Вы находитесь на странице: 1из 26

ETIKA KEPADA SESAMA MANUSIA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama dan Etika Islam

Disusun oleh :
Yanrizha Ihsan

(S3113005)

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA


2015

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Ucapan
terima kasih juga saya ucapkan kepada Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
atas tugas yang telah diberikan sehingga menambah pemahaman saya tentang Akhlak
dalam Makalah yang saya buat.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini tidak sedikit hambatan yang saya hadapi.
Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penulisan dan penyusunan makalah ini
tidak lain berkat Allah SWT sehingga kendala-kendala yang saya hadapi dapat teratasi.
Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama
Islam juga disusun untuk memperluas ilmu tentang Akhlak dalam Agama Islam, yang
saya dapatkan dari berbagai macam sumber informasi dan referensi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para Mahasiswa Institut Teknologi
Sumatera. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu kepada Dosen Mata Kuliah saya meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah saya dimasa yang akan datang dan mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, 13 Februari 2015

Tim Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar .......................................................................................................... i


Daftar Isi .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6

Latar Belakang...................................................................................
Rumusan Masalah .............................................................................
Tujuan dan Manfaat ...........................................................................
Ruang Lingkup Kajian ......................................................................
Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................
1.5.1 Metode ...................................................................................
1.5.2 Teknik Pengumpulan Data ....................................................
Sistematika Pembahasan ...................................................................

BAB II PENGERTIAN ETIKA DALAM ISLAM


2.1 Definisi Etika .....................................................................................
2.2 Sumber Hukum Terkait Tentang Etika ..............................................
BAB III MACAM-MACAM ETIKA
3.1 Etika Kepada Ayah dan Ibu................................................................
3.2 Etika Kepada Diri Sendiri ..................................................................
3.3 Etika Kepada Nonmuslim ..................................................................
3.4 Etika Kepada Lawan Jenis .................................................................
3.5 Etika Berumah Tangga (Munakahat) .................................................
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan ............................................................................................
4.2 Saran ..................................................................................................
Daftar Pustaka ...........................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Etika merupakan refleksi atas moralitas. Akan tetapi, sebagai bagian dari ilmu
pengetahuan,etika bukan sekedar refleksi tetapi refleksi ilmiah tentang tingkah laku

manusia dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk. Oleh karena itu,
yang menjadi pusat penelitiannya bukan hanya prinsip-prinsip dan patokan-patokan
moral semata, tetapi manusialah yang menjadi inti penelitiannya. Tetapi apakah
yang menjadi dasar dalam meneliti manusia tersebut? Norma menjadi pegangan di
dalam menilai tingkah laku ataupun moral dari manusia tersebut. Norma menjadi
tolak ukur bagi setiap pengambilan keputusan etis. Norma-norma yang dibentuk
oleh masyarakat menjadi pembimbing bagi para pengikutnya untuk menjalankan
kehidupan mereka dengan baik. Dan memang seringkali norma yang ada dibentuk
dengan tujuan untuk mengatur kehidupan para anggota komunitasnya agar dapat
berinteraksi dengan baik. Norma itu jugalah yang mengatur kehidupan moral di
dalam mana masyarakat itu tinggal dan menetap.
Etika bukanlah merupakan ilmu yang statis saja yang hanya berdiri sebagai satusatunya ilmu yang meneliti tingkah laku atau sifat dari manusia. Dalam memahami
ataupun meneliti suatu tingkah laku atau kebiaasaan di dalam masyarakat, etika juga
membutuhkan dialog dengan disiplin ilmu yang lain demi memfokuskan diri
terhadap penelitiannya tersebut. Begitu juga dengan apa yang seharusnya dilakukan
di dalam etika sendiri.
Akan tetapi, penulis melihat bahwa di dalam masyarakat sering terdapat
kelompok-kelompok yang cenderung fanatik terhadap hukum-hukum yang ada pada
mereka sehingga membentuk sikap moral yang tertutup. Norma-norma yang ada
pada mereka tidak dapat diganggu-gugat dan jika sampai dikritisi maka akan
mendapatkan sangsi yang berat. Norma-norma yang dibentuk oleh kelompok
tersebut seakan-akan menjadi lebih tinggi derajatnya daripada manusia-manusia
yang membentuknya. Terlalu mengagungkan norma-norma yang ada di dalam
masyarakat membuat suatu komunitas itu menjadi tertutup. Hal inilah yang menjadi
perhatian dari penulis mengapa bisa terjadi hal yang demikian. Penulis melihat hal
ini di berbagai daerah di Indonesia tidak jarang ditemukan kelompok-kelompok
dengan moral tertutup. Biasanya kelompok-kelompok dengan moral yang tertutup
ini banyak terdapat pada kelompok-kelompok agama yang terkadang mengancam
keutuhan umat beragama lain untuk berelasi dengan saudara-saudaranya yang
berbeda keyakinan dengan mereka.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas muncul, muncul beberapa persoalan yaitu:
1. Apakah pengertian etika?
2. Bagaimanakah sikap kita terhadap orangtua?
3. Bagaimanakah sikap terhadap diri sendiri?
4. Bagaimanakah sikap terhadap lawan jenis?
5. Bagaimanakah hubungan kita terhadap umat beragama?
6. Bagaimanakah etika kita dalam berumahtangga?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Dalam era globalisasi dewasa ini kita terkadang lupa akan beretika terhadap sesama
manusia, kita hanya mementingkan diri sendiri. Padahal dalam kehidupan seharihari etika sangat penting untuk di terapkan dalam menciptakan nilai moral yang
baik. Beberapa orang mengartikan bahwa etika hanyalah sebagai konsep untuk
dipahami dan bukan menjadi bagian dari diri kita. Namun sebenarnya etika harus
benar-benar dimiliki dan diterapkan oleh diri kita masing-masing, sebagai modal
utama moralitas kita pada kehidupan yang menuntut kita berbuat baik. Etika yang
baik, mencerminkan perilaku yang baik, sedangkan etika yang buruk,
mencerminkan perilaku kita yang buruk pula. Selain itu etika dapat membuat kita
menjadi lebih tanggung jawab, adil dan responsif. Mengarahkan perkembangan
masyarakat menuju suasana yang harmonis, tertib, teratur, damai dan sejahtera serta
mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan secara
otonom.

