Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
III.1
Genesa Batubara
Batubara adalah batuan sedimen ( padatan ) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya
terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun sehingga
mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984 dalam Anggayana
2002).
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan penting yang harus dilewati oleh
bahan dasar pembentuknya (tumbuhan). Tahapan penting tersebut yaitu : tahap
pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang merupakan proses
mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Serta tahap berikutnya
adalah proses-proses yang terdiri dari perubahan struktur kimia dan fisika pada
endapan pembentuk batubara (geochemical coalification) karena pengaruh suhu,
tekanan dan waktu.
Bab III
23
Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah kenaikan muka
air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi
relief rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar
rawa cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi
endapan marin. Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang
terendapkan akan teroksidasi dan tererosi. Terjadinya kesetimbangan antara
penurunan cekungan / land-subsidence dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan
(kesetimbangan bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal
(C.F.K Diessel, 1992).
Bab III
24
tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa gambut
ombrogenik (high moor) (C.F.K Diessel, 1992).
yang
bertambah
besar
pada
proses
pembatubaraan
akan
Bab III
25
III.2
Fasies batubara
Bab III
26
Rawa hutan
Rawa lumut
Urutan tipe rawa di atas terutama terdapat pada gambut di lingkungan lacustrine
(danau) terutama pada daerah iklim sedang lembab.
Bab III
27
Menurut Martini dan Glooschenko (1984) dalam C.F.K Diessel (1992), rawa
gambut dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan jenis tumbuhan
pembentuk, yaitu :
a) Bog, yaitu lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau
tanaman merambat yang miskin kandungan makanan (Damman & French,
1987).
b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis
pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan ombrogenik yaitu transisi
antara daerah yang melimpah akan kandungan air dengan daerah yang
terkadang kering.
c) Marsh, yaitu lokasi rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman
merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.
d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang didominasi
oleh tumbuhan berkayu.
3. Lingkungan pengendapan
Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan
dan geologi di sekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan
kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya.
Lingkungan pengendapan telmatis (terestrial) akan menghasilkan gambut yang
tidak terganggu dan tumbuh secara insitu. Batubara yang terendapkan pada
lingkungan telmatis dan limnik (subaquatik) sulit untuk dibedakan karena pada
rawa hutan (forest swamp) biasanya ada bagian yang berada di bawah air.
Batubara yang terendapkan pada lingkungan payau atau marine dicirikan oleh
tingginya kandungan abu, sulfur, N, dan mengandung fosil laut. Bakteri sulfur
mempunyai peran yang khusus dalam gambut dan lumpur organik yaitu
mengurangi sulfat menjadi sulfur sehingga memungkinkan terbentuknya
pirit/markasit.
Bab III
28
6. Temperatur gambut
Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk
proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah, bakteri hidup
dengan baik sehingga proses kimia bisa berjalan baik.
Bab III
29
Kandungan abu, sulfur total dan vitrinitenya umumnya rendah, sementara pada
daerah tropis kandungan vitrinite umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan
gambut umumnya kaya akan maseral inertinite (28%) karena suplai nutrisi
yang terbatas. Kandungan inertinite (khususnya semifusinite) yang besar
menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index) nya relatif tinggi yang
sekaligus dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi
bahan kayu. Sementara
oleh
Bab III
30
Bab III
31
rasio tinggi maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka
sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih
rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi
alang-alang. Gambut akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air
pasang tidak tinggi sehingga timbunan material gambut tidak berpindah
tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan ini sangat
dipengaruhi oleh regresi dan transgresi air laut.
5. Estuari
Sedimen yang terbentuk pada lingkungan ini terutama berupa perselingan
laminasi batulanau dan batupasir halus. Batubara yang terbentuk umumnya
sangat tipis dan tidak menerus.
Bab III
32
2-1
1-2
Bab III
33
III.3
organik
pembentuk
batubara
disebut
maseral
dan
dapat
dianalogikan dengan mineral pada batuan atau bagian terkecil dari batubara
yang bisa teramati dengan mikroskop.
