Вы находитесь на странице: 1из 46

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemerdekaan

Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia

yang

diploklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan tekad yang


luhur dari para pendiri bangsa atau the founding fathers untuk terlepas
dari belenggu kolonialisme sekaligus membentuk dan mengelola Negara
Indonesia secara bebas dan mandiri demi tercapainya kesejahteraan
rakyat Indonesia. Berdasarkan cita-cita tersebut pembentukan suatu
pemerintahan negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
alinea ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bertujuan untuk

melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan


kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pernyataan alinea ketiga tersebut dapat diartikan: pertama,
diperlukan

suatu

situasi

dan

kondisi

yang

dapat

menjamin

terselenggaranya seluruh proses untuk mewujudkan tujuan nasional,

2
cita-cita nasional dan kepentingan nasional melalui pembangunan
nasional. Kedua, membebaskan seluruh warga bangsa ini dari
kemiskinan dan kebodohan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa
dipayungi oleh jaminan situasi dan kondisi aman yang terjaga dengan
baik dan konsepsional. Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia
hidup ditengah warga dunia (internasional) yang harus ikut secara aktif
mendukung terwujudnya suatu dunia yang damai, serasi, selaras, dan
seimbang dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu alinea ketiga
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan tujuan nasional yang pada dasarnya mengelola
kesejahteraan

nasional

dan

keamanan

nasional

yang

saling

ketergantungan. Tidak mungkin ada kesejahteraan nasional yang


memadai dapat diwujudkan kalau tidak ada keamanan nasional yang
terkendali, demikian sebaliknya, tidak akan dapat dicapai kondisi
keamanan nasional yang kondusif dan dinamis tanpa dukungan
kesejahteraan nasional yang baik. Harmoni antara keamanan nasional
dan kesejahteraan nasional akan mewujudkan ketahanan nasional yang
ulet dan tangguh.
Dalam masa transisi pemerintahan pasca kemerdekaan dari
pemerintahan kolonial prakemerdekaan ke pemerintahan Indonesia
sebagai upaya agar tidak terjadi kekosongan hukum di Negara ini maka

3
segala

peraturan-peraturan

yang

berlaku

pada

masa

kolonial

prakemerdekaan masih tetap berlaku sepanjang belum diadakan


undang-undang atau aturan yang baru. Hal ini diamanatkan dalam Pasal
II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negera Kesatuan Republik
Indonesia yang mana berbunyi segala Badan Negara dan Peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini. Kemudian Pasal II Aturan Peralihan
ini secara tersirat mengamanatkan untuk adanya pembaharuan terhadap
Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada. Hal ini dapat
dimaknai pada kalimat ...selama belum diadakan yang baru...
Pada tahun 1946, disahkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Di dalam Pasal 1 UndangUndang ini menyebutkan bahwa dengan menyimpang dari Peraturan
Presiden Republik Indonesia No.2 Tahun 1945, 1 menetapkan bahwa

1 Peraturan Presiden
Republik Indonesia
No.2 Tahun 1945 yang
terbit pada tanggal 10
Oktober tahun 1945,

4
peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret
1942. Adapun yang dimaksud dengan 8 Maret 1942 ini adalah legitimasi
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie 1915 sebagai induk
dari peraturan-peraturan hukum pidana yang ada di Indonesia. 2
Kemudian dalam Pasal VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juga

pada pokoknya
menyatakan bahwa
semua peraturan tetap
berlaku kecuali
bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar
1945.
2 Moeljatno,
Membangun Hukum
Pidana Kita, Bina

5
menyatakan bahwa nama Wetbeok van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie 1915 (WvS.NI) diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan disebut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum
Pidana berlaku hanya untuk daerah Jawa dan Madura sehingga
menimbulkan dualisme hukum pidana di Indonesia. 4 Dualisme hukum

aksara, Jakarta, 1985,


hlm.29-30
3 Loc.cit
4 Daerah di luar Jawa
dan Madura, bahkan
Jakarta yang pada
waktu itu diduduki
Belanda
memberlakukan

6
pidana yang terjadi di Indonesia baru berakhir pasca disahkannya
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana
Di seluruh Indonesia. Dengan disahkan Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 ini maka secara resmilah WvS.NI atau KUHP berlaku
diseluruh wilayah Indonesia.