1.4 Ruang Lingkup Kajian


Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar
moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan
dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal
standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek. Etika
merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau
masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk
diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral

adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk
dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah
menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan
dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar
benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
1.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
1.5.1 Metode
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif, yaitu
mendeskripsikan isi makalah dari sumber atau literatur yang dapat dipercaya.
1.5.2

Teknik pengumpulan data


Pada makalah ini kami menggunakan teknik pengumpulan data, berupa sumber
dan studi literatur.

1.6 Sistematika Pembahasan


Penulisan makalah ini terbagi menjadi empat bab, yaitu pendahuluan, pengertian
etika dalam Islam, macam-macam etika, serta simpulan dan saran. Pada bab satu
akan dibahas mengenai latar belakang makalah ini, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat, ruang lingkup kajian, metode dan teknik pengumpulan data, serta
sistematika pembahasan.
Pada bab dua akan disajikan definisi etika dan sumber hukum terkait tentang etika
dalam Islam. Bab tiga akan menjabarkan etika kepada ayah dan ibu, etika kepada
diri sendiri, etika kepada nonmuslim, etika kepada lawan jenis, dan etika dalam
berumah tangga (munakahat). Bab empat berisi tentang simpulan dan saran dari
penulis mengenai makalah ini.

BAB 2
PENGERTIAN ETIKA DALAM ISLAM

2.1 Definisi Etika


Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata etika
yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak
arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat,
akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat
kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah
Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi,

secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Etika
merupakan suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh
yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
2.2 Sumber Hukum Terkait tentang Etika
Dalil mengenai etika terhadap manusia banyak diatur dalam al-Quran,
diantaranya :
a. Memenuhi janji (al Isra : 34, an Nahl : 91, Al Maidah : 1, As Shaff : 2-3)
b. Menghubungkan tali persaudaraan (An Nisa : 36)
c. Dari Anas ra. bahwa Rasulullah bersabda: Siapa yang ingin dilapangkan
untuknya rizkinya dan diakhirkan untuknya dalam ajalnya maka hendaklah
menyambung tali silaturahimnya. (HR.Bukhari-Muslim)
d. Dari Aisyah ra. dia berkata Rahim itu digantung diatas Arsy, dia berkata:
Siapa yang menyambungku maka Allah akan menyambungnya dan siapa
e.
f.
g.
h.
i.

yang memutusku maka Allah akan memutusnya. (HR.Bukhari-Muslim)


Waspada dan menjaga keselanmatan bersama (Al Maidah : 2, Al Asr : 1-3)
Berlomba mencapai kebaikan (Al Baqoroh : 148, Ali Imron : 133)
Bersikap adil (An Nahl : 90, Al Hujurat : 90)
Tidak boleh mencela dan menghina (Al Hujurat : 9, Al Humazah : 1)
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah berkata: Cukuplah

j.
k.
l.
m.

kejelekan seseorang jika menghina saudaranya sesama. (HR.Muslim)


Tidak boleh bermarahan (Al Qalam : 4, Al Imron : 134)
Menjaga rahasia (Al Isra : 34)
Mengutamakan orang lain (Al Hasyr : 9, Al Insan : 8)
Hendaklah kalian saling memberi hadiah pasti kalian saling mencintai.
(HR. Al Baihaqi).

