Вы находитесь на странице: 1из 4

BAB IV

PEMBAHASAN
4.1 Isolasi Protein
4.1.1 Isolasi Kasein
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, pada mulanya sampel susu dilakukan perlakuan
pemanasan pada suhu 40oC. Hal ini dilakukan agar perlakuan selanjutnya terhadap susu tidak membuat
kandungan di dalam susu tersebut rusak akibat perubahan struktur reversible ataupun irreversible
sehingga fungsi biologis dari masing-masing kandungan susu tetap terjaga. Setelah dilakukan pemanasan,
sampel susu ditetesi dengan asam asetat yang berfungsi untuk menurunkan pH susu, dilanjutkan dengan
pemberian eter dan etanol yang berfungsi untuk membuang lemak tak diharapkan serta zat polar pengotor
dalam susu seperti vitamin dan mineral yang berpresipitasi dengan kasein. Selain itu, eter dan etanol
dalam isolasi kasein juga berfungsi untuk menyempurnakan proses denaturasi protein. Lemak ialah
senyawa makromolekul yang memiliki gugus eter non polar, sehingga lemak akan larut pada eter dan
kasein hanya sedikit larut pada eter sehingga dadih kasein tidak semua mengendap. Hal ini dapat diamati
pada proses isolasi di mana setelah penambahan etanol dan eter, dadih kasein tidak membentuk gumpalan
kembali. Faktor pemilihan penggunaan etanol adalah karakteristiknya yang mudah menguap sehingga
mudah untuk dikeringkan kembali. Hasil akhir yang didapatkan dari proses isolasi kasein ini ditandai
dengan adanya dadih(curd) berwarna putih di lapisan atas larutan susu yang merupakan bentuk dari
koagulasi kasein. Dengan terbentuknya dadih kasein, maka kasein telah mencapai titik isoelektriknya
untuk mengendap. Berdasarkan hasil perhitungan yang didapatkan dari data percobaan, kadar kasein
dalam susu murni adalah 26,69 %, sedangkan kadar berdasarkan teori menunjukkan bahwa seharusnya
kadar kasein pada susu skim adalah 40%. Kesalahan perhitungan ini diperkirakan terjadi karena
kesalahan pada proses filtrasi, di mana filtrat yang didapatkan dari hasil filtrasi tercampur dengan protein
lain selain kasein. Selain itu, kesalahan perhitungan juga dapat diakibatkan dari adanya reaksi antara
pelarut dengan sejumlah asam amino dan protein yang terdapat pada sampel susu skim yang membuat
protein terhidrogenasi sehingga terbentuk bentuk protein lainnya.
4.1.2 Isolasi Laktoglobulin
Berdasarkan Sirkorski(2002), -laktoglobulin dan -lactalbumin tidak terflokulasi pada
pemanasan 40oC disertai penambahan asam asetat seperti kasein, maka dari itu, proses isolasi
laktoglobulin memanaskan sampel supernatant dari proses isolasi kasein pada suhu 70 oC. Sirkorski
menyebutkan bahwa -laktoglobulin dan -lactalbumin mengendap pada suhu di atas 60oC pada kondisi
pH netral. Pada proses filtrasi laktoglobulin, kertas saring yang digunakan ialah kertas saring Whatmann
yang memiliki ukuran pori-pori lebih kecil dibandingkan kertas saring biasa. Hal ini menunjukkan bahwa
ukuran -laktoglobulin dan -lactalbumin memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga ukuran pori-pori

kertas saring yang digunakan pun sangat kecil sehingga proses filtrasi lebih optimal. Pernyataan ini
diperkuat berdasarkan teori oleh Belitz(2009) yang menyatakan bahwa -laktoglobulin dan -lactalbumin
memiliki ukuran yang sangat kecil.
Hasil yang didapatkan pada percobaan isolasi laktoglobulin menunjukkan bahwa sampel susu
skim mengandung 12,41% -laktoglobulin dan -lactalbumin. Hasil yang didapatkan berdasarkan
percobaan tidak sesuai dengan teori karena Lagrange(2005) menyatakan bahwa -laktoglobulin dan lactalbumin mengandung sekitar 7,2% dari total massa susu bubuk skim. Kesalahan hasil perhitungan ini
dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah hasil yang belum mencapai berat konstan ketika
massa hasil percobaan ditimbang sehingga hasil isolasi laktoglobulin yang didapat masih harus
mengalami perlakuan pengeringan pada oven dan pendinginan pada desikator secara berkala sehingga uap
air yang terkandung dapat direduksi.
4.2 Kelarutan Laktoglobulin
4.2.1 Pengaruh Kelarutan Protein karena Penambahan HCl
Berdasarkan percobaan kelarutan protein, berikut adalah salah satu contoh data kelompok yang
tidak mengalami pengaruh kelarutan yang signifikan akibat pengaruh penambahan HCl:
Tabel 4.1 Pengaruh Penambahan HCl pada Kelarutan Protein Kelompok 5
Penambahan HCl