Wetbook van Strafrecht


voor Indonesia,
berdasarkan Staatblaad
Nomor 35 Tahun 1945
Tentang Perubahan
atas Wetbook van
Straftrecht Voor
Nederlandsch Indie
atau yang dikenal
dengan Brisbane
Ordonnantie.Lihat

7
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai induk
semua peraturan pidana di Indonesia, yang berlaku saat ini adalah
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang ditetapkan
tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 5 dan
dinyatakan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 73 Tahun 1958. W.v.S.N.I ini
merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda yang

Lobby Luqman, Delik


Politik di Indonesia,IndHill-Co, Jakarta, 1993,
hlm.29.
5 Sudarto, Hukum
Pidana I, Yayasan
Sudarto, Semarang,
1990, hlm 15

8
telah selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku 1886 6. WvS ini
merupakan turunan dari Code Penal Prancis, sebelum digunakan oleh
Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya. Jadi
keadaan KUHP (WvS) dirasa sudah kuno, tidak sesuai dengan jaman
lagi dan nafas kemerdekaan, mengingat keadaan masyarakat yang
bergerak dinamis, sehingga diperlukan sistem hukum pidana yang
dinamis pula begitu juga dengan asas-asasnya. Mengutip ucapan
Sahetapy, KUHP (WvS) yang berlaku saat ini di Indonesia, jika
diibaratkan sebuah celana, dahulu dipakai Prancis , kemudian diubah
seperlunya dan dipakai oleh Belanda, dan diubah lagi dengan tambal
sulam akhirnya dipakai oleh Indonesia.7

6 Ibid
7 J.E Sahetapy,
Ancaman Pidana Mati
Terhadap Pembunuhan
Berencana, Setara
Press Malang, 2009,

9
Kondisi hukum postof Indonesia saa ini belum seutuhnya
berdasarkan atau mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Hukum positif tidak sesuai dengan kondisi
dan perkembangan masyarakat Indonesia.
Dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai
Prevention of Crime and The Treatment of Offender secara tegas juga
telah mensinyalir beberapa negara yang sistem hukumnya yang masih
berlaku merupakan impor dari sistem hukum asing yakni pada masa
kolonial, yang pada umumnya telah usang dan tidak adil serta telah
ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan karena tidak
berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan Diskrepansi dengan
aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial
masa kini.8 Salah satu aturan atau kebijakan yang dipandang telah

hlm 4
8 Barda Nawai Arief,
Beberapa Aspek
Kebijakan dan
Pengembangan Hukum

10
usang dan tidak sesuai dengan perkembangan kondisi sosial, politik,
ekonomi, dan budaya baik secara nasional maupun internasional adalah
mengenai sanksi pidana denda.
Pidana denda adalah salah satu jenis pidana yang telah lama dan
diterima dalam sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Hal
ini tentu saja pengaturan dan cara penerapan pidana denda tersebut
bervariasi sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyaraka.
Pidana penjara yang sifatnya custodial (penahanan) sering
dipersoalkan masalah keefektifannya. Disamping dipersoalkan akibatakibat negatif dari pidana penjara. Adanya kritik terhadap segi-segi
negatif dari pidana penjara (custodial), telah menimbulkan gelombang
usaha baru untuk mencari bentuk-bentuk alternatif dari pidana penjara.
Sementara ini usaha itu dibarengi pula dengan adanya kecenderungan
dalam praktek untuk menghindari atau membatasi penerapan pidana
penjara, antara lain dengan alternatif tindakan-tindakan non-custodial
seperti pidana kerja sosial, sanksi lisan (verbal sanction), dan pidana
denda.

Pidana, Citra Adtya


Bakti, 1998, hlm.5

11
Di dalam perkembangannya saat ini, dapat dilihat adanya
ketidakpuasan

masyarakat

terhadap

sanksi

pidana

perampasan

kemerdekaan yang notabene timbul dari konsep pemidanaan dahulu


atau kuno. Hal ini dikarenakan sanksi pidana perampasan kemerdekaan
dianggap sangat merugikan baik terhadap individu atau orang yang
dikenai pidana tersebut hingga masyarakat dan negara. Di berbagai
negara termasuk Indonesia saat ini masih terus berupaya untuk mencari
alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan seperti pidana
bersyarat (voorwaardelijk veroodeling) dan pidana harta (vermogenstraf)
atau misalnya denda.9 Bahkan menurut Pompe, dalam praktik di
pengadilan

negeri

Belanda,

adanya

ketidaksukaan

terhadap

kemerdekaan dan adanya kesukaan terhadap pidana denda. 10


Dalam sistem hukum islam maupun hukum adat misalnya,
pidana denda juga dikenal walaupun lebih bersifat ganti kerugian.