BAB 3
MACAM-MACAM ETIKA

3.1 Etika Kepada Ayah dan Ibu


Secara umumnya, Allah memerintahkan manusia supaya menghormati ibu dan
ayah mereka. Firman Allah:



.




Maksudnya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapamu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan

dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana


mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Surah al-Isra' 17:23-34)
Begitulah yang ditekankan di dalam ayat Quran di atas yaitu menghormati dan
berbakti kepada ibu ayah merupakan satu perkara yang sangat besar di dalam
agama Islam ini demi menjaga keharmonian institusi kekeluargaan. Bahkan ibu
ayahlah yang telah membesarkan serta mendidik anak-anaknya sehingga ia
menjadi dewasa, maka tidak sewajarnya jika ibu ayah hanya dibiarkan begitu
saja apabila mereka mencapai usia tua.

Di dalam sebuah hadis yang kerap kali kita dengar, Rasulullah SAW pernah
ditanya:

"'Siapakah orang yang berhak mendapat pergaulan baikku?' Baginda menjawab:


'Ibumu'. Orang tersebut bertanya lagi: 'Kemudian siapa.' Baginda menjawab:
'Ibumu.' Orang tersebut bertanya lagi: 'Kemudian siapa?' Baginda menjawab:
'Ibumu.' Orang tersebut bertanya lagi: 'Kemudian siapa?' Baginda menjawab:
'Ayahmu.'(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa ibu merupakan individu paling utama untuk
kita berbakti dan pergaulinya dengan baik. Bahkan ibu dilebihkan sebanyak 3
kali berbanding ayah. Di antara hikmahnya adalah kerana ibu lah individu yang
kebiasaannya paling banyak meluangkan masanya bersama anaknya di rumah.
Ibu jugalah yang menyusukan anaknya, yang menyediakan makanan dan
kelengkapan anak di rumah.
Berbakti kepada kedua orang tua juga merupakan antara amalan yang dicintai
oleh Allah SWT. Daripada ibn Mas'ud r.a., beliau berkata:
: . : :
: .
"Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW: 'Apakah amalan yang paling dicintai
oleh Allah?' Baginda menjawab: 'Solat pada waktu (utama)nya.' Aku bertanya:

'Kemudian apa lagi?' Baginda menjawab: 'Berbakti kepada kedua orang tua.'
Aku bertanya: 'Kemudian apa lagi?' Baginda menjawab: 'Berjihad fi
sabilillah.'(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Daripada ibn Umar r.a., bahawa Nabi SAW bersabda:



"Sesungguhnya kebaikan yang paling utama adalah seseorang memelihara
hubungan baik dengan orang tuanya."(Riwayat Muslim)
Tidak diragukan lagi bahwa keutamaan menghormati dan memperlakukan ibu
bapak dengan baik adalah amalan yang sangat tinggi nilainya di sisi agama.
Maka seorang anak tidak wajar mengabaikan tanggung jawab ini. Seandainya si
anak adalah seorang ahli ibadah yang sangat tekun, tetapi tidak menghormati ibu
bapaknya, maka dia bukanlah seorang yang benar-benar menjiwai roh agama.
Ini karena agama ini bukanlah hanya mementingkan aspek hubungan manusia
dengan Tuhan semata-mata, tetapi turut menekankan aspek hubungan sesama
manusia. Inilah keindahan Islam yang syumul (menyeluruh), yang menyentuh
berbagai aspek kehidupan.
Orang yang tidak menabur bakti kepada kedua orang tua mereka pula diancam
tidak dapat masuk ke syurga sebagaimana disebut diriwayatkan daripada Abu
Hurairah r.a.,Nabi SAW bersabda:


"Celakalah, celakalah, celakalah! Iaitu orang yang mendapati kedua orang
tuanya atau salah satunya sehingga sampai usia mereka lanjut, namun tidak
boleh untuk masuk ke dalam syurga (lantaran tidak berbakti kepada
mereka)."(Riwayat Muslim)
Daripada Abdullah bin Amr r.a., Nabi SAW bersabda:

"Dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, derhaka kepada kedua ibu bapa,
membunuh jiwa (tanpa kebenaran) dan sumpah palsu."(Riwayat al-Bukhari)
Akhirnya disimpulkan daripada semua dalil yang telah dikemukakan, betapa

agama Islam ini mementingkan etika, hak serta tanggungjawab kita untuk
hormat dan berbakti kepada kedua ibu bapak. Bahkan kita juga dilarang untuk
menderhara kepada mereka karena ia termasuk di antara dosa-dosa besar.
Hargailah ibu bapakmu sementara mereka masih ada di dunia ini karena mereka
merupakan di antara landasanmu ke syurga. Wallahu alam.
3.2 Etika Kepada Diri Sendiri
Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangatlah
ditentukan oleh sejauh mana pembinaan, perbaikan dan penyucian terhadap
dirinya. Selain itu, ia meyakini bahwa celakanya dirinya sangatlah ditentukan
oleh sejauh mana kerusakan dirinya, pengotorannya dan keburukan
perbuatannya. Allah Taala berfirman:

