Вы находитесь на странице: 1из 23

KONTRIBUSI IMAM SYAFII

DALAM PERKEMBANGAN ILMU HADIS


Oleh: Irsyadunnas1
Abstrak
The discussion of hadith (prophetic tradition) and ilm al-hadith (the science of prophetic
tradition) has occupied a long period in the history of islamic science. As the result,
various theories or qaida appeared, which were contributed by scholars and hadith
experts. Most of them built and used their theories to defend the exsistence of hadith as
guidelines for muslims life, afer the Al-Quran.
A scholars who had a significant role in the discussion was Imam ash-Shafii, but
his name was rarely mentioned in historical documentations. Moreover, he was not
regarded as important as the figures of kutub as-sitta and kutub at-tisa. What is, exactly,
the contributions of Imam ash-Shafii concerning the development of hadith and ilm alhadith? The present paper aims mainly to answer the question.
The research uses library research method. The main refferences of the research are
written materials, mainly the works of Imam ash-Shafii: ar-Risala and al-Umm. While, the
data are analysed in descriptive-analysis-qualitative method.
The research shows that Imam ash-Shafii was a pioneer of ilm al-hadith, though
his theory has not been arranged systematically. In his two popular works, ar-Risala and
al-Umm, he wrote theories on which the science of hadith and ilm al-hadith were further
developed in later periods. Two theories that ash-Shafii offered were the concepts of
khabar amma and khabar khassa, which are known among hadith experts as hadith
mutawatir and hadith ahad.
Key Wordl: Imam Syafii, khabar ammat, khabar khashshat, al-Risalat, al-Umm
I.

A. PENDAHULUAN
Telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa dalam wujud ajaran Islam, Rasulullah

SAW merupakan tokoh sentral yang sangat dibutuhkan. Kehadiran beliau bukan hanya
sekedar pembawa risalah ilahiyah, akan tetapi lebih dari itu juga memegang peranan
penting sebagai satu-satunya tokoh yang dipercaya oleh Allah untuk menyampaikan,
menjelaskan, merinci serta memberi contoh terhadap pelaksanaan risalah ilahiyah tersebut.
Atas dasar itulah segala sesuatu yang berasal atau bersumber dari Rasulullah SAW juga
disepakati sebagai dalil syara atau sumber ajaran Islam yang pokok setelah Al-Quran.
1Penulis adalah dosen pada Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yagyakarta.

Penjelasan, rincian serta contoh-contoh yang diberikan oleh Rasulullah SAW


semasa hidupnya itulah yang kemudian dikenal dengan istilah hadis. Oleh karena itu, secara
keseluruhan hadis itu wajib diyakini kehujjahannya. Keyakinan seperti ini juga ditegaskan
oleh Al-Quran sendiri dengan perintah untuk mentaati Allah SWT dan Rasulullah SAW
secara sekaligus (QS. Taubah/9: 71) Dengan demikian dapat dipahami bahwa kehujjahan
hadis sesungguhnya telah dijelaskan oleh Al-Quran.
Meskipun kehujjhan hadis telah mendapat legitimasi dari Al-Quran, para ulama
tetap meyakini ada perbedaan yang cukup mendasar antara Al-Quran dengan hadis yaitu
tentang nilai kehujjahannya. Jika Al-Quran telah disepakati nilai kehujjahannya mencapai
tingkat qathiy, sedangkan hadis hanya sampai pada tingkat zhanniy. Penyebab utama dari
perbedaan ini adalah bersumber dari latar belakang masing-masing dari Al-Quran dan
hadis.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa Al-Quran sudah ditulis sejak zaman
Rasulullah SAW masih hidup. Sementara itu, berkaitan dengan hadis belum ada
kesepakatan. Menurut Sibai, belum ditulisnya hadis pada zaman Rasulullah SAW
disebabkan oleh beberapa hal yaitu: 1) para sahabat khawatir akan bercampurnya antara AlQuran dan hadis, 2) masih sangat sedikitnya sahabat yang memiliki kemampuan untuk
menulis sehingga tenaga mereka diperioritaskan untuk menulis Al-Quran, 3) adanya
larangan langsung dari Rasulullah SAW2.
Dalam sejarah perkembangannya, teks-teks hadis telah cukup lama tersimpan dalam
hafalan para penghafalnya (tidak tertulis). Dalam waktu yang cukup panjang, hafalan-

2Mustafa al-Sibaiy, al-Sunnat wa Makanatuhu fiy al-Tasyri al-Islamiy, (t.tp: Dar al-Qaumiyyah, t.th), h. 1617.

hafalan tersebut telah berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pertemuan guru murid. Karena itulah, sebahagian ulama menyatakan bahwa dari segi
wurud-nya hadis-hadis Rasulullah SAW tersebut bernilai zhanniy (diduga kuat berasal dari
Rasulullah SAW)3.
Dalam konteks inilah, kajian terhadap hadis-hadis Rasulullah SAW menjadi suatu
keniscayaan. Para ulama dari setiap generasi telah berupaya untuk menjaga dan memelihara
eksistensi hadis dengan cara meneliti dan mengkaji akan keberadaan sumber-sumber hadis.
Mereka telah mencurahkan segenap tenaga dan fikirannya tanpa pamrih. Dari sinilah
kemudian muncul kitab-kitab hadis yang populer, yang kemudian menjadi bahan rujukan
bagi kaum muslimin secara keseluruhan.
Di antara ulama-ulama tersebut, muncul seorang tokoh yang sudah tidak diragukan
lagi kapabilitas dan kredibilitasnya dalam bidang hadis dan fiqih, dialah Imam Syafii.
Dalam kajian-kajian keislaman, beliau lebih populer dikenal sebagai seorang ahli fiqih (dari
pada ahli hadis). Sementara itu kredibilitasnya dalam bidang hadis kurang populer.
Sebagaimana dalam bidang fikih beliau termasuk salah seorang imam mazhab, tapi dalam
bidang hadis beliau tidak termasuk dalam deretan tokoh-tokoh hadis yang terkenal dengan
istilah kutub al-sittah dan kutub al- tisah. Padahal beliau memiliki dua kitab yang sangat
monumental yaitu al-Risalat dan al-Umm. Atas dasar itulah, penelitian ini akan difokuskan
untuk mengungkap sosok Imam Syafii dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli hadis.
Persoalan utama yang akan diteliti adalah siapakah sesungguhnya Imam Syafii?
Bagaimanakah kontribusinya terhadap perkembangan hadis dan ilmu hadis?

3Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnat Qabl al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 103.

B. PEMBAHASAN
1. Biografi Imam Syafii
Nama populernya adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Usman bin alSyafii4. Dia lahir pada tahun 150 H./767 M. dan meninggal pada tahun 204 H./819 M.
Tempat kelahirannya adalah daerah Gazza, sebuah daerah yang masuk ke dalam wilayah
Palestina.5
Imam Syafii sejak kecil sudah menyandang pridiket anak yatim. Ayahnya
meninggal ketika usianya belum mencapai dua tahun dan hidup dalam keadan miskin.
Meskipun demikian, ibunya perhatian besar untuk dapat mendidik dan menyekolahkan
anaknya dengan baik, sementara itu dia sendiri sejak kecil telah menampakkan diri sebagai
seorang anak yang cerdas.6 Kecerdasannya terlihat ketika dia masih berumur sangat muda.
Dalam usia tujuh tahun dia sudah hafal Al-Quran. Dalam usia sepuluh tahun dia sudah bisa
menghafal kitab Muwatta Imam Malik.7
Imam Syafii tinggal di Mekah bersama ibunya sejak usia dua tahun (setelah
ayahnya meninggal). Di sinilah dia menghabiskan masa kecilnya untuk mempelajari
pengetahuan dasar seperti membaca, menulis, menghafal Al-Quran dan hadis. Di samping
itu, dia juga mempelajari masalah-masalah keagamaan lainnya pada ulama-ulama Mesjid
al-Haram.8 Untuk pelajaran bahasa dan sastra dia belajar kepada Huzail, seorang tokoh
4Muhammad Abu Zahra, al-Syafii Hayatuhu wa Ashruhu wa Fiqhuhu, (t.tp: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th), h.
15.
5Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabiy, Siyar Alam al-Nubala, (Beirut: Muassasat alRisalat, t.th), h. 10. Lihat juga Muhammad Al-Khudariy, Tarikh al-Tasyri al-Islamiy, (Mesir: Maktabat alTijariyat al-Kubra, 1960), h. 151.
6Ibnu Abi Hatim al-Raziy, Adab al-Syafii wa Manaqibuhu, (Damasyqus: Maktabat al-Turats al-Ilsmaiy, t.th),
h. 24.
7Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabiy, op. cit., h. 11.
8Ibnu Abi Hatim al-Raziy, loc. cit.

sastrawan Arab yang sangat terkenal.9. Ilmu fiqih dipelajarinya dari Muslim al-Khalid alZanjiy, seorang mufti Mekah yang terknal.10
Pada tahun 164 H, dia datang ke Medinah untuk belajar agama kepada ulama-ulama
di sana, terutama dalam bidang fiqih dan hadis. Di sinilah dia berkenalan dengan Imam
Malik, salah seorang ahli hadis Medinah dan berguru kepadanya. Di samping itu dia juga
belajar hadis kepada Abdul Azis bin Muhammad al-Darawardi, Ibrahim bin Saad alAnshari, Ibrahim bin Yahya dan Abdullah bin Nafi al-Shaigh.11
Pengembaraan Imam Syafii dalam menuntut ilmu, terutama dalam bidang fiqih dan
hadis, berakhir di Irak. Di sini dia menemukan suatu metodologi berfikir yang agak berbeda
dari yang sudah dia ketahui, yakni metode berfikir rasional. Tokohnya yang paling
terkemuka adalah Imam Abu Hanifah. Dia tertarik dengan metode tersebut dan
mempelajarinya melalui salah seorang murid dari Imam Abu Hanifah yaitu Muhammad alHasan al-Syaibani. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi yang cukup a lot. 12 Dari
diskusi-diskusi itulah kemudian dia memunculkan suatu corak berfikir yang baru, yang
lebih dikenal dengan corak berfikir moderat, di mana dia berusaha menggabungkan corak
berfikir tradisional ulama Medinah (Imam Malik) dengan corak berfikir ulama Irak (Imam
Abu Hanifah).13
Dalam usia yang sudah sangat matang dan ilmu yang cukup mumpuni, Imam
Syafii kembali ke Mekah. Pada saat ini, posisinya sudah berbalik, di mana dulunya hanya
9Muhammad Abu Zahra, op. cit., h. 19.
10Ibnu Abi Hatim al-Raziy, op. cit., h. 39.
11Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabiy, op. cit., h. 7.
12Abdul Halim al-Jundiy, al-Imam al-Syafii Nashir al-Sunnah wa Wadhi al-Ushul, (Mesir: Dar al-Maarif,
t.th), h. 81-83.
13Faruq Abu Zaid, al-Syariat al-Islamiyyat Bain al-Muhafizhin wa Mujaddidin, (t.tp: Dar al-Maun li alThabaah, , t.th), h. 47.

