Вы находитесь на странице: 1из 63

MAKALAH

KEDOKTERAN KOMUNITAS
TUBERCULOSIS PARU

Disusun Oleh

Ketua

: Arwan Firmansyah

(1102009042)

Anggota

: Ajeng Febriyanti

(1102010013)

Rindayu Ambarsih

(1102010242)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat


Universitas Yarsi
Periode 02 Februari 2015 07 Maret 2015

BABI
PENDAHULUAN
A LatarBelakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.


Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan
sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.Tuberkulosis
masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun
terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di
semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%,
Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua
kasus tuberkulosis.
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka
kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan
meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring
didapati peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta
(berkisar 12 juta sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami
penurunan, dari peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini
dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah
penderita TB di Indonesia. Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus
adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus
resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan
meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.
Kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan
faktor risiko sumber penularan penyakit TBC. Sumber penularan penyakit ini erat
kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang meliputi penyediaan air bersih dan
pengolahan limbah.Faktor risiko dan lingkungan pada bangunan rumah yang dapat
mempengaruhi kejadian penyakit maupun kecelakaan antara lain ventilasi, pencahayaan,
kepadatan hunian, kelembaban ruangan, binatang penular penyakit, penyediaan air
bersih, limbah rumah tangga, hingga penghuni dalam rumah. Kondisi kesehatan
lingkungan rumah berpengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian penyakit TB
paru, karena lingkungan rumah yang kurang memenuhi syarat kesehatan akan
mempengaruhi jumlah atau kepadatan kuman dalam rumah tersebut, termasuk kuman

Mycobacterium tuberculosis. Hubungan penyakit tuberculosis paru dipengaruhi oleh


kebersihan udara karena rumah yang terlalu sempit (terlalu banyak penghuninnya) maka
ruangan akan kekurangan oksigen sehingga akan menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh sehingga memudahkan terjadinya penyakit. Lingkungan dan rumah yang tidak
sehat seperti pencahayaan rumah yang kurang (terutama cahaya matahari), kurangnya
ventilasi rumah, kondisi ruangan yang lembab, hunian yang terlalu padat mengakibatkan
kadar CO2 di rumah meningkat.
Peningkatan CO2, sangat mendukung perkembangan bakteri. Hal ini di karenakan
Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi
banyak komponen karbon sederhana. Menurut sebuah penelitian yang telah dilakukan di
Tanjung Pasir menghitung risiko untuk terkena TBC 5,2 kali pada penghuni yang
memiliki ventilasi buruk dibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan.
Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena TBC
dibanding penghuni yang memenuhi persyaratan, semua cahaya pada dasarnya dapat
mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut.Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis hubungan kualitas lingkungan dan fisik rumah dengan
kejadian TB paru.
1.2

Permasalahan
DesaTanjungPasirmerupakanhasilpemekaranwilayahyangdahulumasihbagian

dariDesaTegalAngus.PemekaranwilayahDesaTegalAngusdanDesaTanjungPasir
terjadi pada tahun 1984. Kata Tanjung Pasir berasal dari kata Tanjung yang berarti
daratanyangmenonjoldipermukaanLautJawadankataPasirberartipermukaantanah
yangberupapasir(Ningsih,2011).

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :


Apa penyakit TB Paru itu ?
Bagaimana cara Penularan TB Paru ?
Pengaruh ventilasi terhadap penyebaran TB Paru di Tanjung Pasir?
Bagaimana cara penanggulangan/pencegahan TB Paru di Tanjung pasir ?

BAB II
ISI
II.1 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia
tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar
dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah
India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000
kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia


II.2 DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis.
II.3 MIKROBIOLOGI
A. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan
panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak
cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan
asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan
oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain

yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai
akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam
alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen
lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi
dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens
dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang
menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan
yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang
hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl


Neelsen
II.4 PATOGENESIS
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan
biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan

bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB
di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus
paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer,
kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam
masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna


fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena
reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman
TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh.
Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya
otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman
sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya
tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus

reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi
merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah

protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar
ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar
di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan
dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,
yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.53% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi
segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu
yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung
pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi

kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB.
TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi
dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25
tahun setelah infeksi primer.

