Вы находитесь на странице: 1из 17

Tinjauan Pustaka

1. Epidemiologi dan Permasalahan Ko-infeksi TB-HIV


Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien
HIV/AIDS. WHO memprediksikan TB sebagai penyebab kematian 13% pasien AIDS.
Tingginya koinfeksi TB pada pasien HIV telah dibuktikan di beberapa negara, terutama
negara berkembang. Pada beberapa negara dengan prevalensi HIV yang tinggi, sekitar 80%
penderita HIV juga positif dengan TB. Secara global, sejumlah 30% penduduk dengan HIV
diperkirakan memiliki infeksi laten TB. Pada tahun 2008, terdapat 1,4 juta kasus TB baru
pada pasien dengan HIV dan TB berkontribusi 23% untuk kematian pasien AIDS.1,2,3
Pada dasarnya, infeksi TB terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup droplet
nuclei yang mengandung Mycobacterium tuberculosis. Dalam waktu 2-12 minggu setelah
infeksi, respon imun masih mampu membatasi multiplikasi basil tuberkulosis. Akan tetapi,
basil yang masih tersisa akan bertahan hingga bertahun-tahun, suatu kondisi yang disebut
sebagai infeksi TB laten (latent TB infection/LTBI). Pasien LTBI biasanya asimptomatik dan
tidak infeksius. Penyakit TB dapat muncul setelah terpajan kuman (penyakit primer) atau
setelah reaktivasi LTBI (penyakit reaktivasi). Sekitar sepertiga kasus TB primer terjadi pada
populasi HIV.2
Selain menjadi suatu entitas penyakit tersendiri, HIV-TB erat kaitannya malnutrisi,
penggangguran, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, serta kemiskinan. Oleh sebab itu,
secara langsung maupun tidak langsung, biaya penanganan HIV dan TB sangatlah besar.
Diperkirakan lebih dari 30% pendapatan rumah tangga untuk negara-negara berkembang dan
mempunyai dampak luas terhadap perekonomian negara-negara berkembang tersebut.3
2. Patogenesis Tuberkulosis (TB), HIV/AIDS, dan TB-HIV/AIDS
Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini dapat menyerang paru, maupun organ lain di luar paru (TB ekstra
paru), tetapi pembahasan lebih ditekankan pada TB paru.4
A.

Tuberkulosis primer
Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik yang disebut sarang
primer atau afek primer atau sarang fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivitas. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis regional). Peradangan tersebut

diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu.4
B.

Tuberkulosis Post-Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai

infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder terjadi
karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal
ginjal. TB post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru
(bagian apikalposterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim
parudan tidak ke nodus hiler paru.4
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel Datia-Langhans (sel-sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel
limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat. TB post primer juga dapat berasal dari infeksi
eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua.4

HIV/AIDS
Ketika seseorang telah terinfeksi HIV, maka partikel virus akan bergabung dengan DNA

sel pasien sehingga seumur hidup pasien akan tetap terinfeksi. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan kerusakan sistem kekebalan
tubuh yang juga bertahap.
Imunopatologi HIV
Setelah terjadinya viremia pada infeksi primer, seseorang yang terinfeksi HIV akan
mengalami respons imun yang meningkat cepat. Dalam sebagian besar kasus, respons imun
yang meningkat dengan cepat mengakibatkan berkurangnya viremia pada plasma dan
berkontribusi terhadap perlambatan perkembangan manifestasi klinis selama 10 tahun pada
pasien yang tidak menerima terapi.5,6
Respons imun ini memiliki komponen imunitas humoral dan imunitas seluler. Respons
imun terutama ditujukan untuk melawan antigen multipel dari virion HIV dan melawan
protein virus yang diekspresikan pada permukaan dari sel terinfeksi. Namun, sel-sel CD4+
yang seharusnya dipergunakan melawan virus tersebut justru merupakan sel-sel yang
memiliki reseptor spesifik terhadap HIV. Pada dasarnya, infeksi HIV mengakibatkan
gangguan dan penurunan dari populasi CD4+ yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons
imun.5,6