pH

Pengaruh Perlakuan

0 mL

12,53

2 mL

12,33

4 mL

12,13

6 mL

11,83

8 mL

11,35

10 mL

10,40

12 mL

9,60

14 mL

8,18

16 mL

6,67

mulai keruh

18 mL

5,88

mulai keruh

20 mL

3,60

22 mL

2,45

24 mL

2,10

26 mL

1,92

28 mL

1,79

Berdasarkan percobaan kelarutan protein, berikut adalah salah satu contoh data kelompok yang
mengalami pengaruh kelarutan yang signifikan(terbentuk endapan pada titik isoelektrik) akibat pengaruh
penambahan HCl:
Tabel 4.1 Pengaruh Penambahan HCl pada Kelarutan Protein Kelompok 6
Penambahan HCl

pH

Pengaruh Perlakuan

0 mL

12,56

2 mL

12,35

4 mL

12,17

6 mL

11,82

8 mL

11,03

10 mL

9,46

12 mL

6,36

14 mL

3,91

terbentuk endapan putih

16 mL

2,32

larutan menjadi keruh

18 mL

2,05

endapan hilang
Larutan masih lebih jernih

20 mL

1,83

dari sebelumnya
tingkat kekeruhan

22 mL

1,7

berkurang
tingkat kekeruhan

sama

seperti pada pH
Berkaitan dengan analisis data pada tabel di atas, data kelompok yang memiliki pengaruh
solubilitas karena adanya pengendapan hanya terjadi pada satu kelompok saja, di mana selain kelompok
tersebut, pengaruh penambahan HCl hanya memperkeruh larutan pada sekitar pada 5. Lain halnya dengan
salah satu kelompok lain, di mana penambahan HCl secara berkala dengan rentang 2 mL membuat
laktoglobulin mengendap pada pH 3,91, sehingga dapat disimpulkan bahwa pH 3,91 merupakan titik
isoelektrik dari laktoglobulin yang diisolasi dari isolat kasein kelompok tersebut. Hal ini bersesuaian
dengan teori bahwa kelarutan laktoglobulin akan berkurang pada sekitar pI(pH isoelektrik), yaitu pada pH
sekitar 3,5-6,5 dan mencapai titik insolubilitas maksimal pada pH 5,2-5,4 sehingga pada rentang pH
tersebut seharusnya ditemukan endapan(Belitz et al., 2009).
4.2.2 Pengaruh Kelarutan Protein akibat Penambahan NaOH

Penambahan NaOH 0,2 M yang secara berkala pada setiap 0,5 mL(0,5 mL; 1 mL; 1,5 mL; 2,0 mL; 2,5
mL) tidak memberikan pengaruh solubilitas terhada laktoglobulin(isolated casein) yang diberikan
perlakuan tersebut. Hal ini bersesuaian dengan teori berdasarkan Belitz(2009), di mana penambahan
konsentrasi basa rendah tidak akan memberikan pengaruh insolubilitas terhadap protein. Sebaliknya,
konsentrasi basa yang semakin tinggi dapat membuat laktoglobulin mengendap, di mana kelarutan
semakin menurun dimulai pada pH 8 dan mencapai pengendapan maksimum pada pH 11. Maka dari itu,
seharusnya dengan penambahan NaOH secara berkala, laktoglobulin akan mengendap pada sekitar pH 811.

4.2.3 Pengaruh Kelarutan Protein akibat Penambahan NaCl


Berdasarkan hasil pengamatan percobaan yang dilakukan, penambahan NaCl pada laktoglobulin
tidak menunjukkan pengaruh terhadap solubilitas yang signifikan karena penambahan NaCl 0,1 M tidak
membuat kasein mengendap pada pH tertentu. Hal ini cocok dengan teori yang disadur berdasarkan
Belitz(2009), di mana garam netral pada konsentrasi rendah justru akan meningkatkan kelarutan(salting
in effect)sehingga pemberian garam netral tidak akan membuat laktoglobulin mengendap karena adanya
interaksi elektrostatik.
Sebaliknya, jika konsentrasi garam yang ditambahkan pada laktoglobulin semakin tinggi dengan
pemberian yang intensif, maka akan terjadi pengendapan pada laktoglobulin yang diuji. Hal ini terjadi
karena adanya kemampuan ion NaCl yang merupakan garam anorganik untuk menghidrasi air sehingga
terdapat kompetisi garam anorganik dengan protein yang membuat kasein mengendap. Hal ini diperkuat
dengan karakteristik garam anorganik yang memiliki sifat higroskopis sehingga NaCl memiliki
kemampuan untuk mengikat air yang lebih besar daripada protein(Belitz et al., 2009).

Вам также может понравиться