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan


Perjalanan Penyembuhannya

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis

II.5 KLASIFIKASI
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen
dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu
antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur

3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1)
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
2)

lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologic.9

B. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk
kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti
klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

II.6 DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a.
b.
c.
d.

batuk-batuk lebih dari 2 minggu


batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala

yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)

menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus
inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior


C. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )

c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)


atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat
sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan
pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara
pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari
kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung
yang tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,
misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL,
urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a.

Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik

fluoresens:

pewarnaan

auramin-rhodamin

(khususnya

untuk

screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto
toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi

pemeriksaan

mikroskopik

dibaca

dengan

skala

IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and


Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst
Skala Bronkhorst (BR) :
1)
2)
3)
4)
5)

BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.


BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode


konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara,
baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji
niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang
timbul.
D. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari
atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1.

Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini
dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.

2.

Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak
dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada
yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai
sebagai pegangan untuk diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan
dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

3.

Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon
humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam
teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang
akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG

terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan


membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para
klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi
yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
F. Pemeriksaan Lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)

c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan
ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta
sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan
sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang
spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna
bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.
Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru


II.7 PERJALANAN PENYAKIT
Cara penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.

5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh


konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
A. Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.
B. Risiko menjadi sakit TB
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
(gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic),
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bias mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat,
maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:


1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB


II.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada

evaluasi

hasil

akhir

pengobatan,

bila

dipertimbangkan

untuk

memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan.
(Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi,
pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
b. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji
resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat
yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat
diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak
dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5
R3H3E3 (P2 TB).
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap
diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji

resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan
sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif /
perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan
analisis

lebih

lanjut

untuk

memastikan

diagnosis

TB

dengan

mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB


maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori
o

II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.


Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari

awal.
Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama

Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap


OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan
walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid.

2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.


3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan
prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat

Dosis
(mg/kgBB/Hari)

Dosis yang dianjurkan


Harian
(mg/kgBB/Hari)

Intermitten
(mg/kgBB/Hari)

Dosis
Maksimum
< 40

40-60

> 60

8-12

10

10

600

300

450

600

4-6

10

300

150

300

450

20-30

25

35

750

1000

1500

15-20

15

30

15-18

15

15

1000

750

1000

1500

Sesuai BB

750

1000

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan

Tahap Intensif

Tahap Lanjutan

tiap hari selama 56 hari

3 kali seminggu selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275)

RH (150/150)

30-37 kg

2 tablet 4KDT

2 tablet 2KDT

38-54 kg

3 tablet 4KDT

3 tablet 2KDT

55-70 kg

4 tablet 4KDT

4 tablet 2KDT

71 kg

5 tablet 4KDT

5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali
Tablet
Isoniasid

Kaplet
Rifampisin

Tablet
Pirazinamid

Tablet
Etambutol

@ 300 mg

@ 450 mg

@ 500 mg

@ 250 mg

Tahap
Lama
Pengobatan Pengobatan

Jumlah
hari/kali
menelan
obat

Intensif

2 bulan

56

Lanjutan

4 bulan

48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Berat
Badan

Tahap Intensif

Tahap Lanjutan

Tiap hari

3 kali seminggu

RHZE (150/75/400/275) + S

RH (150/150) + E (400)

Selama 56 hari

Selama 28 hari

Selama 20 minggu

30-37 kg

2 tablet 4KDT

2 tablet 4KDT

2 tablet 2KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.


38-54 kg

3 tablet 4KDT

+ 2 tablet Etambutol
3 tablet 4KDT

3 tablet 2KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.


55-70 kg

4 tablet 4KDT

+ 3 tablet Etambutol
4 tablet 4KDT

4 tablet 2KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.