Respons Imun Humoral


Antibodi HIV biasanya muncul pada minggu ke-6 sampai minggu ke-12 setelah infeksi
primer. Antibodi yang terdeteksi pada awal infeksi adalah p24 dan p17, serta prekursor dari
p55. Perkembangan dan antibodi terhadap p24 terkait dengan penurunan free antigen p24
pada serum. Selain itu, terdeteksi pula antibodi terhadap protein pada envelope (gp160,
gp120, p88, dan gp41) dan antibodi terhadap beberapa gen terntentu (p31, p51, dan p66).5,6
Respons Imun Selular
T-cell mediated immunity berperan penting dalam pertahanan melawan virus, termasuk
HIV. T-cell immunity dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu yang dimediasi oleh sel Th
(CD4+) dan yang dimediasi oleh sel Tc (CD8+).
Sel CD4+ merupakan target utama dari infeksi HIV. Namun, sel-sel ini dapat mengalami
ekspansi klonal sebagai respons terhadap antigen, sehingga dapat bertahan hidup. Sel CD8+
biasanya ditemukan pada darah perifer dari pasien yang terinfeksi HIV-1. Termasuk di
dalamnya limfosit Tc yang memrpoduksi perforin dan sel T yang diinduksi oleh antigen HIV
untuk mengekspresikan sitokin (contoh: IFN). Limfost Tc biasanya terdeteksi beberapa
minggu setelah seseorang terinfeksi HIV. Sel CD8+, melalui antigen reseptor HIV spesifik,
berikatan dan mengakibatkan destruksi lisis dari sel-sel target.5,6
Perjalanan Infeksi HIV
Terdapat tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara
virus dan pejamu(1) fase akut, pada tahap awal; (2) fase kronis, tahap menengah;
dan (3) fase krisis pada tahap akhir. 6
Fase akut menggambarkan respons awal seorang dewasa yang imunokompeten
terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal ini yang secara khas merupakan penyakit yang
sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 7O% dari orang dewasa 3-6 minggu setelah
infeksi; fase ini ditandai dengan gejala non spesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam,
ruam, dan kadang-kadang meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus
dalam jumlah yang besar, viremia, dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang
secara khas disertai dengan berkurangnya sel limfosit T CD4+. Setelah itu, akan muncul
respons imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya
dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) maupun melalui munculnya
sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel limfosit T
CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan

merupakan penanda berakhirnya replikasi virus yang akan terns berlanjut di dalam makrofag
dan di CD4+ jaringan.6
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Pada
fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga
beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita lirnfadenopati
persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi oportunistik ringan, seperti
sariawan (Candida atau herpes zoster). Selama fase ini, replikasi virus dalam jaringan
limfoid terus berlanjut yang diikuti dengan kemampuan regenerasi sistem imun (CD4+).
Namun, semakin lama sistem regenerasi CD4+ akan berkurang dan jumlah sel CD4+ hidup
yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah)
mencerminkan onset adanya dekompensasi sistern imun, peningkatan replikasi virus, dan onset
fase "krisis".
Fase krisis, yang merupakan tahap akhir dari infeksi HIV, ditandai dengan kehancuran
pertahanan pejamu, peningkatan viremia yang nyata, serta gambaran klinis yang semakin jelas.
Para pasien biasanya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, malaise, penurunan berat
badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/L. Setelah adanya interval
yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma
sekunder, dan/atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS),
dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan,
jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan
saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang
atau sama dengan 200/L sebagai pengidap AIDS.6
Manifestasi Klinis HIV
Individu yang terinfeksi HIV terkadang dapat bersifat asimtomatik. Gejala utama
berupa sakit kepala, sakit tenggorokan, panas, ruam, dan malaise yang terjadi sekitar 2-6
minggu setelah infeksi, tetapi dapat pula terjadi antara 5 hari dan 3 bulan. Gejala klinis
infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot atau sendi, lemah, mukokutan (ruam kulit,
ulkus di mulut), limfadenopati, neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang mata, fotofobia,
meningitis, ensefalitis), dan saluran cerna (anoreksia, mual, diare, jamur di mulut). 6