Vitrinite / Huminite
Kelompok ini berasal dari jenis tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody
tissues) seperti batang, dahan, akar dan serat daun. Vitrinite adalah bahan utama
penyusun batubara di Indonesia ( >80%). Dibawah mikroskop, kelompok maseral
ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinite,
namun lebih gelap dari kelompok inertinite, berwarna mulai dari abu abu tua
hingga abu abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop tergantung dari tingkat
pembatubaraannya, semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warnanya akan
semakin terang. Kelompok vitrinite mengandung unsur hidrogen dan zat terbang
yang persentasenya berada diantara inertinite dan liptinite.
Bab III
34
Grup Maseral
Telovitrinite
Vitrinite
Detrovitrinite
Gelovitrinite
Tipe Maseral
Textinite
Texto - Ulminite
Eu- Ulminite
Telocolinite
Atrinite
Densinite
Desmocolinite
Corpogelinite
Porigelinite
Eugelinite
Sporinite
Cutinite
Resinite
Suberinite
Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite
Alginite
Bituminite
Liptinite
Teloinertinite
Fusinite
Semifusinite
Sclerotinite
Detroinertinite
Inertodetrinite
Micrinite
Geloinertinite
Macrinite
Inertinite
Bab III
35
Liptinite
Kelompok ini berasal dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganggang
(algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan
morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinite dibedakan menjadi sporinite
(spora dan butiran pollen), cutinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite
(maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinite lainnya yang keluar
pada proses pembatubaraan), suberinite (kulit kayu / serat gabus), fluorinite
(degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinite lainnya),
alginite (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae).
Di bawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukkan warna
kuning muda
hingga kuning tua di bawah sinar fluoresence, sedangkan di bawah sinar biasa
kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Kelompok ini mempunyai
kandungan hidrogen paling banyak di antara maseral lainnya.
Inertinite
Kelompok inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan
sebagian lagi berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainnya atau proses
decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini
mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah
reflektansi yang tinggi diantara dua kelompok lainnya.
III.3.2
Bab III
36
Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau
morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif
antara tiap maseral dalam batubara. C.F.K Diessel (1986) memperkenalkan
dua parameter utama dalam penentuan fasies
batubara
berdasarkan
komposisi maseral pada batubara yaitu : TPI (Tissue Preservation Index) dan
GI (Gelification Index).
(terdekomposisi).
TPI
juga
dapat
menunjukkan
derajat
TPI
Telovitrinite + Teloinertinite
Detrovitrinite + Gelovitrinite + Inerto det rinite + Geloinertinite
Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada
tanaman yang mengandung banyak selulose (tumbuhan perdu), sedangkan
tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit
dihancurkan. Semakin meningkatnya
Bab III
37
GI
Vitrinite + Geloinertinite
Teloinertinite + Detroinertinite
Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini
semakin kecil harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin besar.
Tingkat Gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain :
1.
2.
Sebagai
indikator
pH
relatif
karena
efektifitas
bakteri
dapat
yang rendah, sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan
GI yang tinggi mengindikasikan dekomposisi aerobik yang terbatas.
III.3.3
Bab III
38
nutrisi dan ion serta kandungan mineral, sementara ombrotrophic mire hanya
menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi (oligotrophic). Rheotrophic
tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara ombrotrophic mire dapat
istilahkan sebagai bogs (Moore, 1987 dalam Calder et.al., 1991).
GWI
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI,
aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam
menginterpretasi asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori
Bab III
39
yang
kaya
akan
lignin
ditunjukkan
dengan
kandungan
telovitrinite, fusinite dan semifusinite yang tinggi. Dalam hal ini, suberinite
dan resinite adalah sebagai maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang
kaya selulosa melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang
kaya akan detrovitrinite, inertodetrinite dan liptodetrinite (Teichmller, 1989).
Kondisi subaquatik seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral
alginite. Sementara sporinite dan cutinite mempunyai distribusi yang sama
pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.