71 kg

5 tablet 4KDT

+ 4 tablet Etambutol
5 tablet 4KDT

5 tablet 2KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

+ 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap
Pengobatan

Lama
Pengobatan

Tablet
Isoniasid

Kaplet
Rifampisin

Tablet
Pirazinamid

@ 300 mg

@ 450 mg

@ 500 mg

Etambutol
Tablet

Tablet

@ 250 mg

@ 400 mg

Streptomisin
Injeksi

Jumlah/
kali menelan
obat

Tahap
Intenif
(dosis
harian

2 bulan

0,75 gr

56

1 bulan

28

Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu)

4 bulan

60

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)

30-37 kg

2 tablet 4KDT

38-54 kg

3 tablet 4KDT

55-70 kg

4 tablet 4KDT

71 kg

5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap
Lamanya
Pengobatan Pengobatan

Tahap
Intensif
(dosis
harian)

1 bulan

Tablet
Isoniasid

Kaplet
Tablet
Tablet
Rifampisin Pirazinamid Etambutol

@ 300 mg

@ 450 mg

@ 500 mg

@ 250 mg

Jumlah
hari/kali
menelan obat

28

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit /
dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
B. Tatalaksana TB Anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala
utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu
kriteria lain dengan menggunakan sistem skor .
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara
resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis

TB anak. Lihat tabel 8. tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan
pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor
yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis
kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai
indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto
tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TB
Parameter

Kontak TB

Tidak
jelas

Uji Tuberkulin

Negatif

Laporan
keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas

BTA (+)

Positif ( 10
mm, atau 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)

Berat badan/
keadaan gizi

Bawah garis merah


(KMS) atau BB/U
< 80 %

Demam tanpa
sebab

2 minggu

Batuk

3 minggu

Pembesaran
kelenjar linfe
koli, aksila,
inguinal

1 cm, jumlah > 1,


tidak nyeri

Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,

Ada pembengkakan

Klinis gizi buruk


(BB/U < 60%)

Jumlah

falang
Foto toraks

Normal/
tidak jelas

Kesan TB

Jumlah
Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

Gambar 8. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan


Kesehatan Dasar

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel 9. Dosis OAT Kombipak pada anak
Jenis Obat

BB < 10 kg

BB 10 - 19 kg

BB 2 - 32 kg

Isoniasid

50 mg

100 mg

200 mg

Rifampisin

75 mg

150 mg

300 mg

Pirazinamid

150 mg

300 mg

600 mg

Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak


Berat badan (kg)

2 bulan tiap hari

4 bulan tiap hari

RHZ (75/50/150)

RH (75/50)

5-9

1 tablet

1 tablet

10-19

2 tablet

2 tablet

20-32

4 tablet

4 tablet

Keterangan:
a.
b.
c.
d.
e.

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Anak dengan BB 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem
skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring system didapat skor < 5, kepada anak
tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan
setelah pengobatan pencegahan selesai.
C. Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks.
Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai
defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT
dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang
diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air
liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit
untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan
meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping
yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr.
Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan

(jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi
0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan
pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping

Kemungkinan Penyebab

Minor

Tatalaksana
OAT diteruskan

Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin


sakit perut

Obat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi

Beri aspirin/allopurinol

Pirazinamid

Kesemutan sampai dengan INH


rasa terbakar di kaki

Beri vitamin B6 1x100 mg/hari

Warna kemerahan pada air Rifampisin


seni

Beri penjelasan, tidak perlu diberi


apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping

Kemungkinan Penyebab

Mayor

Tatalaksana
Hentikan pengobatan

Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT


kulit

Beri
antihistamin
dievaluasi ketat

Tuli

Streptomisin

Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol

Gangguan keseimbangan Streptomisin


(vertigo dan nistagmus)

Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol

Ikterik/Hepatitis
Imbas Sebagian besar OAT
Obat
(penyebab
lain
disingkirkan)

