyarkat Indonesia saat ini, termasuk juga
umpatan terhadap jagat teater. Pertunjukannya dimaksudkan sebagai bentuk
perlawanan budaya atas pemanjaan yang semakin tidak disadari oleh manusia
dengan banyak hadirnya teknologi dalam kehidupan manusia. Alasan inilah yang
membuat tubuh menjadi rapuh dan memiliki daya tahan yang pendek. Pentas
dengan pemaksimalan penjelajahan potensi tubuh dari teater Ruang Solo ini
menghasilkan bentuk dan gerak yang estetik, mistik dan subtil. Namun pentas ini
betul-betul menampikkan kehadiran teknologi. Tata lampu yang dalam
perkembangan teater dijadikan polesan visual sekaligus penciptaan karakter
pertunjukan, digantikan dengan kehadiran lampu blencong, sehingga realitas
pertunjukan menjadi gelap dan sesak serta mengganggu penikmatan gerak-gerak
tubuh yang tersajikan. Namun hal itulah yang tersaji, bahwa Teater Ruang Solo
adalah perlawanan budaya atau umpatan kebudayaan sebagaimana KETAWANG
BAJINGAN!

Penampilan terakhir diwakili oleh kelompok Teater Kami Jakarta yang


membawakan ”GEGERUNGAN”, karya/sutradara Harris Priadie Bah.
Pertunjukan ini sangat instropektif, terutama bagi para penggiat teater yang
dihadapkan pada kondisi saat ini. Suatu pertanyaan besar ketika teater dihadapkan
pada bagaimana memberikan keberartian bagi dirinya sendiri sebelum
memberikan keberartian bagi kehidupan yang lebih luas. Hal itu nyata terjadi
ketika dalam lakon Gegerungan diceritakan tentang idealisme penggiat teater
yang diyakini sebagai harga mati tidak berbanding lurus dengan penghasilan
ekonomi yang didapatnya. Profesi sebagai sutradara atau aktor teater tidak
membawa kebahagiaan bagi keluarganya. Puncak kegentingan dari
ketakberdayaan menghadapi kondisi tersebut menghadapkan mereka pada situasi
gegerungan. Gegerungan dalam bahasa Betawi adalah tangisan pilu dengan suara
meraung-raung. Pertunjukan kelompok teater Kami begitu kontekstual dengan
kondisi masyarakat Jakarta yang dikepung oleh kekuatan ekonomi. Pada sisi yang
hampir mirip, situasi dalam lakon itu menyelimuti kehidupan yang dihadapi oleh
aktor dan sutradara dalam suatu kelompok teater.

Catatan Teater Kontemporer

Keragaman ekspresi teater kontemporer Indonesia yang diwakili oleh lima


kelompok menyisakan catatan yang bisa dianggap sebagai suatu kritik. Pertama,
mengacu pada makna kontemporer itu sendiri yang bersinggungan dengan
masyarakat kekinian. Karena pertunjukan teater itu harus dapat berkomunikasi
dengan publiknya yang kontemporer tadi, maka “durasi” pementasan menjadi
penting, mengingat ada orientasi waktu yang berbeda antara publik teater dulu dan
sekarang. Dulu, konsep waktu pertunjukan teater yang bisa dinikmati (well made
play) sekitar 2 jam. Tetapi sekarang, konsep well made play tersebut bisa berubah
menjadi 1,5 jam karena akselerasi kehidupan sekarang yang berbeda dengan
masyarakat dulu. Kedua, mengacu pada makna/pesan yang berhubungan dengan
representasi teater kontemporer Indonesia. Representasi merupakan
pengejawantahan masyarakat atas lebenswelt (penghayatan makna hidup) -
meminjam istilah Habermas - ke dalam bentuk seni pertunjukan teater yang
diteropong pada zamannya. Untuk hal itulah, permasalahan-permasalahan yang
diangkat oleh teater kontemporer Indonesia perlu mengedepankan permasalahan-
permasalahan yang ada bagi publik Indonesia, baik untuk kepentingan lokal
maupun global. Hal lain yang tentu saja tidak kalah penting adalah masalah
artistik dan estetik yang semua itu melewati proses kreatif yang tidak instan.
Seyogyanya masalah-masalah artistik dan estetik itu harus “dibumikan” dengan
perspektif “timur”.

Akhirnya, memang tidak mudah untuk menerima catatan yang telah disebutkan,
tapi itulah kenyataan atas pertunjukan-pertunjukan teater kontemporer Indonesia
saat ini. Teater, terus berproses, kreatif, dan menginspirasi publiknya untuk
menjadi manusia yang utuh.

Penulis,
Kandidat Doktor dalam komunikasi seni
pertunjukan (Pascasarjana UNPAD);
Dosen di Jurusan Teater STSI Bandung,
dan Dosen pada Program Keahlian
Komunikasi IPB.

Вам также может понравиться