9 Muladi, Lembaga
Pidana Bersyarat,
alumni, Bandung, 1984,
hlm.5

12
Demikian pula di dunia Barat, pidana denda merupakan pidana yang
tertua. Misalnya sampai sekarang di Scotlandia,

kejaksaan disebut

sebagai Prosecutor Fiscal yang menurut sejarahnya, pekerjaan jaksa


dahulu di skotlandia ialah memungut uang denda dari terpidana sebagai
sumber pendapatan negara.
Menurut Sutherland dan Cressey, pidana denda ini bermula dari
hubungan keperdataan.11 Ketika seorang dirugikan oleh orang lain, maka

10 Barda Nawawi Arief,


Beberapa Aspek
Kebijakan dan
Pengembangan Hukum
Pidana, Op.cit, hlm. 103
11 Sutherland, Cressey.
The Control Crime:
Hukuman Dalam
Perkembangan Hukum

13
ia boleh menuntut penggantian rugi kerusakan. Jumlahnya tergantung
dari besarnya kerugian yang di derita serta posisi sosialnya yang
dirugikan itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari
pembayaran itu atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan
pemerintahan dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap
yang membuat gangguan.
Dewasa ini kita mengetahui bahwa seluruh pembayaran pidana
denda yang dijatuhkan oleh hakim, masuk ke dalam kas negara.
Walaupun pidana denda ini sudah lama dikenal dan diterima dalam

Pidana, Bandung:
Tarsito. 1974 dalam
makalah abdul Rossi
yang diunduh dari
http://abdulrossi.blogspot.com/201
22/04/pidanadenda.html

14
sistem pemidanaan berbagai negara, namun pengkajian mengenai
pidana denda ini dalam dunia ilmu hukum pidana, khususnya di
indonesia masih tergolong Miskin sekali. Hal ini mungkin merupakan
refleksi dari kenyataan bahwa masyarakat pada umumnya masih
mengangggap bahwa pidana denda adalah pidana yang paling ringan.
Seperti diketahui ketentuan denda dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP) saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan
perkembangan jaman. Hal ini karena acuan pokok terhadap pidana
denda adalah pada Buku I KUHP yang berisi Aturan Umum merupakan
turunan dari WvS Belanda 1886 yang diberlakukan di Indonesia Januari
1918.
BUKU I KUHP adalah aturan umum semua peraturan hukum
pidana juga merupakan suatu sistem penjatuhan pidana denda. Hal ini
sangat diperlukan karena aturan umum mengenai sanksi pidana denda
masih diatur atau berpedoman dalam BUKU I KUHP dan merupakan
salah satu bagian dan bagian yang sangat penting dari sistem
pemidanaan.
KUHP Indonesia tidak mengenal minimum khusus dan maksimum
umum dalam pengaturan mengenai pidana denda tetapi mengatur

15
mengenai minimum umum dan maksimum khusus. 12 Minimum umum
pidana denda sesuai Pasal 30 KUHP adalah sebesar 25 (dua puluh
lima) sen namun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1960, maka batas minimum yang umum denda
sekarang menjadi 15 x 25=Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen).
sedangkan maksimum khusus bervariasi sebagai berikut: 13
1. Untuk kejahatan

12 Lihat UU
No.18/prp/1960
13 Barda Nawai Arief,
Bunga Rampai
Kebijakan Hukum
Pidana, PT.Citra Adtya
Bakti, Bandung, 1996,
hlm.177-178

16
Pidana denda maksimum yang dikenakan adalah berkisar sebesar
antara Rp.900,- (dahulu 60 gulden) dan Rp.150.000,- (dahulu 10.000
gulden), namun ancaman pidana denda yang sering diancam adalah
sebesar Rp.4.500,-(dahulu 500 gulden);
2. Untuk Pelanggaran
Pidana denda maksimum yang dikenakan adalah berkisar antara
Rp.225,-(dahulu 15 gulden) dan Rp.75.000 (dahulu 5.000 gulden)
namun ancaman pidana denda yang sering diancam adalah sebesar
Rp.375,-(dahulu 25 gulden) dan Rp.4.500,-(dahulu 500 gulden);
Besarnya pidana denda maksimum tergantung pada rumusan
ketentuan pidana dalalm KUHP, misalnya Pasal 403 maksimum Rp.
10.000. Dalam Pasal 30 Ayat (2) KUHP ditentukan bahwa apabila denda
tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan, lamanya hukuman
kurungan pengganti paling sedikit 1 (satu) hari paling lama 6 (enam)
bulan. Dalam keadaan memberatkan yaitu karena perbarengan atau
pengulangan atau perberatan karena jabatan atau bendera kebangsaan,
kurungan pengganti dapat ditambah paling lama menjadi 8 (delapan)
bulan.

Pidana

denda

kebanyakan

dijatuhkan

pada

pelanggaran

sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata


'atau'). Selain itu formulasi pidana denda dalam sistem perumusan
ancaman pidana ada dalam sistem perumusan

alternatif (dengan

17
menggunakan kata atau). Dalam formulasi sistem alternatif ini pidana
denda disandingkan dengan pidana penjara maupun pidana kurungan.
Dalam KUHP/WvS formulasi pidana penjara atau denda ada dalam Buku
II dan formulasi pidana kurungan atau denda ada dalam Buku III
Untuk Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan
pidana lainnya seperti Pidana Penjara tidak bisa diganti orang lain.
Hakim tidak boleh mentetapkan, bahwa hukuman kurungan pengganti
hukuman denda itu harus dilaksananakan, jika terhukum tidak
membayar sendiri denda tersebut.14 Berdasarkan ketentuan Pasal 30
ayat (2) KUHP Pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pidana
kurungan maka sering dalam putusan hakim membuat pidana alternatif
selain kurungan juga ada pidana kurungan pengganti.
Pidana denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga
diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative
atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda
ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimim, tidak ada

14 H.R 5 maret 1906,


W 8345: 21 Januari
1907,8942.

