Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Tuberkulosis primer
Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik yang disebut sarang
primer atau afek primer atau sarang fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivitas. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis regional). Peradangan tersebut
diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu.4
B.
infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder terjadi
karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal
ginjal. TB post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru
(bagian apikalposterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim
parudan tidak ke nodus hiler paru.4
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel Datia-Langhans (sel-sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel
limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat. TB post primer juga dapat berasal dari infeksi
eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua.4
HIV/AIDS
Ketika seseorang telah terinfeksi HIV, maka partikel virus akan bergabung dengan DNA
sel pasien sehingga seumur hidup pasien akan tetap terinfeksi. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan kerusakan sistem kekebalan
tubuh yang juga bertahap.
Imunopatologi HIV
Setelah terjadinya viremia pada infeksi primer, seseorang yang terinfeksi HIV akan
mengalami respons imun yang meningkat cepat. Dalam sebagian besar kasus, respons imun
yang meningkat dengan cepat mengakibatkan berkurangnya viremia pada plasma dan
berkontribusi terhadap perlambatan perkembangan manifestasi klinis selama 10 tahun pada
pasien yang tidak menerima terapi.5,6
Respons imun ini memiliki komponen imunitas humoral dan imunitas seluler. Respons
imun terutama ditujukan untuk melawan antigen multipel dari virion HIV dan melawan
protein virus yang diekspresikan pada permukaan dari sel terinfeksi. Namun, sel-sel CD4+
yang seharusnya dipergunakan melawan virus tersebut justru merupakan sel-sel yang
memiliki reseptor spesifik terhadap HIV. Pada dasarnya, infeksi HIV mengakibatkan
gangguan dan penurunan dari populasi CD4+ yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons
imun.5,6
merupakan penanda berakhirnya replikasi virus yang akan terns berlanjut di dalam makrofag
dan di CD4+ jaringan.6
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Pada
fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga
beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita lirnfadenopati
persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi oportunistik ringan, seperti
sariawan (Candida atau herpes zoster). Selama fase ini, replikasi virus dalam jaringan
limfoid terus berlanjut yang diikuti dengan kemampuan regenerasi sistem imun (CD4+).
Namun, semakin lama sistem regenerasi CD4+ akan berkurang dan jumlah sel CD4+ hidup
yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah)
mencerminkan onset adanya dekompensasi sistern imun, peningkatan replikasi virus, dan onset
fase "krisis".
Fase krisis, yang merupakan tahap akhir dari infeksi HIV, ditandai dengan kehancuran
pertahanan pejamu, peningkatan viremia yang nyata, serta gambaran klinis yang semakin jelas.
Para pasien biasanya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, malaise, penurunan berat
badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/L. Setelah adanya interval
yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma
sekunder, dan/atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS),
dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan,
jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan
saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang
atau sama dengan 200/L sebagai pengidap AIDS.6
Manifestasi Klinis HIV
Individu yang terinfeksi HIV terkadang dapat bersifat asimtomatik. Gejala utama
berupa sakit kepala, sakit tenggorokan, panas, ruam, dan malaise yang terjadi sekitar 2-6
minggu setelah infeksi, tetapi dapat pula terjadi antara 5 hari dan 3 bulan. Gejala klinis
infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot atau sendi, lemah, mukokutan (ruam kulit,
ulkus di mulut), limfadenopati, neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang mata, fotofobia,
meningitis, ensefalitis), dan saluran cerna (anoreksia, mual, diare, jamur di mulut). 6
Ciri klinis
AIDS
1.
Infeksi oportunistik
2.
Protozoa (kriptosporidiosis)
3.
4.
Jamur
(kandida,
K.
neoformans,
H.
kapsulatum, pneumokistis)
5.
6.
Tumor
7.
Limfoma
(EBV-limfoma
dengan sel B)
8.
Sarkoma Kaposi
9.
Ensefalopati
10.
Wasting syndrome
berhubungan
Didapati juga perubahan antigen p24 dan antibodi yang ditemukan pada penderita dengan
penyakit lanjut. Penyakit AIDS lanjut sering juga disertai dengan berat badan menurun yang
disebabkan perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang masuk tubuh. Demensia dapat
terjadi akibat infeksi mikroglia (makrofag dalam otak).6
TB-HIV
Infeksi HIV merupakan faktor risiko terjadinya TB. Orang dengan HIV/AIDS memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami infeksi TB primer atau reaktivasi dari infeksi TB
laten. HIV mengakibatkan peningkatan dari supresi sistem imun sehingga menyebabkan
individu dengan HIV lebih rentan terkena TB.