sebagai seorang murid, maka sekarang sudah menjadi seorang guru. Salah seorang ulama
terkenal yang juga berguru kepadanya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Di samping
kesibukannya menerima kedatangan banyak murid, dia masih bisa menyisakan waktu untuk
menulis. Sebuah kitab yang berhasil ditulisnya adalah kitab al-Risalat, yang kemudian
dikalangan ulama dikenal dengan sebutan kitab al-Risalat al-Qadimah (kitab al-Risalat
lama).14
Setelah menetap di Mekah lebih kurang satu tahun, Imam Syafii hijrah lagi ke
Mesir dan menetap di sana sampai wafatnya pada tahun 204 H./219 M. Perpindahan tempat
juga membawa pengaruh terhadap pola pikirnya sesuai dengan perkembangan dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya. Karena itulah, kemudian fatwa-fatwa yang dikeluarkannya
di Mekah berbeda dengan yang di Mesir. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
qawl al-qadim (fatwa-fatwanya ketika berada di Mekah) dan qawl al-jadid (fatwa-fatwanya
yang muncul ketika berada di Mesir).15
Selama berada di Mesir, Imam Syfaii banyak menghasilkan tulisan-tulisan dan
karya-karya yang monumental dan bermutu, di antaranya: kitab al-Risalat, kitab Ikhtilaf alHadis, kitab al-Raad Ala Muhammad bin al-Hasan, kitab al-Sunan,16 kitab Ahkam AlQuran, kitab Fadha al-Quraisy,17 kitab al-Umm, kitab al-Amaliy al-Kubra, kitab al-Imla
al-Shaghir, kitab al-Qasamah, kitab al-Jizyat dan kitab Qital Ahl al-Baghiy.18 Dua di antara
karya-karya di atas merupakan karya monumentalnya yaitu kitab al-Risalat dan kitab al14Ahmad Muhammad Syakir, Muqaddimat, dalam al-Syafii al-Risalat, (Beirut: al-Maktabat al-Ilmiyyah,
t.th), h. 9-12.
15Ahmad Amin, Dhuha Islam, (Mesir: Maktabat al-Nadhat al-Mishriyyah, 1974), h. 231.
16Muhammad Yusuf Musa, al-Risalat li al-Imam al-Syafii, dalam al-Turats al-Insaniyyah, (Mesir: alMuassasat al-Mishriyyah, t.th), h. 409.
17H.R Gibb dan JH. Kramers, Shortern Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1961), h. 514.
18Abu Zakariya Muhyidin bin Syarf al-Nawawiy, al-Mujam Syarh al-Muhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),
h. 9.

Umm. Kitab al-Risalat merupakan kitab perintis dalam bidang ilmu ushul fiqh dan ilmu
hadis. Sedangkan kitab al-Umm merupakan kumpulan dari tulisan-tulisannya yang
disampaikna kepada murid-muridnya selama berada di Mesir. Karena itulah oleh sang
editor, al-Rabi bin Sulaiman al-Maradiy, salah seorang muridnya, kitab tersebut diberi
nama kitab al-Umm (kitab induk).19
2. Perkembangan Ilmu Hadis
Pada Prinsipnya, ilmu hadis adalah merupakan seperangkat teori (kaidah-kaidah)
untuk mempelajari, mengkritik atau menguji kesahihan sanad dan matan suatu hadis.
Tujuan dari ilmu ini adalah agar seseorang dapat mengetahui mana hadis yang dapat
dipercaya bersumber dari Rasulullah SAW, yang dapat diterima dan dijadikan hujjah, dan
mana yang tidak dapat dipercaya sehingga harus ditolak.
Secara praktis, dapat dikatakan bahwa dasar-dasar ilmu hadis sesungguhnya sudah
ada semenjak awal periwayatan hadis. Ilmu ini tumbuh bersamaan dengan proses
periwayatan hadis itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya sikap kritis yang
ditampilkan oleh para sahabat dalam menerima dan menanggapi hadis-hadis yang sampai
kepada mereka, baik terhadap perawi (periwayat) maupun matan (materi) hadis itu sendiri.
Mereka tidak akan menerima suatu hadis sebelum yakin bahwa hadis itu benar-benar
berasal dari Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, pada masa Rasulullah SAW, para sahabat seringkali melakukan
konfirmasi kepada Rasulullah SAW tentang hadis yang mereka terima dari sahabat lain,

19Muhammad Yusuf Musa, loc. cit.

seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Darda, Umar, Abdullah bin Umar, dan yang lainnya. Hal
ini dilakukan adalah untuk meyakinkan diri mereka tentang kebenaran hadis tersebut.20
Setelah Rasulullah SAW wafat, usaha yang dilakukan oleh para sahabat dalam
rangka menjaga kebenaran dan kemurnian hadis adalah dengan cara menetapkan beberapa
persyaratan tertentu terutama terhadap perawi hadis. Abu Bakar, misalnya, meminta kepada
seseorang yang menyampaikan hadis agar bisa menghadirkan saksi untuk meyakinkan
kebenaran hadis yang disampaikannya.21 Umar bin Khatab juga menetapkan persyaratan
yang sama jika menerima atau mendengar sebuah hadis dari sahabat yang lain. 22 Ali bin Abi
Thalib bahkan menetapkan persyaratan yang lebih ketat yaitu dengan cara bersumpah bagi
siapa saja yang menyampaikan hadis kepadanya.23
Di samping persyaratan serta kritik yang ditujukan terhadap perawi hadis, para
sahabat juga melakukan kritik terhadap materi (matan) hadis. Aisyah, misalnya, pernah
mengkritik dan bahkan menolak beberapa hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah,
salah satunya adalah hadis tentang ratapan. Hadis ini ditolak oleh Aisyah karena
bertentangan dengan ayat Al-Quran yaitu QS. Al-Anam/6164.24 Begitu juga Abdurrahman
bin Haris pernah menolak sebuah hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah kepadanya,
dikarenakan hadis tersebut bertentangan dengan fakta yang ada. Hadis yang dimaksud
adalah hadis tentang batalnya puasa bagi mereka yang junub sampai pagi (setelah terbit
20Muhammad Mustafa al-Azamiy, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddisin, (Riyadh: Syarikat al-Thabaat alSuudiyah, 1982), h. 7-9.
21Muhammad bin Abdillah al-Hafiz al-Naisaburiy, Marifat Ulum al-Hadis, (Mesir: Maktabat alMutunabbiy, t.th), h. 15.
22Nuruddin Itr, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 30-34.
23Al-Qadhiy Hasan bin Abdurrahman al-Ramuharmuziy, al-Muhaddis al-Fashil Bain al-Rawiy wa al-Waiy,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1871), h. 518.
24Mazfar Azmillah al-Daminiy, Maqayis Naqd Mutun al-Sanad, (Riyadh: Maktabat al-Suudiyah, 1984), h.
62-63.