18
ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP,yang
berbunyi:
(1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen;
(2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka
diganti dengan hukuman kurungan;
(3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan;
(4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa
harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat
harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih
dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah
rupiah juga;
(5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan
bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada
gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena
ketentuan pasal 52 dan 52a;

(6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.
Belum disesuaikannya kembali nilai denda tersebut tentunya
engakibatkan tidak efektifnya pidana denda sebagai salah satu bentuk
ancaman pidana yang diatur dalam KUHP itu sendiri. Hal ini

19
mengakibatkan pilihan bentuk pemidanaan menjadi hanya seputar
pemidanaan dalam bentuk pidana mati, penjara atau kurungan, yang
pada akhirnya berkontribusi pada semakin tingginya angka narapidana
di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Hal inilah yang dipandang perlu
oleh penulis agar formulasi pidana denda mengalami pembaharuan
sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, sekarang ini.
Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, selain didasarkan pada
amanat yang ada dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, dan Pasal
II aturan Peralihan UUD 1945, juga didorong keadaan yang terjadi di
dunia internasional. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak
negara, baik yang baru merdeka maupun negara-negara yang sudah
ada sebelum perang, berusaha untuk memperbaharui hukumnya
termasuk di dalamnya usaha pembaharuan di bidang hukum pidana.
Menurut Sudarto, bagi negara-negara yang baru merdeka, usaha-usaha
pembaharuan itu didasarkan pada alasan-alasan politis, sosiologis dan
praktis. Alasan pertama adalah alasan politis, yang menyatakan bahwa
Indonesia sebagai negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri
yang bersifat nasional demi kebanggaan nasional, selain itu Indonesia
yang terdiri dari berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke
merupakan satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi sesuai dengan

20
Wawasan Nusantara.15 Alasan kedua adalah alasan sosiologis yang
menyatakan bahwa hukum harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan
dari suatu negara, dalam hal ini Indonesia harus mempunyai hukum
yang

berciri khas Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai bangsa

Indonesia, yaitu Pancasila. Alasan yang ketiga adalah alasan praktis


yang menyatakan bahwa biasanya negara-negara bekas jajahan
mewarisi hukum negara penjajahnya dengan bahasa aslinya, yang
kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang
baru merdeka tersebut. Muladi juga menambahkan, bahwa

usaha

pembaharuan hukum pidana tidak terlepas dari alasan yang bersifat


adaptif, yaitu KUHP nasional di masa-masa mendatang harus dapat
menyesuaikan

diri

dengan

perkembangan-perkembangan

baru,

15 Muladi, Lembaga
Pidana Bersyarat,
Alumni, Bandung, 1985,
hlm 1

21
khususnya

perkembangan

internasional

yang

disepakati

oleh

masyarakat yang beradab.16


Dalam rangka pembaharuan hukum pidana khususnya dalam
sanksi pidana denda maka diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh

16 Muladi, Proyeksi
Hukum Pidana Materiil
Indonesia di Masa
Datang, pidato
pengukuhan diucapkan
pada peresmian jabatan
guru besar dalam mata
pelajaran hukum pidana
pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro,
Semarang, 24 Februari

22
baik dalam bidang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Dalam
pelaksanaan pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengena 17
1. Sistem penerapan jumlah atau besarnya pidana;
2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda;
3. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat
menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal
terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang
telah ditetapkan;
4. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus (misalnya
terhadap seorang anak yang belum dewasa atau belum
bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua);
5. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.
Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk
uang, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan KUHP.

1990. hlm. 3
17 Muladi dan Barda
Nawawi A. Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, 1992,
hlm.72

23
Berdasarkan laporan pengkajian hukum tentang penerapan
pidana Denda Dep.Keh.RI, ternyata bahwa pidana denda sejauh ini
dirasakan belum memenuhi tujuan pemidanaan, disebabkan oleh faktorfaktor berikut:18
1. Dapat

digantikannya

pelaksanaan

denda

oleh

bukan

pelaku,

menyebabkan rasa dipidananya pelaku menjadi hilang;


2. Nilai ancaman pidana denda dirasakan terlalu rendah, sehingga tidak
sesuai dengan keselarasan antara tujuan pemidanaan dengan rasa
keadilan dalam masyarakat;

18
Lokman, loebby,
Pengkajian Hukum
Tentang Penerapan
Pidana Denda. BPHN
Dep.Keh.RI, Jakarta
1992, dalam Abdul
Rosii, loc.cit

24
3. Meskipun terdapat ancaman pidana yang tinggi dalam aturan pidana
diluar

KUHP,

akan

tetapi

belum

dapat

mengikuti

cepatnya

perkembangan nilai mata uang dalam masyarakat.