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)
Orang muslim meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya dan
menyucikannya ialah iman yang benar dan amal shalih. Ia juga meyakini bahwa
sesuatu yang dapat mengotori dirinya dan merusaknya ialah kekafiran,
keburukan dan kemaksiatan.
Firman Allah Taala:

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka. (Al-Muthaffifin: 14)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya jika seorang
mukmin melakukan dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat,
berhenti (dari dosa tersebut) dan beristighfar, maka hatinya bersih. Jika dosanya
bertambah, maka bertambah pula noda hitamnya sehingga menutupi hatinya.
(Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini
hasan shahih).
Noda hitam tersebut tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Taala
dalam surat Al-Muthaffifin di atas.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:Bertakwalah kepada Allah di
mana saja engkau berada dan tindaklanjutilah kesalahan dengan kebaikan,

niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan bergaullah dengan


manusia dengan akhlak yang baik. (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan AlHakim)
Oleh karena itulah maka orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya,
menyucikannya, dan membersihkannya. Ia menjauhkan diri dari apa saja yang
dapat mengotorinya dan merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang bathil,
ucapan-ucapan yang buruk, dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya
siang malam, mengevaluasinya setiap saat, membawanya kepada perbuatanperbuatan yang baik, mendorong dirinya kepada ketaatan, dan menjauhkan
dirinya dari segala keburukan dan kerusakan.
Dalam upayanya memperbaiki diri, membina, dan menyucikan dirinya, orang
muslim menempuh jalan-jalan berikut:
1. Taubat
Yang dimaksud dengan taubat di sini ialah melepaskan diri dari semua dosa
dan perbuatan maksiat, menyesali semua dosa-dosa di masa lalunya, dan
bertekad tidak kembali lagi kepada dosa-dosa tersebut di sisa umurnya.
Allah Taala berfirman:"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada
Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu
akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.." (At-Tahrim: 8)
"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung." (An-Nuur: 31)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:Hai manusia, bertaubatlah
kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam sehari sebanyak seratus
kali. (HR. Muslim)
2. Muraqabah
Maksudnya, orang muslim mengkondisikan dirinya merasa senantiasa
diawasi Allah Taala di setiap waktu kehidupannya, bahwa Allah Taala
melihatnya, mengetahui rahasia-rahasianya, memperhatikan semua
perbuatannya, dan mengamati apa saja yang ada di dalam hatinya. Dengan
cara seperti itu, maka orang muslim akan senantiasa merasakan keagungan
Allah Taala dan kesempurnaan-Nya, tentram ketika ingat nama-Nya, dapat
merasakan kenikmatan ketika taat kepada-Nya, selalu ingin dekat denganNya, ingin segera datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-

Nya.
Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi wajah dalam firman Allah
Taala:

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim
menjadi kesayangan-Nya." (An-Nisaa: 125)
"Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia
orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang kokoh." (Luqman: 22)
Itulah intisari seruan Allah Taala dalam firman-Nya:"Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya." (Al-Baqarah: 235)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:Sembahlah Allah seperti
engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Muhasabah
Karena orang muslim bekerja siang malam untuk kebahagiaannya di akhirat,
maka ia harus melihat ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan seorang
pedagang kepada modal bisnisnya, ia melihat ibadah-ibadah sunnah seperti
penglihatan seorang pedagang terhadap keuntungan bisnisnya, dan melihat
kemaksiatan atau dosa sebagai kerugian daalm bisnisnya.
Kemudian ia berduaan dengan dirinya sendiri sesaaat di akhir harinya untuk
melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatannya
sepanjang siang harinya. Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadahibadah wajib, maka ia mencela dirinya dan memarahinya, kemudian
memaksa dirinya untuk melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu
juga apabila ibadah-ibadah wajib tersebut termasuk yang harus ditunaikan
saat itu juga, dan jika ibadah-ibadah wajib tersebut tidak termasuk yang
harus ditunaikan saat itu juga maka ia memperbanyak mengerjakan ibadahibadah sunnah. Jika ia melihat dirinya kurang dalam mengerjakan ibadah-