Hentikan
semua
OAT
sampai ikterik menghilang
dan
boleh
diberikan
hepatoprotektor

Muntah
dan
bingung Sebagian besar OAT
(suspect drug-induced preicteric hepatitis)

Hentikan semua OAT dan


lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihtatan

Etambutol

Hentikan Etambutol

sistemik, Rifampisin

Hentikan Rifampisin

Kelainan

dan

termasuk syok dan purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya
disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis
rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan
dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat
lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau
gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan
nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena
thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

D. Pengobatan Suportif / Simptomatik


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan
klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya
tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks

d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat
E. Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
F. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi
radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob
Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
(bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat.
Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat
sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum /
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau

pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan


dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala)
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.
TB Paru Dengan HIV / AIDS
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah
ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary
Counseling and Testing/VCT)
Tabel 13. Indikasi Tes Darah HIV
Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)
A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat

1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.

2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam


jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai
yang steril.
5. Desensitisasi

obat

(INH,Rifampisin)

tidak

boleh

dilakukan

karena

mengakibatkan toksik yang serius pada hati


6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya
dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah
dalam serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH
diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan
MDR-TB
Waktu Memulai Terapi
1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit
CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)
Tabel 14. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV
Kondisi Rekomendasi

Kondisi Rekomendasi

TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB toleransi terhadap AOT telah tercapai
ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera
mulai terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung total < 1200 sel/mm3
limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
setelah 2 bulan

limfosit

simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P.


Carinii/ toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea,

bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB
dengan ARV (Anti Retrovirus)
2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
sebagai buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan
inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena
rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui
1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek
samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan
tidak menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat
pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat
dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,
dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal
berkurang.

TB Paru dengan Kelainan Hati


1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2
SHE/10 HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat

diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya


menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug
induced hepatitis)
Penatalaksanaan
1.
2.
3.
4.
5.

Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi
sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa
laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal ,
tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat
badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

II.11 KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa
komplikasi yang mungikin timbul adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura

II.12 DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan


program penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang
juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS
merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah
DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT
diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO)
A. Tujuan
1.
2.
3.
4.

Mencapai angka kesembuhan yang tinggi


Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi

B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas
sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang
secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah
PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS,
selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
C. Langkah Pelaksanaan DOT

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien


diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir
di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT
D. Persyaratan PMO
1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
E. Tugas PMO
1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
selesai
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat
dilakukan secara :
1. Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit
rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dll
2. Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok
keluarga pasien, masyarakat pengunjung RS dll
Cara memberikan penyuluhan :
a. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
b. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk

diketahui

tingkat

penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya


c. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas

d. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau
perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)
G. DOTS Plus
1. Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS
2. Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
3. DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi
DOTS
4. Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB
II.13 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Terapi pencegahan
2. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan
Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada
kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300
mg ) sehari selama minimal 6 bulan.
II.14 PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting
dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB
harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu
pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan
formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identitas penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5. Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6. Formulir pindah penderita TB (TB09)
7. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)

Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB


Nasional (P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB01
dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam formulir
rekapan yang ada di tingkat kabupaten/kota
Catatan :
1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra
paru pada organ yang penyakitnya paling berat
3. Contoh formulir terlampir

II.15 INTERNATIONAL STANDART FOR TUBERCULOSIS CARE


International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang
melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten
dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di
launching pada bulan februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6
standar untuk diagnosis , 9 stndar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan
dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :
1.

Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak

2.

dapat dipastiklan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis


Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak yang
dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara
mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan

3.

minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari


Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak)
harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila
tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan

4.

histopatologi
Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani

5.

pemeriksaan dahak secara mikrobiologi


Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling
kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari),
foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon terhadap antibiotik

spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan


M.Tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus
tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV,
6.

evaluasi diagnostik harus disegerakan.


Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan
BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat
kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien
demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang

7.

berasal daribatuk, bilasan lambung atau induksi sputum.


Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan
masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat
memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh
terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin

8.

kepatuhan hingga pengobatan selesai.


Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat
yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH,Rifampisin,
Pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan
adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol
selama 6 bulan merupakan paduan alternative untuk fase lanjutan pada kasus yan
keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan
yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada
pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi
internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan
Rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan yang
terdiri dari 4 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol sangat

9.

dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.
Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan
suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan
hubungan yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi
dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu
dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang
tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang
terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan
meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan

terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing masing
individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan.
Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh
PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab
kepada pasien dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik
adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat
menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan.
Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi
dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15).
Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik
dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan
dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologik dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah
dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi
pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan
HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai
indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan
yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang
memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara
bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan
untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai,
tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun
demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus
mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien
yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan
sumber yang mungkin sudah resisten danprevalens resistensi obat pada komuniti.
Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji
sensitifity terhadap INH, Rifampisin dan etambutol.

15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat
lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap
sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan
diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di
bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang
punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5
tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi
internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak
dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten
maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan
ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai
dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

BAB III
3.1

Kuesioner
KUESIONER

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT


TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP
KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SUKARAME KECAMATAN KUALUH HULU KABUPATEN
LABUHANBATU UTARA TAHUN 2011
I. DATA IDENTITAS RESPONDEN
1. Nomor
:
2. Tanggal wawancara :
3. Nama
:
4. Umur
:
5. Jenis Kelamin
: L/P
6. Pendidikan
: 1. Tidak sekolah
2. Tamat SD
3. Tamat SLTP
7. Pekerjaan Responden :
1. PNS/Pensiunan PNS
2. POLRI/TNI/Pensiunan
3. Pegawai Swasta/Wiraswasta
4. Pedagang
8. Penghasilan Keluarga :
1. < Rp.1.050.000
2. Rp.1.050.000 Rp. 2.000.000
3. >Rp.2.000.000

4. Tamat SLTA
5. Tamat D3/PT

5.Petani
6.Buruh
7.Lain-lain

II. DATA KHUSUS A.


Perilaku
Pengetahuan
1. Apakah saudara/saudari tahu penyakit Tuberkulosis Paru ?

Universitas Sumatera Utara

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

a. Tahu
b. Ragu-ragu
c. Tidak tahu.
Menurut saudara/saudari apa yang dimaksud dengan Tuberkulosis Paru ?
a. Penyakit batuk berdahak bercampur darah.
b. Penyakit batuk-batuk akibat merokok.
c. Batuk dengan gatal ditenggorokan
Menurut saudara/saudari penyebab penyakit Tuberkulosis Paru adalah :
a. Kuman atau bakteri
b. Debu, asap dan udara kotor
c. Guna-guna.
Menurut saudara/saudari bagaimana tanda-tanda / gejala penyakit
Tuberkulosis Paru :
a. Batuk berdahak lebih dari 3 (tiga) minggu ,bercampur darah, sesak napas,
rasa nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan turun,
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam lebih dari
sebulan.
b. Batuk yang disertai demam.
c. Batuk dengan gatal di tenggorokan.
Menurut saudara/saudari penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular kepada
anggota keluarga lain karena :
a. Terhirup percikan ludah atau dahak penderita Tuberkulosis.
b. Bicara berhadap-hadapan dengan penderita Tuberkulosis.
c. Sudah ada dari masih dikandungan
Menurut saudara/saudari penularan Tuberkulosis Paru melalui :
a. Udara.
b. Pakaian.
c. Makanan/minuman.
Menurut saudara/saudari penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular apabila :
a. Tidur sekamar dengan penderita Tuberkulosis Paru.
b. Tidak tidur sekamar dengan penderita Tuberkulosis Paru.
c. Tidur beramai-ramai.
Menurut saudara/saudari cara terbaik untuk menghidari penularan terhadap
orang lain adalah :
a. Menutup mulut/hidung saat batuk/bersin dan tidak meludah disembarang
tempat.
b. Tidak meludah disembarang tempat
c. Tidak menutup mulut/hidung saat batuk/bersin dan meludah disembarang
tempat.