Namun terlepas dari hal diatas, jenis pidana denda ini
memberikan banyak segi-segi keadilan, antara lain: 19
1. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat di revisi apabila
ada kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman lainnya;
2. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah
karena pemerintah tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa
disertai kurungan subsider;
3. Hukuman denda tidak membawa atau tidak mengakibatkan tercela
nya nama baik atau kehormatan seperti yang dialami terpidana
penjara;
4. Pidana denda akan membuat lega dunia perikemanusiaan;
5. Hukuman denda akan menjadi penghasilan bagi daerah atau kota.
Bertolak dari uraian singkat di atas, maka pada kesempatan ini
dalam penelitian ini penulis mengambil judul KEBIJAKAN FORMULASI
SISTEM PEMIDANAAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM UPAYA

19
Loc.cit

25
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Judul ini juga
sekaligus menjadi fokus dan batasan dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah
Dari

uraian

latar

belakang

masalah

di

atas,

maka

permasalahan yang timbul dan akan dikaji dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana kebijakan formulasi sistem pemidanaan sanksi


pidana denda dalam hukum positif saat ini?

2.

Bagaimana kebijakan formulasi sistem pemidanaan sanksi


pidana denda dalam upaya pembaharuan terhadap sistem
hukum pidana di Indonesia di masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisa kebijakan formulasi sistem pemidanaan
sanksi pidana denda dalam hukum positif saat ini;
2. Untuk menganalisa dan memberikan alternatif solusi terhadap
sanksi pidana denda dalam upaya pembaharuan terhadap sistem
hukum pidana di Indonesia di masa yang akan datang;

D. Manfaat Penelitian

26
Berdasarkan pokok permasalahan yang menjadi fokus kajian
dan juga tujuan yang ingin dicapai, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
pemikiran atau bahan pertimbangan bagi badan legislatif dalam
merumuskan pidana denda formulasi hukum pidana, juga dapat
memberikan pedoman kepada aparat penegak hukum dalam
menerapkan sanksi pidana denda dalam praktek penegakan
hukum pidana.
2. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran berupa konsep, metode atau
teori dalam sistem pemidanaan sanksi pidana denda Indonesia
baik dalam merumuskan kebijakan legislatif dan penerapannya
dalam praktek hukum pidana.
E. Kerangka Pemikiran
Sanksi pidana denda mempunyai karakteristik yang unik
dibandingkan dengan sanksi pidana lain. Hal ini dikarenakan sanksi
pidana denda bersifat sederhana dengan arti bahwa sanksi pidana
denda tidak memerlukan institusi baru terhadap penanganannya,

27
dan tetap memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana,tanpa
merendahkan martabat pelaku tindak pidana tersebut. 20
Berdasarkan Pasal 10 KUHP, maka dapat diketahui bahwa
pidana denda merupakan salah satu jenis dari pidana pokok.
Adapun pidana pokok sebagaimana dimaksud Pasal 10 KUHP ini
adalah:
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati;
b. Pidana Penjara;

20
Maksud dari institusi
baru ini misalnya dalam
pidana perampasan
kemerdekaan
memerlukan institusi
lembaga
permasyarakatan dalam
pelaksanaanya.

28
c. Pidana Kurungan;
d. Pidana denda;
e. Pidana tutupan (ditambah berdasarkan UU No,20 Tahun
1946);
Di dalam perkembangannya sanksi pidana denda mengalami
perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan ini
disebabkan dengan meningkatnya tingkat pendapatan atau ekonomi
masyarakat Indonesia yang sangat tajam. Hal ini tentu berimplikasi
dengan nilai pidana denda yang tentunya dirasakan sangat kecil dan
tidak berarti karena tidak sebanding dengan tingkat ekonomi atau
nilai uang masyarakat pada saat ini. Selain itu munculnya badan
usaha atau korporasi yang masuk menjadi subjek hukum yang tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban badan turut mempengaruhi
perkembangan sanksi pidana denda.
Pengaturan pidana denda di Indonesia masih bersumber
pada KUHP (wetboek van straftrecht voor Netherlandsch Indie)
tahun 1918 yang adalah turunan dari WvS Belanda 1886 yang
tentunya sudah ketinggalan jaman dan nilai denda pun tidak sesuai
zaman ini.
Selain minimnya nilai denda yang tidak sesuai dengan zaman
saat ini, peraturan untuk melaksanakan pidana denda juga sangat

