Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Deviasi septum merupakan keadaan yang sering terjadi, bervariasi dari ringan
yang tidak mengganggu, hingga deviasi septum berat yang dapat menyebabkan
penyempitan
hidung
sehingga
mengganggu
fungsi
fisiologis
hidung
dan
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
2.1 ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara pipi
dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu yang
paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan.(4)
Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan di belakangnya
terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.(4,5)
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu.Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian
yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna
merah dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.(6)
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang a. Fasialis.(5)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut
pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan
hidung), terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intrakranial.(5)
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius.
Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.(5)
10
11
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b) Silia
c) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n, ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.5,6
12
BAB III
PEMBAHASAN
Sangat jarang untuk menemukan septum yang benar-benar dalam posisi
median. defleksi septum yang paling sering disebabkan oleh kelainan perkembangan
dan trauma. penyimpangan mungkin melibatkan tulang atau daerah tulang rawan,
atau keduanya.(7)
3.1 Definisi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi
dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Deviasi septum ialah suatu kelainan kongenital atau trauma yang didapat dimana
terjadi pembengkokan/pembungkukan septum hidung. (8)
3.2 Epidemiologi
Deviasi septum banyak ditemukan pada orang kulit putih dan pada ras lain
jarang. Pada laki-laki lebih banyak daripada wanita, dan biasanya manifestasi klinis
lebih banyak timbul di usia dewasa dari pada anak-anak.
13
Obstruksi nasal adalah masalah yang sering dijumpai. Pada tahun 1974, VainioMattila menemukan 33% insiden dari obstruksi jalan nafas hidung antara sample
dewasa acak. Deviasi septum ditemukan lebih sering ditemukan berupa malformasi
struktural yang menyebabkan obstruksi hidung. Pada klinis ditemukannya 26% untuk
kasus deviasi septum. Diperkirakan 80% dari septum terletak menyimpang dari garis
tengah dan hal ini sering tidak diperhatikan. Septum deviasi terjadi jika septum
bergeser sangat jauh dari garis tengah.(6)
3.3 Klasifikasi
Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan
letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain
masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
14
2) Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk C atau S yang
dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.
3) Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke
salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada
struktur sekitarnya.
4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.(2)
17
18
mulai dari bagian atas suprasiliar,ke kiri atau ke kanan garis tengah, ketulang hidung
sampai kadang-kadang dapat mencapai puncak hidung.(10)
Sumbatan hidung unilateral merupakan keluhan utama. Meskipun bentuk
deviasi septum "S" dapat menyebabkan gejala bilateral. berbagai gejala lainnya
seperti nyeri wajah, sinusitis berulang, infeksi telinga, nasal discharge dan anosmia
mungkin disebabkan defleksi dari septum. Derajat lebih jelas dari deviasi septum
dapat menghambat pernapasan hidung dan juga dapat menyebabkan gangguan
penciuman karena ventilasi yang tidak memadai dari alur penciuman. Kekurangan
Aliran udara hidung juga dapat menyebabkan gejala sisa sinus paranasal seperti sakit
kepala dan sinusitis berulang. Memacu septum menjadi besar dan kontak dengan
turbinat hidung yang dapat menyebabkan epistaksis. (7,8)
Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut ini :
Diagnosis
Anamnesis
19
diperlukan
juga
pemeriksaan
radiologi
untuk
memastikan
nasi
yang
bengkok.
Pemeriksaan
nasoendoskopi
dilakukan
bila
memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat
robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal.(6)
20
3.7 Penatalaksanaan
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum.
Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
Pembedahan :
o
(A)
(B)
GAMBAR 9. A. spur posterior (panah) pada deviasi septum hidung dilihat
dengan endoskopi. B. Operasi septoplasty. Sayatan melalui mukosa hidung dan tulang rawan
dengan elevasi mucoperichondrium (panah) memberikan akses ke tulang rawan septum, yang
sebagian reseksi dan reposisi. (12)
21
tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan langsung
bertemu di garis tengah.(2)
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena
bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan
operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena dapat
mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya
dorsum nasi.
3.8 Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang
hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi,
diantaranya :
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau
berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan
darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga
yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan
perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari
dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki
deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan.(11)
3.9 Prognosis
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada pasien
deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-20 hari
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Toluhula TT, Punagi AQ. Hubungan tipe deviasi septum nasi menurut
klasifikasi mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba eustachius.
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher Fakultas
kedokteran
Universitas
Hasanuddin.
Available
at
:
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/ddd004be0f5e5cf0c2f3b2522bfb4a1a.pdf
(Accessed 2014 Agustus 12)
2. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi Septum
Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas : Padang. 28 Juli 2011 : hlm 1-7. Available at :
http://repository.unand.ac.id/17339/1/Pengukuran_Sumbatan_Hidung_Pada_Devi
asi_Septum.pdf (Accessed : 2014 Agustus 12)
3. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Cetakan Kesatu. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 2012 : hlm 104-105.
4. Higler PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL, Boies
LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan Ketiga.
Jakarta : EGC. 1997 : hlm 173-188.
5. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Cetakan Kesatu.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2012 : hlm 96-100.
6. Latuconsina VC. Referat Rhinosinusitis Akut dan Kronik,Polip Hidung,dan
Deviasi Septum.Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Available at
http://www.scribd.com/doc/177500776/Referat-Deviasi-Septum-Nasi (Accessed
2014 agustus 12)
7. Dhillon R.S. Nasal septal pathologies and choanal atresia in Ear, nose and
throat, head and neck surgery. Second edition. London : university collage
London. 2000 : P. 40-41
23
24