Universitas Sumatera Utara

9. Menurut saudara/saudari untuk mencegah penularan penyakit Tuberkulosis


Paru melalui lantai :
a. Tidak meludah sembarangan di lantai, membersihkan dan
mendesinfektan lantai dengan karbol atau pembersih lantai.
b. Tidak meludah dilantai dan membersihkan lantai dengan cara disapu.
c. Tidak tahu.
10. Menurut saudara/saudari bagaimanakah lantai rumah yang baik ?
a. Kedap air, terbuat dari bahan yang cukup keras, rata dan mudah
dibersihkan.
b. Mudah dibersihkan dan tidak licin
c. Terbuat dari keramik.
11. Menurut saudara/saudari apakah luas ruangan tidur 8 m cukup untuk berapa
orang :
a. 2 orang dewasa
b. 3 orang dewasa
c. 4 orang dewasa
12. Menurut saudara/saudari apakah fungsi ventilasi ?
a. Tempat keluar masuknya udara segar sehingga ruangan tidak pengap dan
segar.
b. Agar ruangan tidak bau.
c. Sebagai hiasan.
13. Menurut saudara/saudari bagaimana luas ventilasi yang baik ?
a. 10% dari luas lantai.
b. Harus ada disetiap ruangan.
c. Hanya di ruang kamar dan depan saja.
14. Menurut saudara/saudari udara yang masuk ke ruangan rumah
a. Harus bersih tidak dicemari oleh asap dari pembakaran sampah atau
pabrik, dari knalpot kenderaan dan debu.
b. Yang penting tidak bau dan tidak pengap.
c. Yang penting udara bisa masuk.
15. Menurut saudara/saudari manfaat sinar matahari pagi terhadap ruangan
rumah adalah :
a. Mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat dilingkungan
dan dapat menghambat perkembang biakan kuman tuberkulosis dan
kuman penyakit lainnya.
b. Untuk penerangan.
c. Tidak ada manfaatnya.

Universitas Sumatera Utara

16. Menurut saudara/saudari bagaimanakah pencahayaan alami ruangan yang


memenuhi syarat ?
a. Terang, dapat menerangi seluruh dalam ruangan dan menyebar merata.
b. Terang dan hanya menerangi sebahagian ruangan saja.
c. Remang-remang

17. Menurut saudara/saudari penyakit Tuberkulosis dapat dicegah dengan


imunisasi ?
a. Ya dengan imunisasi BCG.
b. Ya dengan imunisasi apa saja.
c. Tidak bisa dicegah dengan imunisasi.
18. Menurut saudara/saudari bagaimana hubungan pengobatan Tuberkulosis Paru
dengan gizi
a. Pengobatan Tuberkulosis akan semakin baik dengan gizi yang baik.
b. Pengobatan Tuberkulosis hanya sedikit dipengaruhi oleh gizi yang baik.
c. Tidak ada pengaruh selama makan obat.
19. Menurut saudara/saudari penyakit Tuberkulosis dapat disembuhkan melalui :
a. Pengobatan teratur disertai dengan perbaikan lingkungan dan perubahan
perilaku.
b. Berobat kalau ada waktu.
c. Dibiarkan saja.

`Sikap
1. Tanda-tanda/gejala penyakit Tuberkulosis Paru adalah batuk berdahak lebih
dari 3 (tiga) minggu, bercampur darah, sesak napas, rasa nyeri dada, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan turun, berkeringat malam walaupun
tanpa kegiatan dan demam lebih dari sebulan.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
2. Melalui penggunaan peralatan makan bersama dengan penderita dapat
menularkan penyakit Tuberkulosis Paru.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
3. Penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular apabila tidur sekamar dengan
penderita Tuberkulosis Paru.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
4. Dengan menutup mulut/hidung saat batuk/bersin dapat menghindari penularan
penyakit Tuberkulosis Paru terhadap orang lain.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju

Universitas Sumatera Utara

5. Tidak meludah disembarang tempat dapat menghindari penularan penyakit


Tuberkulosis Paru terhadap orang lain.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
6. Penyakit Tuberkulosis Paru dapat disembuhkan melalui pengobatan teratur.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
7. Dengan melakukan perbaikan lingkungan misalnya dengan membuat ventilasi
dapat membantu mengurangi penularan penyakit Tuberkulosis Paru :
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
8. Luas ruangan tidur minimal 8 m, untuk tiap 2 orang dewasa atau tiap anggota
keluarga.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
9. Luas ventilasi yang baik adalah 10% dari luas lantai.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
10. Lantai rumah yang baik adalah kedap air, terbuat dari bahan yang cukup
keras, rata dan mudah dibersihkan.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
11. Pencahayaan dengan sinar matahari harus masuk dalam ruangan dan
menyebar merata.
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
Tindakan
1. Menurut saudara/saudari kemana seharusnya orang berobat bila sakit
Tuberkulosis Paru.
a. Berobat ke tempat pelayanan kesehatan.
b. Berobat ke dukun kampung.
c. Dibiarkan karena malu.
2. Menurut saudara/saudari dimanakah orang mendapatkan pengobatan
Tuberkulosis Paru selama ini :
a. Puskesmas/instansi kesehatan.
b. Beli di toko obat/warung.
c. Di dukun kampung.
3. Apa anjuran yang saudara/saudari lakukan dalam pengobatan Tuberkulosis
Paru.
a. Makan obat secara teratur sesuai dengan anjuran petugas kesehatan.
b. Makan obat kalau ada waktu.
c. Tidak makan obat.
4. Apa yang saudara/saudari lakukan untuk menghindarkan penularan penyakit
Tuberkulosis Paru :

Universitas Sumatera Utara

a. Menutup mulut/hidung saat batuk/bersin dan tidak meludah disembarang


tempat.
b. Mengisolasi diri tanpa perlu berobat sampai sembuh.
c. Tidak tahu.
5. Apa yang saudara/saudari lakukan untuk menghambat perkembangbiakan
kuman Tuberkulosis di dalam kamar tidur adalah :
a. Setiap hari membuka jendela kamar tidur.
b. Kadang-kadang membuka jendela kamar tidur.
c. Tidak pernah membuka jendela.
6. Apa yang saudara/saudari lakukan pada peralatan makan anda :
a. Dipisahkan dari peralatan makan anggota keluarga yang lain.
b. Tidak dipisahkan dan bersatu dengan peralatan makan yang lain.
c. Dibiarkan saja.
7. Apakah saudara/saudari lakukan untuk menghindari penularan penyakit
kepada anggota keluarga yang lain adalah :
a. Menyediakan luas ruangan tidur 8 m untuk tiap orang atau tiap keluarga
perjiwa.
b. Menyediakan luas ruangan tidur 8 m untuk 3 orang.
c. Menyediakan luas ruangan tidur 8 m untuk 4 orang.
8. Apa yang saudara/saudari lakukan untuk pengaturan sirkulasi udara dalam
rumah yang sangat diperlukan.
a. Membuat ventilasi yang memenuhi syarat ( luas ventilasi permanen 10%
dari luas lantai)
b. Membuat ventilasi tetapi kurang dari 10 % luas lantai.
c. Tidak ada ventilasi
9. Apakah saudara/saudari lakukan untuk mencegah kuman Tuberkulosis
berkembang biak, lantai rumah sebaiknya :
a. Diplester/ubin/keramik/papan(untuk rumah panggung)
b. Papan/anyaman bambu dekat dengan tanah/plesteran yang retak dan
berdebu
c. Tanah
10. Apakah saudara/saudari lakukan dalam mengupayakan masuknya sinar
matahari pagi kedalam rumah :
a. Membuat dan membuka jendela rumah tiap hari.
b. Kadang-kadang membuka jendela rumah.
c. Tidak pernah membuka jendela.

