Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
MENINGOENSEFALITIS TOXOPLASMA
Disusun oleh:
Bening Putri Ramadhani Usman
1110103000084
Pembimbing :
dr. Hastari Soekardi, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK
SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat
menyelesaikan makalah diskusi topik ini yang berjudul Meningoensefalitis Toxoplasma.
Makalah presentasi kasus langsung ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan danpenyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Hastari Soekardi, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah diskusi topik ini masih
banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat kami
harapkan.
Demikian, semoga makalahpresentasikasus ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan
kita,terutama dalam bidang neurologi.
Penyusu
n
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. HB
JenisKelamin
Usia
:Laki-laki
: 25 tahun
Agama
: Islam
Alamat
Sindur, Bogor
Suku
: Sunda
Pekerjaan
: Pegawai swasta
Pendidikan terakhir
: SLTA
Status Pernikahan
: Sudah menikah
No. RM
: 01313260
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan istri
pasien pada tanggal 8 Juni 2014.
a. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 2 minggu SMRS.
muntah menyemprot,
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
Tekanan darah
Nadi
Napas
Suhu
Berat badan
Tinggi badan
BMI
Mata
- Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus (-)/(-),
nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-), edema palpebra
(-)/(-),konjungtiva anemis(-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), sekret (-)/(-),
tampak berair, pterigium (-)/(-), ulkus kornea (-)/(-), kekeruhan
-
lensa (-)
Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal
5
Telinga,Hidung,Tenggorokan
Hidung :
- Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi
septum (-)/(-), konka nasal hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-), NCH (-)/(-)
- Palpasi : Nyeri tekan sinus (-), krepitasi (-)
Telinga :
- Inspeksi :
- wPreaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
-
skar (-)/(-),
Aurikuler : normotia, hiperemis (-)/(-), cauli flower (-)/(-),
pseudokista (-)/(-),
Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
skar (-)/(-),
Liang telinga : lapang, serumen (-)/(-), Ottorhea (-)/(-),
membran timpani intak
KGB
Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi
Thoraks Depan
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi
sela iga (-/-), bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum
(-)/(-), pectus ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga
(-)/(-), tumor (-)/(-), skar (-), emfisema subkutis (-)/(-),
6
8
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (+/+)
Thoraks Belakang
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi
sela iga (-/-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-),
emfisema subkutis (-)/(-), Pergerakan kedua paru simetris
statis dan
belakang (-)
Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi
Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari
linea midklavikulasinistra ICS V, thrill (-), heaving (-),
-
parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop(-)
Abdomen
- Inspeksi : simetris, datar, striae (-), skar (-), penonjolan (-), bekas
-
(-)
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-)
7
Ekstremitas
Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari
tabuh (-), koilonikia (-), hiperemis (-), deformitas (-)
Status neurologis
GCS
: E3M5V4
Kaku kuduk
Lasegue
Kernig
Brudzinski I
Brudzinski II
: +
: <700 /<700
: <1350 /<1350
:-/:-/-
Saraf-saraf Kranialis:
N.I (olfaktorius)
N.II (optikus)
Acies visus
Visus campus
Lihat warna
Funduskopi
: ortoposisi + / +
: kesan baik
:-/:-/8
Palpebra
Pupil:
: kesan baik
o Bentuk
: +/-
: +/-
Cabang Motorik
Cabang sensorik
o Ophtalmikus
o Maksilaris
o Mandibularis
N.VII (Fasialis)
Motorik orbitofrontalis
: kesan simetris kanan=kiri
Motorik orbikularis orbita
: tidak valid dinilai
Motorik orbikulari oris
: plica nasolabialis kanan lebih datar dari kiri
Pengecapan lidah
: tidak valid dinilai
Kesan: paresis N. VII dextra tipe sentral
N.VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular : Vertigo
:-
Nistagmus
:-/-
Arcus faring
: simetris kanan=kiri
9
Uvula
Refleks muntah
: simetris kanan=kiri
: (+/+)
N.XI (Accesorius)
Mengangkat bahu
Menoleh
N.XII (Hypoglossus)
Posisi lidah
Pergerakkan lidah
Atrofi
Fasikulasi
Tremor
Sistem Motorik
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Gerakkan Involunter
Tremor
Chorea
Miokloni
Tonus
:-/:-/: -/ : baik
Sistem Sensorik
Fungsi Serebelar
Ataxia
Tes Romberg
Jari-jari
Jari-hidung
Tumit-lutut
Rebound phenomenon
Hipotoni
Fungsi Luhur
Astereognosia
Apraxia
Afasia
Fungsi Otonom
Miksi
Defekasi
Sekresi keringat
: on DC
: baik
: baik
Refleks Fisiologis
Biceps
Triceps
Radius
Lutut
Tumit
: +3/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +3/+2
: +2/+2
Refleks Patologis
Hoffman Tromer
Babinsky
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Gonda
Schaefer
Klonus lutut
Klonus tumit
:-/:+/:-/:+/:-/:-/:-/:-/:-/-
Keadaan Psikis
II.