Perjalanan penyakit pada HIV


1. Transmisi virus
2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut) selama 2-6 minggu
3. Serokonversi
4. Infeksi kronik asimptomatik (5-10 tahun)
5. Infeksi kronik simptomatik
6. AIDS (CD4+ < 200/mm3), infeksi oportunistik
7. Infeksi HIV lanjut (CD4+ < 50/mm3)
Viremia plasma ditemukan dini setelah terjadi infeksi yang dapat disertai gejala
sistemik khas untuk sindrom HIV akut. Virus menyebar ke organ limfoid, tetapi viremia
plasma menurun sampai kadar sangat rendah (hanya ditemukan dengan esai yang memakai
cara reverse transcriptase polymerase chain reaction yang sensitif) dan dapat menetap
selama beberapa tahun. Sel CD4+ perlahan menurun selama masa klinis laten. Hal itu
disebabkan oleh karena replikasi virus yang aktif dan destruksi sel T yang terjadi di jaringan
limfoid. Dengan demikian, menurunnya kadar CD4+ diiringi juga dengan peningkatan risiko
infeksi dan komponen klinis HIV lainnya.6
Ciri klinis infeksi HIV
Fase penyakit

Ciri klinis

Penyakit HIV akut

Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan


faringitis, limfadenopati umum, ruam

Periode klinis laten

Jumlah sel CD4+ menurun

AIDS

1.

Infeksi oportunistik

2.

Protozoa (kriptosporidiosis)

3.

Bakteri (M. avium, nokardia, salmonela)

4.

Jamur

(kandida,

K.

neoformans,

H.

kapsulatum, pneumokistis)
5.

Virus (CMV, herpes simpleks, variselazoster)

6.

Tumor

7.

Limfoma

(EBV-limfoma

dengan sel B)
8.

Sarkoma Kaposi

9.

Ensefalopati

10.

Wasting syndrome

berhubungan

Didapati juga perubahan antigen p24 dan antibodi yang ditemukan pada penderita dengan
penyakit lanjut. Penyakit AIDS lanjut sering juga disertai dengan berat badan menurun yang
disebabkan perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang masuk tubuh. Demensia dapat
terjadi akibat infeksi mikroglia (makrofag dalam otak).6
TB-HIV
Infeksi HIV merupakan faktor risiko terjadinya TB. Orang dengan HIV/AIDS memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami infeksi TB primer atau reaktivasi dari infeksi TB
laten. HIV mengakibatkan peningkatan dari supresi sistem imun sehingga menyebabkan
individu dengan HIV lebih rentan terkena TB.
Selain itu, infeksi tidak dapat dihambat dengan baik pada reaktivasi tuberkulosis,
sehingga terjadi penyebaran penyakit, sehingga menimbulkan penyakit ekstrapulmonal. Hal
ini didukung dari penelitian eksperimental yang menunjukkan adanya penurunan produksi sel
TH1 oleh limfosit pada individu dengan TB/HIV yang terpapar M. tuberculosis.1,3
Dampak HIV pada TB
Patogenesis dari infeksi tuberkulosis dan HIV berhubungan dengan respons imun
seluler, terutama sel limfosit T CD4+. Infeksi HIV mengakibatkan deplesi dari sel limfosit T
CD4+, sehingga mengakibatkan defek respons imun terhadap M. tuberculosis. Patogenesis
TB pada HIV dapat terjadi melalui reaktivasi dari infeksi laten tuberkulosis menjadi penyakit
TB aktif, atau dengan progresi cepat infeksi M. tuberculosis menjadi penyakit TB.1,3
Respons imun TH1 yang dikarakterisasi dengan imunitas seluler adekuat merupakan
respons imunitas yang berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis.
Pada individu dengan HIV, terdapat gangguan pada komponen imun yang berperan pada
imunitas seluler. Oleh karena itu, pada individu dengan HIV dan infeksi TB laten, terjadi
ketidakseimbangan antara M. tuberculosis dan respons imun, sehingga terjadi reaktivasi. Pada
reaktivasi M. tuberculosis, sel limfosit T CD4+ yang berperan melawan HIV, harus juga
berperan untuk mempertahankan tubuh dari infeksi M. tuberculosis. Hal ini dapat
mengakibatkan penurunan sel limfosit T CD4+ dengan drastis.1,3
Dampak TB pada HIV
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit TB dapat mempercepat deteriorasi
imunitas yang diinduksi oleh HIV. Hal ini didukung dengan penemuan yang menunjukkan
adanya deplesi sel limfosit T CD4+ pada penyakit TB. Selain itu TB dapat mengakibatkan
stimulasi sistem imun dan peningkatan produksi TNF, sehingga mengakibatkan replikasi HIV