Universitas Sumatera Utara

B. Observasi Kondisi Fisik Rumah


1. Jenis dinding rumah yang ditempati oleh responden terbuat dari ?
a. Bilik Bambu
b. Papan Kayu
c. Pasangan Batako/Bata tanpa plesteran
d. Pasangan Batako/Bata dengan plesteran
2. Bahan Lantai oleh responden?
a. Tanah
b. Papan panggung
c. Plesteran
d. Keramik
3. Apakah sinar matahari pagi masuk menyinari ruangan keluarga?
a. Tidak
b. Ya
4. Berapa lama sinar matahari pagi masuk dalam ruangan keluarga?
a. < 5 menit
b. 5 10 menit
c. > 10 menit
5. Apakah sinar matahari pagi masuk menyinari ruang tidur?
a. Tidak
b. Ya
6. Berapa lama sinar matahari pagi masuk menyinari ruang tidur?
a. < 5 menit
b. 5 10 menit
c. > 10 menit
7. Sinar matahari pagi masuk ke dalam ruangan melalui apa?
a. Jendela
b. Ventilasi
c. Genteng Kaca

Universitas Sumatera Utara

C. Observasi Terhadap Sanitasi Perumahan


No

Sanitasi Perumahan

Ya

Luas ruangan tidur 8 m untuk tiap orang atau tiap


anggota keluarga perjiwa.

Ada kamar tersendiri bila ada anggota keluarga yang


menderita sakit

Luas ventilasi permanen 10% dari luas lantai

Lantai rumah diplester/ubin/keramik/papan (rumah


panggung)

Ada jendela rumah dan kamar mandi

Membuka jendela rumah tiap hari

Apakah rumah dikelilingi oleh pohon-pohon yang


tinggi

Cahaya matahari masuk dalam ruang tidur terang dan


tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk
membaca dengan normal.

Tidak

Universitas Sumatera Utara

D. Pengukuran Kondisi Fisik Rumah


No
1.

2.

3.

Objek Pengukuran

Hasil

Ruang Tamu/keluarga :
1. Luas ruang tamu/keluarga
2. Kelembaban ruang tamu/keluarga......................

......................m 2

3. Temperatur ruang tamu/keluarga......................

org

4. Jumlah penghuni rumah.......................

m2

5. Luas ventilasi ruang tamu/keluarga.......................


Ruang Tidur

m2

1. Luas ruang tidur.......................


2. Kelembaban ruang tidur.......................

3. Temperatur ruang tidur.......................

4. Luas ventilasi ruang tidur.......................

5. Jumlah penghuni ruang tidur.......................


Ruang Dapur :

Luas ruang dapur

......................
1.
2. Kelembaban ruang dapur
3. Temperatur ruang dapur.......................
4. Luas ventilasi ruang dapur

.......................

org

m2
%
C
...................... m

Hasil pengukuran kondisi fisik rumah:


a.

Memenuhi syarat

Universitas Sumatera Utara

b.

Tidak memenuhi syarat

3.2

Pembahasan

3.3

Kesimpulan

3.4

Saran

BAB IV
PENUTUP

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis. WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Laporan
WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia
tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4
mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complexwaxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi.

60

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni
di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan
kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan
penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien
menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana
bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan
rencana tindak lanjutnya.
Penatalaksanaan TB dimulai dari penemuan pasien TB yang terdiri dari penjaringan
suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Setelah pasien masuk
dalam klasifikasi yang telah ditentukan, barulah pengobatan yang tepat dapat dilaksanakan.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip OAT harus diberikan dalam
bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OATKombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk
menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
61

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di


Indonesia:
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.
Pada kasus-kasus tertentu, terkadang terjadi Multy Drugs Resistence. Untuk
menangani kasus ini dapat maka dapat digunakan OAT lini ke-2. Saat ini paduan yang
dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini
2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau ofloksasin 600 800 mg (obat
dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari). Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten
ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa
sampai 24 bulan.
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang
melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan
rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan
Februari 2006.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estndar
untuk diagnosis , 9 stndar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan
kesehatan masyarakat.

62

63

Вам также может понравиться