Intelegensia
Tanda regresi
Demensia
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (7 Agustus 2014)
11
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hasil
Nilai normal
Hemoglobin
14,2
13,2-17,3
Hematokrit
39
32-45
Leukosit
7,5
5.0-10,0
Trombosit
203
150-440
Eritrosit
VER/HER/KHER/RDW
5,11
4,40-5,90
VER
77,1
80,0-100,0
HER
27,7
26,0-34,0
KHER
36,0
32,0-36,0
RDW
FUNGSI HATI
16,2
11,5-14,5
SGOT
20
0-34
SGPT
FUNGSI GINJAL
32
0-40
Ureum
19
20-40
Kreatinin
DIABETES
0,5
0,6-1,5
136
70-140
Natrium
124
135-147
Kalium
3,79
3,1-5,1
Klorida
86
95-106
Glukosa Darah
Hiponatremia
Hipokloridemia
12
Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks (23 Juli 2014)
V. Resume
Tn.HB, 25 tahun, datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 2 minggu SMRS. Penurunan
kesadaran berupa pingsan, kadang seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan. Pasien sering tidak nyambung bila diajak berbicara.
Demam (+) hilang timbul, nyeri kepala (+), mual (+), dan muntah
(+) sejak 1 bulan SMRS. Pasien sering mengalami cegukan setelah
makan atau minum. Saat ini pasien sudah sadar, namun masih
13
VI. DIAGNOSIS
-
Diagnosis kerja
o Suspek
:
meningoensefalitis
meningoensefalitis TB
o Suspek AIDS
o Hiponatremia
o Hipokloridemia
Diagnosis klinis :
o Penurunan kesadaran
o Secondary headache
o Tanda rangsang meningeal (+)
o Kesan hemiparesis dextra
o Parese N. III sinistra parsial
o Kesan parese N. VII dextra tipe sentral
o Kesan parese N. XII dextra tipe sentral
Diagnosis etiologi : infeksi Toxoplasma gondii
Diagnosis topis : meningen, parenkim otak
14
toksoplasma
dd/
Pirimetamin :
o Loading dose : 200 mg p.o.
o Lanjutan
: 3 x 25 mg p.o.
Candistin 4 x gtt I
Dexamethasone 4 x 5 mg IV
Ranitidin 2 x 50 mg IV
IX.Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
dan
medulla
spinalis
diselubungi
oleh
tiga
lapisan
Membrane yang halus dan bersifat impermeable, yang menutupi otak dan terletak
di antara pia mater di bagian dalamnya dan duramater bagian luarnya. Arachnoidea mater
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu ruang subdural yang terisi oleh
selapis cairan yang dipisahkan dari pia mater oleh ruang subarachnoid yang berisi cairan
serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoid dilapisi oleh sel-sel mesotilia yang
gepeng.
Arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus untuk membentuk villi arachnoidea
yang paling banyak terdapat di sepanjang sinus sagitalis superior. Kumpulan vili
arachnoid disebut granulationes arachnoid yang berfungsi untuk tempat difusi cairan
serebrospinal ke dalam aliran darah.
Cairan serebrospinalis dibentuk di pleksus khoroideus keempat ventrikel
serebri (ventrikel lateral kanan dan kiri, ventrikel ketiga, ventrikel
keempat). Cairan ini mengalir melalui sistem ventrikel (ruang LCS
internal)
dan
kemudian
masuk
keruang
subarakhnoid
yang
mengelilingi otak dan medulla spinalis (ruang LCS eksternal). Cairan ini
diresorpsi di granulasiones sinus sagitalis superior dan di selubung
perineural medulla spinalis.
Cairan Cerebrospinal
Tekanan
Volume
Osmolaritas
Elektrolit
Na
K
Serum
5-18 cmH2O
100-160 ml
292-297 mosm/L
285-295 mosm/L
137-145 mmol/L
2,7-3,9 mmol/L
136-145 mmol/L
3,5-5,0 mmol/L
17
Ca
Cl
pH
Glukosa
CSF/serum glucose
quotient
Laktat
Total protein
Albumin
IgG
IgG indek
Leukosit
Limfosit
1-1,5 mmol/L
116-122 mmol/L
7,31-7,34
22-3,9 mmol/L
> 0,5-0,6
2,2-2,6 mmol/L
98-106 mmol/L
7,38-7,44
4,2-6,4 mmol/L
1,0-2,0 mmol/L
0,2-0,5 g/L
56-75%
0,010-0,014 g/L
< 0,65
< 4/L
60-70%
transportasi hormone,
18
Medulla oblongata, pons, dan cerebellum mengelilingi sebuah rongga yang berisi
cairan serebrospinal, disebut ventriculus quartus. Di bagian superior, rongga ini
berhubungan dengan ventriculus tertius melalui aqueductus cerebri, dan dibagian inferior
menyambung dengan canalis centralis medulla spinalis.
Mesencephalon
merupakan
bagian
sempit
otak
yang
menghubungkan
FUNGSI UTAMA
20
Korteks Cerebrum
1. Persepsi sensorik
2. Kontrol gerakan volunteer
3. Bahasa
4. Proses mental canggih, misalnya berfikir, mengingat, membuat
keputusan, kreativitas dan kesadaran diri
1. Inhibisi tonus otot
Nukleus Basal
Thalamus
Hipothalamus
Cerebellum
terlatih
1. Asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer
(Mesencephalon,
pons,
oblongata)
medulla
postur
4. Penerimaan dan integrasi semua masukan sinaps dari korda
spinalis; keadaan terjada dan pengaktifan korteks cerebrum
5. Pusat tidur
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi
transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut
pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue
cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
22
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat
tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 <
200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma
gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan untuk
pemberian profilaksis primer.
studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental
pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50
% kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. Defisit neurologis
yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga
terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik,
disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi
neuropsikiatri.
II.2.3. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan,
isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG
dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer
IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye
test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang
dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma
menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi
protein.
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T
gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan
serebrospinal bervariasi dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya
hampir 100%. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar
dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi
HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi
aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR
pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita
AIDS.
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur
cairan tubuh atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6
minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari ensefalitis
24
toxoplasma adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu
dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.
II.2.4. Tatalaksana
AAN
Quality
Standards
subcommittee
(1998)
merekomendasikan
penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama
2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara
klinis maupun radiologi, diagnosis adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan
dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan
klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak
ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.
Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap
6 jam. Pada pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah
depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat
diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam,
atau atova quone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple,
bilateral dan menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada
70-80% kasus. Lesi ini berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric
corticomedullary junction. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibanding CT Scan.
Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI tidak patognomonik
untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan limfoma
SSP dan criptococcus.
Terapi ensefalitis toxoplasma yang lazim diberikan di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta adalah (Sulfadoxin 500 mg + Pyrimethamin 25 mg) tiap 6
jam, Clindamicin 600 mg tiap 6 jam, dan asam folinic 10 mg perhari. Suatu uji
randomisasi oleh Danneman et al., menunjukkan kombinasi pirimetamin dengan
sulfadiazin sedikit lebih unggul dibanding kombinasi pirimetamin dengan
clindamisin. Sehingga diusulkan untuk menggunakan kombinasi pirimetamin
dengan sulfadiazin.
Dua minggu setelah pemberian terapi empirik dilakukan evaluasi ulang
CT Scan. Untuk menilai perbaikan secara radiologis, digunakan 2 parameter yaitu
25
ukuran lesi dan penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini,
evaluasi CT scan terdapat perbaikan, dimana ukuran lesi mengecil dan pada
pemberian kontras tidak tampak adanya penyangatan. Adanya perbaikan klinis dan
radiologis pada terapi empirik toxoplasmosis selama 2 minggu, maka diagnosis
definitive ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan.
Pada penelitian double blind, placebo-controlled trial di Tanzania (Fawzi et
al) terhadap 1078 wanita hamil terinfeksi HIV yang diberikan suplemen
multivitamin berupa vitamin A, beta karoten, B, C dan E menunjukkan adanya
peningkatan CD 4 secara bermakna dan penurunan viral load secara bermakna.
Sehingga pemberian multivitamin pada pasien yang terinfeksi HIV dapat
dipertimbangkan.
Ditemukan adanya movement disorder pada pasien ensefalitis toxoplasma
diduga berhubungan dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Movement
disorder terjadi akibat disfungsi dari struktur ganglia basalis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang
terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau
limfosit total kurang dari 1200.
Meningitis dapat mengenai semua umur, namun induvidu yang sangat muda
(infant dan anak) dan orang tua >60 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk
terkena meningitis.
II.3.3. Klasifikasi
26
Meningitis akut
Meningitis bakterial akut
1.
Usia/Faktor predisposisi
Bakteri patogen
S agalactiae (streptococci grup B)
E coli K1
L monocytogenes
S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitidis
N meningitidis
S pneumoniae
H influenzae
S pneumoniae
N meningitidis
H influenzae
2.
Meningitis aseptik
Merupakan sindrom infeksi mengenai pada SSP yang paling sering. Dapat
disebabkan oleh virus patogen, bakteri, jamur ataupun parasit.
3.
Enterovirus
Tersebar di seluruh dunia, infeksi tergantung musim, usia dan sosial
ekonomi. Penyebaran secara fekal-oral, dapat terjadi sepanjang tahun
pada Negara tropis, terutama selama musim panas dan musim gugur
27
pada negara dengan empat musim. Infeksi tertinggi mengenai anak <1
tahun.
-
Herpes virus
HSV 1 terutama menyebabkan ensefalitis, HSV 2 lebih sering
menyebabkan meningitis.
b) Meningitis kronik : gejala dan tanda iritasi mening serta pleositosis LCS
berlangsung >4 minggu, dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau parasit.
1. Meningitis bakterial kronik
Disebabkan oleh spesies Brucella (coccobacilli gram negatif), transmisi
melalui kontak dengan binatang (ternak) yang terinfeksi, distribusi
terutama di Timur Tengah, India, Amerika Tengah dan Amerika Selatan
2. Meningitis tuberkulosa
Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, transmisi melalui droplet
airborne. Harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada
pasien dengan meningitis aseptik dan sindrom meningitis kronik.