VI
III.4
Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur
organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat
sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan proses fisika dan kimia
selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur
epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat
proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968).
salah satu
Bab III
40
Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan
menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit berbentuk
framboidal dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963; Neavel, 1996; Cohen,
et.al, 1983; Davies and Raymond, 1983; Casagrande, 1987 dalam international
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan
pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan
lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan
darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang
Bab III
41
tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau
laut (Cecil et.al, 1979).
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi
reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan
urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :
Gambar III.3 Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits &
Arthur, 2000)
III.4.2
Sulfur Piritik
Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada
batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2)
tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan
Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998).
Bab III
42
Menurut Gluskoter and Simon (1968); Love et.al (1983) and Littke (1985) dalam
C.F.K Diessel (1992), beberapa bentuk mineral pirit yang dijumpai dalam
batubara adalah sebagai berikut :
Kristal pirit berukuran kecil yang terdapat sebagai inklusi dalam vitrinite
dan semifusinite serta seringkali berasosiasi dengan pirit framboidal.
Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga beberapa centimeter yang
umumnya terdiri dari kristal kristal membulat atau memanjang.
Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk lensa lensa pipih
atau pitapita yang menunjukkan presipitasi pirit yang terjadi selama
diagenesa akhir. Hal ini dapat dianggap sebagai peralihan ke pirit
epigenetik.
Bab III
43
Gambar III.4
Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air
tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya
framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam
material yang terendapkan bersama batubara.
Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi cleat karena
kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara
oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur
yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam
Bab III
44
Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984
dalam Organic Petrology, 1998) adalah :
SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2CHO3 - + H2S
3H2S + 2FeO.OH - - - - - 2FeS + S + 4H2O
FeS + S0 - - - - - FeS2
Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang selanjutnya akan
direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi
sebagai berikut :
SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S
Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH),
atau hidrogen sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi
ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan
mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur
ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).
Berikut persamaan reaksinya :
3H2S +2 FeO.OH - - - - - 2 FeS + S + 4H2O
FeS + S0 - - - - - FeS2
Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida
membentuk polisulfida.(SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk
proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau
Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH
maka akan
mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang
terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan
komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur organik.
Pirit framboidal
lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam
bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang
Bab III
45
dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam
batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen
A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998)
III.4.3
Sulfur Organik
Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang
keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama
proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari
material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi
dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut.
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses
penghancuran biokimia dan
Menurut Neavel (1981) dalam Organic Petrology, 1998 : sulfur organik, atau
bisa dikatakan sebagai pirit, mengindikasikan aktivitas dari bakteri pereduksi
sulfur dalam gambut. Desulfovibrio desulfurican dan Clostridium nigrificans
mereduksi sulfat menjadi H2S yang diperlukan untuk terbentuknya pirit, dimana
unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang terbawa dalam material
lempung. Oleh karena itu, pada umumnya pirit ditemukan pada lapisan lempung
sebagai roof atau floor maupun sisipan.
Bab III
46
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi
dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya
melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah
membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses
geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi
hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri
Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan
asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara
H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam
menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982).
Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi
dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974
; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).
Bukti bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik pada sedimen
muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesis (Nissenbaum & kaplan,
1972; Casagrande, 1979, Kohnen et.al, 1990; dalam Suits & Arthur, 2000). Bukti
dari isotop sulfur memperkuat hipotesis tersebut, pada sulfur organik isotop sulfur
34
S terkayakan relatif sama pada sulfur pirit untuk batuan sedimen muda dan
purba. Bukti isotop ini juga sering membuktikan bahwa sulfur organik terbentuk
setelah proses presipitasi pirit (Kaplan et.al, 1963; Price & Shieh, 1979; Francois,
1987; Raiswell et.al, 1993; dalam Suits & Arthur, 2000).
Bab III
47
III.4.4
Sulfur Sulfat
Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan
barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali
jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan
menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996).
Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi
mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah
lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada
bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi
pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.
Bab III
48