Selain itu, infeksi tidak dapat dihambat dengan baik pada reaktivasi tuberkulosis,
sehingga terjadi penyebaran penyakit, sehingga menimbulkan penyakit ekstrapulmonal. Hal
ini didukung dari penelitian eksperimental yang menunjukkan adanya penurunan produksi sel
TH1 oleh limfosit pada individu dengan TB/HIV yang terpapar M. tuberculosis.1,3
Dampak HIV pada TB
Patogenesis dari infeksi tuberkulosis dan HIV berhubungan dengan respons imun
seluler, terutama sel limfosit T CD4+. Infeksi HIV mengakibatkan deplesi dari sel limfosit T
CD4+, sehingga mengakibatkan defek respons imun terhadap M. tuberculosis. Patogenesis
TB pada HIV dapat terjadi melalui reaktivasi dari infeksi laten tuberkulosis menjadi penyakit
TB aktif, atau dengan progresi cepat infeksi M. tuberculosis menjadi penyakit TB.1,3
Respons imun TH1 yang dikarakterisasi dengan imunitas seluler adekuat merupakan
respons imunitas yang berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis.
Pada individu dengan HIV, terdapat gangguan pada komponen imun yang berperan pada
imunitas seluler. Oleh karena itu, pada individu dengan HIV dan infeksi TB laten, terjadi
ketidakseimbangan antara M. tuberculosis dan respons imun, sehingga terjadi reaktivasi. Pada
reaktivasi M. tuberculosis, sel limfosit T CD4+ yang berperan melawan HIV, harus juga
berperan untuk mempertahankan tubuh dari infeksi M. tuberculosis. Hal ini dapat
mengakibatkan penurunan sel limfosit T CD4+ dengan drastis.1,3
Dampak TB pada HIV
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit TB dapat mempercepat deteriorasi
imunitas yang diinduksi oleh HIV. Hal ini didukung dengan penemuan yang menunjukkan
adanya deplesi sel limfosit T CD4+ pada penyakit TB. Selain itu TB dapat mengakibatkan
stimulasi sistem imun dan peningkatan produksi TNF, sehingga mengakibatkan replikasi HIV
di jaringan yang dipengaruhi oleh TB, seperti paru dari cairan pleura. Individu dengan
koinfeksi HIV dan TB memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi oportunistik dan
kematian, dibandingkan dengan individu dengan HIV tanpa TB.1,3
3. Manifestasi klinis TB pada pasien HIV
Manifestasi Klinis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik paling umum (80%) yang ditemukan pada
pasien HIV/AIDS. Tuberkulosis yang dialami oleh pasien HIV akan memberikan manifestasi
klinis yang lebih buruk karena kondisi imun pasien yang rendah.7
Pada umumnya, gejala klinis yang muncul hampir sama dengan gejala klinis yang
dialami oleh pasien TB tanpa HIV. Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).7
Gejala respiratori3,8
1 Batuk 2 minggu. Gejala batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan
bronkus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat
adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif
2
batuk darah yang timbul tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
Sesak napas, terutama ditemukan pada derajat penyakit yang lebih lanjut dengan
nafsu makan berkurang, berat badan menurun, sakit kepala, dan mudah lelah.
Gejala TB ekstraparu3,7,8
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis
TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari KGB. Pada meningitis TB,
akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Berikut adalah persentase manifestasi TB pada pasien HIV/AIDS7
TB paru
TB ekstra paru
80%
38,46%
6.9%
13.85%
3.85%
1.54%
0.77%
0.77%
61.54%
20%
18.46%
Seringkali
Seringkali
pulmoner:ekstrapulmoner
Gejala klinis
menyerupai
primer
Radiografi toraks
TB menyerupai TB postprimer
Limfadenopati intratorakal
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Kavitasi
Jarang
Sering
Sering
Jarang
BTA positif
Lebih jarang
Sering
Sering
Jarang
Karena adanya faktor-faktor penyulit diatas, prosedur diagnostik pada TB-HIV kadang lebih
banyak dan invasif dibanding TB non-HIV.
Gambaran klinik pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung dari derajat berat ringannya.
Semakin berat penyakit HIV yang dialami, semakin buruk gejala dan manifestasi klinis yang
muncul pada pasien karena imunitas yang juga semakin rendah.