ibadah sunnah, maka ia mengganti kekurangannya dan mendorong dirinya


untuk melakukannya. Jika ia melihat kerugian karena ia melakukan dosa,
maka ia beristighfar, menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan amal shalih
yang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Inilah yang dimaksud dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah salah
satu cara perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan
pembersihannya. Allah Taala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Hasyr: 18)
Firman Allah Taala, Hendaklah setiap diri memperhatikan, maksudnya
adalah perintah untuk melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap diri sendiri
atas apa yang diperbuatnya untuk menyongsong hari esok.
Adalah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, jika waktu malam telah
tiba, ia memukul kedua kakinya dengan berkata kepada dirinya, Apakah
yang telah engkau kerjakan siang tadi?
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu juga berkata, Evaluasilah diri
kalian, sebelum kalian dievaluasi.
Yang semakna dengannya ialah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu
alaihi wa sallam:
Orang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk
hari setelah kematian, sedang orang lemah adalah orang yang menyerahkan
dirinya kepada hawa nafsunya dan berkhayal kosong kepada Allah.
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan sanad hasan).
Adalah Thalhah radhiyallahu anhu jika disibukkan oleh perkebunannya
hingga ia tidak bisa menghadiri shalat jamaah, maka ia mengeluarkan
sedekah untuk Allah Taala dari perkebunannya. Ini tidak lain adalah
muhasabah darinya terhadap dirinya, dan kemarahannya terhadap dirinya.
Begitulah para salafush shalih mengevaluasi diri mereka, dengan memarahi
dirinya atas kelalaiannya, mewajibkan dirinya untuk senantiasa bertakwa,

dan melarang dirinya mengikuti hawa nafsunya, karena mengikuti firman


Allah Taala:

"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggal (nya)." (An-Naziat: 40-41)
4. Mujahadah
Orang muslim mengetahui bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang
ada dalam dirinya, bahwa sifat hawa nafsu adalah condong kepada
keburukan, lari dari kebaikan, dan senantiasa menyeru kepada keburukan,
sebagaimana dikatakan Zulaikha dalam Al-Quran:

"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Yusuf: 53)
Selain itu, di antara sifat hawa nafsu adalah senang bermalas-malasan, santai
dan menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat
kecelakaan dan kebinasaan bagi dirinya.
Jika orang muslim telah mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri
untuk berjuang melawan hawa nafsunya, mengumumkan perang,
mengangkat senjata untuk melawannya, dan bertekad mengatasi seluruh
perjuangannya melawan hawa nafsu dan menantang syahwatnya. Jika hawa
nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa
nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak
serius dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan
memarahinya, kemudian mewajibkan dirinya mengerjakan apa yang tidak ia
kerjakan dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan apa yang
ia tinggalkan. Ia bawa dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya
menjadi tentram, bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah

(perjuangan) terhadap hawa nafsu. Allah Taala berfirman:



"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benarbenar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."
(Al-Ankabut: 69)
Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu berkata tentang sahabat-sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Demi Allah, aku melihat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan aku tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan mereka. Pada pagi hari, rambut mereka kusut, berdebu, dan
pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk sujud, dan berdiri shalat
membaca Kitabullah, dan istirahat di antara kaki mereka dengan kening
mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang sebagaimana
pohon bergoyang ketika tertiup angin. Mata mereka bercucuran dengan air
mata hingga pakaian mereka basah kuyup.
Abu Ad-Darda radhiyallahu anhu berkata, Tanpa tiga hal, aku tidak
tertarik hidup, meskipun sehari saja, yaitu haus untuk Allah di siang hari
yang panas, sujud untuk-Nya di pertengahan malam, dan duduk dengan
orang-orang yang memilih ucapan-ucapan yang bagus, sebagaimana buahbuahan yang bagus dipilih.
Tsabit Al-Bunani rahimahullah berkata, Aku pernah bertemu dengan orangorang dimana salah seorang dari mereka shalat, kemudian ia tidak bisa pergi
ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Salah seorang dari mereka
qiyamul lail (shalat tahajud) hingga kedua kakinya bengkak karena terlalu
lama berdiri. Keseriusan mereka dalam ibadah sampai pada taraf jika
dikatakan kepada mereka bahwa kiamat akan terjadi besok, maka mereka
tidak akan menambah ibadahnya. Jika musim dingin tiba, ia berdiri di atap
rumah agar diterpa hawa dingin sehingga tidak bisa tidur. Jika musim panas
tiba, maka ia berdiri di bawah atap rumah, agar panas matahari membuatnya
tidak bisa tidur. Salah seorang dari mereka meninggal dunia dalam keadaan
sujud.
Istri Masruq rahimahullah berkata, Masruq tidak ditemui, kecuali kedua