di jaringan yang dipengaruhi oleh TB, seperti paru dari cairan pleura. Individu dengan
koinfeksi HIV dan TB memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi oportunistik dan
kematian, dibandingkan dengan individu dengan HIV tanpa TB.1,3
3. Manifestasi klinis TB pada pasien HIV
Manifestasi Klinis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik paling umum (80%) yang ditemukan pada
pasien HIV/AIDS. Tuberkulosis yang dialami oleh pasien HIV akan memberikan manifestasi
klinis yang lebih buruk karena kondisi imun pasien yang rendah.7
Pada umumnya, gejala klinis yang muncul hampir sama dengan gejala klinis yang
dialami oleh pasien TB tanpa HIV. Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).7
Gejala respiratori3,8
1 Batuk 2 minggu. Gejala batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan
bronkus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat
adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif
2

tersebut berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan.


Batuk darah, yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat atau ringannya

batuk darah yang timbul tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
Sesak napas, terutama ditemukan pada derajat penyakit yang lebih lanjut dengan

kerusakan paru yang cukup luas.


4 Nyeri dada, timbul apabila melibatkan sistem persarafan yang terdapat di pleura.
Gejala respiratori tersebut sangat bervariasi, mulai dari asimptomatik sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat pemeriksaan
kesehatan rutin (medical check up). Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan batuk
selanjutnya diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala sistemik3,8
1 Demam, merupakan gejala pertama dari TB paru. Biasanya demam timbul pada sore
dan malam hari, disertai keringat mirip demam influenza yang segera mereda.
Demam tersebut hilang timbul dan makin lama makin panjang masa serangannya.
2

Demam dapat mencapai suhu 40o C.


Gejala sistemik lainnya adalah malaise, berupa rasa tidak enak badan, pegal-pegal,

nafsu makan berkurang, berat badan menurun, sakit kepala, dan mudah lelah.
Gejala TB ekstraparu3,7,8
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis

TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari KGB. Pada meningitis TB,
akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Berikut adalah persentase manifestasi TB pada pasien HIV/AIDS7
TB paru
TB ekstra paru

80%
38,46%

limfadenopati hilus/mediastinum 10.77%


limfadenopati ekstra toraks
efusi pleura
TB milier
Meningitis
Asites
Efusi pericardial
TB paru (tunggal)
TB ekstra paru (tunggal)
TB paru dan ekstraparu

6.9%
13.85%
3.85%
1.54%
0.77%
0.77%
61.54%
20%
18.46%

Di negara berkembang, TB ekstrapulmoner merupakan penyebab tersering fever of


unknown origin (FUO) pada pasien HIV. Keterlibatan ekstrapulmoner yang sering ditemukan
adalah limfadenopati, efusi pleura, meningitis, perikarditis dan TB abdominal. Efusi pleura
pada pasien TB-HIV seringkali progresif dan kultur M. tuberculosis tetap positif untuk jangka
waktu yang lama, berbeda dengan pasien HIV negatif di mana efusi pleura dapat membaik
spontan. Pada cairan pleura juga ditemukan banyak sel mesotelial, menunjukkan buruknya
respon inflamatorik karena infeksi HIV.
Satu keterlibatan ekstrapulmoner yang sering ditemukan pada pasien TB-HIV adalah
meningitis TB. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) pada meningitis TB seringkali
aselular dan kadang dalam batas normal. Pada pasien dengan CSF aselular tanda rangsang
meningeal umumnya belum ditemukan. Selain itu, dapat pula ditemukan lesi intraserebral
akibat penyebaran infeksi dari selaput meningens.3,7,8
Tabel. Manifestasi klinis TB-HIV pada infeksi HIV akhir dan infeksi HIV awal3
Karakteristik
Kelainan