fajar). Penolakan ini dilakukan setelah dia mengkonfirmasikannya kepada dua orang istri
Rasulullah SAW, yaitu Aisyah dan Ummu Salamah.25
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa para sahabat secara tak langsung
telah menetapkan beberapa kaidah dalam ilmu hadis (terutama yang berkaitan dengan ilmu
kritik hadis) yaitu: pertama, berkaitan dengan perawi muncul kaidah bahwa suatu hadis
baru dapat diterima jika disampaikan oleh orang yang terpercaya; kedua, berkaitan dengan
matan muncul kaidah bahwa suatu hadis dapat diterima jika matannya tidak bertentangan
dengan Al-Quran dan atau tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat dan
terpercaya.
Sikap kritis para sahabat dalam menerima sebuah hadis, seperti yang dijelaskan di
atas, juga diikuti oleh para tabiin seperti Amir al-Syabiy, Ibnu sirin, Said al-Musayyib,
Ibnu Jubair dan yang lainnya. Mereka bahkan menetapkan persyaratan yang lebih ketat lagi
terhadap para perawi hadis. Syarat yang merEka tetapkan itu adalah mengkaji sifat-sifat
dan kepribadian dari masing-masing perawi hadis. Persyaratan seperti inilah yang
kemudian lebih dikenal dengan al-jarh wa al-tadil.26
Meskipun para sahabat dan tabiin sudah berusaha semaksimal mungkin
mencurahkan perhatian dan keseriusan mereka dalam menjaga kebenaran dan kemurnian
hadis, ternyata usaha mereka belum sampai kepada suatu usaha untuk mendokumentasikan
pokok-pokok pikiran mereka tersebut dalam bentuk tertulis. Dengan kata lain, pada masa
sahabat dan tabiin belum ada satu buku pun yang ditulis berkaitan dengan kaidah-kiadah
ilmu hadis tersebut.
25Ibid., h. 80-81.
26Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnat, op. cit., h. 124

Menurut informasi sejarah, disebutkan bahwa orang yang pertama kali melakukan
dokumentasi dan kodifikasi ilmu hadis dalam bentuk tertulis adalah Imam Syafii, dengan
dua kitabnya yaitu al-Risalat dan al-Umm.27 Ulama berikutnya yang tercatat adalah alQadhi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad al-Ramuharmuziy (256-360
H.) dengan kitabnya al-Muhaddis al-Fashil Baina al-Rawiy wa al-Waiy. Kemudian disusul
oleh al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Naisaburiy (w. 405 H.) dengan
kitabnya Marifat Ulum al-Hadis.28 Berikutnya muncul lagi ulama yang cukup banyak
menulis buku tentang ilmu hadis yaitu Abu Bakar Ahmad bin Aliy bin Sabit al-Bagdadiy
(392-463 H.). Beberapa kitab yang sudah ditulisnya adalah al-Kifayat fi Qawanin alRiwayat, al-Jami li Akhlaq al-Rawiy wa Adab al-Sami, Syarf Ashhab al-Hadis dan Taqyid
al-Ilm.29 Setelah al-Baghdadiy, bermunculanlah ulama-ulama hadis yang lain dengan kitab
mereka masing-masing seperti al-Qadhi Iyad bin Musa al-Yashhabiy (476-544 H.) dengan
kitabnya al-Ilma ila Marifat Ushul al-Riwayat wa Taqyid al-Sima, Taqiyudin Abu Amar
Usman bin Abdurrahman al-Syahrazuriy (Ibnu Shalah) dengan kitabnya Ulum al-Hadis
dan ulama-ulama yang lainnya.30
Menurut penjelasan Abu Zahwu bahwa sesungguhnya para ulama yang menulis
kitab-kitab ilmu hadis setelah Imam Syafii, pada dasarnya tidak lebih dari usaha
menjabarkan secara lebih luas dan sistematis dari kaidah-kaidah ilmu hadis yang sudah
ditulis oleh Imam Syafii. Oleh karena itu, dia sangat setuju jika Imam Syafii disebut

27Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 451.
28Edi Safri, al-Imam Syafii Metode Penyelesaian Hadis-hadis Muhktalif, (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 1990), h. 106.
29Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul, op. cit., h. 455.
30Edi Safri, op. cit., h. 108-109.

sebagai perintis dan peletak dasar kaidah-kaidah ilmu hadis secara tertulis. 31 Pernyataan ini
sesungguhnya merupakan suatu hal yang logis bahwa suatu ilmu tidak mungkin tumbuh
dan berkembang secara baik tanpa melihat kepada kitab-kitab yang pernah ditulis
sebelumnya.
3. Peran Imam Syafii Dalam Membela Hadis
Dalam sejarah perkembangan ilmu hadis, muncul suatu kelompok yang menolak
otoritas hadis sebagai sumber ajaran agama setelah Al-Qur-an. Kelompok ini, oleh Imam
Syafii, disebut dengan kelompok inkar sunnah.32 Kelompok ini menolak keberadaan hadis
(baik secara keseluruhan maupun hadis ahad) sebagai hujjah dengan alasan:
1. Al-Quran diturunkan Allah dalam bahasa Arab. Dengan penguasaan bahasa Arab yang
baik, maka Al-Quran dapat pula dipahami secara baik tanpa perlu bantuan dari hadishadis Rasulullah SAW.
2. Al-Quran, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah adalah penjelas bagi sesuatu,
mengandung arti bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia sudah ada
dalam Al-Quran. Dengan demikian tidak diperlukan lagi penjelasan dari yang lainnya.
3. Hadis-hadis Rasulullah SAW sampai kepada generasi belakangan melalui riwayat yang
proses periwayatannya tidak dapat dipastikan bersih dari kesalahan dan kekeliruan,
karena itu nilainya bersifat zhanniy. Oleh karena itu, hadis yang bernilai zhanniy tidak
berhak menjadi penjelas bagi Al-Quran yang bersifat qathiy. Sumber yang bernilai
zhanniy seperti hadis tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. 33 Alasan yang ketiga ini
31Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Mesir: Mathbaah al-Mishr, t.th), h. 301.
32Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 187.
33Rifat Fauziy, al-Madkhal Ila Tautsiq al-Sunnah wa Bayan Makanatiha fi Bain al-Mujtama al-Islamiy,
(Mesir: Muassasat al-Kanijiy, 1961), h. 189.