betisnya bengkak karena saking lamanya qiyamul lail. Demi Allah, pada
suatu kesempatan, saya berdiri di belakangnya ketika ia berdiri qiyamul lail,
kemudian aku menangis karena iba terhadapnya.
Dikisahkan bahwa salah seorang istri dari para salafush shalih yang bernama
Ajrah yang telah buta berdoa dengan suara yang memilukan jika waktu
sahur telah tiba, Ya Allah, kepada-Mu orang-orang ahli ibadah mengarungi
kegelapan malam untuk berlomba kepada rahmat-Mu dan karunia ampunanMu. Ya Allah, dengan-Mu, aku meminta kepada-Mu, dan tidak kepada
selain-Mu, agar Engkau menjadikanku orang terdepan di rombongan orangorang as-Sabiqun (orang-orang yang cepat kepada kebaikan), mengangkatku
di sisi-Mu di Illiyyin pada derajat makhluk-makhluk yang didekatkan
kepada-Mu, dan menyusulkanku kepada hamba-hamba-Mu yang shalih.
Engkau Dzat yang paling penyayang, Dzat yang paling agung, dan Dzat
yang paling mulia, wahai Dzat yang paling mulia. Usai berdoa seperti itu,
ia sujud. Ia tidak henti-hentinya berdoa dan menangis hingga waktu shalat
shubuh tiba.
3.3 Etika Kepada Nonmuslim
Sebagai muslim, etika kita kepada nonmuslim antara lain:
1. Berbuat adil terhadapnya, dan berbuat baik kepadanya.
2. Menyayanginya dengan kasih sayang umum dengan memberinya makan jika
ia lapar, memberinya minum jika ia kehausan, mengobatinya jika ia sakit,
menyelamatkannya dan kebinasaan, dan menjauhkan gangguan daripadanya,
karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah saw.,Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya engkau
disayangi siapa yang ada di langit. (Diriwayatkan Ath-Thabrani dan AlHakim. Hadits ini shahih).
Pada setiap orang yang mempunyai hati yang basah terdapat pahala.
(Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih).
3. Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatannya, jika ia bukan termasuk
orang yang wajib diperangi, karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah saw.,Allah Taala berfirman, Hai hamba-hamba-Ku,
sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas Diri-Ku, dan Aku
mengharamkannya terhadap kalian. Oleh karena itu, kalian jangan saling

menzhalimi. (Diriwayatkan Muslim).


Barangsiapa menyakiti orang kafir dzimmi, maka Aku menjadi lawannya
pada hari kiamat. (Diriwayatkan Muslim).
4. Ia boleh memberinya hadiah, menerima hadiahnya, dan memakan hadiahnya
jika ia Ahli Kitab orang Yahudi, dan orang Nasrani, berdasarkan dalil-dalil
berikut:
Firman Allah Taala,Pada hari ini dihalalkan bagi kalian semua yang baik.
Sembelihan golongan kaum Yahudi dan Nasrani halal bagi kalian.
Sembelihan kalian pun halal bagi mereka (Al Maidah: 5).
Dikisahkan dengan shahih bahwa Rasulullah saw. diundang makan oleh
orang Yahudi Madinah, kemudian beliau memenuhi undangannya, dan
memakan makanan yang dihidangkan kepada beliau
5. Mendoakannya jika ia bersin dengan memuji Allah dan berkata, Semoga
Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki urusanmu. Karena
Rasulullah pernah bersin di samping orang orang Yahudi, karena mengharap
mereka berkata, Semoga Allah merahmatimu, kemudian beliau
mendoakan balik, Semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian, dan
memperbaiki urusan kalian.
3.4 Etika Kepada Lawan Jenis
Di dalam Agama Islam etika kita kepada lawan jenis antara lain:
1. Menundukan pandangan terhadap lawan jenis
Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukan pandangannya,
sebagaimana firman-Nya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman :
Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.
(QS. An-Nur : 30).
Sebagaimana hal ini juga diperintahkan kepada wanita beriman, Allah
berfirman: Dan katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS. AnNur : 31).
2. Menutup aurat
Allah berfirman : Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,
kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. An-Nur : 31).
Juga firmanNya : Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mumin : Hendaklah mereka

mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya


mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59).
Perintah menutup aurat juga berlaku bagi semua jenis, sebagaimana sebuah
hadits : Dari Abu Said Al-Khudri RA berkata : Rasulullah SAW bersabda :
Janganlah seorang laki-laki memandang aurat laki-laki, begitu juga wanita
jangan melihat aurat wanita. (HR. Muslim 1/641, Abu Dawud 4018,
Tirmidzi 2793, Ibnu Majah 661).
3. Adanya pembatas antara laki-laki dengan wanita
Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari
balik tabir pembatas. Sebagaimana firmanNya : Dan apabila kalian
meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik
hijab. (QS. Al-Ahzab : 53)
4. Tidak berdua-duaan dengan lawan jenis
Dari Ibnu Abbas RA berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda;
Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (Khalwat) dengan wanita kecuali
bersama mahramnya. (HR. Bukhari 9/330, Muslim 1341).
Dari Jabir bin Samurah berkata : Rasulullah SAW bersabda : Janganlah
salah seorang dari kalian berdua-duaan dengan seorang wanita, karena
syetan akan menjadi yang ketiganya. (HR. Ahmad 1/18, Tirmidzi 3/374
dengan sanad Shahih, lihat Takhrij Misykah 3188).
5. Tidak mendayukan ucapan
Seorang wanita dilarang mendayukan ucapan saat berbicara kepada selain
suami. Firman Allah : Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya
dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab : 32).
Berkata Imam Ibnu Katsir : Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan
oleh Allah kepada para istri Rasulullah saw serta para wanita muminah
lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara
merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain
sebagimana dia berbicara dengan suaminya. (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).
6. Tidak menyentuh lawan jenis
Dari Maqil bin Yasar RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Seandainya

kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada
menyentuh wanita yang tidak halal baginya. (HR. Thabrani dalam Mujam
Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam musnadnya 1283 dengan sanad hasan,
lihat Ash-Shohihah 1/447/226).
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : Dalam hadits ini terdapat
ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak
halal baginya. (Ash-Shohihah 1/448).
Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat
penting seperti membaiat dan lain-lain. Dari Aisyah berkata : Demi Allah,
tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali
meskipun saat membaiat. (HR. Bukhari 4891).
Inilah sebagian etika pergaulan laki-laki dengan wanita selain mahram, yang
mana apabila seseorang melanggar semuanya atau sebagiannya saja akan
menjadi dosa zina baginya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : Dari Abu
Hurairah RA dari Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah
menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan
mengenainya. zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara,
sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan
membenarkan atau mendustakan semuanya. (HR. Bukhari 4/170, Muslim
8.52, Abu Dawud 2152).
Padahal Allah taala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang
bisa mendekati perzinaan (Lihat Hirosatul Fadhilah oleh Syaikh Bakr Abu
Zaid, Hal. 94-98) sebagaimana firmanNya : Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk. (QS. Al-Isra : 32).
3.5 Etika Berumah Tangga (Munakahat)
Di bawah naungan rumah tangga yang bersahaja di situlah tinggal sang istri,
pahlawan di balik layar pembawa ketenangan dan kesejukan. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda,Dunia itu penuh dengan kenikmatan. Dan
sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang shalihah. (Lihat Shahih Jami
Shaghir karya Al-Albani).
Di antara keelokan budi pekerti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
keharmonisan rumah tangga beliau ialah memanggil Aisyah radhiyallahu anha

dengan nama kesayangan dan mengabarkan kepadanya berita yang membuat


jiwa serasa melayang-layang.
Aisyah radhiyallah anha menuturkan, Pada suatu hari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam berkata kepadanya, Wahai Aisy (panggilan kesayangan
Aisyah radhiyallahu anha), Malaikat Jibril alaihissalam tadi menyampaikan
salam buatmu. (Muttafaq alaih)
Bahkan beliau shallallahu alaihi wasallam selaku Nabi umat ini yang paling
sempurna akhlaknya dan paling tinggi derajatnya telah memberikan sebuah
contoh yang berharga dalam hal berlaku baik kepada sang istri dan dalam hal
kerendahan hati, serta dalam hal mengetahui keinginan dan kecemburuan
wanita. Beliau shallallahu alaihi wasallam menempatkan mereka pada
kedudukan yang diidam-idamkan oleh seluruh kaum hawa. Yaitu menjadi
seorang istri yang memiliki kedudukan terhormat di samping suaminya.
Aisyah radhiyallahu anha menuturkan, Suatu ketika aku minum, dan aku
sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum.
Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil
potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya. (HR.
Muslim).
Beliau shallallahu alaihi wasallam tidaklah seperti yang diduga oleh kaum
munafikin atau seperti yang dituduhkan kaum orientalis dengan tuduhantuduhan palsu dan pengakuan-pengakuan bathil. Bahkan beliau shallallahu
alaihi wasallam lebih memilih etika berumah tangga yang paling elok dan
sederhana.
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha bahwa ia berkata, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pernah mencium salah seorang istri beliau,
kemudian berangkat menunaikan shalat tanpa memperbaharui wudhu. (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi).
Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menjelaskan dengan gamblang
tingginya kedudukan kaum wanita di sisi beliau. Mereka kaum hawa memiliki
kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam pernah menjawab pertanyaan Amr bin Al-Ash radhiyallah anhu
seputar masalah ini, beliau jelaskan kepadanya bahwa mencintai istri bukanlah

suatu hal yang tabu bagi seorang lelaki yang normal.


Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, Siapakah orang yang paling engkau cintai? beliau
menjawab, Aisyah! (Muttafaq alaih).
Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah ia
memperhatikan kisah- kisah Aisyah radhiyallah anha bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Bagaimana kiat-kiat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam membahagiakan Aisyah radhiyallahu anha.
Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, Aku biasa mandi berdua bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari satu bejana. (HR. Al-Bukhari).
Rasulullah tidak melewatkan kesempatan sedikit pun kecuali beliau manfaatkan
untuk membahagiakan dan menyenangkan istri melalui hal-hal yang dibolehkan.
Aisyah radhiyallah anha mengisahkan, Pada suatu ketika aku ikut bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu
aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau shallallahu alaihi wasallam
memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun
berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku, Kemarilah!
sekarang kita berlomba lari. Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat
mengungguli beliau. Beliau shallallahu alaihi wasallam hanya diam saja atas
keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk,
aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau shallallahu alaihi
wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian
beliau menantangku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat
mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata, Inilah penebus kekalahan yang
lalu! (HR. Ahmad)
Sungguh! merupakan sebuah bentuk permainan yang sangat lembut dan sebuah
perhatian yang sangat besar. Beliau perintahkan rombongan untuk berangkat
terlebih dahulu agar beliau dapat menghibur hati sang istri dengan mengajaknya
berlomba lari. Kemudian beliau memadukan permainan yang lalu dengan yang
baru, beliau berkata, Inilah penebus kekalahan yang lalu!
Bagi mereka yang sering bepergian melanglang buana serta memperhatikan
keadaan orang-orang yang terpandang pada tiap-tiap kaum, pasti akan takjub
terhadap perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau adalah

seorang Nabi yang mulia, pemimpin yang selalu berjaya, keturunan terhormat
suku Quraisy dan Bani Hasyim. Pada saat-saat kejayaan, beliau kembali dari
sebuah peperangan dengan membawa kemenangan bersama rombongan pasukan
besar. Meskipun demikian, beliau tetap seorang yang penuh kasih sayang dan
rendah hati terhadap istri-istri beliau para Ummahaatul Mukiminin radhiyallah
anhun. Kedudukan beliau sebagai pemimpin pasukan, perjalanan panjang yang
ditempuh, serta kemenangan demi kemenangan yang diraih di medan
pertempuran, tidak membuat beliau lupa bahwa beliau didampingi para istri-istri
kaum hawa yang lemah yang sangat membutuhkan sentuhan lembut dan bisikan
manja. Agar dapat menghapus beban berat perjalanan yang sangat meletihkan.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam kembali dari peperangan Khaibar, beliau menikahi Shafiyyah binti
Huyaiy radhiyallahu anha. Beliau shallallahu alaihi wasallam mengulurkan
tirai di dekat unta yang akan ditunggangi untuk melindungi Shafiyyah
radhiyallah anha dari pandangan orang. Kemudian beliau duduk bertumpu pada
lutut di sisi unta tersebut, beliau persilakan Shafiyyah radhiyallah anha untuk
naik ke atas unta dengan bertumpu pada lutut beliau.
Pemandangan seperti ini memberikan kesan begitu mendalam yang
menunjukkan ketawadhuan beliau. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
selaku pemimpin yang berjaya dan seorang Nabi yang diutus- memberikan
teladan kepada umatnya bahwa bersikap tawadhu kepada istri, mempersilakan
lutut beliau sebagai tumpuan, membantu pekerjaan rumah, membahagiakan istri,
sama sekali tidak mengurangi derajat dan kedudukan beliau.

BAB 4
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Maka dari makalah yang telah kami buat didapatkanlah kesimpulan
bahwasannya etika pada islam sangatlah luas dalam artian kita sebagai umat

muslim harus mematuhi segala perintah-perintah agama yang telah ada pada alQuran dan dapat disimpulkan pula bahwa pengertian etika itu sendiri dapat
disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui
oleh akal pikiran.
4.2 Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya karena terbatasnya pengetahuan kami dan kurangnya referensi
yang ada.
Kami berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan pembelajaran untuk penulisan
makalah di lain kesempatan.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya, dan juga para
pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Sehari di Kediaman Rasulullaahi Shalallaahu alaihi wasalam, Abdul Malik AlQasim
Artikel www.KisahMuslim.com
http://blog.alhazmonline.com/2013/01/etika-dan-adab-terhadap-kedua-ibu-bapa.html?
m=1 (Sabtu,14 Februari 2014 pukul 20.00 WIB)
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130208184536AARkyKa
(Sabtu,14 Februari 2014 pukul 20.00 WIB)
https://m2.facebook.com/permalink.php?
id=109578559191965&story_fbid=192637530868550&refsrc=http%3A%2F
%2Fwww.google.com%2F&_rdr (Sabtu,14 Februari 2014 pukul 20.00 WIB)
(Dikutip dengan sedikit diringkas, dari kitab Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar
Jabir Al-Jazairi, ahli tafsir dan penasehat di Masjid Nabawi Madinah yang mengajarkan
tafsir Al-Quran di Masjid Nabawi Madinah)
Artikel facebook al-Akh Abu Muhammad Herman
http://www.facebook.com/notes/abu-muhammad-herman/etika-terhadap-dirisendiri/10150162058020175 (Sabtu,14 Februari 2014 pukul 20.00 WIB)

Вам также может понравиться