Infeksi HIV akhir*


50:50

Infeksi HIV awal


80:20

Seringkali

Seringkali

pulmoner:ekstrapulmoner
Gejala klinis

menyerupai
primer
Radiografi toraks

TB menyerupai TB postprimer

Limfadenopati intratorakal

Sering

Jarang

Keterlibatan lobus bawah

Sering

Jarang

Kavitasi

Jarang

Sering

Anergi tes tuberculin

Sering

Jarang

BTA positif

Lebih jarang

Sering

Efek samping obat

Sering

Jarang

Relaps setelah terapi


Sering
Jarang
*hitung limfosit T CD4+ <200/mm
TB abdominal pada TB-HIV umumnya bermanifestasi sebagai lesi fokal hepatosplenik
dan limfadenopati intraabdominal, sedangkan asites dan penebalan omentum yang sering
pada TB abdominal non-HIV jarang ditemukan. Penurunan berat badan (wasting) yang
drastis merupakan salah satu karakteristik pada infeksi HIV, diduga salah satunya disebabkan
oleh diseminasi TB dan menyebabkan enteropati HIV. Lesi kulit berupa papul atau
vesikulopapul kecil juga sering pada pasien TB-HIV, terutama dengan TB paru milier. Lesi
ini disebut TB kutis miliaris diseminata, atau TB milier akut pada kulit. Pada infeksi lanjut
juga sering ditemukan mikobakteremia (20-49%) dibanding infeksi awal (0-7%).3,7,8
Diagnosis
Penegakan diagnosis TB paru pada pasien HIV lebih sulit dibandingkan dengan
penegakan diagnosis diagnosis TB paru pada pasien non-HIV. Penegakan diagnosis dipersulit
oleh beberapa hal berikut:3

hasil sputum BTA yang seringkali negatif


gambaran radiologi atipikal
prevalensi TB ekstrapulmoner yang lebih sering
kemiripan dengan infeksi oportunistik pulmoner lainnya

Karena adanya faktor-faktor penyulit diatas, prosedur diagnostik pada TB-HIV kadang lebih
banyak dan invasif dibanding TB non-HIV.
Gambaran klinik pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung dari derajat berat ringannya.
Semakin berat penyakit HIV yang dialami, semakin buruk gejala dan manifestasi klinis yang
muncul pada pasien karena imunitas yang juga semakin rendah.
Pasien TB dengan perburukan klinis yang berlangsung dengan cepat dapat
meningkatkan kecurigaan ke arah HIV, misalnya keadaan umum yang menurun drastis,
demam tinggi, dan atau sesak napas yang timbul bukan karena bronkospasme yang ditandai
dengan wheezing. Pada stadium lanjut HIV/AIDS, tanda dan gejala klinis HIV/AIDS menjadi
lebih jelas, apalagi bila sudah dilakukan pemeriksaan serologi HIV/AIDS.
Pemeriksaan Sputum BTA9

Pemeriksaan sputum BTA merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam


menegakkan diagnosis TB. Bila ada bahan lain selain sputum, misalnya feses, cairan pleura,
cairan serebrospinal atau pus hasil aspirasi, dapat juga diperiksa BTA. Selain itu, dapat
dilakukan pemeriksan biakan atau kultur resistensi. Walaupun memakan waktu cukup lama,
pemeriksaan kultur yang lebih cepat dengan perkiraan 7 hari bisa dilakukan dengan metode
MODS (Mycroscopic observation drug susceptibility)
Pemeriksaan Radiologi9,10
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis, terutama untuk
pemeriksaan sputum BTA yang memberi hasil negatif selama 3 kali. Gambaran radiologik
juga tergantung dari berat ringannya HIV/AIDS. Pada tahap awal ketika CD4+ masih normal,
gambaran radiologik masih tipikal, seperti infiltrat, fibrosis kaviti dan kalsifikasi dengan
lokasi yang masih di apeks.
Pada HIV stadium lanjut, gambaran radiologik dapat berubah menjadi atipikal dengan
bayangan infiltrat inferior atau berupa pembesaran kelenjar hilus. Manifestasi yang sering
ditemukan berupa TB ekstra paru seperti efusi pleura, efusi perikard atau gambaran milier.
Namun, terkadang gambaran radiologik TB pada pasien HIV dapat normal. Terdapat laporan
bahwa 21% kasus dengan BTA sputum positif dengan kadar CD4+ < 200/uL memberi
gambaran radiologik yang normal.
Uji Tuberkulin9
Uji tuberkulin atau Mantoux test kurang bermakna dalam menegakkan diagnosis TB
pada orang dewasa, terutama apabila dilakukan dalam populasi tinggi TB, seperti di
Indonesia. Hasil uji tuberkulin sangat dipengaruhi oleh derajat imunosupresi. Ditemukan
negatif palsu sebesar 30% pada CD4+ lebih dari 500/uL. Angka tersebut menjadi 100% pada
CD4+ kurang dari 200/uL. Selain itu uji tuberkulin juga dipengaruhi oleh riwayat pemberian
vaksin BCG. Pada bayi yang mendapat BCG, hasil uji tuberkulin positif dapat bermakna
hingga umur 5 tahun. Setelah itu, jarang memperlihatkan kepositifan lebih dari 10 mm. Bila
BCG diberikan pada anak saat masuk sekolah, 15-25% masih berpengaruh positif hingga
umur 20-25 tahun.
Menurut CDC dan ATS,