Pasien TB dengan perburukan klinis yang berlangsung dengan cepat dapat
meningkatkan kecurigaan ke arah HIV, misalnya keadaan umum yang menurun drastis,
demam tinggi, dan atau sesak napas yang timbul bukan karena bronkospasme yang ditandai
dengan wheezing. Pada stadium lanjut HIV/AIDS, tanda dan gejala klinis HIV/AIDS menjadi
lebih jelas, apalagi bila sudah dilakukan pemeriksaan serologi HIV/AIDS.
Pemeriksaan Sputum BTA9
indurasi setelah 48 jam, lebih dari 10 mm pada seronegatif HIV, dan indurasi setelah 48 jam,
lebih dari 5 mm pada pasien dengan seropositif HIV. Dengan kriteria tersebut, terdapat 274
kasus (63,57%) dari 431 pasien HIV yang didiagnosis TB.
Bila memungkinkan, dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, yani pemeriksaan
histopatologik. Bahan dapat diperoleh dari biopsi kelenjar atau jaringan operasi. Pemeriksaan
lain untuk menunjang diagnosis melalui pendekatan biologi molecular sebagai deteksi DNA
bakteri adalah PCR, BACTEC atau RFLP dan pemeriksaan serologi respon tubuh, seperti
ELISA, Mycodot, PADA atau ADA.
Diagnosis HIV
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Secara garis besar pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi untuk
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan
virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan
virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.6
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan uji antibodi adalah adanya window
period. Window period itu sendiri adalah waku sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai
timbulnya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan tertentu. Antibodi mulai
terbentuk sekitar 4-8 minggu sehingga apabila pemeriksaan antibodi dilakukan sebelum 4-8
minggu, dapat menunjukkan hasil negatif.6
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti
terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila
terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.6
Advisory Committee for the Elimination of Tuberculosis (ACET) merekomendasikan tes
infeksi HIV dilakukan pada setiap pasien dengan TB aktif, tetapi hal tersebut tentu sulit
dicapai pada negara berkembang dan khususnya pada daerah endemik TB. Tes HIV selektif
pada pasien TB dianggap kurang bijak karena klinisi kadang salah mengidentifikasi faktor
risiko HIV pada pasien. Ditemukan hasil tes HIV positif pada lebih dari 5% pasien TB,
walaupun pada kelompok ini tidak ditemukan faktor risiko transmisi HIV yang jelas
(penggunaan obat suntik intravena atau intravena drug users/IVDU, transmisi seksual, dan
transfusi darah).3
Tabel. Uji diagnostik bakteriologis dan histologis pada TB-HIV berdasarkan status imun3
Uji tuberkulin positif
BTA positif pada sputum
BTA positif pada biopsy
Granuloma pada biopsy
Mikobakteremia
4.
beberapa pertanyaan baik dari segi praktis maupun logistik yang termasuk. Masalah tersebut
mencakup kapan terapi antiretroviral (ART) diberikan pada pasien yang sedang menjalani
regimen pengobatan TB, ARV apa yang sebaiknya diberikan, serta bagaimana langkah ideal
dalam memonitor pasien untuk kadar toksisitas dan keberhasilan pengobatan.11
Secara universal, pengobatan TB harus segera dilaksanakan pada pasien dengan
diagnosis TB yang sudah dapat ditegakkan. Hal itu dilakukan untuk menurunkan angka
kematian dan risiko penularan TB ke orang lain. Guidelines WHO mengindikasikan bahwa
waktu pemberian terapi ARV pada pasien TB dengan HIV didasarkan pada derajat
imunosupresi yang direpresentasikan dengan kadar sel CD4+ dalam tubuh. Walaupun
demikian, perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut karena data tentang toksisitas obat, dan
keuntungan untuk memulai terapi ARV pada derajat imunosupresi tertentu masih belum
mencukupi. Beberapa faktor yang dapat memperburuk penggunaan obat anti tuberkulosis dan
ARV secara bersamaan antara lain efek toksik akumulasi dari kedua obat, interaksi obat,
kesulitan penggunaaan obat multipel lainnya. 11
Pilihan obat ARV yang dapat digunakan sangat bergantung pada interaksinya dengan
rifampin yang digunakan sebagai OAT karena efeknya terhadap level obat ARV golongan
protease inhibitor dan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs).