tampaknya lebih ditujukan kepada hadis-hadis ahad, yang memang tingkat


kebenarannya hanya mencapai tataran zhanniy.
Alasan-alasan tersebut mengindikasikan bahwa bagi mereka hanya Al-Quran lah
satu-satunya sumber ajaran agama yang bisa dijadikan sebagai hujjah. Paham ini menurut
Imam Syafii dapat melemahkan sendi-sendi agama yang paling mendasar. Oleh karena itu,
beliau mengkritik pendapat kelompok inkar sunnah tersebut sebagai pendapat yang sudah
menyimpang. Dalam hal ini, beliau mengemukakan beberapa argumentasi:
1.. Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang memerintahkan umat Islam untuk
mentaati Allah dan Rasul-Nya (QS. An-Nisa/4: 80,al-Hasyr/59: 7). Dalam konteks ini
jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan mentaati rasul adalah mengikuti petunjukpetunjuk Rasulullah SAW tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Allah
melalui hadis-hadisnya. Karena bagi generasi yang tidak bertemu dengan Rasulullah
SAW, maka satu-satunya cara untuk mengetahui petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW
adalah melalui hadis.34 Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kehujjahan hadishadis Rasulullah SAW sesungguhnya telah mendapat legitimasi dari Al-Quran.
2.. Menanggapi alasan kelompok inkar sunnah yang pertama bahwa justru dengan
pengetahuan bahasa Arab yang baik itulah sesungguhnya umat Islam mengetahui akan
fungsi risalah dari hadis-hadis Rasulullah SAW tersebut, yang dalam Al-Quran disebut
dengan istilah al-hikmah (QS. Al-Jumuah/62:2, al-Ahzab/33:34).35
3.. Menanggapi alasan mereka yang kedua, dijelaskan bahwa pemahaman mereka terhadap
ayat Al-Quranbahwa Al-Quran telah menjelaskan segala sesuatusangat keliru,
karena penjelasan-penjelasan Al-Quran tentang segala sesauatu itu masih bersifat
global (pokok-pokok/prinsip-prinsip). Oleh karena itu, harus ada sumber lain yang
mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat global itu. Sumber lain yang dimaksud di sini
tidak lain adalah hadis-hadis Rasulullah SAW.
4.. Berkaitan dengan alasan yang ketiga, Imam Syafii pernah berdebat dengan salah
seorang pengikut paham inkar sunnah tersebut. Perdebatan itu berkaitan dengan
kesaksian seseorang yang melihat adanya suatu peristiwa pembunuhan. Menurut
pendapat pengikut inkar sunnah tersebut, si pembunuh juga harus dibunuh sesuai
dengan perintah qishash yang ada dalam Al-Quran. Pendapat ini mengindikasikan
bahwa ternyata mereka tidak konsisten dengan pendapatnya. Di satu sisi mereka
menolak kehujjahan hadis (ahad) karena bernilai zhanniy, di pihak lain mereka
menerima kesaksian seseorang (tentang peristiwa pembunuhan) yang juga bernilai
zhanniy, atau bahkan lebih rendah dari zhanniy.36
34Muhammad bin Idris al-Syafii, op. cit., h. 289.
35Ibid., h. 288.
36Ibid., h. 290

Di samping itu, Imam Syafii juga mengungkapkan beberapa fakta sejarah yang
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sering mengutus seorang sahabatnya untuk
menyebarkan ajaran-ajaran Islam ke berbagai wilayah. Fakta-fakta ini memberikan indikasi
bahwa Rasulullah SAW membolehkan informasi yang disampaikan secara orang per orang
(khabar ahad) untuk dijadikan sebagai hujjah. Sebab jika tidak tentu Rasulullah SAW tidak
akan mengirim utusan ke berbagai wilayah itu secara sendiri-sendiri.
Beberapa contoh fakwa sejarah yang diungkap oleh Imam Syafii adalah kasus
Muaz bin Jabal yang diutus ke Yaman untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam serta
kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah. Begitu juga Qays bin Ashim, al-Zibriqan,
Ibnu Badr dan Ibnu Numayrah, masing-masing mereka diutus kembali ke daerah asalnya
masing-masing (setelah mereka menyatakan diri masuk Islam dan mendapat kepercayaan
dari Rasulullah SAW) untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam. Kenyataannya, menurut
Syafii, tidak seorangpun anggota masyarakat (yang didakwahi oleh para utusan Rasulullah
SAW tersebut) yang membantah atau menolak pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama yang
disampaikan dengan alasan hanya karena seorang diri, melainkan mereka menerimanya. 37
Dalam konteks ini, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Imam Syafii selalu
menegaskan bahwa mereka yang dipilih dan diutus oleh Rasulullah SAW tersebut adalah
orang-orang yang sudah dikenal secara baik sebagai pribadi-pribadi yang jujur dan
terpercaya (adil dan dhabit).
Dari uraian di atas, secara implisit terkandung beberapa alasan yang cukup kuat
untuk mendukung kehujjahan hadis ahad:

37Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalat, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 415-417.

1. Pada prinsipnya Rasulullah SAW telah memberikan legitimasi terhadap kehujjahan


hadis ahad dengan diutusnya mereka secara sendiri-sendiri untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam.
2. Para sahabat yang diutus tersebut memiliki keyakinan yang mantap terhadap peanpesan agama yang akan mereka sampaikan sehingga mereka juga yakin bahwa
pasan-pesan itu akan diterima oleh masyarakat.
3. Mayoritas masyarakat yang didatangi oleh para utusan Rasulullah SAW ternyata
menerima, mentaati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama yang disampaikan oleh
mereka, meskipun mereka hanya diutus seorang diri.
D.

4. Pokok-Pokok Ilmu Hadis Imam Syafii


Menurut Imam Syafii, secara garis besarnya hadis-hadis Rasulullah SAW dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu khabar ammat (khabar yang kehujjhannya tidak
boleh diragukan) dan khabar khashshat (khabar yang kehujjahannya masih bersifat relatif).
1. Khabar Ammat
Imam Syafii merumuskan bahwa khabar ammat adalah khabar (hadis) yang
disampaikan (diriwayatakan) oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi dari Rasulullah
SAW (khabar ammat an ammat an al-Nabiy SAW).38 Rumuan ini hanya menyebutkan
dua tingkatan sanad yaitu tingkatan tabiin (sejumlah perawi) dan tingkatan sahabat
(sejumlah perawi). Hal ini dapat dipahami karena Imam Syafii sendiri berada pada
tingkatan yang ketiga dari tingkatan sanad hadis yaitu tingkatan tabiit tabiin. Dengan
demikian, jika rumusan itu dipahami secara lebih luas, maka dapat ditegaskan bahwa
khabar ammat yang dimaksudkan oleh Imam Syafii adalah khabar (hadis) yang
38Muhammad bin Idrisal-Syafii, al-Umm, op. cit., h. 588.

diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiap tingkatan sanadnya sampai kepada
Rasulullah SAW.
Hadis-hadis dalam kategori khabar ammat, menurut Imam Syafii, tidak mungkin
mengandung kesalahan apalagi kebohongan dalam proses periwayatannya.39 Karena itulah,
hadis-hadis seperti ini harus diterima dan diamalkan tanpa harus diperbantahkan atau
bahkan diragukan.40
Dalam kitabnya, Imam Syafii menjelaskan bahwa apabila ada empat orang perawi,
yang bertempat tinggal di daerah yang berbeda, yang meriwayatkan suatu hadis yang sama
melalui jalur sanad yang berbeda, maka riwayatnya tidak mungkin mengalami kesalahan.
Dengan kata lain, menurutnya, mustahil para perawi hadis yang jumlahnya empat orang itu
akan melakukan kesalahan dan kebohongan secara bersama terhadap hadis yang mereka
riwayatkan.41
Ada beberapa hal yang perlu dianalisa dari penjelasan Imam Syafii di atas.
Pertama, pembatasan empat orang dalam proses periwayatan suatu hadis adalah
dimaksudkan sebagai batas minimal bahwa suatu hadis itu baru bisa diterima (dijadikan
hujjah) dan masuk dalam kategori khabar ammat. Kedua, kemustahilan mereka akan
melakukan kebohongan dalam proses periwayatan hadis, bukan hanya dikarenakan mereka
berjumlah empat orang, melainkan karena mereka bertempat tinggal pada daerah yang
berbeda. Apabila mereka bertempat tinggal pada daerah yang sama, maka sangat mungkin
mereka akan bisa membuat kesepakatan untuk melakukan kebohongan.

39Ibid., h. 293.
40Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalat, op. cit., h. 359.
41Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Umm, op. cit., h. 297.

Hal yang disebutkan terakhir di atas, jika ditarik pada zaman sekarang (dengan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi), maka sangat mungkin terjadinya
kesepakatan di antara perawi hadis, yang bertempat tinggal pada daerah yang berbeda,
untuk melakukan kebohongan. Oleh karena itu, di samping jumlah empat dan kemustahilan
berbohong, ada hal lain yang perlu mendapat perhatian yaitu sifat dan kepribadian dari
masing-masing perawi. Boleh jadi empat orang yang dimaksudkan oleh Imam Syafii
adalah orang-orang yang sudah diakui keadilan dan kedhabitannya.
2. Khabar Khashshat
Menurut rumusan Imam Syafii, khabar khashshat adalah khabar (hadis) yang
disampaikan (diriwayatkan) oleh seseorang dari seseorang sampai kepada Rasulullah SAW
(khabar al-wahid an al-wahid hatta yantahiy bihi ila al-Nabiy SAW).42 Hadis dalam
kategori ini, menurutnya, baru bisa diterima dan dijadikan sebagai hujjah harus memenuhi
beberapa persyaratan yaitu:
a. Sanadnya harus muttasil. Persyaratan ini dapat dipahami secara implisit dari
rumusan khabar khashshat yang sudah dijelaskan di atas.
b. Perawinya haruslah orang-orang yang memenuhi kriteria seperti berikut:
1).berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama, 2). jujur (terpercaya) dalam
menyampaikan riwayat, 3). memahami dengan baik setiap hadis yang
diriwayatkan, 4). dapat meriwayatkan hadis secara lafzi, 5). hafalannya harus
mantap (kuat), 6). tidak pernah melakukan tadlis (menyembunyikan cacat rawi).
c. Matannya tidak boleh bertentangan dengan riwayat hadis yang lain yang lebih
terpercaya (siqah).43
42Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalat, op. cit., h. 369-370.
43Ibid., h. 370-372.

Menurut Ahmad Syakir, persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Syafii tersebut
sesungguhnya sudah menghimpun seluruh kaidah yang dibutuhkan untuk mengetahui
kebenaran dan kemurnian (kesahihan) suatu hadis. Persyaratan ini diperkuat lagi oleh Abu
Zahrah yang menyatakan bahwa persyaratan Syafii itulah yang akhirnya disepakati dan
diterapkan oleh jumhur ulama dalam menilai suatu hadis.44
Sebagaimana kesepakatan ulama hadis bahwa suatu hadis (hadis ahad) baru bisa
diterima dan dijadikan hujjah jika sudah memenuhi lima syarat, yaitu: a) sanadnya
bersambung, b) perawinya adil, c) dan dhabit, d) terlepas dari syaz, e) bebas dari illat. 45 Jika
dicermati lebih jauh, maka sangat jelas bahwa kelima persyaratan di atas sebenarnya sudah
tercakup dalam tiga persyaratan yang telah ditetapkan oleh Imam Syafii sebelumnya.
Tiga persyaratan yang pertama (kebersambunagn anad, keadilan dan kedhabitan
perawi) persis sama dengan persyaratan Syafii poin a dan b. Sementara persyaratan yang
keempat (terlepas dari syazd) juga sama dengan persyaratan Syafii pada poin c. Hanya
saja pada persyaratan yang kelima (bebas dari illat) sepertinya belum tercakup dalam
persyaratan Syafii. Namun jika diteliti lebih jauh, ternyata persyaratan yang kelima ini
sudah tercakup dalam persyaratan Syafii poin b butir keempat dan kelima (dapat
meriwayatkan hadis secara lafzi dan hafalannya harus mantap) untuk matan dan butir
keenam (perawi tidak termasuk orang yang suka melakukan tadlis) untuk sanad. Hal ini
membuktikan bahwa Imam Syafii sudah tidak diragukan lagi ketokohannya sebagai
perintis penulisan ilmu hadis.

44Muhammad Abu Zahra, op. cit., h. 247.


45Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Ushul, op. cit., h. 63-64.

II. 5.. Pandangannya Tentang Hadis Mursal


Menurut pendapat mayoritas ulama hadis, hadis mursal adalah hadis yang
diriwayatkan oleh tabiin tanpa menyebutkan nama sahabat yang mengantarainya.

46

Dalam

pandangan Imam Syafii, hadis mursal diklasifikasikan kepada dua yaitu: 1) hadis mursal
tabiin besar yakni hadis mursal dari tabiin yang banyak bertemu dan bergaul dengan
sahabat Rasulullah SAW, 2) hadis mursal tabiin kecil yakni hadis mursal dari tabiin yang
sesuai dengan tahun hidupnyatidak banyak bertemu dengan sahabat Rasulullah SAW.47
Menurutnya, hadis mursal bagian yang terakhir tidak dapat dijadikan sebagai hujjah,
dengan beberapa alasan: a) karena jarak antara mereka dengan sahabat sudah terlalu jauh,
b) hadis-hadis tersebut sumbernya lemah, c) banyak terjadi perubahan.48
Hadis mursal pada bagian yang pertama di atas dapat diterima dan dijadikan hujjah
jika memenuhi salah satu syarat dari beberapa syarat di bawah ini:
1. Jika ada perawi lain yang dhabit dan adil meriwayatkan hadis yang sama dengan
cara musnad.
2. Jika tidak, harus ada hadis mursal lain dari jalur sanad yang berbeda meriwayatkan
hadis yang sama.
3. Jika tidak juga, maka bisa dikonfirmasikan dengan pendapat atau fatwa para sahabat
Rasulullah SAW. Jika ada pendapat atau fatwa sahabat yang sejalan denga hadis
mursal tersebut, maka hadis mursal itu dapat dianggap memiliki sumber yang
cukup kuat.49
46Muhammad Jamaludin al-Qasimiy, Qawaid al-Tahdis Min Funun Mushthalah al-Hadis, (Mesir: Isa alBaby al-Halabiy, 1961), h. 133.
47Edi Safri, op. cit., h. 122.
48Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalat, op. cit., h. 465.
49Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Ushul, op. cit., h. 186-187.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa hadis mursal menurut Imam Syafii termasuk
ke dalam kelompok hadis dhaif, yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali hadis
mursal tabiin besar yang harus didukung oleh riwayat lain yang menguatkannya.
Menurut al-Suyuthi, berkaitan dengan kehujjahannya hadis mursal ini ulama hadis
terbagi ke dalam tiga kelompok: a) Kelompok pertama menerima hadis mursal sebagai
hujjah secara umum dengan alasan bahwa tabiin yang siqah mustahil meriwayatkan hadis
mursal, kecuali dia yakin menerima hadis itu dari seorang sahabat (yang tidak disebutkan
namanya itu) yang adil. Kelompok ini diwakili oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hambal,50 b) Kelompok kedua menolak kehujjahan hadis mursal secara
umum dengan alasan bahwa sahabat yang tidak disebutkan namanya itu masuk ke dalam
kategori majhul al-ain. Hadis-hadis yang masuk ke dalam kategori majhul alain tidak
dapat dijadikan hujjah. Kelompok ini diwakili oleh Yahya al-Qaththan, Yahya bin Main,
Bukhariy, Muslim dan yang lainnya. c) Kelompok ketiga berada pada posisi di tengah
(moderat), karena tidak semua hadis mursal itu harus ditolak dan begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, maka mereka menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam persyaratan Syafii di atasbaru kemudian
mereka dapat menerima kehujjahan hadis mursal.51
C. PENUTUP
Dalam sejarah kemunculan dan perkembangan ilmu hadis, Imam Syafii ternyata
telah memainkan peran yang sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatannya
secara serius dan meyakinkan dalam merumuskan beberapa kaidah ilmu hadis secara
50Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadis, (Mesir: Dar al-Turats al-Arabiy, 1981), h. 54.
51Jalaludin Abdurrahmanbin Abi Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawiy fiy Syarh Taqrib al-Nawawiy, (Medinah:
al-Maktabat al-Ilmiyyah, 1972), h. 199-201.

tertulis pada awal abad III Hijriah. Kaidah-kaidah ilmu hadis yang dimaksud adalah : 1)
Kaidah tentang khabar ammat yaitu khabar (hadis) yang disampaikan (diriwayatkan) oleh
sejumlah perawi dari sejumlah perawi dari Rasulullah SAW (mayoritas ulama hadis
menyebutnya dengan hadis mutawatir). 2) Kaidah tentang khabar khashshat yaitu khabar
(hadis) yang disampaikan (diriwayatkan) oleh seseorang dari seseorang sampai kepada
Rasulullah SAW (mayoritas ulama hadis menyebutnya dengan hadis ahad). Khabar
khashshat dapat dijadikan hujjah jika memenuhi tiga syarat: a) sanadnya bersambung
(muttasil), b) perawinya haruslah orang yang jujur dan c) matannya tidak bertentangan
dengan matan riwayat yang lain yang lebih kuat. 3) Hadis mursal yang dapat dijadikan
hujjah adalah hadis mursal tabiin besar dan harus didukung oleh riwayat lain yang
menguatkannya.
Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa Imam Syafii pantas disebut sebagai
perintis atau peletak dasar dari lahirnya kaidah-kaidah ilmu hadis secara tertulis.
Perkembangan ilmu hadis pada masa berikutnya tidak lebih dari hanya mengembangkan
kaidah-kaidah ilmu hadis yang sudah dirintis dan dibangun oleh beliau. Dengan demikian,
sudah sepantasnyalah beliau ditempatkan dalam deretan tokoh-tokoh hadis yang populer.
Sebagimana Imam Malik populer dengan kitab al-Muwatta-nya, Imam Syafii juga
populer dengan kitab al-Risalat-nya.

D. DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad, Dhuha Islam, Mesir: Maktabat al-Nadhat al-Mishriyyah, 1974.

Abu Zaid, Faruq, al-Syariat al-Islamiyyat Bain al-Muhafizhin wa Mujaddidin, t.tp: Dar alMaun li al-Thabaah, , t.th.
Abu Zahra, Muhammad, al-Syafii Hayatuhu wa Ashruhu wa Fiqhuhu, t.tp: Dar al-Fikr
al-Arabiy, t.th.
Abu Zahwu, Muhammad, al-Hadis wa al-Muhaddisun, Mesir: Mathbaah al-Mishr, t.th.
Al-Azamiy, Muhammad Mustafa, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddisin, Riyadh: Syarikat
al-Thabaat al-Suudiyah, 1982.
Al-Daminiy, Mazfar Azmillah, Maqayis Naqd Mutun al-Sanad, Riyadh: Maktabat alSuudiyah, 1984.
Fauziy, Rifat, al-Madkhal Ila Tautsiq al-Sunnah wa Bayan Makanatiha fi Bain alMujtama al-Islamiy, Mesir: Muassasat al-Kanijiy, 1961.
Gibb, HAR dan JH. Kramers, Shortern Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1961.
Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Al-Jundiy, Abdul Halim, al-Imam al-Syafii Nashir al-Sunnah wa Wadhi al-Ushul, Mesir:
Dar al-Maarif, t.th.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, al-Sunnat Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
--------------, Ushul al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
Al-Khudariy, Muhammad, Tarikh al-Tasyri al-Islamiy, Mesir: Maktabat al-Tijariyat alKubra, 1960.
Musa, Muhammad Yusuf, al-Risalat li al-Imam al-Syafii, dalam al-Turats al-Insaniyyah,
Mesir: al-Muassasat al-Mishriyyah, t.th.
Al-Naisaburiy, Muhammad bin Abdillah al-Hafiz, Marifat Ulum al-Hadis, Mesir:
Maktabat al-Mutunabbiy, t.th.
Al-Nawawiy, Abu Zakariya Muhyidin bin Syarf, al-Mujam Syarh al-Muhazzab, Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.
Al-Qasimiy, Muhammad Jamaludin, Qawaid al-Tahdis Min Funun Mushthalah al-Hadis,
Mesir: Isa al-Baby al-Halabiy, 1961.
Al-Ramuharmuziy, al-Qadhiy Hasan bin abdurrahman, al-Muhaddis al-Fashil Bain alRawiy wa al-Waiy, Beirut: Dar al-Fikr, 1871.

Al-Raziy, Ibnu Abi Hatim, Adab al-Syafii wa Manaqibuhu, Damasyqus: Maktabat alTurats al-Ilsmaiy, t.th.
Al-Sibaiy, Mustafa, al-Sunnat wa Makanatuhu fiy al-Tasyri al-Islamiy, t.tp: Dar alQaumiyyah, t.th
Safri, Edi, al-Imam Syafii Metode Penyelesaian Hadis-hadis Muhktalif, Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah, 1990.
Al-Syafii, Muhammad bin Idris, al-Umm, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
--------------, al-Risalat, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Syakir, Ahmad Muhammad, Muqaddimat, dalam al-Syafii al-Risalat, Beirut: alMaktabat al-Ilmiyyah, t.th.
Al-Suyuthi, Jalaludin Abdurrahmanbin Abi Bakar, Tadrib al-Rawiy fiy Syarh Taqrib alNawawiy, Medinah: al-Maktabat al-Ilmiyyah, 1972.
Al-Thahhan, Mahmud, Taysir Mushthalah al-Hadis, Mesir: Dar al-Turats al-Arabiy, 1981.
Al-Zhahabiy, Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Usman, Siyar Alam al-Nubala,
Beirut: Muassasat al-Risalat, t.th.

BIO DATA
Nama : Irsyadunnas. Dilahirkan di Padang pada tanggal 13 April 1971. Pendidikan dasar
(SD) sampai menengah atas (MtsN dan MAPK) diselesaikan di daerah asalnya yaitu
Padang Panjang Sumatera Barat. Mengikuti pendidikan sarjana S1 di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis selesai tahun 1995.
Kemudian melanjutkan pendidikan Pascasarjana S2 di IAIN Imam Bonjol Padang dengan
Konsentrasi Ilmu Tafsir Hadis selesai tahun 2001. Sejak tahun 1998 menjadi fasilitator
(Dosen) di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai sekarang.

Вам также может понравиться