kriteria uji tuberkulin dinyatakan positif apabila timbul

indurasi setelah 48 jam, lebih dari 10 mm pada seronegatif HIV, dan indurasi setelah 48 jam,
lebih dari 5 mm pada pasien dengan seropositif HIV. Dengan kriteria tersebut, terdapat 274
kasus (63,57%) dari 431 pasien HIV yang didiagnosis TB.
Bila memungkinkan, dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, yani pemeriksaan
histopatologik. Bahan dapat diperoleh dari biopsi kelenjar atau jaringan operasi. Pemeriksaan
lain untuk menunjang diagnosis melalui pendekatan biologi molecular sebagai deteksi DNA

bakteri adalah PCR, BACTEC atau RFLP dan pemeriksaan serologi respon tubuh, seperti
ELISA, Mycodot, PADA atau ADA.
Diagnosis HIV
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Secara garis besar pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi untuk
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan
virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan
virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.6
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan uji antibodi adalah adanya window
period. Window period itu sendiri adalah waku sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai
timbulnya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan tertentu. Antibodi mulai
terbentuk sekitar 4-8 minggu sehingga apabila pemeriksaan antibodi dilakukan sebelum 4-8
minggu, dapat menunjukkan hasil negatif.6
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti
terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila
terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.6
Advisory Committee for the Elimination of Tuberculosis (ACET) merekomendasikan tes
infeksi HIV dilakukan pada setiap pasien dengan TB aktif, tetapi hal tersebut tentu sulit
dicapai pada negara berkembang dan khususnya pada daerah endemik TB. Tes HIV selektif
pada pasien TB dianggap kurang bijak karena klinisi kadang salah mengidentifikasi faktor
risiko HIV pada pasien. Ditemukan hasil tes HIV positif pada lebih dari 5% pasien TB,
walaupun pada kelompok ini tidak ditemukan faktor risiko transmisi HIV yang jelas
(penggunaan obat suntik intravena atau intravena drug users/IVDU, transmisi seksual, dan
transfusi darah).3
Tabel. Uji diagnostik bakteriologis dan histologis pada TB-HIV berdasarkan status imun3
Uji tuberkulin positif
BTA positif pada sputum
BTA positif pada biopsy
Granuloma pada biopsy
Mikobakteremia

4.

CD4 < 200/mm3


30%
56-60%
60-65%
60-75%
20-49%

CD4 > 200/mm3


50%
50-58%
50-56%
67-100%
0-7%

Penatalaksanaan pada pasien TB dengan HIV


Tatalaksana bersama dari penyakit TB dan HIV yang ada saat ini masih menimbulkan

beberapa pertanyaan baik dari segi praktis maupun logistik yang termasuk. Masalah tersebut