Penggunaan regimen nevirapine dengan rifampisin masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut mengenai keefektifan pengobatan. Regimen efavirenz sudah lebih banyak dipelajar dan
direkomendasikan untuk keadaan seperti diatas, tetapi dosis pasti yang ideal untuk efavirenz
masih harus diteliti lebih lanjut karena efek dari rifampin pada metabolisme efavirenz di
dalam tubuh.11
Banyaknya ketidakpastian dalam penatalaksanaan pasien TB dengan HIV menuntut
untuk dilakukannya studi klinis dan penelitian mengenai farmakokinetik lebih intensif pada
pasien yang menerima terapi anti-tuberkulosis dan ARV secara bersamaan.12
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien
TB sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Lain halnya pada daerah dengan prevalensi
HIV rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya dilakukan pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pasien TB dengan risiko tinggi
terpajan HIV. Beberapa faktor pada pasien TB yang memerlukan ujian HIV, adalah:12
ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
multi-drug resistant TB atau TB kronik
Pada dasarnya, pengobatan TB pada pasien dengan HIV sama dengan pasien TB tanpa
HIV yaitu menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta
jangka waktu yang tepat. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respons
terhadap pengobatan, perlu dipikirkan terdapat resistensi obat atau malabsorpsi obat yang
dikonsumsi karena pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi keadaan imunosupresi berat
dengan derajat penyerapan obat. Hal tersebut dapat menyebabkan konsentrasi obat OAT
dalam serum rendah sehingga tidak efektif. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV
harus memperhatikan jumlah limfosit CD4+ dan sesuai dengan rekomendasi yang ada.11
Tabel. Penggunaan ART pada pasien TB11
Jumlah
sel CD4+
CD4+
200/mm3
Regimen yang
Keterangan
dianjurkan
< Mulai terapi TB
Dianjurkan ART :
Mulai terapi ART segera EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu
setelah terapi TB dapat hamil atau perempuan usia subur tanpa
ditoleransi
(antara
minggu-2 bulan)
Regimen
mengandung EFV
CD4+
mm3
2 kontrasepsi efektif.
EFV dapat diganti dengan :
-SQV/RTV 400/400mg 2x/hari
yang
-SQV/r 1600/200 4x/hari (dalam formula
soft gel-sgc) atau
-LPV/RTV 400/400mg 2x/hari
Pertimbangan ART
Mulai salah satu paduan di bawah ini
setelah selesai fase intensif (mulai lebih
dini dan bila penyakit berat) :
-Paduan yang mengandung EFV :
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800mg/hari) atau
-Paduan yang mengandung NVP bila
paduan
TB
fase
lanjutan
tidak
>
mm3
CD4+
Tunda ART
Pertimbangan ART
mungkin
diperiksa
Keterangan:
Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan
adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan
secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi tanpa memandang CD4+
Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan
memungkinkan
Bila ada indikasi dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Ginjal, lipid, dan gula
darah.
o TB
Tujuannya untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak dari BTA positif
Efek samping OAT pada pasien TB dengan HIV/AIDS lebih sering terjadi
dibandingkan pada pasien TB tanpa HIV/AIDS karena pada HIV/AIDS terjadi
penurunan daya tahan tubuh serta obat-obatan untuk AIDS sendiri akan
meningkatkan
imunosupresi.
Bila
suatu
obat
harus
diubah
serta
harus
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO.
Tuberculosis
and
HIV.
Available
from:
Dokter
Paru
Indonesia.
Tuberkulosis:
Pedoman
Diagnosis
dan
5. Fauci AS, Lane LC. Human immunodeficiency virus disease: AIDS and related disorder.
In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. San Fransisco: McGraw-Hill; 2008.
p.1137-203
6. Djoerban Z, Djauzi S. Respons imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid 3. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.
7. Zuber A, Mohd S. Manifestations of Tuberculosis in HIV Patients. JIACM 2005;
6(4):302-5
8. Soepandi PZ. TB Management in HIV Patients. In: Widjaya T, Benyamin YT, Sbourno E,
editors . The national symposium: up date on tuberculosis and respiratory disorders/
Bleslink Rema. Bandung 2007:65-70
9. Hudoyo Ahmad,et al. Diagnosis TB_Paru Pada Pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia. 2008;4(2).
10. Deivanayagam CN, Rajasekaran S, Senthilnathan V, et al. Clinico-radiological spectrum
of tuberculosis among HIV seropositives: A Tambram study. Ind J Tub. 2001; 48:123-7.
11. Tsiouris SJ, Gandhi N, El-Sadr W, Friedland G. Tuberculosis and HIV: operational
challenges
facing
collaboration
and
integration.
Available
from: