Вы находитесь на странице: 1из 20

Pekerjaan Sosial Dengan Disabilitas

A. Tinjauan Tentang Disabilitas


1. Pengertian Disabilitas
Michael Oliver (1996) membagi konsep Disabilitas ke dalam tiga level yaitu:
a. Level Ontology dengan lebih menekankan pengertian secara Grand Theory
dengan memandang Disabilitas sebagai sesuatu hal yang alami. Dalam konteks
level ini memandang Disabilitas sebagai suatu tragedi terhadap seseorang
(personal tragedy) dan memandang seseorang penyandang Disabilitas
merupakan suatu musibah terhadap dirinya seperti kecelakaan, takdir, ketidak
beruntungan yang menyebabkan seseorang mengalami Disabilitas. Hal ini lebih
menggambarkan suatu Disabilitas sebagai suatu faktor nasib dan takdir yang
diberikan Tuhan kepada seorang penyandang Disabilitas.
b. Epistemology dengan menjelaskan Disabilitas dengan agak spesifik yang lebih
mengungkap pengertian secara Middle Range Theory yang telah dapat
menggambarkan tentang bagaimana suatu Disabilitas dapat terjadi dengan
penekanan pada faktor penyebab.
c. Eksperience dengan lebih memandang Disabilitas lebih mendalam kepada
bagaimana apabila menjadi seseorang penyandang Disabilitas. Dalam konteks
ini diperlukan pemahaman tentang suatu Methodologi yang tepat. Pada level ini
lebih menekankan pada pengembangan dan metodologi yang tepat untuk dapat
memahami experience dari Disabilitas dari perspektif dari penyandang
Disabilitas. (Campling 1981, Oliver et al 1988, Morris 1989).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat, pasal 1 ayat 1, mendefinisikan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.
Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poewadarminta
(1976) menyatakan bahwa kelainan atau Disabilitas yang dialami oleh seseorang
menunjukkan sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna, baik
mengenai badan maupun batin atau akhlak. Definisi diatas memberikan beberapa
arti untuk kata Disabilitas yang mencakup:
a. Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna
(yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak).
1

b. Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik


(kurang sempurna).
c. Cela atau aib.
d. Tidak/kurang sempurna.
Pengertian yang diberikan kamus bahasa indonesia tersebut, kata Disabilitas
selalu diasosiakan dengan atribut-atribut yang negatif oleh karenanya istilah
penyandang Disabilitas cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang
dengan Disabilitas ini malang, patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermatabat.
Istilah ini sangat bertentangan dengan penghormatan atas martabat penyandang
Disabilitas dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai
manusia.

2. Penyebab Disabilitas
Juliet C. Rothman (2003) mengelompokan Disabilitas berdasarkan kondisi
penyebabnya sebagai berikut:
a. Impairment
Impairment yang terdiri dari ketidakseimbangan orthopedic, ketidakmampuan
belajar dan reterdasi mental, ketidakmampuan penglihatan, ketidakmampuan
pendengaran,

kelumpuhan,

Disabilitas

fisik

kehilangan

bagian

tubuh,

ketidakseimbangan berbicara, dan yang lainnya.


b. Penyakit dan Gangguan (Penyebab)
Penyakit sistem otot (musculoskletel), penyakit sistem sirkulasi, penyakit sistem
pernapasan, penyakit sistem syaraf dan alat perasa, endocrine, nutrisional, dan
penyakit metabolisme serta gangguan kekebalan, kondisi dari masa dan gejala
perinatal, tanda-tanda dan gambaran kondisi penyakit, gangguan mental, tidak
termasuk retardasi mental, penyakit sistem digestive/ pencernaan, neoplasma,
cedera dan keracunan, tidak melibatkan impairment, penyakit infeksi dan jamur,
penyakit kulit dan jaringan subcutaneous, abnormal sejak lahir, penyakit darah
dan organ pembentuk darah.
Buku Pedoman Pelayan dan Rehabilitasi Anak Disabilitas Dirjen Yanrehsos
Departemen Sosial RI (2007:11) menyebutkan penyebab Disabilitas yaitu :
a. Disabilitas bawaan
Disabilitas ini biasanya terjadi ketika anak masih dalam kandungan yang
disebabkan ibu mengalami gangguan penyakit atau metabolisme, kelainan
2

kromosomal, gangguan genetic, kekurangan gizi atau sebab lain yang tidak
diketahui yang mempengaruhi tumbuh kembang janin.
b. Disabilitas setelah lahir
Disabilitas ini biasanya terjadi pada saat proses kelahiran bayi yang disebabkan
oleh kesalahan penanganan pada waktu persalinan. Selain itu anak bisa
terinfeksi suatu penyakit, bakteri, virus, kekurangan gizi atau mengalami
kecelakaan yang menyebabkan Disabilitas.
Michael Oliver (1996), menyatakan bahwa penyandang Disabilitas akan terus
mengalami perkembangan dari masa ke masa. Kemajuan teknologi dan
perkembangan zaman termasuk memberikan kontribusi terhadap meningkatnya
jumlah penyandang Disabilitas. Perkembangannya akan berjalan seiring dengan
perkembangan kemajuan teknologi seperti penciptaan beragam kendaraan dan
bermacam-macam perubahan pola makan seperti fast food dan bentuk lain.
Industrialisasi telah ikut memiliki andil terhadap semakin tumbuhnya orang-orang
dengan disabilitas.

3. Kategori Disabilitas
Menurut Rollands dalam Juliet C. Rothman (2003) terdapat 3 (tiga) katagori
penyandang Disabilitas yang menunjukkan identitas penyandang Disabilitas:
a. Progresif Disabilities (penyandang Disabilitas kondisi Disabilitasnya terus
berkembang). Kelompok yang termasuk kedalam katagori ini adalah para
penderita penyakit seperti penderita Alzheimer dan diabetes. Orang-orang yang
termasuk kedalam katagori ini pada suatu waktu akan mengalami kondisi
Disabilitas karena akan terus mengalami penurunan fungsi organ tubuh
meskipun secara bertahap.
b. Constan Disabilitas (Disabilitas Permanen). Kondisi Disabilitas yang dialami
seseorang baik semnjak ia lahir ataupun diperoleh semasa hidupnya seperti
gangguan syaraf tulang belakang atau orang memiliki kekurangan anggota
tubuh seperti kaki dan tangan. Bagi orang yang mendapatkan Disabilitas pada
saat hidupnya akan mengakibatkan trauma dan memerlukan pendampingan
untuk membantu penyandang Disabilitas tersebut dalam menghadapi perubahan
hidupnya.
c. Relaping or Episodic Disabilitas. Katagori ini merupakan Disabilitas yang
timbul secara tiba-tiba sdan sulit diprediksi. Disabilitas ini sekilas tidak terlihat
3

terhadap penyandangnya , namun bisa muncul secara tiba-tiba seperti penderita


epilepsi, multiple sclerosis dan penyakit lupus.
Katagori tentang Disabilitas ini dapat membantu pekerja sosial dalam
memahami masalah dari klien, dan masalah yang berhubungan dengan kondisi
penyandang Disabilitas. Hal ini juga diperlukan untuk diketahui dari penyandang
Disabilitas adalah mengenai ras, etnik, gender, dan orientasi seksual yang dapat
dijadikan sebagai pedoman kerangka kerja untuk menyediakan pelayanan.
Pengelompokkan katagori tersebut dapat digunakan oleh pekerja soaial untuk
memudahkan dalam menyusun kerangka kerja dalam memberikam pelayanan
maupun untuk memudahkan menjangkau sistem pelayanan yang sesuai bagi
penyandang Disabilitas
International clasification of fuctioning disbility and health (world health
organizatio 2001:19, international of functioning disability and haelth ICF,).
Menjelaskan adanya hubungana antara gangguan fungtioning dengan disability.
Keterbatasan yang dimiliki seseorang dapat dapat dikurangi dengan melakukan
pendekatan kesehatan bagi diri penyandang Disabilitas. Kemampuan seorang
individu dalam arti keberfungsian fisik seseorang memiliki hunbungan antara
kondisi kesehatan dengan lingkungan dan faktor individu itu sendiri. Berikut ini
kategori Disabilitas terlihat dalam uraian sebagai berikut:
a. Individu yang mengalami infairment tanpa memiliki keterbatasa kemampuan.
Contohnya seseorang penderita kusta yang masih mampu beaktivitas.
b. Individu yang mengalami masalah penampilan dan memiliki kemampuan yang
terbatas tanpa mengalami suatu inpairment. Contohnya seperti orang yang
mengalami kondisi sakit, kondisi penampilannya tidak terlihat mengalami suatu
inpairment.
c. Individu yang mengalami masalah penampilan tanpa menunjukan masalah
inpairment pada dirinya atau keterbatasan kemampuan. Hal ini dapat
dicontohkan dengan seorang penderita HIV/AIDS yang terlihat seperti biasa,
dapat beraktifitas normal dan tidak mengalami keterbatasan meskipun
sebenarnya ada penyakit di dalam tubuhnya.
d. Seseorang yang memiliki keterbatasan kemampuan tetapi tidak bermasalah
untuk tampildalam lingkungan karena dukungan teknologi sebagai upaya
mengatasi keterbatasan yang dimilikinya.

e. Individu dengan pengalaman yang tidak baik yang mempengaruhi penerimaan


terhadap dirinya sendiri seperti seseorang dengan Disabilitas fisik akan
dianggap sebagai seseorang yang tidak memiliki keterampilan secara sosial.

4. Jenis Disabilitas
Menurut Undang Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
undang tersebut, bahwa : Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mengalami
kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan atau
hambatan bagi seseorang untuk melakukan aktivitas secara selayaknya yang terdiri
dari :
a. Penyandang Cacat fisik
b. Penyandang Cacat mental
c. Penyandang Cacat fisik dan mental
Undang undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Cacat
fisik adalah Disabilitas yang mengakibatkan gangguanfungsi tubuh, antara lain gerak
tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan bicara. Cacat mental adalah
kelainan mental dan atau tingkah laku, baik Disabilitas bawaan maupun akibat dari
penyakit. Sedangkan yang dimaksud fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang
menyandang dua jenis Disabilitas sekaligus.
Access unlimited di dalam juliet C Rothman (2003) merupakan suatu
organisasi penyandang Disabilitas yang mengawasi akses dan akomodasi serta
pembelaan bagi aksesibilitas untung penyandang Disabilitas. Organisasi ini telah
mengembangkan sistem yang sangat spesifik untuk mengkategorikan ketidak
mampuan atau Disabilitas sebagai berikut:
a. Impairment fisik
Disabilitas yang ternasuk kedalam kategori ini seperti musculoskeletal dan
gangguan sambungan jaringan yang bisa meminta penyesuaian dari lingkungan,
seperti Cerebral Palsy, hilangnya anggota tubuh, Clobfoot, kerusakan saraf pada
tangan atau lengan, cedra kepala, dan cedera pergelangan tangan, Arthritis dan
rematik, intrancranial, muscular dystrphy, dan pembentukan yang tidak tepat
sejak lahir dan gangguan otot.
b. Impairment Pendengaran
Disabilitas yang termasuk dalam kategori ini seperti kehilangan pendengaran
dari 30 desibel atau lebih, dengan nada yang murni rata-rata 500, 100, 2000 Hz
5

ANSI, tanpa bantian pada telinga yang lebih baik, dan termasuk impairment
pendengaran konduktif, impairment pendengaran sensorineural, kehilangan
pendengaran untuk nada yang tinggi atau rendah, kehilangan pendengaran
karena trauma suara keras, dan tuli yang berhubungan dengan kehilangan
pendengaran tadi.
c. Impairment Penglihatan
Gangguan pada fungsi dan struktur mata yang disebabkan ketajaman
penglihatannya 20/70 atau kurang dari itu dalam mata yang lebih baik dengan
lensa korektif, bidan peripheral sangat constricted yang mempengaruhi fungsi,
atau kehilangan penglihatan secara progresif.
d. Ketidak Mampuan Belajar
Lebih membatasi pada cara mendengarkan, berbicara, menulis, membaca,
berfikir, kemampuan matematika, atau kahlian sosial, seperti dyslexia,
dysgraphia, disphasia, dyscalculia, dan lain-lain.
e. Impairment Bicara
Gangguan yang termasuk kedalam kategori ini seperti gangguan artikulasi
bahasa, kelancaran, atau suara yang mengangguk komunikasi, pembelajaran
atau penyesuaian sosial dan termasuk cara bicara yang gagap, tersendattersendat, larygectomy, dan aphasis.
f. Gangguan Hiperaktif dan Kurang Memperhatikan
Gangguan yersebut bisa terjadi didalam dan diluar dirinya, menurut lembaga
Acces Unlimited ini hal tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan untuk
diakomodasi sebagai bentuk Disabilitas.
g. Cardiovascular atau Kondisi Sirkulasi
Termasuk penyakit jantung bawaan sejak lahir, demam rematik, arteriosclerotic
dan penyakit jantung turunan, serta penyakit jantung akibat hipertensi.
h. Mental, Psychoneurotic, dan Gangguan Kepribadian
Termasuk gangguan kejiwaan, kecanduan alkohol, ketergantungan obat-obatan
terlarang, dan gangguan karakter kepribadian lainnya.
i. Cedera Otak Traumatis
Termasuk gangguan neurobiologis sebagai akibat dari kecelakaan atau cedera
yang menciptakan ketidakmampuan kognitif atau perilaku seperti kehilangan
ingatan, dan kesulitan untuk berkonsentrasi, kurangnya kesadaran diri dan
melihat kedalam dirinya, dan impairment dalam berfikir serta ketidakmampuan
6

fisik termasuk impairment dalam bicara, penglihatan, pendengaran, keahlian


motorik, dan keseimbangan.
j. Gangguan pernafasan
Termasuk asma, Tubercholosis, emphysema, pneumoniosis, bronchitis kronis,
dan lain-lain.
k. Diabetes, epilepsi, dan kondisi lainnya yang merupakan suatu penyakit yang
menimbulkan Disabilitas.

5. Permasalahan Disabilitas
Khun (1961) dalam Michael Oliver menyatakan bahwa masyarakat perlu
mengembangkan tanggapan yang tepat tentang Disabilitas untuk dapat dipahami oleh
berbagai pihak serta pengambil keputusan, penyusun kebijakan, pekerja professional
termasuk bagi orang-orang yang peduli terhadap masalah Disabilitas sehingga
berbagai kalangan memiliki persepsi yang sama tentang Disabilitas.
Masalah seorang penyandang Disabilitas akan terus meningkat seiring
meningkatanya tekanan dari lingkungan sosial (Sutherlan 1981 dan Barner 1991)
dalam Michael Oliver. Dapat dikatakan sebagai seorang penyandang Disabilitas akan
terus mengalami keterbatasan karena ada yang salah dengan cara pandang
masyarakat terhadap penyandang Disabilitas. Argumen ini menunjukkan ternyata
yang menimbulkan masalah terhadap peyandang Disabilitas adalah masyarakat itu
sendiri yang menekan dan memberikan keterbatasan terhadap penyandang
Disabilitas.
Asumsi ontologi dihubungkan secara langsung dengan level epistemology
terlihat bahwa pandangan terhadap suatu Disabilitas akan melihat pada penyebab
dari Disabilitas, pengobatan dan perawatan. Asumsi ini menampilakan hal-hal yang
berkaitan dengan Disabilitas seperti masalah kesehatan, masalah kesejahteraan dan
masalah sosial. Asumsi inilah yang mempengaruhi cara pandang dari berbagai
pihak yang memberikan pelayanan terhadap masalah Disabilitas.
World Health Organization (2001:8) dalam International Classification Of
Functioning Disability And Health ICF,) menyatakan bahwa keberfungsian
seseorang

dan

Disabilitasnya

dipahami

sebagai

interaksi

dinamis

antara

keberfungsian struktur fisik dan faktor kontekstual. ICF memasukkan faktor


lingkungan sebagai komponen penting dari klasifikasi tersebut yang berinteraksi
dengan semua komponen keberfungsian dengan Disabilitas. Dukungan atau
7

hambatan terhadap karakteristik fisik, sosial, dan sikap masyarakat membangun


dasar dari komponen faktor lingkungan dengan functioning and disability and
contextual faktors sebagai berikut:
a. Functioning and Disability (Disabilitas dan keberfungsian) melibatkan dua
komponen yaitu:
1) Keberfungsian dan struktur tubuh (fisik);
Permasalahn Disabilitas berkenaan dengan gangguan pada keberfungsian
dan struktur tubuh, sebagai suatu penyimpangan atau kehilangan dan fungsi
dan atau struktur anatomi tubuh. Dalam hal ini melibatkan aspek-aspek
sebagai berikut:
a) Keberfungsian mental
b) Fungsi sensorik dan rasa sakit (pain)
c) Fungsi pendengaran dan bicara
d) Fungsi peredaran darah, kekebalan tubuh dan sistem pernapasan.
e) Gen dan fungsi dan reproduksi
f) Sistem syaraf dan jaringan otot
g) Fungsi perabaan (kulit) dan struktur yang terkait
h) Struktur sistem pernapasan, jantung, struktur yang berkaitan dengan
mobilitas dan sebagainya.
2) Aktivitas

dan

partisipasi

(keterbatasan

aktivitas

dan

pembatasan

partisipasi). Permasalahan Disabilitas berkenaan dengan keterbatasan


aktivitas dan pembatasan partisipasi seseorang dalam situasi kehidupan.
Aktivitas dan partisipasi merupakan dua aspek yang berkaitan, berkenaan
dengan kapasitas pribadi dan masalah-masalah yang secara langsung
bersentuhan dengan aspek lingkungan sebagai hasil dari interaksi antara
faktor personal (individual) dan lingkungan (sosial).
b. Contextual Factor (Faktor Kontekstual)
Faktor-faktor kontekstual merupakan latar belakang kehidupan seseorang secara
lengkap. Komponen dari faktor kontekstual meliputi faktor individual dan
lingkungan sosial.
1) Faktor Personal (individual) Faktor personal adalah kualitas-kualitas yang
melekat pada individu. Kualitas-kualitas ini menentukan dan membedakan
satu orang dengan orang lainnya, dan secara signifikan mempengaruhi cara
individu memaknai Disabilitasnya.
8

2) Faktor Lingkungan (sosial). Perspektif sosial berkaitan dengan jarigan


lingkungan sosial di sekitar individu penyandang Disabilitas. Lingkungan
merupakan kategori kedua dalam faktor-faktor yang mempengaruhi respon
terhadap Disabilitas. Lingkungan, yang mencangkup faktor-faktor eksternal
bagi individu, meliputi lingkungan terdekat (misalnya keluarga, teman,
komunitas) maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas (misalnya
teknologi, perundang-undangan, definisi sosial tentang Disabilitas.

6. Dampak Disabilitas
Disabilitas tentunya menimbulkan dampak terhadap fisik, pendidikan,
vokasional maupun ekonomi. Selain itu dampak yang juga ditimbulkan akibat dari
Disabilitas adalah timbulnya masalah psikososial seperti seseorang penyandang
Disabilitas akan memiliki kecenderungan untuk menjadi rendah diri atau sebaliknya
menghargai diri terlalu berlebihan, mudah tersinggung, terkadang agresif, pesimis,
labil sulit mengambil keputusan, menarik diri dari lingkungan, kecemasan,
ketidakmampuan dalam berhubungan dengan orang lain dan ketidakmampuan
mengambil peranan sosial.
Disabilitas memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seseorang.
Menurut Kubler-Ross (1969) mengemukakan model griefing dengan lima tahapan
dalam griefing, reaksi ini mungkin terjadi secara berurutan dan suatu waktu dapat
timbul secara bersamaan. (Zastrow, 2004) sebagai berikut :
a. Denial atau penyangkalan
b. Anger atau marah
c. Bergaining, adanya pertimbangan dalam dirinya
d. Mood depresi, sedih
e. Acceptance, penerimaan dengan mengatasi masalah
Selain itu masih terdapat sikap dan tanggapan masyarakat yang kurang
menguntungkan secara luas yang tergambar seperti :
a. Masih adanya sikap ragu ragu terhadap kemampuan atau potensi penyandang
Disabilitas.
b. Masih adanya sikap masa bodoh sementara lapisan masyarakat terhadap
permasalahan penyandang Disabilitas.
c. Belum luasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalah
penyandang Disabilitas.
9

d. Masih lemahnya sementara organisasi sosial yang bergerak di bidang Disabilitas


di dalam melaksanakan operasinya atau kegiatan.
e. Belum atau masih terbatasnya fasilitas umum yang dapat dipergunakan oleh
penyandang Disabilitas.
Hambatan - hambatan yang dialami oleh penyandang Disabilitas dalam
kehidupan sehari-hari yaitu :
a. Hambatan dalam proses belajar seperti membaca, belajar menulis dan berhitung.
b. Hambatan dalam penerapan pengetahuan seperti memfokuskan perhatian,
berpikir, membaca, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan.
c. Hambatan dalam melaksanakan kebutuhan dan tugas umum seperti melakukan
tugas tunggal dan tugas ganda, melakukan kegiatan harian, mengatasi stress dan
tuntutan psikologik lainnya.
d. Hambatan dalam komunikasi seperti komunikasi verbal dan non verbal,
menerima pesan tertulis, berbicara, menyampaikan pesan non verbal maupun
bahasa isyarat dan pesan tertulis.
e. Hambatan dalam mobilitas
1) Merubah dan mempertahankan posisi tubuh, berpindah tempat.
2) Mengangkat dan memindahkan barang.
3) Berjalan dan berpindah tempat.
4) Bergerak dan menggunakan alat transportasi, seperti transportasi umum
dll, menyetir mobil.
f. Hambatan dalam perawatan diri seperti mandi perawatan tubuh, berpakaian,
buang air, makan, minum dan memelihara kesehatan diri.
g. Hambatan dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga, seperti menyiapkan
makanan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
h. Hambatan dalam interaksi dan relasi interpersonal dalam keluarga, masyarakat
dengan orang asing, termasuk hubungan intim dengan istri atau suami.
i. Hambatan dalam kehidupan komunitas atau kemasyarakatan, sosial dan
bernegara seperti kehidupan bermasyarakat, kebutuhan rekreasi dan istirahat,
kebutuhan beragama dan spiritual, hak asasi manusia, kehidupan politik dan
bewarganegara.

10

7. Hak Penyandang Disabilitas


Berbagai permasalahan seperti kurangnya perhatian masyarakat terhadap
pelayanan dan rehabilitasi sosial penyadang Disabilitas, terbatasnya tenaga
professional pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang Disabilitas serta
rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan masih dirasakan sebagian besar
penyandang Disabilitas. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak
Penyandang Disabilitas tahun 2007 dalam Buku Himpunan Kebijakan Pendidikan
Pusat kajian Disabilitas FISIP UI (2010:33), menyebutkan bahwa penyandang
Disabilitas memiliki hak-hak wajib dipenuhi yaitu:
a. Kesetaraan dan Nondiskriminasi
Hak-hak terhadap perlindungan dan keuntungan yang sama dari hukum harus
diberikan kepada semua penyandang Disabilitas tanpa pengecualian apa pun
dan tanpa pembedaan atau diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul
nasional atau social, kekayaan, kelahiran atau situasi lain dari penyandang
Disabilitas itu sendiri atau pun keluarganya.
b. Anak-Anak Penyandang Disabilitas
Negara menjamin segala tindakan berkaitan dengan anak-anak penyandang
Disabilitas, kepentingan terbaik harus menjadi bahan pertimbang utama.
c. Aksesibilitas
Dalam rangka memampukan orang-orang penyandang Disabilitas untuk hidup
secara mandiri dan berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan, Negara
harus melakukan langkah-langkah aksesibilitas dalam berbagai aspek seperti
informasi, fasilitas di dalam dan di luar bangunan ddan menjamin pelayanan
yang terbuka atau yang disediakan bagi publik mempertimbangkan semua
aspek dalam hal aksesibilitas yang dihadapi penyandang Disabilitas.
d. Hidup mandiri dan keterlibatan di dalam masyarakat
Penyandang Disabilitas berhak atas tempat tinggal dan pilihan dengan siapa
mereka tinggal. Penyandang Disabilitas berhak atas jaminan ekonomi dan
sosial atas tingkat kehidupan yang layak. Mereka berhak, tergantung pada
kemampuan mereka, untuk mendapatkan dan memperoleh pekerjaan atau
terlibat dalam pekerjaan yang berguna, produktif, dan menghasilkan
penghasilan, serta untuk bergabung dengan serikat pekerja.

11

e. Pendidikan
Negara menjamin suatu sistem pendidikan inklusi di semua tingkatan dan
pembelajaran jangka panjang untuk pengembangan personalitas bakat dan
kreatifitas serta kemampuan mental dan fisik orang penyandang Disabilitas
sejauh potensi mereka memungkinkan.
f. Kesehatan
Negara harus mengambil semua langkah yang layak untul menjamin akses
penyandang Disabilitas atas perlakuan medis, psikologis, dan fungsional
termasuk peralatan-peralatan prostetik dan ortetik, atas rehabilitasi medis dan
sosial, pendidikan, pelatihan dan rehabilitasi, bantuan, konseling, jasa
penempatan, dan jasa-jasa lainnya yang akan memungkinkan mereka untuk
membangun kemampuan dan keahlian mereka semaksimum mungkin dan
akan mempercepat proses integrasi atau reintegrasi sosial mereka.
Uraian pada Deklarasi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak hak
penyandang Disabilitas, meliputi persamaan harkat dan martabat atas dasar
kemanusiaan, kesamaan dalam hak sipil dan politik, hak atas kemandirian
(independent living), memperoleh pelayanan (pendidikan, kesehatan, social,
rehabilitasi dan lain-lain), jaminan ekonomi dan sosial, Hak memperoleh
kebutuhan khusus, partisipasi perlindungan sosial, bantuan hokum, organisasi dan
informasi yang berkenaan dengan isu-isu hak penyandang Disabilitas.
Berdaasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas Netra sebagai anggota masyarakat dan
warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dengan anggota masyarakat
lainnya. Mereka memiliki hak dan kewaiban yang sama (dalam arti dalam batasbatas tertentu sesuai dengan jenis dan derajat Disabilitasnya). Ketentuan tersebut
menggambarkan bahwa pengakuan dan penghargaan serta kesetaraan dan
kesempatan yang sama bagi penyandang Disabilitas mutlak diperlukan.

8. Pelayanan Sosial Terhadap Penyandang Disabilitas


The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Person with
Disabilities, yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada siding ke 48 tanggal
20 Desember 1993 dalam buku Himpunan Kebijakan Pendidikan Pusat Kajian
Disabilitas FISIP UI (2010), terdapat 3 konsep dasar upaya pelayanan terhadap
penyandang Disabilitas:
12

a. Pencegahan
Pencegahan adalah suatu tindakan yang ditunjukan untuk mencegah terjadinya
Disabilitas (impairment) fisik, intelektual, psikiatrik atau indera (pencegahan
primer) atau mencegah agar Disabilitas tersebut tiding mengakibatkan
keterbatasan kemampuan yang permanen atau disability (pencegahan
sekunder). Pencegahan dapat meliputi berbagai macam tindakan, seperti
perawatan kesehatan primer, perawatan anak pada masa prenatal dan postnatal,
pendidikan gizi, kampanye imunisasi terhadap penyakit-penyakit menular,
berbagai penanggulangan untuk penyakit-penyakit endemik, peraturan
keselamatan. Program pencegahan kecelakaan dalam berbagai macam
lingkungan yang mencakup penyesuaian tempat kerja untuk mencegah
terjadinya keterbatasan kemampuan kerja (occupational disability) serta
penyakit dan pencegahan Disabilitas akibat polusi lingkungan atau perang.
b. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para
penyandang Disabilitas mencapai dan mempertahankan tingkat kemampuan
fisik, penginderaan, intelektual, psikiatrik dan atau kemampuan sosial secara
optimal sehingga mereka memiliki cara untuk mengubah kehidupannya ke
tingkat kemandirian yang lebih tinggi. Rehabilitasi dapat mencakup upayaupaya untuk menanamkan dan atau memulihkan kemampuan-kemampuan,
atau memberikan kemampuan lain untuk menggantikan kemampuan yang
hilang atau tidak memiliki atau kemampuan terbatas. Proses rehabilitasi tidak
mencakup perawatan medis awal. Proses ini mencakup upaya-upaya dan
kegiatan-kegiatan dalan cangkupan yang luas, mulai dari rehabilitasi dasar dan
umum hingga kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu, seperti
rehabilitasi kekaryaan.
c. Persamaan Kesempatan
Persamaan kesempatan adalah proses yang menyebabkan berbagai
system yang terdapat di masyarakat dan lingkungan, seperti system pelayanan,
kegiatan social, informasi dan dokumentasi, dapat dinikmati oleh semua orang,
khususnya para penyandang Disabilitas. Prinsip persamaan hak mengandung
arti bahwa kebutuhan-kebutuhan setiap individu itu sama pentingnya, bahwa
kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dijadikan sebagai dasar perencanaan
masyarakat dan bahwa semua sumber harus dimanfaatkan sedemikian rupa
13

sehingga menjamin agar setiap individu memperoleh kesempatan yang sama


untuk berpartisipasi. Para penyandang Disabilitas adalah anggota masyarakat
dan mempunyai hak untuk berada di dalam lingkungan masyarakatnya.
Mereka seyogyanya mendapat dukungan yang mereka butuhkan melalui
system pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan pelayanan sosial
yang berlaku umum. Karena penyandang Disabilitas memiliki hak-hak yang
sama, mereka pun harus mempunyai kewajiban yang sama pula. Agar hak-hak
tersebut dapat diperoleh, masyarakat harus meningkatkan harapannya tentang
hal-hal yang dapat dicapai oleh para penyandang Disabilitas. Sebagai bagian
dari proses persamaan kesempatan, sarana dan prasarana seyogyanya
disediakan untuk membantu para penyandang Disabilitas agar mereka dapat
mengemban tanggung jawabnya secara penuh sebagai anggota masyarakat.
Mencermati permasalahan yang muncul terhadap penyandang Disabilitas yang
kuantitas terus meningkat diperlukan penanganan atas permasalahan yang timbul
sebagai akibat dari Disabilitas yang dialami sehingga penyandang Disabilitas dapat
menjalankan peran dan fungsi sosialnya sesuai dengan derajat dan jenis Disabilitas
yang dialaminya untuk dapat hidup lebih baik. Permasalahan penyandang
Disabilitas merupakan ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari,
timbul bukan saja oleh karena adanya impairment yang dialaminya, tetapi
disebabkan pula oleh faktor-faktor lingkungan di luar kemampuan individu yang
bersangkutan.
Pelaksanaan model individual dan model sosial yang dipakai dalam menangani
permasalahan penyandang Disabilitas memelukan kondisi tertentu. Model sosial
dan model individual, dalam implementasi kebijakan tidak dapat berdiri sendirisendiri sehingga permasalahan penyadang Disabilitas haruslah dilihat sebagai
sesuatu yang universal dan menyeluruh. Universal dan menyeluruh dalam
pengartian bahwa Disabilitas merupakan kondisi yang wajar dalam setiap
masyarakat, yang seharusnya juga memandang bahwa kebutuhan penyandang
Disabilitas adalah sama seperti warga Negara lainnya dengan mengintegrasikan
penyandang Disabilitas dalam semua kebijakan yang menyangkut segala aspek
hidup dan penghidupan. Dua modek pelayanan bagi penyandang Disabilitas:
a. Model Individu
Model yang dipergunakan dalam kebijakan masalah penyandang
Disabilitas sangat ditentukan oleh bagaimana permasalahan

tersebut
14

dikonseptualisasikan. Terdapat dua hal yang harus dipahami dalam konteks


model individual yaitu keadaan Disabilitas seseorang sebagai individu dan
bagaimana masalah akan timbul akibat dari keterbatasan yang dimiliki
seseorang penyandang Disabilitas tersebut sebagai individu. Disabilitas
dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas yang
dianggap normal/ layak akibat impairment yang dialaminya. Model individual
tersebut memandang suatu Disabilitas sebagai personal tragedy atau ketidak
beruntungan seseorang. (Michael Oliver 1996).
Model individual berimplikasi terhadap pemecahan masalah penyandang
Disabilitas. Pemecahan masalah didasari pada penggunaan strategi medis atau
yang disebut juga strategi individual karena fokusnya pada individu
penyandang Disabilitas. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan konsep
rehabilitasi pada program-program yang ditujukan kepada penyandang
Disabilitas dan pembentukan organisasi pelayanan yang ditujukan kepada
penyandang Disabilitas dan pembentukan organisasi pelayanan yang
diperuntukan bagi penyandang Disabilitas. Juliet C. Rothman (2003)
menyatakan bahwa

Model medis yang melihat suatu Disabilitas sebagai

gangguan terhadap bagian tubuh atau organ tubuh. Model ini tidak mengatasi
Disabilitas sebagai hal yang menimbulkan masalah lain diluar kondisi
Disabilitas

yang

dipandang

sebagai

medis,

namun

lebih

kepada

pengelompokkan berdasarkan sistem ketidakberfungsian fisik. Hal ini harus


dipahami dalam memberikan pelayanan terhadap klien, karena klien
penyandang Disabilitas sangat banyak dipengaruhi oleh label dan kategori
medis, dan hal ini memperngaruhi cara penerimaan klien terhadap dirinya
dalam hubungannya dengan kondisi Disabilitas tersebut.
Rehabilitasi dimaksudkan sebagai suatu proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan penyandang Disabilitas mampu hidup
secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Proses ini meliputi rehabilitasi
medik, social, pendidikan dan vokasional. Hal ini didasari asumsi bahwa
ketidak normalan fungsi atau kerusakan struktur anatomi dapat disembuhkan
(dihilangkan), maka seseorang akan dapat melakukan aktivitas dengan
layak/normal. Menurut model ini, Disabilitas yang disebabkan impairment
adalah suatu kondisi yang bisa disembuhkan. Hal ini melihat kondisi individu
sebagai sesuatu yang fleksibel atau dapat diubah, sementara lingkungan
15

dimana seseorang itu berada dilihat sebagai suatu yang tidak mungkin
berubah.

Dengan

kata

lain,

penyandang

Disabilitas

dituntut

untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya.


Pendekatan medis yang didasari asumsi penyakit sembuh maka masalah
hilang, pada kenyataannya tidak dapat meyelesaikan masalah permasalahan
penyandang Disabilitas. Hal ini antara lain disebabkan impairment sebagai
penyebab Disabilitas tidak selalu dapat disembuhkan dan bahkan menetap
sepanjang umur orang yang bersangkutan. Pendekatan rehabilitasi harus
memperhatikan faktor kondisi tertentu, seperti impairment yang bersifat
sementara. Masalah penyandang Disabilitas timbul oleh karena adanya
interaksi dari akibat impairment dan faktor-faktor lingkungan. Michael Oliver,
(1996) menguraikan karakteristik dari individual model sebagai berikut:
1) Disabilitas dipandang sebagai personal tragedy theory artinya Disabilitas
terjadi pada seseorang merupakan suatu takdir, ketidak beruntungan yang
menimpa dirinya.
2) Masalah yang timbul akibat Disabilitas dipandang sebagai masalah
individu.
3) Penanganan lebih bersifat pengobatan individu dan bersifat medis.
4) Penanganan oleh pihak-pihak professional yang memerlukan keahlian
sebagai tenaga medis, dokter, perawat.
5) Menuntut penyesuaian diri.
6) Perlunya perawatan, pengawasan, adaptasi individu dan kebijakan.

b. Model Sosial
Model individu/ model medis adalah model kebijakan penanganan
masalah penyandang Disabilitas yang dapat digunakan dalam memberikan
pelayanan terhadap penyandang Disabilitas. Namun juga terdapat faktor-faktor
di luar individu, seperti lingkungan fisik dan non fisik juga turut menyebabkan
seseorang menjadi penyandang Disabilitas. Kondisi inilah yang mendasari
timbulnya model sosial. Penyandang Disabilitas menjadi ada karena kelompok
ini mendapat tekanan dari masyarakat baik berupa individual prejudice sampsi
kepada

diskiriminasi.

(UPIAS,

1976

dalam

Michael

Oliver,

1996)

menyebutkan bahwa, Sosial model tidak memandang seseorang berdasarkan


kondisi Disabilitasnya melainkan lebih kepada upaya menghadapi tekanan
16

sosial yang diberikan masyarakat kepada penyandang Disabilitas termasuk


pelayanan yang diberikan kepada penyandang Disabilitas.
Perlunya dukungan dari sosial model terhadap individual model lebih
lanjut Oliver mengatakan dalam memberikan pelayanan secara inidividu dan
medis, seorang dokter dapat memberikan intervensi pengobatan terhadap
seorang penyandang Disabilitas, tetapi ketika dihadapkan dengan masalah lain
oleh penyandang Disabilitas seperti penolakan, kesiapan untuk menjalani
treatment yang lama, relasi sosial, tidak dapat dihadapi dengan pendekatan
medis.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
merupakan gambaran dari pelaksanaan model sosial. Model sosial umumnya
beranjak dari suatu pemikiran bahwa, hambatan-hambatan yang berasal dari
luar lingkungan yang menyebabkan ketidak mampuan seseorang yang
mengalami impairment dalam melakukan aktivitas sehari-hari, terjadi karena
lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang Disabilitas misalnya,
arsitektur bangunan didesain dalam bentuk berundak-undak sehingga
pengguna kursi roda tidak dapat masuk atau menggunakan bangunan tersebut
sehingga terjadi pengabaian terhadap hak-hak penyandang Disabilitas
(diskriminasi).
Hak-hak penyandang Disabilitas harus dilindungi melalui perlindungan
hokum hak-hak warga penyandang Disabilitas, akan dapat terlaksana
persamaan kesempatan dan partisipasi penuh penyandang Disabilitas, akan
dapat terlaksanakan persamaan kesempatan dan partisipasi penuh penyandang
Disabilitas dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan. Michael Oliver,
(1996:34) menguraikan karakteristik dari sosial model sebagai berikut:
1) Menggunakan asumsi social oppression theory atau teori tekanan social.
2) Memandang masalah Disabilitas sebagai masalah sosial.
3) Kegiatan lebih cenderung kepada aksi-aksi social, self help, dan tanggung
jawab bersama.
4) Pengalaman dan penguatan dengan identitas bersama/ kelompok.
5) Hal ini dihadapi berupa diskriminasi, upaya dilakukan bersifat
kemanusiaan, pilihan dan perubahan sosial.