29
minim. Hal ini dapat dilihat dengan hanya disediakan sarana pidana
kurungan sebagai pengganti pidana denda apabila denda tersebut
tidak dibayarkan.
Hal yang menentukan dan yang sangat penting dalam
menentukan pelaksanaan pidana denda adalah dengan berpedoman
pada BUKU I KUHP yang mana adalah aturan umum semua
peraturan hukum pidana dan juga merupakan suatu sistem
penjatuhan pidana denda. Hal ini sangatlah diperlukan karena aturan
umum

mengenai

sanksi

pidana

denda

masih

diatur

atau

berpedoman dalam BUKU I KUHP dan merupakan salah satu


bagian dari sistem pemidanaan.
Menurut Barda Nawawi Arief, sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan undang-undang yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit
sehingga seseorang dijatuhi sanksi atau hukum pidana. 21 Hal ini
mempunyai arti bahwa semua perundang-undangan mengenai

21
Barda Nawawi
Arief,Bunga Rampai
Kebijakan hukum

30
hukum pidana substantif, hukum pidana formal, dan hukum
pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai suatu kesatuan dari sistem
pemidanaan. Kemudian apabila perundang-undangan tersebut
dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat di dalam
KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam
KUHP baik berupa aturan umum (Buku I) maupun aturan khusus
mengenai tindak pidana (buku II dan III) pada hakekatnya
merupakan kesatuan sistem pemidanaan.22
Meningkatkan jumlah ancaman pidana denda bukanlah
jaminan untuk efektifnya sanksi pidana denda, karena jumlah
ancaman pidana denda merupakan salah satu bagian atau sub
sistem dari seluruh sistem sanksi pidana denda. Untuk itu diperlukan
kebijakan legislatif suatu sistem sanksi pidana denda yang dapat
menjamin terlaksananya pidana denda.

Pidana, Citra Aditya


Bakti, Bandung,1996,
hlm.129
22
Loc.cit

31
Berbicara

mengenai

tahapan

kebijakan

legislatif

atau

kebijakan perundang-undangan maka dapat diketahui bahwa


tahapan inilah yang merupakan tahapan yang paling strategis,
dibandingkan tahapan dalam sistem pidana lainnya. 23 Sebagai
tahapan yang krusial atau paling penting maka kebijakan legislatif
mengenai pidana denda tentunya harus mencakup keseluruhan
sistem pidana denda itu sendiri yaitu dengan tidak hanya
menentukan besaran jumlah atau nilai ancaman pidana denda. Hal
yang lebih penting adalah mencakup aturan-aturan yang dapat
menjamin terlaksananya penjatuhan pidana denda.
Mengingat terbatasnya pengaturan pelaksanaan mengenai
pidana denda dalam hukum positif di Indonesia, maka kebijakan
legislatif yang diperlukan dalam pelaksanaan sanksi pidana denda
antara lain berupa pedoman penjatuhan pidana denda, berbagai
sistem

pembayaran

pidana

denda,

penentuan

batas

waktu

pembayaran denda dan alternatif pidana pengganti apabila denda


yang tidak dibayar.
F. Metode Penelitian
23
Tahapan dalam perwujudan sanksi pidana adalah melalui tiga tahap:Tahap
penetapan pidana dari pembuat Undang-undang (kebijakan formulasi);
2. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh Pengadilan (aplikasi), dan;
3. Tahap pelaksanaan pidana (eksekusi)

32
Metode penelitian menurut Soerjono Soekanto adalah
metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah
yang ditimbulkan oleh fakta tersebut. 24 Kemudian, Sunaryati
Hartono mengemukakan bahwa metode penelitian adalah cara atau
jalan

atau

proses

pemeriksaan

atau

penyelidikan

yang

menggunakan cara penalaran dan berfikir yang logis-analitis (logika),


berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau
beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau
mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejalagejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum

24
Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian
Hukum, UI-Press,
Jakarta, 1986, hlm 2

33
yang tertentu.25 Webster Dictionary mendefinisikan scientific
method/metode penelitian adalah principles and procedures for the
systematic pursuit of knowlegde involving the recognition and
formulation of a problem, the collection of data through observation
and experiment and testing of hypotheses. 26 Menurut Robert R.
Mayer dan Ernest Greenwood metode penelitian secara umum

25
Sunaryati Hartono,
Penelitian Hukum di
Indonesia Pada Akhir
Abad ke- 20, Alumni,
Bandung, 1994, hlm
105
26
Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian
Hukum, Kencana,

34
dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan umum ke arah fenomena
yang dipilih oleh peneliti untuk diselidiki atau suatu pedoman untuk
mengarahkan penelitian.27 Hakikat penelitian itupun merupakan
suatu penemuan informasi lewat prosedur tertentu atau lewat
prosedur terstandar. Dengan prosedur tertentu itu diharapkan orang