mencakup kapan terapi antiretroviral (ART) diberikan pada pasien yang sedang menjalani
regimen pengobatan TB, ARV apa yang sebaiknya diberikan, serta bagaimana langkah ideal
dalam memonitor pasien untuk kadar toksisitas dan keberhasilan pengobatan.11
Secara universal, pengobatan TB harus segera dilaksanakan pada pasien dengan
diagnosis TB yang sudah dapat ditegakkan. Hal itu dilakukan untuk menurunkan angka
kematian dan risiko penularan TB ke orang lain. Guidelines WHO mengindikasikan bahwa
waktu pemberian terapi ARV pada pasien TB dengan HIV didasarkan pada derajat
imunosupresi yang direpresentasikan dengan kadar sel CD4+ dalam tubuh. Walaupun
demikian, perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut karena data tentang toksisitas obat, dan
keuntungan untuk memulai terapi ARV pada derajat imunosupresi tertentu masih belum
mencukupi. Beberapa faktor yang dapat memperburuk penggunaan obat anti tuberkulosis dan
ARV secara bersamaan antara lain efek toksik akumulasi dari kedua obat, interaksi obat,
kesulitan penggunaaan obat multipel lainnya. 11
Pilihan obat ARV yang dapat digunakan sangat bergantung pada interaksinya dengan
rifampin yang digunakan sebagai OAT karena efeknya terhadap level obat ARV golongan
protease inhibitor dan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs).
Penggunaan regimen nevirapine dengan rifampisin masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut mengenai keefektifan pengobatan. Regimen efavirenz sudah lebih banyak dipelajar dan
direkomendasikan untuk keadaan seperti diatas, tetapi dosis pasti yang ideal untuk efavirenz
masih harus diteliti lebih lanjut karena efek dari rifampin pada metabolisme efavirenz di
dalam tubuh.11
Banyaknya ketidakpastian dalam penatalaksanaan pasien TB dengan HIV menuntut
untuk dilakukannya studi klinis dan penelitian mengenai farmakokinetik lebih intensif pada
pasien yang menerima terapi anti-tuberkulosis dan ARV secara bersamaan.12
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien
TB sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Lain halnya pada daerah dengan prevalensi
HIV rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya dilakukan pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pasien TB dengan risiko tinggi
terpajan HIV. Beberapa faktor pada pasien TB yang memerlukan ujian HIV, adalah:12
ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
multi-drug resistant TB atau TB kronik
Pada dasarnya, pengobatan TB pada pasien dengan HIV sama dengan pasien TB tanpa
HIV yaitu menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta
jangka waktu yang tepat. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respons

terhadap pengobatan, perlu dipikirkan terdapat resistensi obat atau malabsorpsi obat yang
dikonsumsi karena pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi keadaan imunosupresi berat
dengan derajat penyerapan obat. Hal tersebut dapat menyebabkan konsentrasi obat OAT
dalam serum rendah sehingga tidak efektif. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV
harus memperhatikan jumlah limfosit CD4+ dan sesuai dengan rekomendasi yang ada.11
Tabel. Penggunaan ART pada pasien TB11
Jumlah
sel CD4+
CD4+
200/mm3

Regimen yang
Keterangan
dianjurkan
< Mulai terapi TB
Dianjurkan ART :
Mulai terapi ART segera EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu
setelah terapi TB dapat hamil atau perempuan usia subur tanpa
ditoleransi

(antara

minggu-2 bulan)
Regimen
mengandung EFV

CD4+

200-350/ Mulai terapi TB

mm3

2 kontrasepsi efektif.
EFV dapat diganti dengan :
-SQV/RTV 400/400mg 2x/hari
yang
-SQV/r 1600/200 4x/hari (dalam formula
soft gel-sgc) atau
-LPV/RTV 400/400mg 2x/hari
Pertimbangan ART
Mulai salah satu paduan di bawah ini
setelah selesai fase intensif (mulai lebih
dini dan bila penyakit berat) :
-Paduan yang mengandung EFV :
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800mg/hari) atau
-Paduan yang mengandung NVP bila
paduan

TB

fase

lanjutan

tidak

menggunakan rifampisin (AZT atau d4T) +


3TC+NVP
CD4+

>

mm3
CD4+

350 Mulai terapi TB


tidak Mulai terapi TB

Tunda ART
Pertimbangan ART

mungkin
diperiksa
Keterangan:
Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan
adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan
secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi tanpa memandang CD4+

Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan

setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan


Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)

Pemakaian obat HIV/AIDS, misalnya zidovudin, akan meningkatkan kemungkinan

terjadinya efek toksik OAT.11


Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena

bersifat buffer antasida.11


Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan non-nukleotida dan
inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena
rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir hingga 82%. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan.12