17

B. Pekerjaan Sosial dengan Disabilitas


Profesi pekerjaan sosial sangat berhubungan erat dengan para penyandang
disabilitas, dimana penyandang disabilitas adalah individu yang memiliki keterbatasan
untuk menjalankan peran dan fungsi sosialnya secara normal dan wajar. Untuk
memperjelas hubungan antara pekerjaaan sosial dengan penyandang disabilitas, maka di
bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai pengertian pekerjaan sosial,
masalah sosial, dan kesejahteraan sosial.
Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional
untuk membantu seseorang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial yang
mereka hadapi, untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi
sosial mereka. Pekerjaan sosial juga dapat dikatakan sebagai institusi sosial, profesi
pelayanan manusia serta seni praktek yang ilmiah dan teknis (Max Siporin dalam Dwi
Heru Sukoco, 1995). Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang membantu meningkatkan keberfungsian sosial
(social

functioning)

seseorang,

termasuk

penyandang

disabilitas

melalui

pemecahan/intervensi masalah yang dihadapinya.


Kemudian, Masalah atau problema adalah perbedaan antara das sollen (yang
seharusnya, yang diinginkan, yang dicita-citakan, yang diharapkan) dengan das sein
(yang nyata, yang terjadi). Dengan kata lain masalah adalah perbedaan antara yang ideal
dan real (Abu Huraerah, 2008). Sedangkan kesejahteraan sosial Sebagaimana batasan
PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan
untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan
masyarakat (Suharto, 2005).
Setelah membaca beberapa definisi tentang pekerjaan sosial, masalah sosial, dan
kesejahteraan sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga komponen tersebut
meruapakan hal yang berkaitan satu sama lainnya. Ketika para penyandang disabilitas
adalah seseorang yang menimbulkan permasalahan secara pribadi maupun sosial, maka
seorang pekerja sosial adalah profesi yang akan membantu meningkatkan kesejahteraan
sosial para penyandang disabilitas agar hidup dengan rasa nyaman, aman, dan tentram
serta memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dilihat dari pemahaman pekerjaan sosial, masalah sosial, dan kesejahteraan sosial di
atas, maka fungsi-fungsi utama pekerjaan sosial terhadap penyandang disabilitas antara
lain:
18

1. Membantu penyandang disabilitas meningkatkan dan menggunakan kemampuannya


secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan
masalah-masalah sosial penyandang disabilitas.
2. Mengkaitkan penyandang disabilitas dengan sistem-sistem sumber.
3. Memberikan fasilitas pada penyandang disabilitas untuk berinteraksi dengan sistemsistem sumber.
4. Mempengaruhi kebijakan sosial penyandang disabilitas.
5. Memberikan pelayanan sebagai pelaksana kontrol sosial.
Adapun peranan-peranan pekerja sosial adalah sebagai berikut:
1. Motivator
Pekerja sosial berperan untuk memberikan motivasi kepada penyandang disabilitas
dan keluarganya, untuk menerima kondisi disabilitas dengan segala kebutuhan dan
hambatannya.
2. Enabler
Pekerja sosial berperan sebagai pemungkin dalam membantu penyandang disabilitas
sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban selayaknya manusia normal.
3. Counselor
Pekerja sosial berperan dalam memberikan nasihat dan saran professional kepada
para penyandang disabilitas agar mampu menerima diri sebagai penyandang
disabilitas, dan anggota keluarga tentang bagaimana cara memberikan pelayanan
keluarga sebagai wujud penerimaan terhadap anak dengan disabilitas.
4. Advokator
Pekerja Sosial Yaitu memberikan perlindungan dan pembelaan, terutama terhadap
hak-hak penyandang disabilitas yang tidak didapatkan oleh penyandang disabilitas
yang membuat mereka berada pada posisi yang dirugikan.
5. Broker
Pekerja Sosial sebagi penghubung dengan memberikan informasi-informasi yang
diperlukan oleh pihak penyandang disabilitas, keluarga dan masyarakat, agar dapat
menghubungkan penyandang disabilitas dengan sistem sumber yang diperlukan.
6. Pendampingan (fasilitasi dan asistensi)
Pekerja Sosial menolong penyandang disabilitas untuk mempermudah upaya
pencapaian peran sosial, dengan cara menyediakan atau memberikan kesempatan
dan fasilitas yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhannya dan
mengenbangkan potensi-potensi yang dimilikinya.
19

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial. 2007. Pedoman Pelayan dan Rehabilitasi Anak Disabilitas. Jakarta :
Departemen Sosial RI
Heru Sukoco, Dwi. 1995. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Bandung :
Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.
Juliet C. Rothman. 2003. Social Work Practice Across Disability. University of California:
Pearson.
Michael Oliver. 1996. Understanding Disability: From Theory to Practice. Basingstoke:
Palgrave Press.
NN. 2010. Himpunan Kebijakan Pendidikan Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI. Pdf.
Soetarso. 1999. Praktik Pekerjaan Sosial. Bandung : Kopma STKS Bandung.
Suharto, Edi. 2005. Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Koperasi Mahasiswa
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
Widjajatin, Anastasia. 2010. Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal
Penelitian Pendidikan.
Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997. Tentang Penyandang Cacat. Pdf.

20

Вам также может понравиться