Keterlibatan SSP pada meningitis akibat TB biasanya disebabkan ruptur
tuberkel ke ruang subaraknoid. Dapat bermanifestasi akut, namun
presentasi yang klasik adalah sub akut, dengan adanya gejala prodromal
berupa demam, malaise, sakit kepala intermiten. Pasien dapat pula
mengalami kelumpuhan saraf kranial (N III, IV, V, VI, dan VII) yang
menunjukkan keterlibatan mening basilar. Dibagi menjadi tiga stadium
klinik (staging) berdasarkan status neurologis :
Stadium 1 tidak ada perubahan status mental, defisit neurologis,
o
hidrosefalus
o
lokasi ini, organisme menginvasi sub mukosa dan akhirnya mencapai sistem saraf
pusat melalui darah/hematogen, neuronal retrograde (contoh: melalui nervus
olfaktorius, saraf perifer), atau penyebaran lansung (contoh: dari sinusitis, otitis
media, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial).
II.3.5. Diagnosis
Diagnosis
meningitis
dapat
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
Pemeriksaan
LCS
merupakan
pemeriksaan
laboratorium
untuk
Agen
Opening
Pressure
WBC/uL
Glucosa
Protein
(mg/dL)
(mg/dL)
Mikrobiologi
Patogen spesifik
Meningitis
200-300
100-5000;
>80% PMN
bakterialis
<40
>100
terlihat pada
60% Gram dan
80% kultur
Meningitis
viral
Meningitis
tuberkulosa
10-300;
90-200
Normal,
limfosit
MN>PMN
Normal,
dapat pula
pada mumps
sedikit
, <40
, >100
100-500;
180-300
limfosit
MN>PMN
Isolasi virus,
PCR
BTA, kultur,
PCR
Tinta India,
Meningitis
180-300
cryptococcal
10-200;
limfosit
50-200
antigen
cryptococcal,
kultur
Meningitis
aseptik
90-200
10-300;
limfosit
Normal,
Normal
dapat pula
Negatif
sedikit
0-5;
Nilai normal
80-200
50-75
limfosit
30
15-40
Negatif
atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian
inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim
reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan
Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV
termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar
matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton,
alkohol, jodium hipoklorit dansebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi
dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan
mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag
dan sel glia jaringan otak.
II.4.3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar
virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang
dibutuhkan ratarata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan
semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa
inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana
virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3
bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa wndow periode.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus
HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV.
Mengingat masa inkubasi yang relatif lama,
juta orang akan meninggal karena AIDS. Pada saat ini laju infeksi (infection rate)
pada wanita jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi, 90% akan terjadi
di negara berkembang, terutama Asia.
II.4.5. Penularan
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre). Virus HIV sampai
saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ
sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan
vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada
orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan
diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga
kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering
terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina
atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan
seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive
untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual
yang dilakukan pada
pasangan
II.4.6. Patogenesis
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T
helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan
membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4.
Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia
melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah
bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan
demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi,
HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih
dahulu mengalami
berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan
atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa bulan
sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala
klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV
dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai
lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang
dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarcoma
34
Frekuensi
Kandidiasis mulut-esofagus
80,8 %
Tuberkulosis
40,1%
CMV
28,8%
Ensefalitis toxoplasma
17,3%
13,4%
Herpes simplex
9,6%
4,0%
Kriptosporodiosis
2,0%
Histoplasma paru
2,0%
36
II.4.8. Diagnosis
Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang
berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau
vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan
ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk
menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked
Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan
dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test
yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot.
Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :
1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).
2. Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.
3. Adanya gejala infeksi oportunistik.
Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi
oportunistik atau sarkoma kaposi pada usia muda
DAFTAR PUSTAKA
1. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.
2. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2004
3. Mamidi A, DeSimone J, Pomerantz R. Central Nervous system infections in
individuals with HIV-1 infection. J NeuroVirol 2002; 8: 158-67.
4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi
ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2000.
5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004. hal 30320 & 374-75.
6. Martini, FH. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7 th Edition. USA: Pearson
Benjamin Cummings; 2005. P 1006.
7. Misbach J. Hamid AB, Mayza A. Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
8. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 &
485-90.
37
2005.
38