Evaluasi pengobatan TB/HIV


Evaluasi pengobatan pasien meliputi evaluasi klinis, laboratorik, radiologik, efek
samping obat, penanganan efek samping obat, evaluasi keteraturan obat, dan timbulnya
resistensi terhadap obat.12
Evaluasi klinis
o HIV
Evaluasi klinis meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan untuk

mengidentifikasi ada tidaknya alergi terhadap nevirapin


Selanjutnya, evaluasi dilakukan setiap 1 bulan untuk melihat respons
pengobatan, ada tidaknya efek samping obat, misalnya anemia, serta ada

tidaknya komplikasi penyakit


Evaluasi juga meliputi keteraturan berobat (adherence)
o Tuberkulosis
Evaluasi klinis meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan untuk
menilai toleransi terhadap pengobatan, misalnya ada tidaknya keluhan

gastrointestinal atau hati


Evaluasi dilakukan setiap bulan untuk melihat respons pengobatan, ada tidaknya

efek samping obat, serta komplikasi penyakit


Evaluasi juga meliputi keteraturan obat
Evaluasi Laboratorik
o HIV

Dilakukan setiap bulan, yaitu untuk pemeriksaan Hb, leukosit, trombosit,


sediaan apus, dan jumlah limfosit (limfosit total 1200 sel/mm 3 kira kira setara

dengan jumlah CD4 200 sel/mm3)


Pemeriksaan hitung CD4+ dan viral loading dilakukan setiap 3-6 bulan bila

memungkinkan
Bila ada indikasi dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Ginjal, lipid, dan gula

darah.
o TB
Tujuannya untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak dari BTA positif

menjadi BTA negatif


Evaluasi pemeriksaan mikroskopok dilakukan :
Setelah 2 bulan pengobatan atau setelah fase intensif
1 bulan sebelum akhir pengobatan
pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan dilakukan pemeriksaan biakan sebelum pengobatan
(terutama kasus kategori II), setelah fase intensif (terutama yang tidak terjadi

konversi), dan pada akhir pengobatan\


Evaluasi Radiologik
o Evaluasi rontgen toraks dilakukan untuk menilai respons pengobatan TB dan menilai
kemungkinan adanya kelainan paru non-TB seperti pneumonia, khususnya PCP
(pneumonia P. Canini)

Efek samping obat


o

Efek samping OAT pada pasien TB dengan HIV/AIDS lebih sering terjadi
dibandingkan pada pasien TB tanpa HIV/AIDS karena pada HIV/AIDS terjadi
penurunan daya tahan tubuh serta obat-obatan untuk AIDS sendiri akan
meningkatkan

imunosupresi.

Bila

suatu

obat

harus

diubah

serta

harus

dipertimbangkan kembali jangka waktu pengobatannya. Bila pada evaluasi klinis


dicurigai adanya efek samping, dilakukan pemeriksaan untuk memastikannya antara
lain, fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin), fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), dan
gula darah.12

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO.

Tuberculosis

and

HIV.

Available

from:

http://www.who.int/hiv/topics/tb/en/index.html [Cited March 7th 2012]


2. CDC. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIVInfected Adults and Adolescents, Early Release March 2009. Department of health and
human services Centers for Disease Control and Prevention USA; 2009.
3. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection: epidemiology, diagnosis &
management. Indian J Med Res. 2005;121:550-67.
4. Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia.

Tuberkulosis:

Pedoman

Diagnosis

dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006. 5-27

5. Fauci AS, Lane LC. Human immunodeficiency virus disease: AIDS and related disorder.
In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. San Fransisco: McGraw-Hill; 2008.
p.1137-203
6. Djoerban Z, Djauzi S. Respons imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid 3. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.
7. Zuber A, Mohd S. Manifestations of Tuberculosis in HIV Patients. JIACM 2005;
6(4):302-5
8. Soepandi PZ. TB Management in HIV Patients. In: Widjaya T, Benyamin YT, Sbourno E,
editors . The national symposium: up date on tuberculosis and respiratory disorders/
Bleslink Rema. Bandung 2007:65-70
9. Hudoyo Ahmad,et al. Diagnosis TB_Paru Pada Pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia. 2008;4(2).
10. Deivanayagam CN, Rajasekaran S, Senthilnathan V, et al. Clinico-radiological spectrum
of tuberculosis among HIV seropositives: A Tambram study. Ind J Tub. 2001; 48:123-7.
11. Tsiouris SJ, Gandhi N, El-Sadr W, Friedland G. Tuberculosis and HIV: operational
challenges

facing

collaboration

and

integration.

Available

from:

http://www.who.int/tdr/publications/publications/swg_tub.html [Cited March 7th 2012]


12. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Pencegahan dan pengobatan tuberkulosis pada
orang dengan HIV/AIDS. Departemen Kesehatan RI; 2006

Вам также может понравиться