Jakarta, 2009, hlm 26


27
Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Legislatif
dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan
Penerbit Universitas
Diponegoro,Semarang,
2000. , hlm 63

35
lain dapat mengikuti, mengulangi atau menguji kesahihan (validitas)
dan keterandalan (reliabilitas informasi yang diteliti). 28
Bertolak dari pengertian di atas maka dalam menggambarkan
atau mendeskripsikan metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini, penulis lebih menekankan pada penjelasan mengenai
pendekatan penulis terhadap permasalahan yang diteliti. Berkaitan
dengan hal ini perlu dikemukakan penjelasan mengenai prosedur
diperolehnya data dan cara pembahasannya.

2. Pendekatan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian di
atas, dapat diidentifikasikan bahwa permasalahan pokok dalam
penelitian ini termasuk salah satu kebijakan hukum pidana,
khususnya kebijakan penegakan hukum pidana. Kebijakan
penegakan hukum pidana dapat dilakukan dengan merumuskan
dan menetapkan sanksi pidana denda dan pelaksanaannya
dalam praktek penegakan hukum. Oleh karena itu pendekatan

28
Ibid

36
yang digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (policy-oriented approach). Namun karena sasaran
utama dalam penelitian ini pada masalah kebijakan perundangundangan dalam menetapkan dan merumuskan sanksi pidana
denda maka pendekatannya ditempuh lewat pendekatan yuridis
normatif yang bertumpu pada data sekunder dan ditunjang
dengan pendekatan yuridis komparatif.
Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengetahui
sejauh mana asas-asas hukum, sinkronisasi vertikal/horisontal,
dan sistemik hukum diterapkan, yang bertumpu pada data
sekunder juga dalam praktek penegakan hukum di lapangan (in
concreto). Data sekunder dalam bidang hukum dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.
Pendekatan

komparatif

digunakan

untuk

membandingkan sanksi pidana denda dalam sistem hukum


pidana di negara lain. Soerjono Soekanto mengemukakan
dalam

penelitian

hukum

normatif,

perbandingan

hukum

37
merupakan

suatu

metode.29

Diterapkannya

perbandingan

hukum, sebagai suatu metode, mempunyai sebuah tujuan, tidak


lain supaya hukum berkembang menjadi lebih baik.

Sejalan

dengan pernyataan tersebut Rene David dan Brierly pernah


mengemukakan bahwa salah satu manfaat dan arti pentingnya
perbandingan hukum ialah agar dapat lebih baik memahami dan
mengembangkan hukum nasional.30 Ditegaskan juga, bahwa

29
Soerjono Soekanto dan
Sri Mamuji, Penelitian
Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat,
RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007, hlm 86
30
Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Legislatif

38
perbandingan hukum merupakan bagian yang diperlukan dari
setiap ilmu hukum. 31
3. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi atau jenis penelitian ini adalah deskriptif
analitis. Dikategorikan deskriptif, karena penelitian ini diharapkan
mampu memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan
menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan
perkembangan sanksi pidana denda secara teoritik dan praktek
penegakan hukum pidana. Berkaitan dengan ini, istilah analitis
mengandung makna menghubungkan, membandingkan, menilai
dan memberi makna sanksi pidana denda dari segi teori, asasasas hukum, filsafat hukum dan praktek

dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan
Pidana Penjara,
op.cit, hlm 63
31
Ibid

39
3. Jenis Data
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka
jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data
sekunder yang diteliti adalah sebagai berikut :
a) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat,
meliputi:32
(1) Sumber-sumber

hukum

nasional

yang

berkaitan

dengan pengaturan formulasi mengenai mengenai


sanksi pidana denda, dalam hal ini penulis membatasi

32
, Soerjono Soekanto
dan Sri Mamuji, ..op.cit,
hlm 13, Periksa Ronny
Hanitijo Soemitro,
Metode Penelitian
Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta,
1982

40
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; ketentuan
sanksi pidana denda dalam UU No.18/Prp/1960;
(2) Peraturan perundang-undangan di berbagai negara
dengan melakukan kajian komparatif
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain
berupa : Tulisan-tulisan atau pendapat para pakar hukum,
kemudian wawancara dengan para ahli hukum pidana, baik
itu kalangan akademisi maupun aparat penegak hukum
dan Rancangan (Konsep) KUHP;
c) Bahan hukum tersier yang memberikan penjelasan lebih
mendalam mengenai bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder antara lain :
(1) Ensiklopedia Indonesia;
(2) Kamus Hukum;
(3) Kamus bahasa Inggris-Indonesia;
(4) Berbagai majalah maupun jurnal hukum.
4. Metode Pengumpulan Data
Fokus utama penelitian ini adalah tertuju pada data
sekunder, oleh karena itu pengumpulan data ditempuh dengan
melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Di

41
dalam pengumpulan data, sebanyak mungkin data yang
diperoleh dan dikumpulkan diusahakan mengenai masalahmasalah yang berhubungan dengan penelitian ini.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
dikumpulkan dari bahan hukum primer berupa perundangundangan dan sumber hukum dibawahnya 33 yang berkaitan

33
Ronny Hanitijo
Soemitro, Metodologi
Penelitian Hukum,
Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1982, hal. 24
Lihat pula Soerjono
Soekanto dan Sri
Mamuji, Penelitian
Hukum Normatif,
...op.cit,hlm. 14

42
dengan formulasi sanksi pidana denda Kemudian dari sumber
sekunder berupa Rancangan (Konsep) KUHP, sumber-sumber
hukum dan perundang-undangan negara lain, yang berkaitan
dengan formulasi sanksi pidana denda, hasil-hasil penelitian
dan

kegiatan

ilmiah

lainnya

baik

nasional

maupun

internasional, pendapat para ahli baik dari akademisi hukum


maupun praktisi hukum dan ensiklopedi.
Bertolak

dari

penggunaan

data

sekunder

dalam

penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan


mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis
bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang
berkaitan. Dalam hal ini adalah data sekunder baik yang
menyangkut bahan hukum primer, sekunder dan tersier
diperoleh dari bahan pustaka, dengan memperhatikan prinsip
pemutakhiran dan relevansinya. Data tersebut disusun secara
sistematis sehingga diperoleh gambaran relatif lengkap dan
klasifikasi secara kualitatif.34 Dalam hal ini menyangkut

34
Lexy J. Moeloeng,
Metode Penelitian

43
pemahaman yang menyeluruh terhadap perumusan dan
praktek penegakan hukum pidana khusunya terhadap sanksi
pidana denda.

5. Metode Analisis Data


Analisa dapat dirumuskan

sebagai suatu proses

penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejalagejala tertentu.35 Bertolak dari pengertian ini maka erat
kaitannya

antara

metode

analisa

dengan

pendekatan

masalah.
Penguraian sistematis terhadap gejala dan data yang
diperoleh dalam penelitian ini, pertama-tama disajikan sejauh
mungkin dikemukakan secara kuantitatif. Data-data yang

Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung,
2000, hlm. 2.
35
Sunaryati Hartono,
op.cit. hlm .106

44
diperoleh itu kemudian dianalisa secara kualitatif normatif.
Analisa kualitatif ini dilakukan secara deskriptif dan preskriptif,
karena penelitian ini selain bermaksud mengungkapkan atau
melukiskan

data

sebagaimana

bermaksud

mengungkapkan

adanya,

atau

juga

melukiskan

sekaligus
realitas

kebijakan perundang-undangan (legislatif) sebagaimana yang


diharapkan. Dalam melakukan analisa kualitatif yang bersifat
deskriptif dan preskriptif ini, penganalisaan juga bertitik tolak
dari analisa yuridis-sistematis yang untuk pendalamannya
dikaitkan atau dilengkapi dengan yuridis komparatif dan yuridis
preskriptif dengan tujuan :
1. Analisis
kebijakan

Yuridis

Komparatif,

legislatif

dengan

negara-negara

membandingkan
lain

dalam

memformulasikan sanksi pidana denda;


2. Analisis Yuridis Preskriptif, untuk mengkaji kebijakan
hukum pidana yang akan datang mengenai sanksi pidana
denda.
G. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan tesis ini dibagi menjadi 4 (empat) Bab,
dengan beberapa subbab sebagai berikut;

45
BAB I Membahas mengenai Pendahuluan, sebagaimana diuraikan di
depan;
BAB II

Menjabarkan Tinjauan Pustaka yang menjelaskan


mengenai

pengertian

pemidanaan,

tujuan

pemidanaan, efektifitas pemidanaan, pengertian


pidana denda, sejarah pidana denda, dan pidana
denda

sebagai

alternatif

pidana

perampasan

kemerdekaan
BAB III

Mengurai serta menganalisis hasil penelitian dan


pembahasan,

yang

meliputi:(1)

Sanksi

Pidana

Denda Dalam Kebijakan formulasi Hukum Pidana


positif

saat

ini

yang

menguraikan

mengenai

ketentuan pidana denda di dalam KUHP dan


beberapa undang-Undang di luar KUP (2) Kebijakan
Formulasi Sanksi Pidana di masa yang akan datang,
yang menguraikan mengenai kebijakan formulasi
pidana denda di dalam RUU KUHP Tahun 2012 dan
beberapa kajian perbandingan pidana denda di
KUHP beberapa negara asing.
BAB IV

Penutup yang berisi (a) Kesimpulan dan (b)


Rekomendasi.

46

Вам также может понравиться